5 : Thank You
ADA terlalu banyak malam di mana Dowoon terbangun dengan jeritan. Kali ini dia juga terbangun karena jeritan keras membuatnya tersentak dan menutup mulutnya dengan kedua tangan, nyaris mengira kalau jeritan itu berasal dari dirinya. Namun, suara jeritan itu masih terdengar. Dowoon menoleh dan menemukan Hansol menjerit dalam tidurnya.
Dowoon menyibak selimut hingga jatuh ke lantai dan melompat ke ranjang di sampingnya. Dia berusaha membangunkan Hansol, mengguncang lengannya dan meneriakkan nama laki-laki itu. Entah mimpi buruk apa yang dialami Hansol.
Hansol tersentak dan bangun dalam keadaan duduk. Matanya terbuka lebar dengan kengerian di bawah poni pirangnya yang acak-acakan. Dowoon bisa melihat kepanikan mulai merambat pada wajah Hansol. Dowoon mengangkat tangannya, hendak mengelus rambut laki-laki itu. Satu-satunya cara yang dia tahu bisa menenangkan Hansol saat dia mulai panik.
Namun, Hansol menepis tangannya yang bahkan belum mendarat di atas rambut pirang Hansol.
"Aku ingin pulang." Hansol bilang begitu dengan getar pada suaranya dan tatapannya yang tidak fokus.
Dowoon membasahi kerongkongannya yang kering karena baru bangun tidur. "Ke mana?" tanyanya dengan suara serak.
"Ke manapun selain di sini!"
Dowoon terkesiap, sisa kantuknya yang sebelumnya masih ada menguap seketika. Dia memandang Hansol dengan tatapan bingung.
"Kau pikir kita bisa seenaknya pergi dari sini?" Dowoon segera merutuki nada sinis pada suaranya. Demi apa pun, dia sungguh tidak berminat memulai pertengkaran konyol di pagi hari.
"Kenapa tidak?" tantang Hansol.
Dowoon menahan diri untuk tidak membenturkan kepala laki-laki di depannya ke tanah. "Karena kita tidak bisa. Sial! Memang kau tahu cara untuk kembali?" Melihat Hansol terdiam membuat Dowoon semakin gencar menyudutkannya. "Aku tanya sekali lagi, memang kau tahu cara untuk kembali pada kehidupan superstar gemerlapmu itu? Tidak, bukan? Karena itu hadapi saja! Peramal sinting kemarin bilang kita tidak akan kembali sebelum mencapai ujung perjalanan ini saat kau tiba-tiba pergi keluar."
"Jangan mengomentari hidupku," tukas Hansol tajam. "Kau tidak tahu apa-apa soal kehidupan superstar gemerlapku."
Dowoon tahu sudah saatnya dia berhenti, tapi lidah kurang ajarnya sulit diam. Dia lelah dan sangat mengantuk, juga pusing. Otaknya belum benar-benar berjalan.
"Benarkah? Kalau begitu, jangan bersikap seperti aktor manja yang pilih-pilih peran." Dowoon sepenuhnya yakin wajahnya pasti sudah berubah menyebalkan sekarang.
Kemarahan Hansol tampaknya sudah pada batasnya, karena laki-laki itu maju dan mencengkeram kerah kemeja Dowoon. "Kau bukan sutradara yang mengatur bagaimana aku bersikap. Ini bahkan bukan film!"
"Maka jangan berakting!" Dowoon menatap bola mata coklat Hansol yang bergetar. "Tidak perlu bersikap seolah kau ada di depan kamera. Jujur saja pada apa yang kau rasakan."
Cengkeraman Hansol pada kerah kemeja Dowoon melonggar. "Kau tidak mengerti," katanya. "Kau tidak akan pernah mengerti."
"Kalau begitu, buat aku mengerti." Dowoon menurunkan suaranya. "Buat aku dan Yerim mengerti. Kami tidak akan bisa paham jika kau hanya terus berpura-pura."
Tarikan kuat Hansol pada kerah kemejanya membuat Dowoon pusing, tapi dia tetap memaksa menatap kedua mata Hansol yang terlihat marah.
"Aku akan jadi beban, kau tahu? Aku hanya akan jadi beban jika aku bercerita. Semuanya hanya akan semakin sulit jika aku mengeluarkan emosiku!"
"Tidak." Dowoon menahan diri untuk tidak meninju Hansol. "Kau bahkan belum mencoba bercerita. Kau yang diam, itulah yang membuat segalanya makin sulit bagi kami."
"Semuanya tidak sesederhana itu."
Dowoon mengerang, dia makin kesal. "Lalu apa?" tuntutnya. "Kau mau terus seperti ini? Terjebak dalam ketakutan dan nyaris mati tiap kali emosimu menumpuk atau perasaan cemasmu datang? Kau mau terus hidup seperti itu?! KAU SENANG?!"
"SIAPA YANG SENANG?!" Hansol berteriak tepat di depan wajah Dowoon, menatapnya dengan pandangan marah bercampur luka. Suaranya memelan, hampir terdengar putus asa. "Siapa yang senang hidup dalam kegelapan, dibelit perasaan sesak dan nyaris mati tiap kali perasaan itu datang? Siapa yang senang punya emosi kacau? Aku juga tidak mau. Tapi kau pikir keluar dari lubang semudah itu?"
"Mulailah dengan memperbaiki manajemen emosimu yang buruk." Dowoon bernapas dengan lelah, pandangannya mulai buram. Dia benar-benar kurang istirahat. "Marahlah ketika kau mau, katakan jika kau tidak setuju. Tidak ada yang memalukan tentang merasakan sesuatu."
"Kau sungguh tidak mengerti."
Dowoon benar-benar lelah sekarang, tangannya mengepal dan terangkat. "Apa kau perlu dihajar agar berhenti mengatakan itu? Kubilang buat aku mengerti, buat aku dan Yerim mengerti!"
Sebelum Dowoon benar-benar menghajar Hansol, pintu terbuka dan Yerim berdiri di ambang pintu dengan wajah terkejut bercampur ngeri. Dia memandang Hansol dan Dowoon bergantian. Ketika pandangan Yerim jatuh pada Dowoon, Dowoon merasa makin pusing dan kegelapan menghampirinya.
***
Dowoon merasakan sesuatu yang basah menempel di keningnya. Dia berjuang keras untuk dapat membuka mata, yang akhirnya berhasil setelah tiga kali percobaan. Apa yang pertama dilihatnya adalah pemandangan buram langit-langit ruangan. Dia memejam sejenak, mengumpulkan kesadaran. Ketika matanya kembali terbuka, langit-langit ruangan mulai terlihat jelas di matanya. Dowoon meraba dahinya, menyingkirkan kain basah dari dahinya. Dowoon memaksa tubuhnya duduk di atas ranjang.
Pintu terbuka, Yerim berdiri di ambang pintu dengan membawa nampan berisi makanan. Yerim menutup pintu dan segera mendekat.
"Kau sudah bangun?" tanyanya dengan khawatir. Dia meletakkan nampan di atas meja kecil di samping ranjang dan meletakkan telapak tangannya di dahi Dowoon. "Demammu turun."
"Aku haus." Dowoon mengelus lehernya.
Yerim menyodorkan segelas air, yang langsung diterima Dowoon dan dihabiskannya dalam sekali teguk. Dowoon memberikan gelas kosongnya pada Yerim.
"Di mana dia?" tanya Dowoon saat Yerim baru duduk di ranjang satunya lagi.
"Siapa?"
"Kau tahu siapa."
Dowoon berpura-pura tidak melihat tatapan menyelidik Yerim. Yerim menghela napas, menyingkirkan helai anak rambutnya ke belakang telinga. "Hansol Oppa pergi mengemudi, aku tidak tahu ke mana. Dia bilang akan membeli perbekalan tambahan."
Dowoon memasang wajah cemberut. "Dia bahkan tidak menungguku bangun?"
Wajah Yerim jelas menunjukkan indikasi geli. "Kalian benar-benar menggemaskan. Jangan sedih, Oppa. Hansol benar-benar panik saat kau tiba-tiba pingsan di tengah perkelahian kalian."
"Kami tidak berkelahi!" Dowoon menyangkal dengan cepat. Yerim menatapnya dengan mata menyipit, membuat Dowoon merasa tengah tertangkap basah berbohong. Dia kan tidak berbohong. "Oke, kami mungkin beradu argumen, tapi kami tidak berkelahi."
"Apa mataku salah saat kulihat Hansol Oppa mencengkeram kerah kemejamu dan kau hampir memukulnya?"
"Itu kan tidak terjadi! Aku tidak sampai memukulnya." Dowoon memelankan suaranya, menciut di bawah tatapan tajam Yerim. "Meski aku memang berniat begitu. Tapi itu karena dia sangat menyebalkan dan aku tidak tahan melihatnya seperti itu. Aku tidak mau dia kembali kacau seperti saat di festival. Itu sangat mengerikan, Yerim."
Wajah Yerim berubah seperti dia telah menyadari sesuatu. "Jadi, dia kacau lagi tadi pagi dan kau marah padanya?"
"Aku hanya mengatakan padanya untuk bercerita."
"Oppa," panggil Yerim dengan hati-hati. "Kau tahu itu sebaiknya tidak dilakukan, bukan? Kita tidak bisa memaksanya, biarkan dia datang sendiri setelah dia yakin."
Dowoon menunduk, memain-mainkan ujung selimutnya. "Dia tiba-tiba marah, dan aku sedang sangat lelah untuk menenangkannya. Jadi, aku meladeni kemarahannya dan membiarkannya mengeluarkan isi hatinya, tapi dia terus bersikeras dengan pendapat kalau aku, kita, tidak akan mengerti dan dia tidak mau menjadi beban bagi kita berdua."
Ekspresi Yerim melunak, senyum pengertian terbit di wajahnya. "Dia hanya butuh sedikit waktu. Tapi kurasa memang tindakan bagus untuk memancing amarahnya keluar, Hansol terlalu berhati-hati."
"Dia seperti tidak percaya pada kita, dan itu membuatku tidak nyaman." Dowoon tanpa sadar sudah merajuk. "Kita terjebak di sini bertiga dan tidak bisa saling percaya? Ini ide buruk."
Yerim tertawa renyah, memandang Dowoon dengan kilat usil di matanya. "Jadi, kau percaya pada kami?"
"Bukankah kau juga percaya?" balas Dowoon tak mau kalah.
"Sejak awal."
Dowoon tersenyum mendengar balasan mantap Yerim. Dia menoleh dan mengamati langit kelam di balik jendela. Ternyata dia tidur seharian. Dowoon mulai khawatir dengan Hansol. Di mana laki-laki itu selarut ini? Bagaimana jika dia tiba-tiba meledak lagi dan tidak ada yang menolongnya?
Belum sempat Dowoon bertanya pada Yerim, pintu terbuka dan Hansol muncul sambil membawa sekantong belanjaan. Mulanya, dia hanya bergeming dan memandang Dowoon tanpa berkedip. Dowoon sendiri bingung harus bereaksi apa selain balas memandang Hansol. Situasi di antara mereka tidak pernah secanggung ini sebelumnya. Untunglah Yerim menjadi penyelamat.
"Kau sudah pulang, Oppa?"
Hansol tersentak dan mengangguk dengan kaku. Dia menutup pintu dan berjalan masuk, meletakkan kantong belanjaannya di atas ranjang yang diduduki Yerim. Yerim segera memeriksa apa yang Hansol beli, sibuk dengan segala macam cemilan ringan yang ada di dalam kantung. Dowoon bertaruh Yerim sengaja membiarkannya terjebak dengan Hansol.
Hansol duduk di samping Yerim dan berdeham untuk mencuri perhatian Dowoon.
"Jadi, kau sudah merasa baikan?" tanya Hansol dengan kaku. Dia mengusap belakang lehernya dengan gugup.
"Sudah lebih baik dari sebelumnya," balas Dowoon tak kalah canggung. "Untuk yang tadi-"
"Aku minta maaf," potong Hansol. "Tidak seharusnya aku bersikap kekanak-kanakan dan melampiaskannya padamu, itu salahku."
"Aku juga minta maaf." Dowoon menarik napas panjang. "Seharusnya aku tidak mendorongmu terlalu jauh."
"Tidak masalah."
"Oke."
"Oke."
Mereka saling bertatapan lagi, lalu sama-sama membuang muka dengan canggung. Dowoon merasa bingung dengan suasana di antara mereka. Yerim sendiri tampak tidak berminat membantu. Dowoon bisa melihat bahu Yerim bergetar menahan tawa. Setan kecil satu itu. Dowoon akan memastikan membalasnya suatu saat nanti.
"Jangan seperti itu lagi."
Dowoon mengerjap bingung pada perkataan tiba-tiba Hansol dan tatapannya yang serius. "Seperti apa?"
"Tiba-tiba pingsan di tengah perdebatan kita, kau membuatku panik setengah mati."
Dowoon merasa ngeri. Astaga, dia membuat Hansol panik. Dowoon tahu betul bagaimana laki-laki itu ketika dia panik. "Maafkan aku," katanya. "Lain kali, aku akan memastikan diriku dalam kondisi sehat sebelum kita berdebat lagi."
Hansol terkekeh dengan humor payah Dowoon, bahkan Yerim yang berlagak tak mendengar turut mengeluarkan tawa pelan.
"Jadi, kau ke mana saja tadi?" tanya Dowoon mulai agak santai.
"Ke toko terdekat. Aku juga bicara dengan penjaga tokonya. Dia merekomendasikan sebuah kota bersalju di kaki bukit. Itu kota terdekat jika kita terus melaju ke arah selatan."
"Orang-orang di tempat ini selalu merekomendasikan sesuatu." Dowoon mendengus dan menyandarkan tubuhnya pada bantal yang telah dia susun. "Aku semakin yakin kalau kita hanya satu dari sekian banyak orang-orang yang garis takdirnya bersinggungan."
"Memang begitu kan?" Yerim akhirnya menyahut. "Bagi kita, ini mungkin sulit diterima begitu saja. Tapi bagi mereka, kasus kita hanya hal biasa. Seumum bernapas. Bagusnya mereka juga tidak keberatan membantu. Omong-omong, Hansol Oppa, kau tidak akan berbelanja lagi tanpaku."
"Kenapa?"
"Kau buang-buang uang." Yerim menunjuk Hansol dan memandangnya dengan tajam. "Isi kantong belanjaanmu didominasi coklat. Menurutmu kita akan bisa bertahan dengan coklat saja?"
"Aku juga membeli roti dan makanan lainnya. Aku bahkan membeli perlengkapan musim dingin, ada di mobil!" bela Hansol. "Dan semua orang suka coklat!"
"Ya, tapi tidak sebanyak ini. Kau mau menjadi budak coklat atau apa?"
Dowoon terkekeh dengan perdebatan dua orang di depannya. "Hei, aku sangat menikmati pertengkaran kalian. Tapi tidak bisakah seseorang menyuapiku bubur yang kelihatan lezat itu?"
"Kau kan bisa melakukan itu sendiri." Hansol menyipitkan matanya pada Dowoon. "Kau yang paling tua di sini tapi coba lihat betapa manjanya dirimu."
"Aku sedang sakit!"
"Tapi tidak lumpuh," tukas Hansol. Dia menoleh begitu Yerim beranjak dari ranjang. "Kau mau ke mana?"
"Mandi." Yerim membalas tanpa menoleh, lebih fokus menghampiri ranselnya yang diletakkan di dekat lemari.
"Ini pukul sebelas malam!" Hansol berseru tidak percaya. "Tidak ada yang mandi pukul sebelas malam, Yerim."
"Ada, aku." Yerim berbalik, memamerkan senyum menyebalkan di wajah cantiknya. "Aku mau mandi air hangat pukul sebelas malam."
Hansol membeliak. "Kau selalu punya kebiasaan aneh di waktu yang aneh. Beberapa orang memang punya kebiasaan seperti itu, tapi aku tetap tidak mengerti."
Yerim menimpali dengan tawa renyah, mulai mengambil baju ganti dari ranselnya. Hansol menoleh pada Dowoon. Dowoon segera memasang wajah penuh harap dan mata berbinar.
"Apa-apaan dengan wajahmu itu, Hyung?" tanya Hansol dengan ngeri.
Dowoon memberi kode berupa lirikan mata pada buburnya dan Hansol bergantian, lengkap dengan wajah merengut. Hansol tampak sangat kesal, tapi Dowoon tidak mau menghentikan aksi memelasnya.
"Baiklah! Akan kusuapi kau sampai tersedak." Hansol mengalah dan mengambil mangkuk bubur di atas nampan.
Dowoon berusaha keras menahan tawanya. Menggoda Hansol ternyata semenyenangkan ini, Dowoon harus melakukannya lebih sering.
~ ꫝ𝓲𝘳ꪖꫀ𝓽ꫝ ~
Ketika Yerim keluar dari kamar mandi, kedua laki-laki itu sudah terlelap di ranjang yang berbeda. Nampan berisi bubur dan segelas air pasti telah dikembalikan, karena benda-benda itu tak ada di manapun. Yerim melepas lilitan handuk pada kepalanya, membiarkan rambut sepundaknya yang masih lembap tergerai begitu saja. Yerim melirik jam di dekat pintu masuk, sudah pukul dua belas malam. Yerim memutuskan duduk di sofa dan membaca buku yang dibelikan Hansol.
Itu cerita tentang sekawanan pemburu yang terjebak di hutan aneh. Yerim baru selesai membaca bab pertama saat kantuk yang ditahannya sejak tadi tidak bisa dikalahkan lagi. Dia terlelap masih dengan buku terbuka.
Yerim terbangun karena merasakan dingin menyelimuti jari kakinya, dia menoleh dan mengerjap beberapa kali melihat cahaya dari arah balkon yang terbuka. Ada seseorang di sana. Yerim baru sadar kalau dia tidur di atas ranjang, seingatnya dia tertidur di sofa setelah membaca buku. Yerim menyingkirkan selimutnya yang berantakan. Pasti ada yang memindahkannya.
Yerim menoleh pada ranjang di sampingnya. Sosok berselimut tebal terbaring dengan rambut hitam acak-acakan menyembul. Pandangan Yerim beralih pada jam dinding di dekat pintu masuk. Pukul tiga pagi.
Yerim duduk dan mengumpulkan kesadaran. Lalu, dia turun dari ranjang dengan selimut membalut tubuhnya. Lantai yang dingin menyambut telapak kakinya yang telanjang. Yerim berjengit pada awalnya, tapi tetap memaksakan kakinya menuju balkon yang dia yakin telah dibuka oleh Hansol.
Yerim benar. Ada Hansol tengah berdiri membelakanginya. Lengannya bertumpu pada pagar balkon dan rambut pirangnya yang tampak pucat di bawah sinar bulan berkibar dengan lembut. Yerim tidak tahu sejak kapan punggung seseorang bisa terlihat begitu ... sedih.
Yerim merasa deja vu.
Dia terpaku selama beberapa saat, terpukau dengan apa yang dilihat matanya. Jika Dowoon menawarkan pemandangan depresif yang kacau tapi tetap memikat, Hansol memperlihatkan Yerim sebentuk keindahan yang rapuh. Mirip porselen cantik yang berserakan di atas lantai.
Punggungnya yang kokoh tampak seolah menanggung beban berat yang dia tahan sendirian sejak lama. Hansol berbalik dan mata mereka saling bertemu. Jarak di antara keduanya masih terpaut beberapa langkah, tapi Yerim langsung merasakan luapan kesedihan saat matanya bertemu dengan tatapan Hansol. Di bawah sepasang alis tebal, kedua matanya memancarkan kesenduan yang kuat.
Yerim ingin melarikan diri ke studio rahasianya sekarang. Mengambil peralatan melukisnya dan mencoret kanvas putih dengan warna-warna. Warna-warna kerapuhan yang dia lihat pada Hansol.
"Kau sudah bangun?"
Yerim mengalihkan pandang pada tirai yang melambai. Dia menyentuh rambutnya. Rambutnya sudah kering. "Ya. Apa kau mengeringkan rambutku?" Yerim kembali menatap wajah Hansol.
Hansol tersenyum, masih dengan sisa kesenduan pada wajahnya. "Kau tahu tidak baik tidur dengan rambut basah seperti itu. Kemarilah."
Hansol kembali memunggunginya. Yerim menarik napas sebelum menyeret kakinya mendekati Hansol. Selimut di tubuhnya terasa berat. Yerim tidak tahu kenapa.
"Kemarin Dowoon Oppa juga tidak bisa tidur dan merokok di balkon." Yerim memutuskan bercerita saat dia sudah berdiri di samping Hansol. Menatap pemandangan pantai yang kelam. Deru ombak terdengar dari kejauhan.
"Aku tahu dia sulit tidur dan aku mengajaknya bertengkar saat dia baru bangun dari tidur singkatnya." Hansol mengembuskan napas lelah. "Aku benar-benar bajingan."
Yerim tidak mengatakan apa-apa tentang itu. Baik Dowoon maupun Hansol, mereka berdua telah merasa sama-sama bersalah dan sudah berdamai. Seharusnya pembicaraan ini tidak perlu lagi.
"Aku menceritakannya pada Dowoon Hyung."
Yerim menoleh secara spontan, bertemu dengan sisi samping Hansol yang bahkan tampak memukau. Yerim tahu Hansol sangat tampan. Namun melihatnya dari jarak sedekat ini, laki-laki ini benar-benar mirip pangeran yang tersesat dari dunia dongeng.
"Menceritakan tentang apa yang membuatmu kabur dari stan ramalan?" tanya Yerim hati-hati.
"Ya." Jawaban singkat Hansol terdengar berat. "Apa kau juga mau mendengarnya?"
Yerim memikirkan apa yang dilakukan Dowoon ketika Hansol bercerita padanya. Mereka pasti berbincang saat Yerim sedang mandi. Yerim tidak yakin dia punya respons yang bagus untuk cerita Hansol. Akan tetapi, jika Hansol ingin bercerita, Yerim akan mendengarkannya.
"Jika kau mau."
Ada tarikan napas panjang sebelum kata-kata mengalir dari mulut Hansol. Yerim merasa tercekik dengan tiap kata yang dituturkan Hansol dengan sendu. Kadang-kadang, Hansol berhenti, terisak. Kadang-kadang dia bicara terlalu cepat, atau diam begitu lama. Yerim tetap mendengarkan, air mata meleleh di wajahnya.
Hansol dulunya punya keluarga yang hangat. Orang tua yang perhatian, adik kecil yang manis. Semuanya berubah dalam kedipan mata. Orang tuanya sibuk, tak pernah memperhatikannya selain untuk mencerca semua yang sudah dia perjuangkan mati-matian, mulai bertengkar dan sering melampiaskan kemarahan padanya.
Hansol kecil yang malang, Yerim mengiba di dalam hati.
Mengetahui perilaku orang tuanya berubah dalam sekejap, dipaksa beradaptasi dengan kebekuan di rumahnya sendiri, harus berdiri tegak demi membentengi adiknya dari tirani yang diciptakan orang tua mereka. Hansol yang tidak pernah punya kesempatan untuk bercerita apa yang dia rasakan. Hansol yang memendam semua lukanya dan tetap tersenyum, mengelus rambut adiknya dan meyakinkannya kalau semuanya akan baik-baik saja.
Lalu, ketika Hansol sudah muak dengan gunung rasa sakit yang berakar di hatinya. Ketika Hansol bahkan memutuskan pergi karena dia takut menyakiti keluarga yang telah melukainya terlampau dalam, dia masih dikekang luka. Dia dibuat bertanya-tanya seperti apa dirinya sebenarnya, dibuat merasa bersalah karena mengeluarkan emosinya.
Yerim ingin marah. Marah pada kedua orang tua Hansol yang mengerikan, marah pada Sofia yang egois dan tidak tahu seberapa banyak luka yang didapatkan Hansol untuk melindunginya. Marah pada Hansol yang tetap merasa semua ini salahnya. Demi apa pun, semua itu bukan salahnya. Bahkan keluarga Yerim, dengan semua didikan otoriter ayahnya dan tuntutan kakeknya, tidak pernah melakukan sesuatu semengerikan itu. Mereka membentuk mental Yerim agar menjadi sekokoh baja, bukan menghancurkannya seperti yang dilakukan keluarga Hansol.
Yerim bersyukur Hansol keluar dari rumah mengerikan itu dan bertemu teman sebaik Seungkwan. Setidaknya, keluarga Seungkwan tidak akan menyakiti mentalnya. Meski sulit untuk mengubah pemikiran yang bertahun-tahun sudah ditanam dalam otaknya. Yerim juga senang Hansol menemukan pelampiasannya dalam akting. Walau semua rasa sakit itu belum selesai. Karena Hansol masih merasa bahwa rasa sakitnya salah. Bahwa dia tidak harus merasakan itu, dan dia tidak boleh menunjukkan rasa sakitnya. Hansol masih merasa kalau dia tidak pantas mengutarakan perasaannya.
"Kau tahu tidak apa-apa untuk merasa marah, sedih, atau perasaan-perasaan lainnya." Yerim menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan gugup. Dia takut salah ucapan. "Semua emosi seperti itu adalah pertanda bahwa kita manusia."
"Ya," balas Hansol tanpa memandangnya. Hansol belum memandangnya sejak dia bercerita. "Dowoon Hyung juga mengatakan hal yang sama. Bahwa tidak apa-apa aku marah meski itu bukan untuk keperluan akting. Tidak apa-apa jika aku menyampaikan apa yang kurasakan. Karena aku manusia."
Yerim menghela napas lega karena Dowoon sudah melakukan tugasnya dengan baik. Sungguh, ini bukan perbincangan yang bisa mereka lakukan dalam keadaan begini. Di balkon suatu penginapan di tengah antah berantah. Pembicaraan mereka seharusnya dilakukan dengan orang yang sudah ahli, yang bisa mengerti apa yang salah pada Hansol dan mengambil langkah yang tepat untuk mengatasinya. Yerim bukan psikiater, dia juga tidak punya lisensi psikolog.
Jadi, Yerim merentangkan selimutnya dan berjinjit untuk menutupi punggung Hansol. Dia tidak tahu harus melakukan apa selain sebentuk dukungan bahwa setidaknya, Hansol tidak sendirian. Yerim ada di sampingnya.
"Oppa."
"Ya?"
"Terima kasih karena sudah bertahan."
Hansol kali ini memandangnya, dan ada jeda yang cukup lama sebelum matanya berubah dari terkejut menjadi lembut. Jarak mereka yang dekat membuat Yerim bisa melihat helai hitam di balik rambut pirang Hansol lebih jelas.
"Dowoon Hyung juga bilang begitu." Hansol tersenyum seolah-olah Yerim telah menyelamatkannya dari tebing. "Mendengarnya dua kali membuatku merasa lebih baik."
"Kau harus mengatakan itu pada dirimu sendiri."
Hansol tertawa. Kemudian, dia mengalihkan pandangannya pada langit malam. Hansol menarik napas panjang, lalu mengembuskannya dengan pelan. Yerim bisa mendengar kegugupan yang berusaha dibuang jauh.
"Terima kasih karena sudah bertahan." Hansol berhenti. Dia akhirnya menunjukkan emosi yang nyata, tanpa usaha untuk menutupinya. Gurat kesedihan dan rasa syukur berbaur di wajahnya. "Terima kasih karena sudah bertahan, Hansol."
Yerim tersenyum, merasa lega.
~ ꫝ𝓲𝘳ꪖꫀ𝓽ꫝ ~
Dowoon tidak benar-benar tidur lelap. Dia sudah cukup tidur saat dia pingsan. Dia bangun pukul setengah dua, melihat Hansol tengah memindahkan Yerim. Dia terbangun pukul empat, melihat Hansol dan Yerim berdiri di balkon dalam satu selimut yang sama. Pukul lima pagi, Dowoon terbangun lagi dan menemukan Hansol telah tidur meringkuk di dekatnya, kedinginan. Yerim ada di ranjang sebelah, bergelung dalam selimut tebal yang membungkus tubuhnya seperti kepompong. Udara di penginapan memang sangat dingin, padahal penginapan Mazerine lebih dekat dengan pantai daripada penginapan yang mereka tinggali sekarang. Dowoon memutuskan membiarkan Hansol mengambil alih ranjang dan selimut sepenuhnya.
Dowoon berjengit pada rasa dingin di telapak kakinya yang bersentuhan dengan lantai. Dowoon langsung mengerti kenapa Hansol tidak mau tidur di sofa dan memilih merapat padanya. Ada ketukan pelan di pintu saat Dowoon baru melangkah menuju kamar mandi. Sedikit bingung, Dowoon mengubah arah dan membuka pintu. Dia tidak berniat merapikan rambutnya yang berantakan atau bahkan kemejanya yang tak kalah kacau.
"Ada yang bisa kubantu?" Dowoon bertanya dengan bahasa Inggris yang kaku. Menatap bingung pada gadis muda yang menatapnya tanpa kedip. "Permisi?"
"Sir, maaf mengganggu waktu Anda di pagi hari. Sebelumnya teman Anda sudah mengabarkan kalau kalian akan pergi ke kota bersalju di selatan. Hanya ada satu kota bersalju di selatan, Kota Iclyn." Gadis itu menarik napas panjang sebelum melanjutkan, rona merah muda merambat di pipinya. Dia menunduk. "Dan jika Anda ingin pergi, sebaiknya dilakukan sebelum jam delapan pagi ini. Karena sebentar lagi jalanan akan berubah bersalju."
"Bersalju?"
Gadis di depannya mengangguk.
Dowoon mengerutkan kening, masih belum paham.
"Jika bersalju, biasanya akan ada longsor. Anda akan kesulitan melewati jalanan dan harus menunggu sekitar seminggu lagi." Gadis itu menjelaskan dengan hati-hati, berusaha agar Dowoon yang tampak mengantuk mengerti dengan ucapannya. "Kota Iclyn memang selalu bersalju. Tapi, jalan menuju kota tidak selalu ekstrem seperti sekarang. Jika terjebak, Anda harus menunggu sekitar seminggu sampai longsornya dibersihkan."
"Tunggu tunggu tunggu!" Dowoon berseru, mengusap wajahnya yang masih mengantuk. Dia kembali menatap gadis di depannya dengan wajah serius. "Maksudmu, kami harus pergi sekarang sebelum jalanan mulai bersalju dan kami terpaksa terjebak seminggu di sini jika itu terjadi?"
"Tepat seperti itu, Sir."
"Kira-kira, berapa lama perjalanan dari sini ke Kota Iclyn?"
"Sekitar dua jam perjalanan dengan mobil?"
"Kalau begitu kami sudah telat!" Dowoon membanting pintu, tapi segera membukanya kembali dan menemui gadis yang memberitahunya. "Omong-omong, terima kasih." Dowoon mengedipkan mata, terhibur dengan bagaimana pipi gadis di depannya langsung berubah merah muda.
Dowoon akhirnya benar-benar menutup pintu, berjalan ke arah dua gundukan selimut yang bernapas pelan. Dowoon hanya perlu menggoyangkan lengan Yerim sedikit. Yerim menggeliat dan menyingkirkan selimutnya, menatap Dowoon dengan pandangan sayu.
"Kita harus segera pergi. Bangunkan Hansol, aku akan mengambil mantel musim dingin di mobil."
Yerim menggumam sebagai jawaban.
Dowoon mengedarkan pandangannya, mencari-cari letak kunci mobil. Setelah melihat kunci mobil tergeletak di nakas, dia langsung menyambarnya dan meninggalkan kamar. Ketika Dowoon kembali dengan tiga set mantel musim dingin, sarung tangan, dan sepatu bot, Yerim ternyata sudah merapikan perlengkapan mereka. Tiga ransel berukuran sedang berjejer rapi di kaki ranjang, dengan satu plastik yang Dowoon duga berisi makanan yang kemarin dibeli Hansol.
Yerim sendiri masih berkemul, menusuk pelan pinggang Hansol dengan telunjuknya agar bangun. Hansol menggeliat dan berguling karena geli, tapi tidak mau bangkit atau sekadar membuka mata.
Dowoon tiba-tiba merasa sakit kepala. "Bukan begitu cara membangunkan orang, Yerim." Dowoon meletakkan mantel dan sarung tangan di atas kasur, sepatu bot di kaki ranjang.
Yerim menoleh pada Dowoon, masih berwajah linglung. Meski Dowoon akui Yerim kelihatan mungil dan imut dalam balutan selimut dan wajah mengantuknya, Dowoon tetap bertanya-tanya bagaimana bisa Yerim merapikan barang-barang mereka dalam keadaan setengah sadar begitu.
Dowoon mengalihkan pandang pada Hansol, yang tampaknya semakin nyaman dalam tidurnya. Tidak mau membuang-buang waktu, Dowoon menendang Hansol dengan kaki jenjangnya, cukup keras untuk membuat laki-laki pirang itu berteriak karena terdorong dari tempat tidur.
Umpatan dua bahasa terdengar selama beberapa saat. Dowoon memandang Hansol dengan tatapan tak terkesan saat laki-laki itu menatapnya dengan mata melotot.
"Kau kan bisa membangunkanku dengan manusiawi. Kenapa terburu-buru sih?"
"Tidak ada waktu lagi! Kau mau kutinggal di sini?" ancam Dowoon dengan galak.
Hansol menggerutu, bangkit dari lantai. Merasa selesai dengan Hansol, Dowoon beralih pada Yerim. Yerim masih berdiri, memandang mereka berdua dengan wajah linglungnya. Dia masih tampak sangat mengantuk.
Dowoon mendesah, mengambil salah satu mantel dari ranjang. Mantel panjang dengan warna merah muda yang lembut. Dia memandang Yerim dengan sabar. "Kau tidak bisa membawa selimut penginapan ini, Yerim."
Yerim menurut, melepaskan selimutnya dengan enggan. Dowoon dengan cepat memakaikan mantel padanya. Celana jeans dan jumper yang dipakai Yerim cukup tebal dan lapisan mantel tidak akan membuat Yerim terlalu kedinginan. Dowoon lanjut mengambil sarung tangan. Yerim mengulurkan tangannya tanpa disuruh, dan Dowoon segera melapisi tangan mungilnya dengan sarung tangan berwarna merah pudar.
Dowoon menatap Yerim dengan pandangan puas. "Nah, sudah selesai. Kau mau kupakaikan sepatu juga?"
Yerim menggeleng, memilih memakai sepatunya sendiri. Dowoon berbalik, hampir mengumpat begitu Hansol menatapnya dengan pandangan memelas. Mengerti apa maksud laki-laki itu, Dowoon langsung menyambar salah satu dari mantel yang tersisa, warna coklat, berikut sarung tangan berwarna hitam.
Melemparkan benda itu pada Hansol, Dowoon berseru dengan galak, "Pakai sendiri atau kutelanjangi kau!"
Dowoon sepenuhnya mengabaikan protes dan gerutuan Hansol tentang diskriminasi atau apalah dan fokus memakai perlengkapan musim dinginnya sendiri. Yerim menggumamkan sesuatu seperti dia harus membayar biaya menginap mereka dan mulai mengaduk-aduk ransel. Dowoon lebih disibukkan dengan pikiran bagaimana mereka mencapai Kota Iclyn sebelum salju mulai memenuhi jalan.
Ketika mereka bertiga akhirnya selesai dan berjalan di koridor, Dowoon merasa seperti ayah tunggal dengan dua anak remaja yang merepotkan. Dowoon berjalan di tengah, dengan mantel hitam panjang dan menenteng ranselnya sendiri. Hansol ada di sebelah kirinya, ransel miliknya disandang di belakang, ransel Yerim dipeluk di depan. Gentleman. Yerim sendiri berjalan di sebelah kanan Dowoon. Satu tangannya menggenggam plastik makanan dan yang lainnya memegang mantel Dowoon, seolah takut tertinggal.
Dowoon menunggu di dekat pintu masuk saat Yerim membayar biaya penginapan mereka. Dowoon dan Hansol punya kesepakatan tanpa bicara tentang siapa yang bertanggung jawab atas keuangan mereka. Siapa lagi yang pantas selain Yerim? Dowoon terlalu malas dan Hansol tampaknya lebih suka berfoya-foya. Latar belakang Yerim sebagai pebisnis akan sangat membantu mereka.
Butiran salju mulai turun di balik jendela. Dowoon mengamati bagaimana langit tampak pucat dan orang-orang mulai memakai perlengkapan musim dingin mereka. Dowoon melihat seorang pengunjung penginapan yang mungkin berusia lima tahun melewatinya dengan syal hijau melilit leher mungilnya.
Bicara soal syal, Dowoon ingat tidak menemukan syal apa pun di dalam mobil. Bibir Dowoon seketika melengkung ke bawah, merutuki betapa dingin jalanan yang harus mereka lewati tanpa syal. Meski mereka teknisnya berada di dalam mobil. Tetap saja, mereka akan butuh syal, dan penutup telinga.
Dowoon baru hendak berbalik dan protes pada Hansol, tapi ternyata laki-laki itu telah berdiri di depannya dengan syal abu-abu pucat terentang di tangannya. Sebelum Dowoon sempat berkata apa-apa, Hansol telah melilitkan syal itu di sekitar leher Dowoon dan merapikannya dengan senyum puas.
"Kau baru saja mencuri?" Dowoon berkomentar sembari memperhatikan syal coklat tua yang melilit leher Hansol.
"Ini gratis, tahu." Hansol membela diri dengan mata melotot. "Pemilik penginapan memberikannya sebagai hadiah menyambut musim dingin."
Dowoon mengangkat bahu. "Aku kan hanya bertanya."
"Lebih tepatnya menuduh."
Yerim menghampiri sebelum mereka sempat berdebat lebih jauh. Dia membawa dua penutup telinga berbeda warna. Yerim sendiri telah memakai penutup telinga berwarna putih dan syal coklat kotak-kotak di lehernya.
"Para pria, rendahkan tubuh jangkung kalian untukku."
Hansol lebih cepat tanggap, menekuk kakinya agar Yerim dapat memakaikan laki-laki itu penutup telinga. Selesai dengan Hansol, Yerim beralih pada Dowoon. Dowoon mengikuti apa yang dilakukan Hansol sebelumnya, membiarkan penutup telinga berwarna hitam melindungi daun telinganya yang sensitif dari udara beku.
Mereka saling memandang, tersenyum entah kenapa. Hansol memimpin jalan menuju mobil, berkata dia ingin cepat-cepat tidur di dalam mobil. Yerim menegurnya tentang pergantian menyetir.
"Oh, aku lupa soal itu." Hansol menatap Dowoon meski tangannya sudah berada di pintu kursi penumpang. "Apa kau ingin aku yang mengemudi, Hyung?"
"Tidak." Dowoon memikirkan Hansol dan Yerim yang tampaknya kurang tidur. "Aku pikir aku sudah terlalu banyak tidur. Lagipula, hanya dua jam ke Kota Iclyn."
Hansol memandangnya lagi, tampak tak enak. Dowoon segera mendorong pemuda itu agar masuk, terus meyakinkan kalau dia tidak apa-apa. Hansol mengalah dan membiarkan Dowoon pergi ke kursi kemudi. Perjalanan mereka dimulai. Sepuluh menit pertama, Hansol dan Yerim masih mencoba mengisi keheningan. Mereka bertanya basa-basi yang ditanggapi Dowoon dengan seadanya. Ketika akhirnya kedua orang itu menyerah oleh kantuk, Dowoon sama sekali tidak keberatan mengemudi sendirian.
Perjalanan lurus ke selatan seperti menantang hujan salju yang semakin lama semakin rapat, tapi belum terlalu menghambat perjalanan mereka. Dan untungnya, tidak ada longsor. Dowoon mengemudikan mobil dengan hati-hati, menjaga kecepatan dan memastikan mereka tidak tergelincir.
Sekitar dua jam kemudian, Dowoon melihat Kota Iclyn. Rumah-rumah beratap salju dengan cerobong asap menyala dan cahaya di jendela tampak bersinar dari kejauhan. Kota di kaki bukit itu menawarkan Dowoon perasaan hangat. Meski rasanya aneh menggambarkan kehangatan dengan kota yang senantiasa diselimuti salju.
Dowoon menatap Yerim dari spion tengah, lalu berpaling pada Hansol di sampingnya. Keduanya masih terlelap, tampak nyaman dengan balutan pakaian musim dingin mereka.
Kekehan pelan keluar dari celah bibir laki-laki bersurai hitam. Bahkan di sini, di dalam sedan tua yang sempit dan dingin, dengan kedua orang yang garis takdirnya bersinggungan dengannya, Dowoon menemukan kehangatan memeluknya seperti sebuah rumah.
Rumah yang hangat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top