8 : Chain

⚠️Part ini bakal lebih depresif dan gelap ketimbang sebelumnya. Menyinggung sedikit bagian tentang 'bunuh diri' dan efek yang ditinggalkan pada orang-orang di sekitarnya. Tolong dibaca dengan bijaksana, boleh diskip jika chapter ini termasuk isu sensitif bagi pembaca.⚠️

***

SEPULANG dari pasar malam, mereka memutuskan tidak lagi tidur beralas tikar dan atap berupa langit penuh bintang. Dowoon dan Hansol sepakat untuk melanjutkan perjalanan. Yerim telah mendengar cerita tentang kota yang agak modern di semenanjung. Dia menceritakan gagasan itu pada kedua temannya, yang langsung setuju dan segera membereskan perlengkapan mereka.

Dowoon mengambil giliran pertama untuk mengemudi. Jalanan sepi saat sedan tua mereka melaju di atas aspal. Yerim memperhatikan titik-titik cahaya yang semakin kecil di belakang mobil mereka. Mereka telah meninggalkan Kota Seribu Bintang. Jauh di belakang, Yerim mengenang jalanan di malam hari, Kota Maren, Festival Kembang Api Waktu, tarian cahaya di Iclyn, dan gugusan bintang di langit Antares.

"Apa yang kau pikirkan?"

Yerim menatap sepasang mata Dowoon yang meliriknya dari spion tengah. Yerim tersenyum. "Hanya memikirkan soal perjalanan kita," jawabnya.

Dowoon tidak membalas. Keheningan di antara mereka berlangsung lama, mungkin setengah jam, atau lebih. Hansol sendiri tertidur beberapa saat setelah mereka berkendara, dia memang butuh istirahat mengingat dia akan mengemudi.

Mereka memasuki daerah dengan padang rumput luas membentang di kiri dan kanan jalan. Kendaraan melaju di jalan yang tak lagi mulus. Batu-batu kecil di sepanjang tanah berlapis pasir telah membuat Hansol terbangun dari tidurnya.

"Aku tidak tahu padang rumput bisa seindah ini," kata Dowoon.

Yerim memperhatikan pemandangan di luar jendela. Hamparan lautan rumput berwarna kuning gersang menari mengikuti arah angin. Pohon-pohon bertengger di kejauhan, tampak seperti siluet kesepian di tengah padang rumput yang sunyi. Dowoon menghentikan mobil di pinggir jalan. Baik Yerim maupun Hansol tidak bertanya kenapa. Padang rumput ini terlalu menakjubkan untuk dilihat sekilas.

Yerim melangkah lebih jauh dalam kumpulan rumput setinggi betis. Ujung tanaman yang tajam serasa menggelitik. Yerim mendongak, menatap langit biru yang bersih bagai tanpa setitik awan.

"BOO!"

Yerim menjerit dengan teriakan tiba-tiba di belakang telinganya. Suara tawa Hansol membahana, puas berhasil membuat Yerim hampir menjatuhkan jantungnya.

"Choi Hansol!" Yerim berteriak marah, berlari mengejar Hansol yang telah meninggalkannya.

Hansol berlari sambil menoleh ke belakang, menertawai Yerim yang kesusahan mengejarnya. Yerim melihat Dowoon di kejauhan, mengamati mereka dengan bingung. Yerim menahan senyumnya begitu melihat Hansol berlari mendekati Dowoon secara tidak sadar.

Dowoon mengejutkan Hansol saat laki-laki itu masih berlari sambil mengawasi Yerim. Hansol memekik keras dan terjatuh, duduk di atas rumput dengan wajah syok.

Yerim tertawa sampai napasnya terasa akan habis. "Kau memekik lebih kencang dariku!"

Hansol membantah, mengeluarkan pendapat kalau dia terkejut secara gentleman. Yerim dan Dowoon mengabaikan pembelaannya, terus meledek Hansol sampai laki-laki itu merengek.

Mereka duduk di bawah pohon palem. Rumput di sekitar pohon lebih pendek, seolah ada yang memangkasnya agar menjadi tempat istirahat yang bagus. Dowoon menyandarkan kepalanya di paha Yerim. Yerim sendiri bersandar pada batang pohon. Hansol duduk di sampingnya, menatap tarian rumput kuning yang bergerak seirama arah angin.

Yerim tidak tahu sejak kapan dia tertidur, tapi Hansol membangunkannya saat langit mulai menggelap. Mereka berjalan ke arah mobil yang terparkir di tepi jalan, menembus padang rumput yang seolah enggan ditinggalkan.

Mereka tidak langsung pergi. Sudah ada aturan tak tertulis untuk menikmati matahari terbenam bersama-sama. Ketiganya memandangi kepergian matahari, bersandar pada sisi samping mobil. Matahari tenggelam di barat horizon, masih tampak gagah di menit-menit terakhirnya merajai langit. Mega merah dan semburat senja menghiasi bumantara. Lautan padang rumput tampak bagai emas berkilauan.

"Kadang-kadang, aku ingin menghilang." Hansol menghentikan keheningan di antara mereka dengan pernyataan tiba-tiba.

Yerim menoleh, memperhatikan rambut pirang Hansol berkibar serupa rerumputan di depan mereka. "Untuk ditemukan?"

"Untuk ditemukan oleh seseorang yang benar-benar peduli padaku." Hansol menoleh, senyumnya cerah meski cahaya matahari mulai meredup di ujung sana.

"Kurasa kita semua ingin menghilang atau bersembunyi sesekali." Yerim tersenyum, menyingkirkan helai rambutnya ke belakang telinga.

Ketika matahari sepenuhnya hilang dan mereka hendak pergi, Dowoon tiba-tiba bicara.

"Kadang-kadang, orang yang paling hebat bersembunyi adalah orang yang sangat ingin ditemukan."

Yerim tidak menjawab, Hansol juga tidak. Dowoon tidak terlihat seperti dia ingin mendengar jawaban mereka. Dowoon masuk ke mobil, duduk di kursi penumpang depan dan menyandarkan kepalanya pada kaca jendela. Kesedihan tampak jelas pada punggungnya.

Yerim dan Hansol berbagi pandangan bingung dan khawatir.

***

Ketika memikirkan kota modern, Yerim membayangkan gedung pencakar langit yang berlomba-lomba mencapai awan, jalan-jalan padat berisi kendaraan dan papan iklan dengan layar LCD besar yang memamerkan berita terkini atau iklan. Kesibukan khas kota dan kemewahan yang terasa mencekik.

Kota Saki ternyata berbeda dengan definisi kota modern dalam pikiran Yerim. Kota ini tidak terlalu besar, kalau dilihat dari peta di gerbang masuk. Tidak ada gedung pencakar langit. Hanya bangunan yang tingginya mungkin tidak lebih dari lima lantai. Jalanan besar yang rapi tidak dipenuhi kendaraan, orang-orang lebih banyak berjalan kaki. Seperti halnya kota modern lain, kegelapan malam tidak membuat kota seketika mati. Lampu-lampu menyala terang, toko-toko buka, dan orang-orang yang berlalu lalang di sekitar mereka seakan mengukuhkan kenyataan bahwa kota ini tidak pernah tidur.

Mereka bertanya soal penginapan pada seorang petugas berseragam, kemungkinan polisi. Arahan dari petugas itu membawa mereka pada bangunan dua lantai yang sebagian besar terbuat dari kayu. Seorang wanita cantik dengan kimono Jepang keluar dari bangunan berarsitektur kuno, tersenyum ramah pada mereka bertiga.

"Selamat malam, ingin menyewa penginapan?" tanyanya dengan bahasa Inggris yang tidak terlalu lancar.

Yerim dengan tenang menjelaskan bahwa mereka ingin menyewa kamar sehari. Yerim bicara dengan bahasa Jepang, salah satu kemampuan yang dia miliki berkat pekerjaannya sebagai pebisnis. Pemilik penginapan tampak senang dengan Yerim, hingga menyarankan kamar yang paling bagus. Mereka bertiga mendapat satu ruangan luas yang terdiri dari tiga kamar, lengkap dengan kamar mandi di masing-masing kamar dan ruang tengah dengan televisi besar. Dowoon sempat khawatir soal biaya penginapan yang kemungkinan mahal, tapi Yerim meyakinkannya kalau mereka punya cukup banyak uang.

"Sesekali, kita harus memanjakan diri, Hyung," kelakar Hansol.

Dowoon memutar bola mata. Dia berkata badannya lengket dan butuh mandi, langsung menuju kamar terdekat. Hansol dan Yerim saling berpandangan.

"Dia baik-baik saja."

Yerim tersenyum, menangkap kecemasan di mata Hansol dengan mudah. "Semoga."

Ketika Yerim menggeser pintu kamarnya, dia membayangkan futon beralas tatami, mengingat penginapan mereka dijalankan orang Jepang dan sebagian besar interior penginapan memamerkan ciri khas negara asal pemilik penginapan itu. Ternyata tebakan Yerim salah. Ranjang di tengah ruangan tampak seperti ranjang empuk yang ada di hotel-hotel bintang empat. Kesan tradisional dari interior kayu berpadu dengan sentuhan modern. Yerim menemukan pendingin ruangan dan pemanas. Kamar mandi bahkan memiliki bathtub dan pancuran air panas dan normal.

Selesai mandi dan mengeringkan rambutnya, Yerim membuka ranselnya, memilih pakaian yang cukup hangat untuk dikenakan. Dia memilih memakai rok katun selutut, baju lengan pendek, dan cardigan panjang untuk melawan udara dingin.

Yerim keluar dari kamar. Di ruang tengah, Dowoon dan Hansol ada di sofa panjang, berebut remote televisi. Yerim menggelengkan kepalanya dengan prihatin.

"Aku ingin berbelanja di minimarket di sebelah penginapan. Kalian punya sesuatu yang ingin dibeli?"

Dowoon dan Hansol tidak mendengarkannya, mereka sibuk bergulat demi remote yang tergeletak tak berdaya di atas karpet. Dowoon meronta-ronta karena Hansol mengunci lehernya dengan tangannya. Dalam keadaan tercekik, Dowoon mengigit lengan Hansol, tepat di tato bertuliskan nama adiknya. Hansol memekik, mengusap lengannya yang dihiasi bekas gigitan dengan wajah panik. Dowoon tertawa jahat begitu Hansol berceloteh soal kesucian tato di lengannya dan mereka mulai bergulat lagi.

Yerim mengerutkan keningnya, tidak mengerti dengan tingkah kedua temannya. Dia memutuskan pergi ke lantai bawah tanpa berpamitan lagi, meninggalkan Dowoon dan Hansol bertengkar karena alasan konyol. Minimarket di sebelah penginapan itu tak ubahnya seperti minimarket yang biasa Yerim kunjungi di Seoul. Ada banyak produk Jepang dan Korea, juga China. Yerim menduga Kota Saki adalah bagian Asia Timur dari dunia ini. Yerim sampai di rak berisi minuman. Dia mengamati berbagai minuman kaleng dan botol-botol yang terasa akrab. Pandangan Yerim berhenti pada produk susu di rak kedua. Yerim mengambil salah satu susu pisang, mengenalinya sebagai merk yang amat terkenal di negara asalnya. Yerim memasukkan dua lagi ke dalam keranjang belanjaannya.

Dowoon Oppa akan suka, pikir Yerim. Meski bukan susu coklat, dia pikir Dowoon akan tetap menyukainya.

Yerim berjalan ke deretan rak yang menjual coklat. Dia memasok banyak persediaan, cukup untuk membuat suasana hati Hansol membaik seharian. Yerim hendak membayar semua belanjaannya saat dia melihat rokok yang dipajang di belakang kasir.

Dowoon masih belum bercerita soal orang di balik alasannya mulai merokok.

Ketika Yerim kembali ke ruangan mereka, Dowoon dan Hansol ternyata sudah berhenti bertengkar. Keduanya duduk dengan tenang di sofa panjang, menonton televisi yang menayangkan pertandingan sepak bola.

Hansol menoleh. "Oh, kau sudah kembali. Tadi pemilik penginapan ke sini, dia menawarkan makan malam yang telat untuk kita."

"Kurasa dia menyukaimu, makanya kita dapat makan malam meski datang telat." Dowoon menimpali begitu Yerim duduk di sampingnya. "Apa yang kau beli?"

"Sesuatu yang kupikir bisa membuat kalian agak waras." Yerim membalas dengan sarkas, menyinggung pertengkaran barbar di antara kedua temannya tadi.

Dowoon dan Hansol tertawa.

"Yerim, pertengkaran seperti itulah yang membuat laki-laki makin dekat," kata Hansol sambil merangkul Dowoon.

Yerim memutar bola mata. Dia mengacak isi plastik belanjaannya, melemparkan sebungkus kue coklat pada Hansol yang berseru senang. Dowoon menghadap Yerim sepenuhnya, memasang wajah cemberut.

"Tidak ada untukku?"

Yerim tertawa. Dia mengeluarkan sebotol susu pisang, memamerkannya ke depan wajah Dowoon.

"Kau pasti suka, kan?"

Tidak ada jawaban. Yerim menurunkan botol susu, terkesiap begitu melihat eskpresi Dowoon. Dowoon tampak seperti dia baru saja melihat hantu. Kedua matanya terbelalak, ketakutan menghiasi wajahnya.

"Ada yang salah?" Hansol bertanya.

Dowoon tidak menjawab, Yerim tidak tahu harus menjawab apa. Yerim memperhatikan tangan Dowoon yang gemetar di atas pahanya sendiri. Ketika Yerim menatap wajahnya lagi, ada luka dan air mata di wajah laki-laki yang paling tua. Air mata itu turun, mengalir melewati pipi dan jatuh di bawah dagu.

Sebelum Yerim sempat bertanya, Dowoon bangkit tiba-tiba dari sofa. Matanya tidak menatap Yerim atau Hansol saat dia bicara dengan suara gemetar.

"Aku mau tidur."

***

Dowoon menggeser pintu agar menutup, menyembunyikan dirinya di dalam kamar. Dia mendengar suara langkah kaki mendekat. Kemudian, ada ketukan dan suara lembut Hansol bertanya apa dia baik-baik saja.

Dowoon tidak menjawab, tangannya masih menahan pintu. Ketukan berhenti dan suara Hansol memudar, mungkin dia memutuskan memberi waktu. Dowoon merosot turun, duduk bersandar pada pintu. Dia menatap kedua tangannya yang terus gemetar.

Kenangan buruk itu membanjirinya tanpa ampun, menerjang bagai ombak besar yang menyapu daratan. Dowoon menutup mulutnya dengan kedua tangan yang masih tremor, menahan kuat-kuat suara tangisnya sementara perasaan bersalah menyerangnya dengan kejam.

***

Dowoon, dan cerita tentang mataharinya yang tenggelam.

Jika harus menceritakan kehidupan sekolahnya, Dowoon hanya perlu dua kata untuk mendefinisikannya secara keseluruhan. Sangat membosankan.

Dua kata itu benar-benar mewakili hari-harinya di sekolah. Dowoon memang cukup terkenal. Dia anak dari keluarga kaya, berotak encer, dan punya wajah yang membuat gadis-gadis memekik kagum. Namun, itu tidak ada artinya bagi Dowoon. Dia bahkan menganggap popularitasnya cukup mengganggu.

Semua itu tidak lagi sama sejak kehadiran seseorang.

"Hei."

Dowoon yang sedang mencari buku di perpusatakaan menoleh, melihat senyum lebar di wajah seorang pemuda tampan dengan seragam sama dengannya. Dowoon mengalihkan pandang begitu melihat bekas luka yang masih baru.

"Kau mengabaikanku, Woon."

Dowoon mendengus, memusatkan perhatiannya pada murid dengan papan nama Kang Younghyun. "Jika kau ingin bercerita tentang penyebab luka di wajahmu, aku tidak peduli. Demi apa pun, Sunbae, segeralah bertobat. Ujian masuk universitas sudah di depan mata dan kau masih bertingkah seakan-akan kau bukan anak sekolah."

Younghyun mencibir. "Aku tidak akan masuk universitas."

Dowoon berhasil menemukan buku yang dicarinya. "Terserah. Tawaran belajar denganku akan hangus sebentar lagi."

"Bagaimana bisa aku belajar dengan seorang junior? Kau bahkan masih tingkat pertama, bayi," caci Younghyun.

"Sayangnya, bayi ini lebih pintar darimu, Hyung." Dowoon membiarkan seringai mengejek mekar di wajahnya.

Younghyun mengomel pelan, tapi tetap mengikuti Dowoon berjalan ke luar dari perpustakaan. Di sepanjang koridor, murid-murid menatap mereka dengan beragam spekulasi. Pasalnya, Dowoon dan Younghyun bagai dua kutub berseberangan yang tidak pernah disangka akan berdiri berdampingan seperti kawan lama.

Dowoon adalah murid tingkat pertama yang mencuri perhatian dengan wajah tampan dan otak jeniusnya. Sikapnya yang cuek dan tertutup menjadikannya semakin menarik. Sementara Younghyun adalah siswa kelas tiga yang terkenal sebagai penindas, meski dia tidak pernah menindas siapapun. Younghyun hanya membalas orang-orang yang mengganggunya.

Namun, bagi Dowoon,Younghyun adalah matahari.

.

.

Pertemuan pribadi pertama mereka terjadi di atap. Dowoon yang sedang menikmati langit dikejutkan dengan suara pintu terbuka, Younghyun muncul dengan wajah bingung. Perlahan-lahan, eskpresinya memudar menjadi seringai. Dowoon merasa tidak nyaman. Dia melepaskan earphone yang menyumbat telinganya, hendak pergi dari atap.

Younghyun menghentikannya saat Dowoon nyaris melewatinya. Dari dekat, Dowoon bisa melihat dengan jelas goresan melintang di dekat hidung dan lebam yang masih baru di tulang pipinya.

Dowoon menaikkan alis, gestur bertanya yang sering dia lakukan saat malas bicara.

Younghyun mendengus. "Kau bisa tetap di sini. Aku tidak suka merebut wilayah privasi orang lain."

Kemudian dia pergi, meninggalkan Dowoon yang masih berusaha mencerna situasi. Begitu suara langkah Younghyun memudar dari anak tangga, Dowoon sadar apa yang terjadi.

Dia menatap pergelangan tangannya yang sebelumnya dicengkram Younghyun. Ada jejak darah tipis melingkar di tangannya bagai gelang.

Mungkin senior berandalan itu tak seburuk yang dirumorkan orang-orang.

.


.

.

Ketika mereka bertemu di atap lagi, Younghyun tampak lebih parah dari terakhir kali. Dowoon tidak tahu kenapa pemuda itu memilih atap sebagai tempatnya sembunyi, dan bukannya ruang kesehatan karena dia jelas butuh perawatan. Luka bekas pertarungan di wajah dan tubuhnya tampak jelas.

Begitu Younghyun melihat Dowoon, dia mendengus tak suka.

"Kupikir sudah waktunya pulang sekolah. Apa yang kau lakukan di sini?"

Dowoon tidak menjawab, memilih menatap langit sore ketimbang wajah Younghyun. Younghyun tidak bertanya lagi, tapi dia juga tidak pergi. Pemuda itu menyeret tubuhnya, menyandarkan diri pada langkan. Dowoon berdiri di sampingnya, berpura-pura Younghyun tidak ada di sana.

"Ini."

Dowoon mengerutkan kening melihat sebotol susu pisang yang disodorkan Younghyun padanya.

"Bayaran karena aku mengganggu privasimu."

Meski ragu, Dowoon menerimanya. Mereka tidak bicara apa-apa lagi. Dowoon mengamati bagaimana matahari mulai tenggelam di horizon barat. Younghyun tertidur di dekat kakinya.

Keheningan di antara mereka terasa nyaman.

.


.

.

Esoknya, Dowoon mendapat masalah di sekolah. Dowoon telah berusaha sebisa mungkin untuk menjauhi keributan. Dia suka duduk tenang di kursi paling belakang, menikmati tidur lelap. Tentu saja, seorang kakak kelas tingkat kedua yang menendang mejanya bukanlah hal yang Dowoon harapkan.

Dowoon mendongak, bisa melihat wajah marah kakak kelasnya.

"Kau yang merayu Sihye?"

Dowoon ingin bertanya siapa Sihye yang dimaksud, tapi dia lebih dari tahu untuk tidak menambah masalah. Lagipula, Dowoon sudah menemukan jawaban dari gadis yang bersembunyi di balik punggung seniornya. Dia mengenali gadis itu sebagai gadis yang sama yang menyatakan cinta padanya di atap kemarin.

Dowoon kembali memandang wajah murka seniornya. Memastikan wajahnya terlihat sangat tidak tertarik, Dowoon mendengus. "Dia yang menyatakan cinta padaku."

Senior di depannya mendecak, tampak sangat ingin memukul Dowoon.

"Hentikan." Suara seorang gadis memecah situasi tegang. Dowoon menatap seorang gadis yang duduk paling depan, tampak kesal dengan keributan. "Dia bilang gadismu yang menyatakan cinta padanya. Jadi, tinggalkan dia, Sunbae."

Bagai mengamini, gadis-gadis lain di kelasnya mengangguk. Dowoon tidak terlalu suka dengan sekumpulan siswi yang mengikutinya seperti semut mengerubungi gula, tapi dia sangat berterima kasih kali ini.

"Aku telah mendengar banyak keluhan soal anak ini," bantah senior di depannya. Dia menatap Dowoon dengan pandangan jijik melintas di matanya. "Dia anak yang sangat sombong. Satu pukulan akan mengajarinya tentang sopan santun."

"Dia hampir tidak punya interaksi dengan orang lain," bantah gadis yang tadi membela Dowoon. "Dia punya dunianya sendiri. Aku yakin kalau bukan karena popularitasnya, kau bahkan tidak akan mengenalinya."

Dowoon sekarang ingat namanya. Park Sooyoung, satu dari beberapa gadis yang tidak tertarik dengannya. Dowoon kira gadis itu lebih suka dengan mimpi ambisiusnya sebagai manajer artis.

Senior di depannya tertawa kesal. "Apa sekarang semua junior tidak punya sopan santun?"

"Kaulah satu-satunya yang tidak punya sopan santun di sini." Dowoon memutuskan membela Sooyoung, dia tidak suka membuat orang lain kesulitan karenanya.

Senior itu tampak sangat murka, tatapannya berkilat penuh amarah. Dowoon siap untuk satu atau dua pukulan, tapi teriakan dari pintu menghentikan situasi apa pun yang hendak terjadi.

Kang Younghyun bersandar di pintu, tampak angkuh dengan dagu terangkat. Kedatangannya membuat senior tingkat dua yang sebelumnya bertingkah superior mendadak ciut. Semua orang tahu untuk tidak mencari masalah dengan Younghyun.

"Tinggalkan dia," desis Younghyun. Matanya menajam, suaranya seolah menolak bantahan.

"Younghyun Sunbaenim, tapi-"

Younghyun berdecak, berjalan masuk ke dalam kelas. Dowoon memperhatikan botol kuning di tangannya. Younghyun meletakkan sebotol susu pisang di atas meja Dowoon dengan bantingan keras, lalu menatap tajam ke sekeliling.

"Anak ini ada di bawah pengawasanku," katanya, ada nada mengancam pada suara dan tatapan matanya yang membuat orang-orang meneguk ludah. "Jika seseorang mencari masalah dengannya, berarti mereka akan menghadapiku."

Younghyun memiringkan kepala, menatap gadis sumber masalah yang kini bersembunyi di belakang pacarnya.

"Bahkan jika kalian perempuan, cobalah untuk menghargai privasi orang lain. Jangan berkeliaran di sisinya seperti lalat. Ketika seseorang mengatakan tidak, artinya hanyalah tidak." Younghyun menekan suaranya. "Sama sekali tidak."

Dowoon menatap Younghyun dengan terpana. Seakan ada sinar benderang di sekeliling pemuda itu. Younghyun tampak seperti matahari.

.

.

.

"Nah, melamun lagi."

Dowoon tersentak saat Younghyun menjentikkan jari di depannya. Dowoon tersadar kalau sedari tadi, dia melamun di jalan pulang.

"Kau bicara apa tadi?"

Younghyun memutar bola mata. "Kubilang aku melihat drum set di kamarmu, kau tidak memainkannya?"

Dowoon mengerutkan kening. "Kapan kau masuk ke kamarku?"

"Um, saat aku ke kamar mandi?"

Dowoon menyipitkan matanya dengan curiga. Younghyun berkerlip polos, seolah-olah dirinya tidak menyembunyikan apa pun. Menyerah, Dowoon menganggukkan kepala.

"Drum sangat baik untuk melampiaskan emosi," katanya. Dowoon mengangkat bahunya, berusaha terlihat tidak tertarik. "Itu hanya hobi."

Seharusnya Dowoon lebih dari tahu kalau Kang Younghyun tidak bisa dibohongi dengan mudah. Pemuda itu telah mengembangkan kemampuan baru selain makan dan berkelahi, yaitu mengetahui jika Dowoon tengah menyembunyikan sesuatu.

"Tidak mungkin," katanya sangsi. "Jika itu hanya hobi, aku tidak akan melihat set lengkap, miniatur drum mini, kumpulan buku tentang drum, dan poster drummer band terkenal."

Dowoon melotot. "Kau menggeledah kamarku!" tuduhnya. Tidak, ini bukan tuduhan lagi. "Kau benar-benar menggeledah kamarku. Ingat siapa yang bicara soal privasi?"

"Duh, aku sangat bahagia kau masih ingat pertemuan pertama kita."

"Jangan membelokkan pembicaraan!"

"Baik, baik!" Younghyun mengangkat tangannya, menyerah. "Aku tidak menggeledah kamarmu. Aku hanya punya radar yang bagus untuk musik."

Dowoon mengerutkan keningnya, terang-terangan memasang wajah ragu. "Pembelaan macam apa itu?"

"Kau tidak percaya?" Younghyun merogoh tasnya, mengeluarkan sebotol susu pisang dan secarik kertas. "Coba datang ke sini pekan besok. Aku mau kerja sambilan dulu, dah!"

Younghyun melambaikan tangannya, berlari masuk ke dalam minimarket tempatnya bekerja. Dowoon yang ditinggalkan sendirian menatap alamat yang tertulis dalam secarik kertas di tangannya.

.

.

.

Dowoon berdiri di depan bangunan bertingkat dua, memastikan alamat di tangannya sama dengan bangunan di depannya sekarang. Dowoon mengerutkan kening, tidak mengerti kenapa Younghyun Hyung memintanya datang ke ... agen real estate?

"Hei, apa kau temannya Younghyun Hyung?"

Dowoon berbalik, menemukan seorang pemuda dengan pakaian kasual tersenyum ramah padanya. Wajahnya tampan, dan dia tampak seperti baru saja keluar dari majalah. Dowoon bertanya-tanya bagaimana Younghyun mengenal pemuda yang tampak seperti model dan penampilan anak baik-baik. Younghyun terus membuatnya terkejut.

"Permisi?" Pemuda itu melambaikan tangannya di depan wajah Dowoon, tersenyum geli begitu Dowoon tersentak. "Namamu Dowoon, bukan? Aku Wonpil, satu tingkat di atasmu. Younghyun Hyung banyak bercerita tentangmu," katanya.

"Uh, dia memintaku datang ke sini." Dowoon tersenyum dengan kaku, menjadi tipe penyendiri di sekolah telah membuat kemampuan sosialnya berkarat. "Apa kalian bekerja di kantor real estate?"

Wonpil terkejut. "Apa? Tidak." Dia tertawa, dan Dowoon hampir tertular tawanya yang cerah. "Di lantai atas ada studio musik."

"Ah, begitu." Dowoon menggaruk kepala belakangnya dengan canggung. Sekarang dia mengerti apa yang dimaksud Younghyun dengan radar bagus untuk musik.

Wonpil tersenyum, menarik tangannya dengan santai seolah mereka adalah kawan lama. "Ayo masuk."

Wonpil membawanya menaiki tangga, sampai ke sebuah ruangan yang mungkin seluas kamarnya. Ada peralatan musik yang lengkap untuk membuat sebuah band, dan Younghyun duduk di lantai. Asbak berisi puntung rokok ada di dekat kakinya, buku terbuka di tangannya. Younghyun mendongak, tersenyum begitu melihat Dowoon datang bersama Wonpil.

"Hei, kau datang," katanya dengan suara serak.

"Kau tampak parah," komentar Dowoon. Dia memperhatikan lingkaran hitam di kelopak Younghyun, tampak seperti memar. Lalu, puntung rokok yang penuh di asbaknya. Dowoon meneguk ludah. Dia tahu Younghyun merokok, tapi tidak pernah begitu banyak. "Kenapa kau menyuruhku ke sini?"

Younghyun tidak menjawab. Dia menutup bukunya dan berdiri, meletakkan buku dan asbak di atas meja tinggi di sudut ruangan. Wonpil telah bergerak ke depan keyboard, tampak sangat serius. Younghyun tidak mengambil alat musik apa pun, tapi dia mengambil tempat di samping Wonpil.

Dowoon menyandarkan pinggangnya pada pinggir meja dan bersedekap. Younghyun menyeringai padanya. Jari-jari Wonpil mulai menekan tuts, menyenandungkan nada-nada yang terdengar sepi. Ketika bait pertama dinyanyikan, Dowoon harus mengakui kalau suara Wonpil sangat bagus dan khas.

Dowoon tidak tahu makna pasti dari lagu yang didengarnya, dia bahkan tidak tau judulnya. Namun, liriknya terdengar seperti rasa kesepian yang putus asa. Dowoon memperhatikan Younghyun yang hanya diam, belum mengambil bagian dalam lagu. Tangan Dowoon mencengkeram pinggiran meja, menahan diri untuk tidak menciptakan ketukan yang kini menari-nari di kepalanya.

Ketika nyanyian mereka memuncaki reff, Younghyun mengambil nada tinggi, menjeritkan lirik frustasi dengan jernih dan memukau. Dowoon terkesima, menyadari sekarang musik berubah lebih cepat, bagai menyesuaikan diri dengan vokal kuat Younghyun. Dowoon harus menahan diri untuk tidak berlari ke arah drum yang terletak di belakang Wonpil. Tangannya gatal untuk menciptakan ritme, membuat musik terdengar lebih kuat.

Suara Younghyun memelan, dan matanya lurus menatap Dowoon. Dowoon merasa Younghyun bicara padanya lewat lagu yang dia nyanyikan. Younghyun dan Wonpil, keduanya bersinar bagai matahari kembar. Dowoon bisa membayangkan cahaya benderang di belakang mereka.

Wonpil kembali bernyanyi. Suaranya terdengar sama bagusnya dengan sebelumya, tapi dengan tambahan getaran pasrah pada tatapan matanya. Dowoon bersumpah kalau Wonpil memiliki penjiwaan yang sangat bagus, emosi tertuang dalam suaranya, tumpah ruah seakan lama dipendam.

Kemudian, Younghyun kembali bernyanyi, berteriak dalam nada terkontrol. Dowoon bisa merasakan jeritan keputusasaan pada suaranya, seperti mendengar seseorang yang memohon pertolongan.

Dowoon merasa emosinya kacau, diaduk dalam nada-nada yang disuarakan Younghyun dan Wonpil. Ketika lagu berakhir, dia tidak dapat menahan diri untuk tidak bertepuk tangan.

Younghyun tersenyum, terlihat sedikit malu dengan pujian Dowoon. "Apa terdengar bagus?" tanyanya.

"Sangat." Dowoon berkata dengan sungguh-sungguh. "Lagunya sudah sangat bagus. Hanya saja, aku membayangkan beberapa tambahan. Vokalmu akan sangat bagus jika kita menggabungkannya dengan ritme yang tepat. Musiknya bisa terdengar lebih hidup, lebih menghentak. Aku bisa membayangkannya terdengar lebih kuat, tapi juga sedih pada saat yang bersamaan. Bagai teriakan frustasi."

Dowoon menutup mulutnya begitu sadar dia sudah terlalu banyak bicara. Younghyun dan Wonpil menatapnya dengan pandangan terpana.

"Uh, mungkin aku terlalu banyak bicara."

"Tidak," sahut Younghyun. Dia tersenyum, kepuasan mengalir pada tatapannya. "Aku senang aku ternyata benar soal kecintaanmu pada drum dan musik. Itu yang ingin kau tambahkan, bukan? Ritme."

Wonpil yang duduk di samping Younghyun mengangguk. "Kau terlihat seperti akan berlari ke drum di belakangku kapan saja. Bung, kau harus lihat dirimu saat kami bernyanyi tadi."

Dowoon merasa kedua telinganya menghangat begitu Younghyun dan Wonpil berbagi tawa geli.

"Dowoon," panggil Younghyun.

"Ya?"

"Aku tidak menyangka kau agak puitis."

"Tutup mulutmu."

.

.

.

Kehadiran Younghyun bagai matahari. Dowoon sama sekali tidak punya ide bahwa suatu saat, dia akan sedekat ini dengan Younghyun. Younghyun membawa banyak hal baru dalam hidup Dowoon. Dia seperti cahaya yang menerangi hari-hari Dowoon yang membosankan. Kehidupan sekolah terasa lebih berwarna dan menyenangkan sejak kehadiran pemuda itu. Namun, Dowoon lupa kalau matahari akan tenggelam di penghujung hari. Cahayanya akan meredup, lalu lenyap di ufuk barat. Digantikan oleh kegelapan malam yang sepi.

Dowoon pertama kali melihat cahaya Younghyun meredup saat Dowoon mengunjunginya di minimarket tempat Younghyun bekerja. Mereka duduk di kursi yang tersedia di depan minimarket. Shift Younghyun telah berakhir, digantikan seorang gadis yang Dowoon lupa namanya.

"Malam ini sangat gelap."

Dowoon menoleh. Younghyun tengah menatap langit malam, rokok dijepit di bibirnya. Dia menghisap pangkal rokok, begitu dalam hingga Dowoon khawatir pemuda itu akan tersedak. Ketika Younghyun menarik rokok dari mulutnya, asap berembus keluar, membentuk gumpalan putih pekat yang dengan cepat memudar.

Dowoon melirik puntung rokok di dalam bekas botol susu yang telah kosong. Terlalu banyak. Dowoon mengerutkan kening, menatap Younghyun lagi.

"Kenapa kau merokok?" Dia bertanya.

Younghyun meliriknya dari ujung mata. Seringai miring mekar di wajahnya. "Bukankah kita semua butuh pengalihan? Dari rasa sakit tentang betapa kejamnya dunia ini."

Dowoon meneguk ludahnya, berusaha tak terpengaruh dengan kalimat depresif barusan. "Lalu, kenapa kau merokok sangat cepat?"

Seolah kau ingin mati, Dowoon melanjutkan dalam hati.

Younghyun kembali menghisap rokoknya, kali ini lebih lama. Dowoon mengamati bagaimana bara merambat membakar ujung rokok, membakar lebih cepat begitu Younghyun menghisapnya. Younghyun mendesah, mengembuskan asap dari mulutnya. Seolah-olah dia tengah mengeluarkan rasa sakitnya bersama embusan asap beracun itu.

"Kau sudah tahu, bukan?" Younghyun balik bertanya, Dowoon hanya menatapnya. "Aku berharap rasa sakitku hilang, selekas bara yang merambati rokok ini. Aku ingin semua perasaan yang mengikat dadaku memudar bersama asap yang keluar dari mulutku."

Dowoon tidak menjawab. Dia memandang sisa puntung rokok di dalam botol. "Kau tahu merokok membunuhmu, bukan?"

Terdengar tawa getir dari pemuda di depannya. "Kehidupan sudah lama membunuhku, jauh lebih beracun ketimbang rokok."

.

.

.

Hari demi hari, Dowoon menyadari cahaya Younghyun makin meredup. Bagai matahari yang sebentar lagi tenggelam di kaki langit. Younghyun semakin sering mengatakan kalimat-kalimat yang membuat jantung Dowoon mencelos.

"Dari waktu ke waktu, semuanya semakin menyiksaku. Aku merasakan beban di dadaku ketika aku melakukan hal-hal kecil seperti berpakaian, pergi bekerja, atau berjalan. Bahkan tiap tarikan napas terasa begitu sesak, begitu berat."

"Bagaimana rasanya kematian? Mungkin bebas. Hidup adalah penjara, lilitan rasa sakit, kungkungan sesak. Kematian terlihat mudah, hidup terlalu sulit."

"Kadangkala, aku berpikir, akankah semuanya lebih baik jika aku menghilang? Aku mungkin seharusnya menghilang saja."

Dowoon tidak bisa melakukan apa-apa. Tidak ketika Younghyun terus menolak bantuannya entah secara halus atau kasar. Tidak ketika Younghyun selalu membuat batas antara dirinya dan orang lain. Tidak ketika pemikiran-pemikiran mengerikan itu seolah ditanam dalam dasar kepalanya, bagai tak dapat dihapuskan.

Younghyun sering menghilang, tapi kali ini terlalu lama, berhari-hari. Dowoon tidak bisa menemuinya di manapun, bahkan di studio tempat Younghyun dan Wonpil biasa menghabiskan waktu.

"Kau tahu betapa berat kehidupannya, bukan?" Wonpil bertanya saat Dowoon mampir ke studio untuk mencari Younghyun.

Dowoon mengangguk. Dia lumayan tahu soal masalah hidup Younghyun. Keluarga yang kacau, kekerasan dalam tempat yang disebut rumah, harus bekerja keras demi menyambung hidup. Hidup seolah didesain untuk menghancurkannya. Tidak heran Younghyun pernah bilang dia tidak akan masuk universitas.

"Mungkin dia butuh waktu untuk sendirian."

Dowoon menatap sudut ruangan di mana Younghyun biasa duduk berjam-jam, membuat lagu baru.

"Bagaimana kita bisa menolongnya?" Dowoon bertanya.

"Aku tidak tahu apa yang bisa kita lakukan jika dia selalu menolak bantuan kita."

Dowoon menoleh pada Wonpil. Pemuda itu mendongak, menahan air matanya agar tidak jatuh. Dowoon bisa melihat rasa bersalah yang kuat.

"Hyung menyelamatkanku. Dia membuatku kembali mencintai musik saat aku hampir menyerah." Wonpil mengigit bibir bawahnya. Dia memejamkan mata, air mata lolos tanpa bisa ditahan. "Tapi aku tidak bisa melakukan apa pun saat dia butuh bantuan."

Dowooon juga merasakan hal yang sama dengan Wonpil.

.

.

.

"Younghyun sudah lama tidak masuk." Gadis yang menjadi rekan kerja Younghyun menjawab pertanyaan Dowoon dengan wajah sedih. Dowoon ingat namanya, Kim Jieun. "Bos sudah menemukan pengganti untuknya."

"Apa kau tahu cara untuk menghubunginya?"

Jieun menggeleng. "Dia tidak menjawab panggilan. Dia juga tidak ada di rumah."

Dowoon merasa putus asa. Younghyun benar-benar tidak ada di mana pun. Dia seolah lenyap tanpa jejak. Jieun mendorong sebotol susu pisang ke arah Dowoon.

"Kau suka itu, kan? Younghyun selalu memberikanmu itu tiap kali kau kesini." Jieun menunduk, Dowoon tidak bisa melihat matanya. "Tolong hubungi aku jika kau menemukannya."

Kemudian, Jieun mendongak, dan Dowoon sadar kalau mata yang basah itu penuh kekhawatiran. Bukan sekadar khawatir pada rekan kerja. Jieun menyukai Younghyun, sangat. Mungkin Younghyun juga matahari baginya.

.

.

.

Seseorang menekan bel rumahnya. Dowoon keluar dan menemukan sesuatu di depan pintu rumahnya. Sebotol susu pisang, buku yang terlihat familiar, dan kotak kecil berisi kamera. Ada tulisan kecil di atas kotak.

Aku akan ada di sisimu saat matahari tenggelam.

PS : Ulang tahunmu memang masih lama, tapi terimalah hadiah ini karena aku telah (secara tidak sengaja) melihat obsesimu pada film.

Dowoon mengenali tulisannya. Dia juga tahu siapa yang mengirimkan benda-benda ini ke rumahnya. Dia berlari ke luar, tidak menemukan siapapun yang seharusnya mengirimkan benda-benda ini untuknya. Entah kenapa, perasaannya tidak enak.

.

.

.

Ponselnya berbunyi ketika Dowoon sedang bermain drum. Dowoon segera meletakkan kedua stik drumnya dan mengangkat panggilan. Begitu mendengar suara Wonpil yang bercampur isak tangis dan memahami kalimatnya, Dowoon merasa dunianya hancur seketika.

Pikiran Dowoon kalut ketika dia berlari keluar dan mencari taksi, meminta supirnya agar mengemudi secepat mungkin.

Younghyun bunuh diri.

Dia terjun dari jembatan. Tubuhnya ditemukan pada pagi hari, sudah pucat dan tidak bernyawa.

Dowoon menatap mayat yang terbujur kaku di depannya. Wonpil menangis di sampingnya, tersedu dan memeluk mayat Younghyun. Dowoon merasa jiwanya ditarik pergi tiba-tiba, dia hanya berdiri tanpa mengatakan apa pun. Masih berusaha menerima kenyataan bahwa Younghyun benar-benar pergi.

Betapapun Dowoon berusaha menyangkal, mayat Younghyun ada di depan matanya. Terbaring kesepian. Jantungnya tak lagi berdetak, darah tak lagi mengalir di nadinya. Dia benar-benar pergi, memilih membebaskan rasa sakitnya dengan mengakhiri nyawanya sendiri.

Entah berapa lama kemudian, Dowoon berlari keluar. Sesak telah mencengkram dadanya, membuat napasnya begitu sulit. Air mata turun begitu saja. Menetes semakin deras. Dowoon mengusap matanya, menatap matahari yang redup dari jendela. Cahaya keemasan itu memudar di ujung lautan.

Mataharinya, Younghyun, telah tenggelam. Hilang dan digantikan kegelapan.

Dowoon menatap kedua tangannya. Tangannya mulai gemetar. Kemudian, rantai bernama penyesalan dan rasa bersalah membelit tubuhnya kuat-kuat.

.

.

.

Dowoon mematahkan stik drumnya lagi. Kesal, dia membanting stik drum yang tersisa pada simbal, menciptakan bunyi nyaring yang memekakkan telinga. Dowoon mengepalkan kedua tangannya yang gemetar. Dia memilih meninggalkan drum set, melangkah mendekati meja belajarnya. Dowoon menatap bergantian pada sebungkus rokok dan pemantik di dalam laci, lalu pada tangannya yang gemetar. Dowoon memutuskan membawa kedua benda di dalam laci ke atap. Itu tempat favoritnya dari semua tempat sunyi di rumah ini. Orang tuanya telah membuat semacam taman dengan kursi dan meja di rooftop.

Dowoon meletakkan rokok dan pemantik di atas meja. Dia tidak ingat sejak kapan rokok itu ada di lacinya. Dowoon hanya ingat kalau itu punya Younghyun. Dowoon mengambilnya diam-diam saat Younghyun berkunjung ke rumahnya. Dia hanya ingin membuat Younghyun mengurangi kebiasaan rokoknya. Lucunya, sekarang Dowoon membuka rokok yang sama, menarik keluar sebatang dan menyalakannya.

Rasa manis yang samar di awal cukup membantu, tapi Dowoon tidak suka kepahitan yang kemudian lebih mendominasi. Meski begitu, dia tetap memaksakan diri untuk menghabiskan sebatang rokok, walau dia mulai batuk-batuk saat pertama kali mengisapnya. Walau rasanya napasnya sesak dan matanya panas karena asap.

Dowoon menengadah, menatap langit malam yang agak berawan. Cahaya bulan mengintip, tampak samar di balik awan tipis. Dowoon mengembuskan napas panjang, asap rokok menutupi pandangannya.

Aku akan ada di sisimu saat matahari tenggelam.

Tanpa bisa dicegah, tulisan dalam buku Younghyun mengalir di benaknya. Rasanya bagai membuka cedera lama, karena semua lirik lagu dan puisi yang ditulis Younghyun hanya membuat Dowoon semakin merasa bersalah. Sebagian besar liriknya bercerita tentang kehidupan keras yang dijalani Younghyun. Jerit putus asa, isak tangis, kerinduan, rasa sakit, dan semua emosi lainnya disampaikan dengan apik pada rangkaian kata-kata.

Dowoon ingin menampar dirinya. Dia selalu menganggap Younghyun sebagai matahari, karena pemuda itu selalu tampak bercahaya. Dia menerangi kehidupan orang-orang di sekitarnya. Dowoon, Wonpil, dan Jieun. Hanya saja, tidak ada yang tahu kalau sang Matahari terlalu hebat bersembunyi. Di penghujung hari, dia tenggelam dalam kegelapan. Cahayanya memudar menjadi lingkaran kesepian yang membunuh. Younghyun menanggung sendirian semua rasa sakit hingga akhirnya dia menyerah dan-

Dowoon mencabut sebatang rokok lagi, segera menyulutnya. Dia mengamati bagaimana bara perlahan merambat, melahap ujung rokok hingga menjadi abu. Dowoon menjepit rokok di antara celah bibirnya, menghisapnya kuat-kuat. Dia kembali menengadah, menatap kegelapan langit malam. Dowoon mengembuskan asap rokoknya, membiarkan kabut samar melintas di depannya dan kemudian menghilang.

Dowoon membayangkan Younghyun sendirian di bawah sinar bulan. Hanya angin dingin yang menemaninya di malam saat dia memutuskan mengakhiri hidupnya. Dowoon memikirkan dengan sedih tentang tubuh Younghyun yang terbenam ke dasar perairan dingin. Tidak ada yang menolongnya. Dia mati dalam kesendirian. Mataharinya tenggelam dalam lautan putus asa, kesepian. Kematian yang menyedihkan tidak pantas untuknya. Younghyun bahkan masih sangat muda, kenapa dia memutuskan untuk bunuh diri?

Kedua tangan Dowoon mulai gemetaran lagi. Dowoon membuang rokoknya, meludahi sisa kepahitan yang masih dicecap lidahnya. Perasaan bersalah itu mengekangnya bagai rantai. Membuat langkahnya berat, membuat tarikan napas terasa sesak.

Dowoon menatap botol susu pisang di atas meja. Dia meninggalkannya di sana tadi siang. Dowoon mengigit bibir bawahnya, mengingat wajah Younghyun saat pertama kali memberikan minuman itu padanya. Kali pertama dia menerima uluran pertemanan orang yang kini meninggalkannya begitu saja.

Dibelit kerinduan, dicengkeram perasaan bersalah, dihukum dalam dunia gelap di mana tidak ada matahari di dalamnya.

"Aku benci kau, Hyung."

.

.

.

A/N

Oke, chapter ini mungkin yang paling dark ya sejauh ini? Dan serius, aku kesulitan juga buat bab yang satu ini. Gimana ya? Memadukan sisi gelap Younghyun sambil pelan-pelan jelasin alasan di balik luka Dowoon ternyata sesusah itu. Aku tau part kali ini cukup sensitif, mungkin amat sangat sensitif. Aku bikin penjelasan buat lebih mencerahkan, ya.

Di sini, aku gak bicara dari sisi orang yang bunuh diri (dan serius, pengetahuan aku masih terbatas soal itu dan gak berani sembarang ngomong soal pilihan seseorang terkait hal itu) tapi aku mau bercerita soal efek suicidal ini ke orang-orang yang ditinggalkan, terutama yang terdekat. Orang-orang seperti Dowoon, Wonpil, atau Jieun, itu namanya penyintas kehilangan bunuh diri. Mereka orang-orang terdekat seperti keluarga atau teman dari seseorang yang bunuh diri, atau terpengaruh sama tindakan itu.

Penjelasan lebih lanjut bisa dicek di;

https://www.intothelightid.org/tentang-bunuh-diri/mengenal-penyintas-kehilangan-bunuh-diri-dan-suicide-postvention/

Efek bunuh diri Younghyun ke Dowoon sebesar itu. Sebab bagi Dowoon, Younghyun itu mataharinya. Dia orang yang narik Dowoon keluar dari dunianya yang sunyi dan monoton, bikin kecintaan Dowoon ke drum dan musik tersalurkan lagi, dan bikin hari-hari Dowoon lebih berwarna. Hal itu juga berlaku ke Wonpil, dan Jieun (meski aku gak nyeritain dari sisi mereka di sini)

Tapi ternyata Younghyun gak secerah yang terlihat di luar. Meski dia banyak berpengaruh sama orang-orang terdekatnya, Younghyun sendiri tengah bertarung sama depresi berat di dalam kepalanya. Younghyun itu udah bener-bener di tepi jurang, gak peduli seberapa apik dia bisa nutupin itu, pada akhirnya mulai keliatan. Dan Younghyun ambil pilihan buat bunuh diri, ninggalin orang-orang yang dia sayang dan sayang sama dia. Matahari tenggelam di ujung lautan.

Waktu Younghyun pergi, dunia Dowoon langsung gelap, langsung runtuh seketika. Meski Younghyun udah ngasih tanda-tanda kalo dia depresi berat, Dowoon tetap kaget. Terlebih, cara kepergian Younghyun yang begitu. Terlalu tiba-tiba, terlalu sakit, dan norehin luka yang dalam di hati dia. Cara kepergian Younghyun juga ngebuat Dowoon dibelit perasaan bersalah yang kuat. Dia ngerasa itu salahnya karena gak cukup usaha buat bantu Younghyun tetap bertahan, salahnya karena meski Younghyun matahari buat Dowoon, Dowoon enggak berlaku sebaliknya buat Younghyun.

Dowoon marah. Marah ke Younghyun, marah ke dirinya sendiri. Dia juga terus dihantui perasaan bersalah dan bayang-bayang apa aja yang selama ini udah dilalui Younghyun sendirian, gimana Younghyun sampe mutusin buat terjun dari jembatan. Ini juga alasan kenapa Dowoon suka ngerokok malam-malam, punya insomnia berat, dan kadang-kadang tangannya gemetar. Kenapa pertanyaan sederhana dari Hansol soal drum dan susu pisang yang dikasih Yerim bikin Dowoon tiba-tiba down. Juga alasan kenapa Dowoon suka ngeliat matahari tenggelam atau kenapa dia punya sisi soft buat Hansol setelah tau masalahnya dari Sooyoung (Sooyoung juga tau masalah Younghyun dan separah apa efeknya ke Dowoon, nama Younghyun disebut di chapter pertama)

Dan lagi, dateng ke dunia ini bagai ngebuka luka lama. Dowoon gak sibuk, gak punya distraksi. Terlalu banyak waktu buat melamun, buat overthinking. Hansol dan Yerim gak tau apa-apa aja yang boleh dan gak boleh di sebut ke Dowoon, yang ngingetin dia ke Younghyun. Jadi, ketika pemicunya datang secara beruntun, Dowoon meledak, kalah lagi sama luka masa lalunya. Rantai rasa bersalah itu ngeremukin dia sekali lagi.

Serius, chapter ini bikin capek, tapi aku bangga berhasil nyeleseinnya.

Again, aku masih punya kekurangan dalam menggambarkan maksud aku dalam cerita ini, tapi terima kasih udah baca A/N ini✨

.

.

.

-side character unlocked

Kang Younghyun, The Sun :')


Kim Wonpil, Younghyun's old friend


Kim Jieun, Younghyun's partner


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top