9.
Syahna's Pov
Naya sudah selesai bersih-bersih dan sekarang giliranku untuk mandi serta mengganti pakaian. Aku memerhatikan gerak-geriknya dengan seksama takut kalau dia melakukan hal-hal aneh.
Dia berjalan sambil celingak celinguk.
"Cari apa?" tanyaku.
"Handuknya jemur di mana?" dia balik bertanya sambil mengusap rambutnya yang basah.
"Tuh buka pintu balkon, di sana ada jemuran handuk. Jangan lupa lo jepit biar gak terbang," jawabku menjelaskan.
"Ok," sahutnya datar sambil berlalu melewatiku dan kemudian membuka pintu balkon kamarku.
"Tutup lagi nanti banyak nyamuk, gue mau mandi. Lo jangan aneh-aneh."
"Bawel," sahutnya pelan tanpa menoleh ke arahku.
"Iisshh, awas lo ya."
"Ya."
Aku pun meninggalkannya dan masuk ke kamar mandi. Setelah hampir 45 menit, aku keluar dan mencari si Naya. Dia terlihat masih berada di balkon kamarku duduk di bangku gantung sambil menghisap sebatang rokok. Dari dalam sini aku bisa melihat tatapannya hampa ke arah langit. Dia seperti memendam sebuah beban. Ah entahlah, buat apa juga aku memikirkannya.
Aku pun menghampirinya sekalian menjemur handuk. "Eh, ngapain lo? Main ngerokok aja di sini."
Dia menoleh dengan wajar datar tanpa ekspresi. "Oh gak boleh?"
"Gak boleh."
"Oh bilang dong." Dengan santainya dia mematikan rokoknya di lantai balkon kamarku dan melemparnya ke atas genteng.
"Naya, ih sembarangan banget sih," gerutuku melihat puntung rokok yang dilemparnya itu.
Dia tidak menyahutiku dan langsung masuk ke dalam kamar lalu berjalan ke toilet. Dan aku hanya bisa menatapnya dengan kesal.
Kami pun merebahkan tubuh di kasur. Sesuai perintahku, Naya tidur di bagian kiri dan aku di kanan, sisi favoritku.
"Matiin dong lampunya, terang nih," ucapnya seakan-akan ini kamarnya.
"Terserah gue lah, ini kan kamar gue," gerutuku lagi.
"Hemm," gumamnya sambil merubah posisi jadi memunggungiku.
Suasana kamar ini jadi hening. Aku pun akhirnya mematikan lampu utama dan membiarkan lampu tidur tetap menyala.
"Gitu dong," tiba-tiba dia berbicara.
"Bacot," sahutku.
Menit demi menit berlalu. Entah kenapa mata ini masih juga belum bisa terpejam.
"Sya, udah tidur?" tiba-tiba lagi Naya memanggil masih dengan memunggungiku.
"Emmm," sahutku lebih bergumam.
"Oh, udah. Yaudah gak jadi," sahutnya.
"Apaan sih, orang gue belum tidur," gerutuku kesal.
"Oh belum, kirain tadi dengkuran lo. Abis cuma emmm doang."
Aku menghela nafas kesal. "Apaan?"
"Sorry ya."
"Sorry apa?"
"Sorry, tadi lo jadi harus ikut gue ke club dan kelamaan di sana."
Aku mengerutkan dahi menatap punggungnya.
"Masih punya manner juga nih orang," batinku.
"Yaa, udah gue maafin," ucapku.
"Sorry," ucapnya lagi meminta maaf. Dia kenapa sih.
"Sorry kenapa lagi?"
"Sorry, maaf yang tadi cuma becanda haha," ucapnya dengan nada mengejek.
Aku langsung menendang bokongnya dengan kesal.
"Aduh," ringisnya.
"Ada ya manusia brengsek kayak lo. Udah diem, gue mau tidur!" ucapku masih dengan rasa kesal dan aku langsung memunggunginya juga.
Ada ya manusia kayak Naya yang nyebelinnya udah tingkat dewa.
Tiba-tiba terasa pergerakan dari Naya, dia sepertinya sedang mengubah posisi tidurnya.
"Night, Syaiton," ucapnya lagi mengejek.
"Shut up ur fuckin mouth," sahutku dan terdengar pelan suara tawanya.
"Nyebelin!" batinku.
.
.
.
Keesokan paginya
Aku mengerjapkan mata beberapa kali untuk bangun sepenuhnya. Aku merasa seperti ada yang sedang merangkul tubuhku. Ketika aku bisa membuka mata dengan sadar, aku terkejut melihat wajah Naya sangat dekat di samping wajahku. Tidak hanya itu, sebelah tangannya juga memeluk tubuhku hingga aku kesulitan menggerakan badan.
"Ish, dia ngapain sih meluk-meluk gue," ucapku pelan.
Namun sesaat sebelum aku menggeser tubuhnya itu, kedua mataku menatap wajah tidurnya Naya. Dia terlihat sangat berbeda sekali, tidak ada wajah menyebalkannya, ekspresi datarnya, dan tatapan matanya yang hampa itu. Saat ini hanya ada wajah Naya yang teduh dengan mata terpejam.
Tiba-tiba dia mengerjapkan matanya lalu ketika dia sudah bangun sepenuhnya, dia menatapku. Aku balas tatapan matanya dengan lekat. Dia kaget mendapati tangannya yang sedang merangkul tubuhku. Lalu dia langsung menjauhkan tubuhnya dariku.
"Sorry-sorry, gue gak tau, gue gak sadar kalo meluk lo, shit," ucapnya panik dengan kata terakhir yang dia ucapkan pelan lebih untuk ke dirinya sendiri.
"Pegel nih badan gue gak bisa gerak gara-gara lo peluk," gerutuku padanya.
"Ya gue gak tau, gue gak sadar, sorry."
Aku kembali menatapnya dengan lekat lalu bangun dari tempat tidur. Aku tidak mengucapkan apa-apa lagi padanya. Kemudian aku berjalan ke kamar mandi untuk cuci muka dan sikat gigi. Ketika aku selesai, aku melihat Naya sedang memerhatikan jajaran foto serta buku di meja belajarku.
"Ngapain lo?"
"Lihat doang," jawabnya santai dengan wajah datarnya itu.
Aku menghampirinya. "Gak aneh-aneh kan lo?"
"Gak ada untungnya juga gue aneh-anehin lo," jawabnya seraya berjalan ke kamar mandi.
Dari semalam hingga detik ini dia sudah sukses membuatku kesal.
Ketika aku ingin merapikan tempat tidur, aku baru sadar kalau kasurku sudah tertata rapi.
"Tahu diri juga dia," batinku.
Tok..tok..tok..
"Ya?" sahutku ketika mendengar pintu kamar diketuk.
"Mbak Syahna, sudah bangun?"
Aku langsung membukakan pintu kamar. "Iya, kenapa Bi?"
"Ibu tadi titip pesan bangunin Mbak Syahna untuk makan," jawab Bi Sami.
"Hah? Emang Mama ke mana?"
"Ibu sudah jalan tadi sama Bapak dan Mas Andra dari jam 9 Mbak."
"Lho, emang ini jam berapa?"
"Ini sudah mau jam 12 siang Mbak."
"Terus Mama ninggalin aku?"
"Iya Mbak."
"Kenapa aku gak dibangunin sih Bi?"
"Kata Ibu biar Mbak Syahna istirahat aja di rumah kan lagi ada temannya Mbak Syahna juga yang nginap."
"Aaahhh, padahal kan aku udah lama gak ketemu Eyang. Ini gara-gara si Naya nih ah," gerutuku kesal.
"Maaf ya Mbak. Tapi Bibi udah siapin makan untuk Mbak Syahna dan temannya di meja makan."
Aku hanya bisa menghela nafas kesal.
"Iya Bi, makasih ya Bi."
"Iya Mbak sama-sama. Bibi turun dulu ya Mbak."
"Iya Bi."
Aku biarkan pintu kamar terbuka dan ketika aku ingin mematikan AC, sudah ada Naya berdiri di belakangku dan sedang menatap ke arahku.
Aku balas tatapannya. "Gara-gara lo nih gue ditinggal pergi."
"Kan bukan gue yang minta nginep. Lagian kenapa tadi pagi lo gak bangun kalo mau pergi?"
"Tau ah."
Dengan kesal aku mematikan AC dan membuka semua jendela di kamarku agar sinar matahari masuk ke dalam. Lalu berjalan melewati Naya yang sejak tadi memerhatikanku.
"Mau ke mana lo?"
"Turun, makan."
Aku tidak memintanya untuk mengikuti tapi Naya berjalan di belakangku. Aku berjalan ke ruang makan dan duduk di depan meja. Dia juga melakukan hal yang sama.
Kemudian Bibi menghampiri kami.
"Selamat siang, Mbak..." sapa Bi Sami ke Naya.
"Saya Naya Bi," ucap Naya dengan lembut.
"Iya Mbak Naya, mau minum apa Mbak?"
"Air putih aja Bi."
"Baik Mbak. Mbak Syahna?"
"Aku mau es jeruk Bi."
"Iya Mbak, Bibi buatkan dulu ya. Mbak Naya juga Bibi ambilkan dulu ya air putihnya."
"Gak usah Bi, saya ambil sendiri aja. Di mana Bi?"
"Oh iya, di sana Mbak. Hayuk ikut saya."
Naya pun mengikuti Bi Sami ke dapur lalu dia kembali membawakan dua gelas air putih. Dia menaruh salah satunya di depanku.
"Tuh, buat lo."
"Thanks."
Kami mulai menyantap masakan yang sudah dibuatkan Bi Sami. Aku mengecek ponsel dan ada chat dari Mama yang bilang kalau hari ini aku di rumah saja. Lalu ada pesan juga dari Bang Andra yang katanya penasaran dengan temanku yang menginap di rumah.
Aku tidak membalas pesan mereka. Bisa-bisanya mereka meninggalkanku begitu saja.
"Abis makan gue balik," ucap Naya tiba-tiba.
Aku menoleh ke arahnya. "Enak aja lo balik, tanggung jawab."
Dia mengerutkan dahinya. "Tanggung jawab apaan?"
"Gara-gara lo gue ditinggal pergi. Sekarang gue gak tau mesti ngapain di rumah. Lo mesti di sini, kita lanjutin kerjain tugas bahasanya."
Dia menghela nafas. "Besok aja sih."
"Gak, gue maunya sekarang. Awas lo coba-coba balik."
"Emang lo punya gitar?"
"Ada, punya Bang Andra, nanti gue ambil dari kamarnya."
"Hemm, yaudah abis makan gue mandi dulu."
"Terserah."
Kami pun melanjutkan makan siang dengan sibuk melihat handphone masing-masing. Ketika sudah selesai, kami kembali ke kamarku. Lalu Naya tiba-tiba mengambil kunci mobilnya dan membawa pakaian yang ia kenakan semalam.
"Eh mau ke mana lo? Jangan kabur," ucapku menghentikannya.
"Apaan sih? Gue cuma mau ke mobil naro baju dan ambil baju cadangan," jawabnya.
"Gak, gue gak percaya sama lo."
Lagi-lagi dia menghela nafas. "Nih, lo pegang dompet sama hp gue biar gue gak kabur. Posesif banget jadi orang."
"Bodo. Sini, awas lo kabur."
"Bawel."
Kemudian dia turun dan aku mengikutinya dari belakang. Dia keluar dari rumah menuju mobilnya yang terparkir di garasi. Aku hanya mengawasinya dari dari balik pintu.
Tiba-tiba hp Naya bergetar, tanpa disengaja aku melihat layar ponselnya.
Ada 3 notfikasi pesan yang muncul di layarnya tersebut.
"Papa udah transfer uang jajan kamu bulan ini." – Papa
"Kalau kurang, bilang aja ke Papa." – Papa
"Cek rekening kamu." – Mama
Naya kembali berjalan ke arahku. Dengan cepat aku membalikan layar ponselnya.
"Siniin hp dan dompet gue, gue mau mandi," ucapnya.
"Gih sana," sahutku.
Dia menaiki tangga untuk ke kamarku. Sedangkan aku memilih untuk menyetel tv dan duduk di sofa.
Aku pun iseng mengambil ponsel dan mengetik nama panjang Naya di google.
"Davira Nayara Baskoro."
Tidak ada info apapun mengenainya. Bahkan sosial medianya juga tidak ditemukan. Hanya ada beberapa link portal berita yang berhubungan dengan orangtuanya.
Aku pun mengetik salah satu berita tersebut dengan judul yang menarik perhatianku.
"Potret Keharmonisan Keluarga Indra Sastra Baskoro, Pengusaha Kaya yang Selalu Hangat di Mata Keluarga"
Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa walaupun putra sulungnya sudah meninggal karena penyakit serius beberapa tahun lalu, Indra Sastra Baskoro tetap tegar dan merangkul keluarganya, terutama putri semata wayangnya kini, Davira Nayara Baskoro.
Ada beberapa jepretan foto keluarga Naya yang tengah liburan di Venice serta foto mereka yang masih lengkap dengan almarhum kakaknya. Dari foto-foto tersebut, aku bisa melihat perubahan wajah Naya.
Di foto bersama kakaknya, dia tersenyum lepas. Namun, di foto yang hanya ada Papa dan Mamanya, senyuman Naya terlihat dipaksakan.
"Gue udah selesei mandi," tiba-tiba Naya muncul mengagetkanku.
"Oh iya," sahutku.
"Lo gak mandi?" tanyanya.
"Nanti aja."
"Hemm, yaudah. Mana gitarnya?"
"Bentar, gue ambil dulu."
Gue ke kamar Bang Andra dan kembali ke ruang tv memberikan gitar akustik padanya. Dia mulai stem senarnya, sama seperti yang sering dilakukan Bang Andra.
"Lo udah ada ide belum mau bikin puisi apaan?" tanyanya sembari mengutak-atik gitar.
"Belum."
"Yee, terus gimana gue bisa nyatuin sama musik gue?"
"Hemmm, yaudah pikirin dulu mau bikin puisi apaan."
"Itu kan tugas lo, tugas gue cuma nyambungin nada."
"Enak aja lo."
"Yaudah, nih lo aja yang main gitar gue yang bikin puisi."
"Gue gak bisa main gitar."
"Yaudah jangan rewel."
"Isshhh."
Dia mulai memainkan nada-nada dari petikan gitarnya. Sedangkan aku hanya memainkan pensil dengan kertas kosong di depanku.
"Eh, kok bengong?" tanyanya.
"Hah?"
"Yeee, buruan tulis ide lo."
"Oh, iya."
Dia mengerutkan dahinya. "Kenapa lo?"
"Gak apa-apa."
"Dih, aneh."
"Aneh apaan sih?"
"Ya lo ngajakin ngerjain tugas tapi lo nya sendiri malah ngelamun."
"Hemmm, Nay."
"Apa?"
"Lo beneran gak ijin ke bokap nyokap lo nginep di sini?"
"Nope."
"Why?" tanyaku.
"Kenapa emang?" dia balik bertanya.
Aku menatapnya lekat. "Never mind."
"Hemmm," gumamnya.
"Lo... emang gak dicariin?"
Dia tiba-tiba menghentikan petikan gitarnya lalu menatapku.
"Kenapa lo nanya gitu? Ada yang pengen lo tahu dari gue?"
"Eng..engga."
Dia menghela nafas lalu kembali memetik gitar.
"Bokap nyokap gue sibuk urusin bisnis. Mereka gak ada waktu untuk nyariin gue. Selama gue masih minta ditransferin uang jajan, bagi mereka itu udah cukup memberikan info kalo gue masih hidup," ucapnya sangat santai dan datar.
Aku sempat diam sejenak mendengar ucapannya itu.
"Hemm, tapi bukannya keluarga lo harmonis ya?"
"Kata siapa?"
"Di... Berita?"
Dia kembali mengerutkan dahinya. "Lo nyari tahu tentang keluarga gue?"
Aku langsung menggeleng dengan cepat. "Engga. Cuma gak sengaja aja baca."
Dia tertawa kecil dengan senyuman tipis. "Gak usah percaya berita. Full of staging."
"Hemmm, terus... kakak lo sakit apa Nay?" tanyaku berhati-hati.
Naya kembali menghentikan petikan gitarnya. "Lo mau ngerjain tugas apa wawancarain gue sih?"
"Eh iya, sorry I didn't mean to."
"You don't know me Sya, and you don't have to," ucapnya terdengar sangat datar tanpa menoleh sama sekali ke arahku. Baru kali ini kalimat datarnya itu terasa benar-benar serius.
Aku hanya diam dan menatapnya sejenak.
"Okay, I won't ask about ur background anymore."
"Good," sahutnya.
Di balik sikap menyebalkannya itu, Naya sepertinya menyimpan banyak rahasia yang tidak diketahui oleh siapa pun. Aku yang mengenalnya baru satu minggu memang tidak berhak untuk menanyakan tentang provasi ataupun mengenai keluarganya. Tapi jauh di dasar hatiku, entah kenapa aku ingin mengenalnya lebih jauh. Mungkin aku sudah gila karena bisa sepeduli ini dengan manusia menyebalkan itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top