Antik
Barang antik adalah simbolku. Keberadaannya jarang, dan seringkali di tempat usang.
Giftan
@@@
Kalau sampai orangtua Giftan dan Abas tahu bahwa mereka berboncengan, sudah pasti malam ini mereka bakal kena marah habis-habisan. Jangankan berboncengan, kadang, kalau Giftan ketahuan tengah bercengkrama dengan Abas melalui telepon saja, bentakan selalu mengakhirinya. Kedua orangtuanya tak suka kesibukan Abas diganggu. Padahal Abas yang selalu memulai percakapan terlebih dahulu.
"Kalau udah nemu plang Kafe Robusta, terus ada gang sempit di sebelahnya, lewat situ ya, Bang?" Giftan berteriak dari balik maskernya. Badan Abas yang terlampau tinggi darinya membuat Giftan sulit mengintip bagian depan dari kaca helmnya.
"Siap, Bosku!"
Red Fire yang baru dicuci kemarin sore itu harus rela ternodai kekinclongannya lagi, dilewatkan Abas melalui jalanan sempit yang masih basah karena hujan tadi pagi.
"Ini yang mau lo datengin toko kado apa toko loak, sih, Tan? Kumuh bener gangnya." Abas mengontrol laju Red Fire sepelan mungkin melewati rumah-rumah bersusun yang sepertinya tiap enam meter persegi dihuni satu keluarga. Karena kalau tidak pelan, takutnya menabrak anak kecil yang suka lewat sembarangan. Banyak sampah berserak. Setiap beberapa meter terpaut, mereka dapat melihat jemuran bergelantungan di tali yang sepertinya sengaja dibuat seperti itu oleh orang-orang.
"Gila itu kolor gede banget. Buat boncengan kita aja masih nyisa," seloroh Abas yang membuat Giftan tertawa terbahak-bahak.
"Eh, itu tuh, tokonya!" Giftan menunjuk sebuah toko berarsitektur kuno yang terletak di ujung gang.
Abas berdesis begitu dia berhenti dan muka toko itu dapat dilihatnya dengan jelas. Heran saja dengan Giftan yang tak pernah ke mana-mana bisa tahu toko yang letaknya jauh dari area swalayan lain di pusat kota. Terpencil pula. "Lo tau tempat beginian dari mana, sih?"
"Ah, nggak penting juga. Ayo, turun!" Giftan menepuk pundak Abas sambil menuruni motor. Lalu dengan semangat berjalan masuk ke dalam toko.
Abas cuma tersenyum seraya bergeleng-geleng. Tidak apa-apa, asalkan Giftan merasa senang, dia akan melayaninya.
Lonceng berbunyi begitu Giftan membuka pintu toko. Bagian dalam toko barang antik ini ternyata sama tuanya dengan bagian luar. Lampunya dipadamkan, hanya memanfaatkan cahaya matahari dari jendela-jendela. Tak ada AC dan sangat pengap. Pekat dengan aroma debu dan sarang laba-laba seolah tak pernah terawat. Meski demikian, barang-barang yang berjajaran rapi di setiap rak memberikan kesan magis bagi tempat ini. Pemandangan yang begitu menarik bagi pecinta barang antik.
Satu hal yang terkesan ngeri, tiada satu pun pengunjung lain membuat tempat itu sepi. Lebih persis seperti toko angker.
Giftan mulai menyusuri rak-rak hitam. Begitu pula dengan Abas, yang langsung tertarik dengan telepon unik di salah satu rak. Ada tulisan harga dan tahun keluaran di bawahnya.
Barang antik di toko tersebut terbilang sangat murah. Karena itulah Giftan memilih pergi ke sana.
"Tan, sini deh!" Abas berdesis.
Giftan yang sedang mengusap-usap debu di atas miniatur rumah menoleh. Kemudian melangkah ke arah kakaknya itu.
"Tuh, lihat! Itu yang punya toko?" Kening Abas berkerut-kerut, menatap sosok perempuan cantik dengan rambut panjang menutupi setengah wajah dan buku tebal yang tengah dia baca. Perempuan itu duduk manis di balik meja resepsionis. Rasanya mustahil toko setua ini ditunggui oleh sosok serupa bidadari kahyangan.
"Iya, kenapa emang?" Mata Giftan kemudian menelisik tiap inci rak di belakang Abas.
Abas membuka masker dan mengibaskan tangan di depan hidung. Merasa sesak. "Aneh aja nih tempat. Lo tau dari mana, sih?"
"Gerald pernah bawa gue sampai ke gang ini. Terus hujan, si cantik itu yang nyuruh gue neduh di sini." Sejurus kemudian Giftan mengerling ke arah Abas. "Lo naksir, ya?"
Abas langsung bergidik. Perempuan di sana lebih mirip cewek abnormal pecinta tarot yang sedang mempelajari buku primbon. "Mending gue naksir janda anak lima aja kalau gitu," celetuknya sambil kembali menaikkan masker.
Giftan mencebik di balik dua lapis maskernya. Sampai kemudian terperangah melihat sebuah benda yang menarik perhatiannya. Giftan cepat-cepat menghampiri benda tersebut.
Sebuah kotak musik tampak mengilat diterpa cahaya matahari yang menerobos ventilasi. Terbuat dari kayu dengan pahatan bunga-bunga yang begitu detail. Cat peliturnya mengilap. Sebuah pemanis berdiri anggun di atasnya, berupa patung gadis pebalet dengan gaun hitam yang roknya mekar melingkar di pinggul kecilnya. Tangannya meliuk ke atas dan ke bawah. Wajahnya sedikit menunduk. Matanya memejam, dengan senyum manis pula. Bahkan bentuk patung gadis itu seakan begitu lengkap.
Giftan lalu melirik harga di bawahnya. Seratus enam puluh ribu?! Hampir saja dirinya tersedak melihat harga yang mencekik kantong. Harusnya harga tersebut sangat murah untuk ukuran kotak musik kuno yang antik. Akan tetapi, separuh tabungan Giftan akan dibelanjakannya sekotak masker. Harga kotak musik itu terlalu mahal tiga kali lipat bagi sisa uangnya.
"Pilihan kamu tepat."
Giftan terkejut. Perempuan penjaga toko tiba-tiba saja berdiri di sampingnya. Perempuan itu menyisipkan rambutnya yang terjuntai ke belakang telinga. Lantas tersenyum sembari menoleh kepada Giftan.
"Kamu cocok sama benda ini. Karena itu, aku kasih diskon. Jadi enam puluh ribu aja."
Sontak saja mulut dan mata Giftan terbuka lebar. Perempuan itu seperti bisa membaca pikiran Giftan saja. Maka keheranan cowok itu mengenai perihal 'cocok' yang diutarakan si cantik penjaga toko tersebut langsung melayang hilang.
"Ayo, kubungkusin!" Perempuan tersebut mengambil kotak musik itu dan menutupnya. Lalu membawanya ke meja resepsionis.
Abas yang ternyata telah berdiri di belakang perempuan itu dari tadi, kerutan di dahinya bertambah banyak. "Cocok sama lo? Maksudnya apa coba?" bisik Abas.
"Ya udahlah. Barangnya juga bagus, kok. Yang penting dapat diskon!" Giftan meringis girang.
"Ye, lu, mah. Kek emak-emak ngemal aja. Udah gih, sana bayar. Enggak betah lagi gue di sini. Gue tunggu luar, ya?"
"Oke, Bang!"
Perempuan itu ternyata membungkus begitu apik kotak musik yang Giftan beli. Tapi dia bilang, Giftan tak perlu membayar jasa membungkusnya. Karena perempuan itu kemudian memberikan petuah yang sampai rumah pun masih Giftan ingat baik-baik.
"Jangan sampai patung baletnya patah. Rintangan hidup kamu bakal lebih berat, kamu enggak boleh nyerah."
Sayang sekali, Giftan tak mengerti apa maksudnya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top