4 : The Real Me

⚠️Part ini bakal lumayan angst, dan depresif.⚠️

***

YERIM membuka matanya, ada Hansol yang tertidur pada ranjang di sampingnya. Rambut pirang laki-laki itu bersinar dalam keremangan. Yerim melirik sofa yang kosong, Dowoon tidak ada di sana. Karena terburu-buru, mereka mencari penginapan terdekat yang ternyata hanya punya satu kamar tersisa. Untungnya, ada dua ranjang dalam satu kamar.

Angin dingin bertiup dari balkon yang terbuka. Yerim melihat Dowoon duduk di kursi yang ada di balkon. Kedua kakinya berada di atas meja, punggungnya menempel erat pada kursi. Dowoon tengah menengadah, asap rokok menyembur keluar dari mulut dan hidungnya. Jarinya menjepit sebatang rokok yang baru dibakar, bertengger di atas asbak pada meja kaca kecil.

Yerim menahan napas, merasa terkesima dengan apa yang dilihatnya. Dia tidak terlalu suka meromantisasi kesedihan, tapi ada yang memikat pada pemandangan di depannya. Yerim memperhatikan saat rambut Dowoon bergerak karena angin. Kelambu yang menari-nari. Bara di ujung rokok yang mengepulkan asap. Kabut putih yang berembus bersama helaan napas laki-laki itu. Juga bintang-bintang di langit gelap.

Tangan Yerim gatal ingin mencelupkan kuas ke dalam warna-warna, mengayunkannya di atas kanvas. Dia ingin melukiskan kesedihan nyata yang baru saja dilihatnya.

Yerim tidak bisa menebak Dowoon.

Suatu waktu, dia tampak sangat menyebalkan, sarkas, dan hanya tahu cara mencaci maki. Berikutnya dia bisa tiba-tiba bersikap dewasa dan hangat, bahkan menggemaskan. Sekarang Yerim melihatnya dalam keadaan yang depresif. Duduk di balkon dan merokok sambil memandangi langit-langit.

Yerim turun dari ranjangnya dan melangkah mendekat. Dowoon pasti menyadari kehadiran Yerim sebelumnya, karena dia tampak tidak terkejut saat Yerim datang. Dowoon menurunkan kakinya dari kursi, memadamkan api dari rokoknya yang tersisa sedikit. Tanpa kata, Yerim duduk di kursi yang sebelumnya digunakan Dowoon sebagai penyangga kaki.

"Kau tidak bisa tidur?"

"Tidak." Yerim menatap kotak rokok yang terbuka, hanya ada empat batang rokok tersisa. Di dalam asbak, puntung rokok berserakan dalam bentuk yang menyedihkan. "Kurasa kau juga tidak bisa tidur."

"Aku mimpi buruk."

Yerim mendongak, menemui wajah tenang Dowoon. Yerim menyelipkan rambutnya ke balik telinga. "Hansol bilang kau juga merokok di balkon kemarin. Dia bilang kau mungkin tidak tidur meski dia tidak berisik sama sekali."

"Hansol, dia...." Suara Dowoon terdengar lebih berat dari biasanya. Ada kesedihan pada matanya yang menyendu, menatap Hansol yang masih terlelap. "Dia mungkin punya masalah dengan mengeluarkan emosinya, dan kadang dia meledak. Manajernya yang mengatakan itu padaku."

"Apa itu akibat pekerjaannya sebagai aktor?"

"Bisa jadi."

"Manajernya teman sekolah menengahmu, bukan?" Yerim mengambil pemantik di atas meja, menyalakannya.

"Kau tahu banyak tentang kami."

"Sedikit." Yerim memperhatikan nyala api meliuk-liuk di udara.

Hening. Yerim menyalakan pemantik lagi begitu apinya padam. Jungkook pernah bilang kalau Yerim punya ketertarikan aneh pada pemantik. Yerim mengamati api yang bergerak seirama arah angin. Dia bertanya-tanya kabar orang-orang terdekatnya. Taehyung, Jungkook, dan Seulgi.

"Apa kau pernah menyelidiki kami atau apa? Aku merasa kau cukup banyak tahu soal kami."

Yerim mematikan pemantik, bertemu dengan mata penasaran Dowoon. Dowoon jarang repot-repot menyembunyikan ekspresinya, dia lebih suka membiarkan orang tahu ketimbang menjelaskannya. Bukan berarti Dowoon tidak bisa mengatur raut wajahnya. Yerim tahu dia bisa.

Buktinya, Yerim kesulitan menebak apa yang ada di balik pandangan penasaran Dowoon. Penghakiman? Kehati-hatian? Frustasi? Yerim tidak tahu, jadi dia bertaruh.

"Ayahku ingin aku mengambil alih agensi Hansol." Yerim memulai jawabannya dengan tenang. "Dia salah satu artis yang ingin kupertahankan. Aku mempelajari latar belakang dan karakteristiknya, juga perjalanan karirnya. Dia bersih dari skandal dan bertanggung jawab. Aku butuh artis seperti dia di agensiku kelak."

"Oh, kau ingin semuanya terkendali." Dowoon mengangguk paham. "Aku juga akan melakukan hal yang sama denganmu."

"Begitulah."

"Bagaimana denganku?"

Yerim tersenyum. "Karena kau sutradara yang bagus. Aku suka film yang kau buat. Selain itu, kau juga teman baik Kim Wonpil. Dia musisi yang hebat, aku ingin dia berada di bawah agensiku."

"Akan agak sulit meyakinkan Wonpil Hyung." Dowoon berdecak, mencabut sebatang rokok dan meminta pemantiknya dari Yerim. "Kutebak kau sudah menceritakan ini pada Hansol."

"Ya, kami sempat berbicara kemarin."

"Bocah sialan itu." Dowoon menjepit rokoknya di antara kedua bibir dan menyalakan pemantik. "Aku harap dia tidak terus-menerus membuat jantungku nyaris meledak karena khawatir."

"Kau sangat mengkhawatirkannya."

Yerim berusaha tidak tertawa melihat telinga Dowoon memerah.

"Sooyoung bercerita banyak soal Hansol padaku, aku merasa bertanggung jawab karena cukup mengerti dengan keadaannya."

"Sangat bagus jika kau peduli," balas Yerim.

Dowoon hanya diam. Yerim berusaha mencari topik, pandangannya terpaku pada rokok di jari Dowoon.

"Bagaimana rasanya?"

"Apanya?"

"Rokok."

Dowoon menjauhkan rokoknya dari mulut, asap berembus keluar. "Susu coklat jauh lebih enak."

"Kalau begitu, kenapa kau menghisapnya?"

Dowoon menghisap rokoknya, mengembuskan kabut putih yang membayangi wajahnya. Di antara asap samar, Yerim bisa melihat Dowoon tersenyum getir.

"Aku tidak tahu," katanya. "Pertama kali, aku melakukannya untuk mengenang seseorang. Lama kelamaan, ini menjadi teman terbaikku saat aku sedang gusar."

Yerim menahan diri untuk tidak bertanya apa orang yang dikenang Dowoon dengan rokoknya adalah orang yang sama yang membuatnya mimpi buruk.

"Aku menemanimu sekarang."

Dowoon tertawa renyah. "Kau yakin akan jadi teman yang lebih baik daripada rokok?"

Yerim menjawab tantangannya dengan senyum percaya diri. "Aku dan Hansol akan jadi teman yang lebih baik daripada rokok."

Senyum mekar di bibir Dowoon. Dia menekan ujung rokoknya ke permukaan asbak, membuat nyala api di ujung rokok padam. Dowoon berdiri, Yerim mendongak dan bertemu dengan tatapan hangat Dowoon.

"Kau mau susu coklat?"

"Memang kita boleh memakai dapur penginapan ini?"

Dowoon mengangkat bahu. "Kurasa mereka tidak akan marah selama kita membayar."

***

Yerim terbangun pada pukul lima pagi. Matahari masih belum terbit, tapi gadis itu sudah duduk di ranjangnya dan mengumpulkan kesadaran. Hansol masih terlelap, kali ini memunggungi Yerim. Yerim menghampiri Dowoon yang meringkuk di atas sofa dengan sehelai selimut tipis. Meski balkon sudah ditutup, udara di dalam ruangan masih cukup dingin.

Yerim mengguncang pelan bahu Dowoon. laki-laki itu benar-benar seperti bayi saat tertidur. Dia menggerutu, kejengkelan jelas terlihat di wajahnya saat Yerim berhasil membuatnya bangun.

"Pindah, Oppa." Yerim menarik paksa lengan Dowoon agar duduk. "Aku akan lari pagi sekitar satu jam, jadi tidurlah di ranjang dan jaga Hansol."

"Orang gila macam apa yang berolahraga subuh-subuh begini?" Dowoon menggumam dengan sinis, berjalan dengan malas-malasan ranjang.

Yerim tersenyum begitu Dowoon langsung menjatuhkan dirinya dan terlelap. Yerim menyelimuti Dowoon dan merapikan selimut Hansol. Setelah memastikan keduanya tidur dengan nyaman, Yerim memutuskan mencuci muka dan mengganti pakaian.

Udara beku menyambutnya saat Yerim berlari kecil di trotoar. Pemilik penginapan yang telah terjaga mengatakan orang-orang lebih sering berlari di pinggir pantai sekitar pukul enam pagi. Yerim memutuskan memulai rute lari paginya dengan menyusuri jalan besar di dekat penginapan.

Ternyata dia tidak sendiri. Ada banyak orang lain yang punya gaya hidup sehat untuk mulai berlari pagi dan bersepeda. Yerim berpapasan dengan sekelompok anak muda, sepasang kekasih yang tampaknya orang Jepang dan pria kekar berkulit hitam yang mengangguk sopan padanya saat mereka berpapasan.

Yerim bertanya-tanya mereka juga 'para pengelana' seperti dia dan kedua temannya.

Matahari sudah mulai terbit saat Yerim berlari di sepanjang garis pantai. Sepatunya meninggalkan jejak di atas pasir. Yerim memperlambat laju larinya, mendengarkan suara ombak mengalun di telinganya seperti sebuah simfoni. Dia menghirup aroma laut di pagi hari, merasa paru-parunya dibersihkan dengan udara pagi.

Yerim pulang ke penginapan dalam keadaan berkeringat dan lengket. Salah satu pegawai penginapan mengatakan sarapan akan disajikan setengah jam lagi. Yerim baru sampai di dekat pintu kamar saat suara teriakan terdengar.

Setengah panik, Yerim membuka pintu dengan segera. Dowoon dan Hansol berdiri saling berhadapan, wajah keduanya keras karena amarah. Tangan Hansol ada di kerah Dowoon, dan kepalan tangan Dowoon hanya sepersekian senti dari wajah Hansol.

Mereka berhenti begitu mendengar pintu dibuka dan menoleh padanya secara bersamaan. Yerim merasa dia datang di waktu yang salah, atau mungkin sangat tepat. Yang jelas, dia agak marah dan kecewa sekarang. Juga takut.

~ ꫝ𝓲𝘳ꪖꫀ𝓽ꫝ~

Hansol, dan cerita tentangnya yang selalu melarikan diri.

Hansol lupa kapan terakhir kali dia marah.

Ketika dia mencoba mengumpulkan seluruh akal sehatnya yang tersisa, Hansol merasa ngeri. Dia tengah berdiri di ruang makan, pecahan piring dan gelas di dekat kakinya, makanan berserakan di mana-mana. Hansol melirik tangannya sendiri yang masih mengcengkeram taplak putih yang seharusnya melapisi meja di depannya. Sontak dilepaskannya cengkeraman, mengakibatkan kain putih itu tergeletak tak berdaya di dekat kakinya. Hal itu tidak dapat membantu kekacuan yang telah terjadi di ruang makan.

Hansol memberanikan diri untuk menatap mata orang-orang di dalam ruangan. Ibunya yang biasa anggun tampak kacau dengan mata membola dan lapisan ngeri di raut wajahnya. Ayahnya yang selalu tenang menatapnya dengan wajah tidak percaya. Ketika pandangan Hansol berhenti pada Sofia yang ketakutan, semua kejadian sebelum tangannya menarik taplak meja dan menyebabkan kekacauan terputar ulang di dalam kepalanya.

"Jangan," katanya dengan suara yang amat dingin, jenis suara yang sama sekali tidak pernah dia gunakan di depan keluarganya. "Jangan libatkan Sofia dalam pertengkaran kalian."

"Kau-"

Hansol melempar pandangan tajam yang membuat ayahnya bungkam. Dia tahu kenapa ayah yang biasa terlihat kuat dan tak terbantahkan kini memandangnya dengan kedua mata membola karena terkejut. Karena Hansol yang biasanya tidak akan bertindak seperti ini. Hansol biasanya tidak marah. Hansol akan menekan emosinya jauh ke dasar, memaksa diri untuk terlihat kuat, menerima semua pertengkaran keluarganya dengan hati yang hancur.

Tapi jangan Sofia. Suara kecil di dalam hati Hansol berontak. Dinding emosi yang dibangunnya susah payah hancur seketika begitu kedua orang tuanya meminta Sofia untuk memilih antara ibu dan ayahnya.

Hansol marah, sangat marah. Dia berusaha keras agar Sofia tidak perlu merasa begitu sakit dengan kondisi keluarganya yang kacau. Tentang kedua orang tuanya yang merenggang dan saling membenci. Tentang bagaimana Hansol selalu dipaksa menerima semua lampiasan emosi keduanya dan tidak mendapat kesempatan untuk bicara tentang perasaannya. Demi apa pun, Hansol tidak mau Sofia sama hancurnya dengan dirinya.

"Aku akan membawa Sofia pergi." Hansol memutuskan, menegaskan suaranya agar orang tuanya tidak mengeluarkan bantahan. "Kami akan ke rumah grandma."

Lalu, Hansol menarik tangan Sofia yang masih gemetar, membawa adiknya ke kamar. Dia membantu Sofia membereskan barangnya, kemudian membereskan barangnya sendiri. Sofia hanya diam dan diam. Hansol berusaha menahan diri agar tidak meledak lagi.

Mereka berdiri di depan pintu rumah, menunggu taksi yang dipesan Hansol datang Ayah dan ibunya tidak menyusul, meski Hansol tahu mereka diam-diam memperhatikan dari dalam rumah. Hansol tahu kenapa mereka tidak membantah, tahu kenapa kedua orang tuanya memutuskan membiarkannya.

Karena kini Hansol marah, dan Hansol tidak pernah begitu marah seperti sekarang.

Tangan mungil Sofia gemetar dalam genggamannya.

***

"Kau tahu kau bisa tinggal di sini bersama Sofia."

Hansol memperhatikan wajah tua neneknya yang khawatir. Dia tahu ini bukan saat yang tepat untuk meninggalkan Sofia, tapi Hansol butuh melarikan diri.

"Aku tidak bisa," kata Hansol, tersendat oleh keraguannya sendiri. "Aku tidak merasa baik-baik saja dan aku tidak bisa memperlihatkan pada Sofia betapa hancurnya diriku."

"Oh, Hansol." Neneknya menarik Hansol ke dalam pelukan erat, menangis di pundaknya. "Maafkan aku," katanya berulang kali.

Hansol juga ingin menangis, tapi dia tidak mau neneknya semakin merasa bersalah karena tangisnya. Jadi, Hansol mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, mengigit bibir bawahnya hingga berdarah.

"Aku akan ke Korea," katanya. "Aku tidak ingin ada di negara yang sama dengan ibu dan ayah."

Neneknya menangis lagi, meminta maaf berkali-kali. Hansol menahan tangisnya sekuat tenaga agar tidak pecah.

.
.
.

Hansol berhenti di depan pintu kamar adiknya yang tertutup. Menarik napas panjang, kepalan tangannya mengetuk permukaan pintu tiga kali.

Tidak ada jawaban, tapi Hansol tahu Sofia ada di dalam.

"Aku akan segera pergi." Hansol menurunkan tangannya. "Jaga dirimu baik-baik, hubungi aku kalau ada apa-apa."

Hening. Hansol hampir menyerah. Lagipula, apa yang dia harapkan? Hansol telah menjadi saudara yang buruk selama ini, gagal melindungi Sofia, melarikan diri dengan meninggalkan rumahnya semata-mata karena dia tidak mampu -dia tidak mau lagi- merusak dirinya dengan tetap tinggal. Tempat yang disebut rumah membuatnya sesak, bahkan rumah neneknya sendiri. Terlalu banyak jejak tentangnya, tentang keluarganya, tentang semua kemarahan yang terpendam di dasar hatinya. Tentang bagaimana dia terlalu terbiasa membunuh perasaannya. Terlalu sering melarikan diri dari semuanya.

Hansol ingin pergi. Hansol selalu melarikan diri, apa yang bisa dibanggakan dari itu?

"Kenapa kau pergi?" Suara serak Sofia terdengar dari balik pintu. Adiknya mungkin tengah menahan tangis.

Hansol menahan keinginan untuk mendobrak pintu dan memeluk adiknya. Atau keinginan untuk meninju pintu dan berteriak kalau dia sudah sangat lelah. Dari semua orang, tidakkah Sofia bisa mengerti tentang alasannya melarikan diri?

"Aku lelah," kata Hansol.

Aku tidak bisa lagi tinggal di mana terlalu banyak jejak ibu dan ayah. Aku benci rumah kita, aku juga benci ibu dan ayah. Aku tahu kau takut denganku semalam. Aku takut menyakiti ibu dan ayah dengan kemarahanku, menyakiti nenek, menyakitimu.

"Aku lelah dan tidak bisa menangani diriku sendiri, aku tidak mau semuanya bertambah buruk."

Tidak ada jawaban dari Sofia. Hansol mengembuskan napas panjang sebelum berbalik, tapi pintu berderit dengan bunyi keras dan Sofia menghambur ke punggungnya. Tangan mungil adiknya melingkari pinggangnya dan ada sensasi hangat dan basah di punggungnya. Sofia terisak.

Hansol menengadah, menggigit bibir sembari menahan agar gumpalan air matanya tidak jatuh berserakan. Dia tidak mau meninggalkan adiknya. Namun, dia tidak tahan lagi. Dia bisa benar-benar gila jika tinggal lebih lama di tempat ini. Hansol benar-benar lelah dan mulai kehilangan kendali diri. Dia tidak mau menyakiti Sofia dengan tiba-tiba menjadi dingin dan kasar. Tidak mau menyakiti nenek yang sudah berbaik hati menampung mereka. Bahkan, Hansol tidak mau menyakiti kedua orang tuanya. Tidak meski keduanya bertanggung jawab besar atas rasa sakit di dadanya.

Memang pengecut, tapi pilihan terbaik baginya adalah pergi.

"Cepatlah sembuh," kata Sofia.

Hansol tidak tahu apa dia bisa sembuh dengan semua luka di hatinya.

***

Setibanya di Korea, Hansol benar-benar tidak punya tempat tinggal. Keluarga ayahnya yang ada di Korea telah menghubunginya, menawarkannya tempat tinggal. Hansol menduga ayahnya pasti ada di balik tawaran tiba-tiba itu, tapi Hansol tidak mau. Dia benar-benar ingin lepas dari jerat keluarganya. Dia ingin lari ke mana saja selain rumah yang lebih mirip neraka.

Untunglah Seungkwan menemukannya.

.
.
.


"Hei."

Hansol mendongak. Seorang remaja dengan seragam sekolah yang mungkin seusia dengannya tersenyum ramah padanya. Hansol membalas dengan tatapan kosong.

"Kau tidak punya uang untuk ke warnet? Apa kau bisa bahasa Korea?"

Hansol menoleh, menyadari dia telah duduk menyandar pada dinding di dekat pintu masuk warnet. Sedari tadi, orang-orang mengabaikannya. Mereka memang meliriknya dengan penasaran, tapi tidak ada yang menyapanya seperti yang dilakukan remaja di depannya. Sudah berapa hari dia seperti ini? Hansol merasa seperti tunawisma sekarang.

"Oh, kau tidak bisa bahasa Korea ternyata. Sayang sekali, nilai bahasa Inggrisku remedial."

Hansol hampir tidak bisa menahan senyum mendengar nada kecewa remaja di depannya.

"Kau-kau tersenyum! Kau pasti bisa bahasa Korea. Astaga, ini memalukan sekali." Remaja itu kembali berceloteh, mengusap wajahnya dengan malu. "Omong-omong, namaku Seungkwan."

Hansol membiarkan saja saat Seungkwan duduk di sampingnya. Dia bahkan tidak berniat memperkenalkan diri. Untuk apa memperkenalkan diri pada orang asing yang mungkin tidak akan pernah kau temui lagi?

"Apa kau sedang mencari rumah? Mau kubantu menemukan alamatnya?"

Hansol yakin wajahnya pasti berubah mendung. "Aku tidak punya rumah," jawabnya parau.

Hansol bersumpah kalau kedua mata Seungkwan berbinar mendengarnya. Anak ini jahat sekali, pikir Hansol. Bagaimana dia bisa tertawa atas jawaban suram Hansol barusan?

"Kalau begitu, kau bisa menyewa kamar kakakku. Ibu mengatakan akan memberiku uang saku tambahan jika aku bisa menemukan seseorang yang dia sukai untuk menyewa kamar."

Hansol berpikir sejenak. Entah kenapa senyum Seungkwan membuatnya yakin kalau tawaran remaja itu tidak buruk untuk diterima.

.

.

.

Ketika mereka tiba di rumah Seungkwan, seorang wanita paruh baya menyambut mereka dengan tatapan kaget. Hansol tetap bisa melihat gurat senyum tulus di wajah wanita yang dia duga kuat sebagai ibu Seungkwan. Hansol menunduk sopan, menyapa dengan senyum yang dia usahakan seramah mungkin.

"Ibu, aku bawa penghuni baru kita. Namanya Hansol, dia seusia denganku dan meski lahir di luar negri, bahasa Koreanya lebih lancar dariku." Seungkwan berceloteh dengan gembira, tampaknya terlalu semangat untuk mendapat uang saku tambahan.

"Yah! Setidaknya biarkan tamu kita masuk dulu." Ibu Seungkwan memarahi anaknya dengan galak. Wajahnya berubah seratus delapan puluh derajat begitu menatap Hansol. "Kau lelah, bukan? Masuklah, aku akan membuatkan teh."

Hansol mengikuti kedua ibu dan anak itu ke ruang tamu. Ibu Seungkwan berhasil memaksa anak laki-lakinya agar membuatkan teh. Hansol curiga dia akan segera diinterogasi.

"Jadi, Nak. Kau seusia dengan Seungkwan? Bukankah usiamu terlalu muda untuk tinggal sendiri?"

Hansol langsung gugup. Dia bisa mengerti jika wanita di depannya bertanya dengan nada curiga bercampur tatapan tak percaya. Tapi pertanyaan penuh kehati-hatian dan tatapan lembut di matanya? Hansol tidak tahu harus menjawab bagaimana.

Jujur atau tidak?

"Ah, apa pertanyaanku terlalu pribadi? Kau bisa menyimpannya untuk dirimu sendiri kalau begitu."

Senyum pengertian yang ditatapnya membuat Hansol merasa bersalah. Jika dia ingin tinggal di sini, dia mungkin harus menjelaskan sedikit tentang dirinya. Jadi, Hansol menarik napas panjang dan memutuskan untuk menjelaskan.

"Aku kabur dari rumah," kata Hansol dan berbuah tatapan terkejut dari Ibu Seungkwan. Hansol buru-buru menambahkan. "Tidak sepenuhnya dibilang kabur, aku hanya memutuskan untuk hidup mandiri. Keluargaku tahu aku ada di Korea meski mereka tidak tahu aku tinggal di mana. Aku punya uang tabungan sendiri dan akan mencari pekerjaan di sini."

"Apa kau punya masalah dengan orang tuamu?" tanya wanita di depannya dengan hati-hati.

Hansol memaksakan senyum muram. "Aku hanya tidak bisa tetap tinggal di sana dan makin mengacaukan segalanya. Ini mungkin tindakan pengecut, tapi aku tetap pilih melarikan diri ketimbang saling melukai terlalu jauh."

Ada senyuman hangat yang mekar di wajah wanita paruh baya di hadapannya. Hansol jelas terkesiap, dia lebih siap dengan pandangan penuh penghakiman. Seungkwan dan ibunya benar-benar penuh kejutan.

"Kau tahu, Hansol? Tetap tinggal tidak selalu jadi pilihan terbaik. Sedikit jarak akan membuat kita menyadari banyak hal. Ketika kau menjauh dari orang yang kau sayangi, perasaan sayang itu tidak selalu berkurang. Kadangkala, kau justru akan semakin menyayangi mereka."

Hansol menatap karpet polos di bawah selop yang dikenakannya. Dia membayangkan wajah Sofia dan kedua orangtuanya.

"Aku sudah sangat merindukan mereka sekarang."

Ada suara langkah lembut dan pelukan hangat melingkari pundaknya.

"Aku yakin mereka juga merindukanmu."

Seungkwan berdiri dengan secangkir teh di tangan, tersenyum lembut pada pemandangan di mana ibunya memeluk orang asing yang sudah tiga hari ini dia perhatikan.

Seungkwan benar kalau pemuda itu hanya butuh pelukan,

dan rumah.

***

"Kau tidak sekolah?"

Hansol mendongak, bertemu pandang dengan wajah galak Seungkwan, meski dengan pipi tembam dan mata sipitnya, Seungkwan lebih terlihat menggemaskan ketimbang galak. Namun, Hansol sudah cukup lama mengenal Seungkwan untuk tahu kalau pandangan matanya menyiratkan keseriusan.

"Bisakah kau mengizinkanku?" Hansol tersenyum lemah pada sahabatnya. "Aku agak tidak enak badan."

Seungkwan menghela napas. "Istirahatlah, kau harus sekolah besok. Sudah kubilang untuk jangan terlalu memikirkan perkataan anak-anak jahat itu. Aku akan bilang pada Soonyoung Hyung untuk menendang mulut mereka."

Hansol hanya tersenyum. Seungkwan keluar dari kamar setelah menyuruh Hansol untuk beristirahat lagi. Hansol kembali menunduk, melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda. Mengamati foto-foto yang dikirimkan adiknya, dia bahagia di rumah nenek. Ayah dan ibu bergantian mengunjunginya sesekali.

Sofia semakin cantik. Hansol bertanya-tanya apakah orang tuanya memperhatikan Sofia dengan baik setelah dia pergi. Tidak apa-apa jika dia harus pergi agar ayah dan ibunya sadar Sofia butuh perhatian dan limpahan kasih sayang yang seharusnya dia dapatkan sejak dulu. Tidak apa-apa jika hanya dia sendirian yang bertarung dengan semua rasa sakit.

Hansol tidak mau Sofia merasakan hal yang sama dengannya.

Pintu dibuka. Seungkwan masuk dengan membawa nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air.

"Ibu membuatkannya untukmu, makanlah."

Hansol mengucapkan terima kasih yang parau. Setelah Seungkwan keluar dari kamar, Hansol menatap bubur di dalam mangkuk beberapa saat. Hansol mengangkat sendok, mulai menyuap bubur.

.

.

.

"Kau harus keluar, sungguh."

Hansol mendongak, lagi-lagi menemui wajah Seungkwan. Kali ini Seungkwan terlihat sudah sangat lelah, Hansol memakluminya. Dia sendiri pasti lelah jika seseorang di rumahmu terus-terusan mengurung diri dan lebih banyak memandang foto ketimbang melakukan hal selayaknya manusia normal.

"Aku kira semuanya akan baik-baik saja."

Mulut Seungkwan yang separuh terbuka menutup rapat. Tampaknya dia telah memutuskan untuk membatalkan apa pun yang hendak dikatakannya. Hansol sendiri tidak yakin kenapa dia memutuskan untuk bicara. Mungkin dia sudah terlalu lelah memendam semuanya sendirian.

"Aku pikir, setelah aku melarikan diri, aku bisa memulai sesuatu yang baru, melakukan sesuatu yang berguna. Tapi di sinilah aku, mengurung diri dan merengek hanya karena seorang murid mengataiku halfer."

"Kau tidak bisa menggunakan kata 'hanya' pada itu!" sangkal Seungkwan dengan terlalu keras. "Itu namanya diskriminasi! Siapa yang mengatakan itu padamu? Aku akan bilang pada Soonyoung Hyung agar menendangnya ke Sungai Han. Jihoon Hyung mungkin bisa membuat anak itu babak belur dengan gitarnya."

Hansol tersenyum lelah. "Tidak apa-apa, aku sudah sering mengalaminya. Aku sudah terbiasa. Aku mungkin harus terbiasa." Hansol tertawa getir.

"Kau tidak harus terbiasa, Hansol. Kau tidak harus terbiasa saat orang-orang menindasmu dan kau tidak melakukan apa-apa. Marahlah, itu wajar. Jika tidak, tutup mulut sampah mereka dengan menjadi seseorang yang jauh berada di atas mereka." Seungkwan terdengar sangat lembut. "Kau harus melawan, Hansol."

Hansol menunduk. "Bagaimana?" tanyanya parau. Suaranya sedikit lebih naik dari yang seharusnya. "Bagaimana aku bisa marah? Aku memang marah, aku sangat marah. Aku sudah menumpuk kemarahanku sekian lama. Aku tidak mau melampiaskan semua itu pada seorang remaja yang tidak tahu cara menghargai, yang hanya butuh sasaran untuk dibenci. Dia memang sampah, tapi aku tidak mau menjadi sampah yang sama."

Hansol tahu sudah seharusnya dia berhenti. Emosinya sudah mulai tidak terkendali, tapi Hansol butuh melampiaskannya sekarang. Tangannya gatal ingin memecahkan sesuatu atau apa, jadi dia memaksa agar hanya mulutnya yang bertindak kurang ajar.

"Aku harus marah pada siapa, Seungkwan? Padamu? Pada Eomma? Pada keluarga yang kutinggalkan di Amerika sana? Aku harus marah pada siapa ketika aku sendiri yang terus memutuskan untuk melarikan diri?! Aku harus marah pada siapa selain pada diriku sendiri?"

Pernapasannya mulai tidak stabil. Hansol segera mengambil napas panjang dan mengembuskannya, menenangkan diri dengan cara paling klasik. Dia tidak boleh sampai melampiaskan semuanya pada Seungkwan. Dia bahkan tidak pantas marah.

"Hansol."

"Aku mau tidur."

Hansol berbaring di ranjangnya, membelakangi Seungkwan. Tidak mau melihat bagaimana reaksi pemuda itu padanya.

"Hansol," panggil Seungkwan dengan lembut. "Kau ingat Sooyoung Noona yang kerja paruh waktu bersama kita di kafe? Kita sama-sama tahu dia sangat ingin menjadi manajer artis dan kita juga tahu kau terkesan dengan dunia akting. Bagaimana kalau kau mulai mengambil kelas akting dan bergabung bersamanya ke agensi?"

Hansol tidak dapat menahan diri untuk membalikkan tubuh dan memberi Seungkwan tatapan bingung. "Apa yang kau maksud sebenarnya?"

Seungkwan memberinya seringai percaya diri. "Akting. Kau bisa marah dengan bebas di sana. Kau bisa menangis. Kau juga bisa jadi orang gila. Kurasa itu akan sangat bagus karena kau punya masalah dengan terus memendam emosimu itu."

Senyum Seungkwan membuat Hansol merasa ide barusan tidak terdengar terlalu buruk.

.

.

.

"Banyak orang sangat terkesan dengan peranmu dalam film ini. Biasanya kau mencuri hati penonton dengan menjadi tokoh pendukung karakter utama yang sangat memikat. Tapi, kali ini kau menjadi antagonis utama. Bagaimana rasanya, Vernon?"

Hansol tertawa mendengar pertanyaan pewawancara di depannya. Seorang wanita muda dengan paras cantik dan mata besar.

"Hebat."

Hansol makin tertawa dengan respons bingung di wajah pewawancara.

"Sungguh, rasanya hebat. Karakterku di sini sangat memukau. Tidak mudah memasang wajah datar dengan gejolak emosi berkecamuk di tatapanmu." Hansol menjelaskan dengan semangat, dia yakin sutradara akan bangga dengan caranya mencintai peran yang diberikan padanya. "Seojin adalah penjahat yang punya masa lalu begitu kelam. Dia terbiasa memasang wajah dingin untuk menutupi semua perasaannya. Tapi, mata tidak bisa berbohong dan aku harus mengeluarkan semua emosi Seojin pada tatapan mataku. Itu sangat melelahkan, tapi juga sangat hebat. Aku senang sutradara memilihku untuk peran ini."

Wanita muda di depannya menutup mulut dengan tangan, tertawa dengan sopan. "Seperti biasa, Vernon. Kau selalu mencintai peranmu. Tidak heran Sutradara Son memilih aktor berdedikasi sepertimu untuk comeback pertamanya setelah beberapa lama vakum."

"Aku hanya melakukan yang terbaik, semua orang yang terlibat bekerja sangat keras untuk kesuksesan film ini." Hansol memberikan senyuman dan memainkan perannya sebagai laki-laki sopan dan rendah hati.

"Banyak orang bertanya-tanya bagaimana karaktermu sebenarnya." Wanita di depannya mulai terlihat mencurigakan, Hansol segera memasang senyum simpul dan ekspresi tenangnya. "Maksudnya, kau bisa menjadi siapa saja. Pembunuh berdarah dingin, seorang teman baik hati yang suka kucing, psikopat sinting yang membuat emosi, bintang papan atas dengan perilaku brengsek dan penjahat karismatik di film terbarumu. Sebagai Vernon, kau dikenal sebagai aktor yang sangat berdedikasi dan seorang gentleman idaman wanita. Aku dan para penggemar sangat penasaran dengan karakter dirimu sebagai Hansol."

Hansol mati-matian menahan dirinya agar tidak merusak topeng ketenangannya. Hansol mengusap rambutnya ke belakang untuk menyembunyikan gugup. "Sebagai Hansol, ya?" katanya sambil memikirkan hati-hati kalimat selanjutnya. Ini tidak bagus, pikirannya terlalu panik. Hansol mengedarkan pandangan ke seisi studio, bertemu tatapan khawatir Sooyoung dan senyumnya yang menguatkan. Hansol meneguk ludah dan memberi senyuman bergetar. "Aku rasa aku hanya laki-laki biasa. Karakterku di dunia nyata mungkin terlalu membosankan, karena itulah aku mendalami akting dan berusaha memerankan karakter sebaik mungkin."

Bohong!

Hansol mengepalkan tangannya erat-erat, setengah meringis karena kukunya mulai melukai telapak tangannya. Hansol berdoa semoga wanita di depannya tidak lagi bertanya tentang karakter dirinya di dunia nyata. Haruskah dia menceritakan betapa menyedihkan dirinya sebenarnya?

.

.

.

"Kau tidak harus mengambil wawancara lagi jika kau tidak mau, Hansol." Sooyoung bicara begitu saat mereka sudah masuk ke dalam van.

Hansol mengusap wajahnya dengan gerakan kasar. Dia sangat lelah sekarang. Wawancara sialan barusan benar-benar menguras emosinya. Hansol harus berterima kasih pada guru aktingnya karena mengajarkan bagaimana tetap tenang di kamera.

"Aku lelah, kita bicarakan nanti."

"Kapan?" tuntut Sooyoung. "Kau selalu mengatakan akan bicara nanti, aku lelah, itu tidak penting untuk dibicarakan dan sebagainya. Cobalah ingat bagaimana kau tampak kesulitan akhir-akhir ini. Aku khawatir, Hansol."

Hansol bertemu pandang dengan tatapan cemas Sooyoung di spion tengah. Hansol membuang napas lelah. Dia tidak bisa menahannya lebih lama lagi.

"Sungguh, Noona, tolong jangan paksa aku. Aku juga tidak tahu siapa aku sebenarnya, atau bagaimana karakterku. Aku berakting untuk mengeluarkan emosiku. Semua peranku di film-film itu, itu perwujudan amarahku, rasa sakitku, kerinduan, itu segalanya tentang diriku! So, don't ask me anymore because I've exposed too much of my feelings! I DON'T FUCKIN' HIDE ANYTHING AGAIN!"

Hansol baru sadar dia berteriak saat mendengar suaranya sendiri. Dia mengerjap dan menemukan ekspresi terkejut bercampur takut pada wajah Sooyoung. Hansol merasa tercekik. Seperti ada ganjalan besar di tenggorokannya dan kekang di sekeliling dadanya. Perutnya melilit kuat sementara tangannya mulai gemetar.

.

.

.

Hansol menatap pemandangan buram pada cermin wastafel. Tangannya bergerak menyapu embun di permukaan cermin, membuat pantulan wajahnya terlihat lebih jelas. Wajahnya tampak menyedihkan, bagai tidak punya binar kehidupan. Lingkaran hitam di bawah matanya terlihat mengerikan.

"Apa kau mampu bertahan?" Dia bertanya pada bayangannya di cermin.

Tidak ada jawaban dari sosok menyedihkan di dalam cermin. Hansol mengigit bibirnya, menahan diri agar tidak membenturkan kepalanya dan memecahkan kaca.

Hansol menunduk, menatap butiran pil yang berserakan di dalam wastafel, di dekat kakinya. Bagai ada beban berat yang membuatnya kelelahan, udara yang menekan menggantung di sekelilingnya. Dia mengingat keluarganya, rumah pertama yang melukainya. Dia ingat harapan teman-temannya tentang dirinya. Dia ingat kehidupannya yang mulai membaik, tapi kenapa dia tak bisa juga melihat akhir dari penderitaan ini?

Hansol mengangkat wajahnya, pantulan dirinya di kaca membuatnya marah.

"Apa yang salah? Apa yang salah denganmu?"

Bayangannya tidak menjawab. Kemarahan naik dan mengekang di sekeliling lehernya. Dia berteriak.

.

.

.

A/N

Sejak awal, aku memutuskan karakter Hansol itu sebagai orang yang ragu-ragu dan terlalu berhati-hati. Dia juga jarang mengutarakan isi hati atau kepalanya dan lebih suka memendam, lebih suka main aman. Chapter ini berhubungan dengan alasan kenapa Hansol sulit buat mengekspresikan emosinya, faktor keluarganya yang berantakan dan Hansol yang dipaksa tegar sama keadaan. Sejak kecil, dia terbiasa jadi tameng buat adiknya. Terbiasa mengubur emosinya jauh ke dasar. Jadi, pas dia meledak, orang-orang di sekitarnya kaget dan gak terbiasa. Hansol menganggap itu kesalahannya, dia takut waktu orang-orang 'takut' akan ledakan emosinya. Dia takut waktu Sofia dan Sooyoung 'takut' liat dia meledak. Makanya, Seungkwan nyaranin Hansol buat ikut kelas akting. Karena di sana Hansol bisa marah, bisa ngeluarin semua emosinya tanpa perlu ngerasa bersalah (karena dia bisa pake alasan kalau itu cuma akting) dan perlahan membaik. Tapi tetap, Hansol tetap gak nyaman terang-terangan nunjukin emosinya. Dia masih takut.

Waktu pewawancara nanya karakter aslinya, Hansol panik dan bingung. Sebab, dia terbiasa nampilin citra sebagai 'Vernon si Gentleman' di muka publik dan memerankan berbagai karakter yang pada akhirnya tetap sebuah peran, bukan Hansol sepenuhnya. Dia takut kalau disuruh cerita seberapa gelap dia sebenarnya, parahnya manajemen emosi dia, atau siapa dia sebenarnya (ini juga penyebab Hansol lari dari stan ramalan Zoe) Jadi, pas emosinya lagi meledak atau penuh-penuhnya, Hansol panik, cemas, dan bingung. Dia meledak (versi parahnya ada pas dia jongkok di depan stan ramalan, butuh waktu lama buat Dowoon dan Yerim nenangin Hansol)

Hansol terbiasa melarikan diri, dari emosinya, dari keluarganya, dari rumahnya. Dia terbiasa buat enggak nampilin sisi sebenarnya dari dia. Dan di sini, terlalu banyak pemicu buat ledakan emosinya mengingat mereka di dunia antah berantah (apalagi trigger dari si kampret Zoe)

Hansol masih bisa bercanda kok, dia aslinya iseng parah. Tapi itu tergantung suasana dan orang-orangnya. Karena karakter Yerim di sini bersahabat banget dan Dowoon udah tau masalah emosi Hansol (nanti dijelasin) Hansol cukup aman sama mereka berdua.

Chapter depan bakal jadi loncatan besar buat Hansol untuk berubah. Mari kita doakan perkembangan karakter yang baik buat Hansol.

Ngetik karakter Hansol di sini tantangan buat aku, dan aku tau ini masih banyak kurangnya. Kedepannya, aku bakal belajar untuk lebih baik🙇🏻‍♀️

Terima kasih udah menyempatkan diri buat baca A/N ini✨

.

.

.

-side character unlocked

Sofia Chwe as Hansol's little sister

Boo Seungkwan as Hansol's bff

Kwon Soonyoung and Lee Jihoon as their bodyguard

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top