6.

6.

Naya's Pov

Hari Jumat di Sekolah

Waktu istirahat kedua yang lebih lama daripada hari biasa membuat semua siswa banyak bersantai baik di dalam maupun luar kelas. Gue sendiri lebih suka menghabiskan waktu di kelas untuk mendengarkan musik sambil tidur.

Anak-anak cowok yang muslim sudah pada mulai ke mushola untuk shalat Jumat, sedangkan teman sebangku gue malah ngumpet di bawah kolong meja.

"Nay, tutupin pake tasnya si Ody dong tuh di sela-sela bangku," ucap Aris pelan.

Gue hanya menghela nafas dan mengikuti keinginannya.

"Kasih aba-aba kalo ada guru piket yang lagi ke sini," ucapnya lagi.

"Iya," sahut gue.

Baru beberapa menit Aris mengumpat, Pak Amir masuk ke dalam kelas kami dan memeriksa setiap sudut ruangan. Gue berdiri dan ingin berjalan keluar karena kebelet buang air kecil.

Tapi kaki gue dipegang oleh tangannya Aris membuat gue kaget.

"Apaan sih lo?" gerutu gue.

"Lo mau ke mana? Sini dulu bentar tutupin gua," bisiknya.

"Aduh, gue kebelet kencing nih."

"Sebentar doang Nay," mohonnya.

Kemudian Pak Amir berjalan ke arah tempat duduk kami dengan cepat.

"Kamu lagi, kamu lagi, keluar dari kolong meja," perintahnya ke Aris.

Wajah Aris langsung terlihat kesal sekaligus takut. Dia pun keluar dari persembunyiannya dan Pak Amir langsung menjewer sebelah kupingnya.

"Kerjaan kamu bolos terus dari sholat Jumat. Mau di-sholat-in kamu?" tanya Pak Amir.

Aris meringis, "engga Pak, engga."

Dan beberapa murid yang ada di dalam kelas tertawa melihat adegan tersebut.

"Ayo ikut Bapak ke mushola. Selalu ada-ada saja anak ini," ucap Pak Amir lagi yang menarik Aris masih dengan menjewer telinganya.

Aris menatap ke arah gue sambil berkata tanpa suara. "Gara-gara lo nih."

Gue pun hanya mengangkat bahu dan tertawa kecil padanya.

Lalu gue berjalan keluar kelas untuk ke toilet. Ketika menuju ke sana, tatapan gue sempat terhenti melihat Syahna yang sepertinya sedang menjelaskan sesuatu ke beberapa orang di depan mading.

Rambut panjangnya yang terurai sesekali ia mainkan. Tatapannya juga terlihat tajam dengan bentuk wajah yang tegas. Orang-orang di sekelilingnya juga tengah mendengarkannya dengan serius.

"Kenapa gue malah merhatiin si Syaiton," batin gue.

Gue kembali berjalan menuju toilet dan melewati Syahna. Untuk sekian detik, gue menangkap mata Syahna yang sepertinya sedang memerhatikan gue. Ngapain juga dia ngelihatin gue kayak gitu.

Setelah gue buang air kecil dan ingin keluar dari toilet, gue hampir bertabrakan dengan seseorang.

"Sorry," ucapnya sedikit kaget.

"Oh iya gak apa-apa," sahut gue lalu berjalan keluar.

"Na..ya," panggilnya membuat gue menghentikan langkah dan menoleh ke arahnya.

"Ya?" sahut gue bingung.

"Emmm, gue, gue Kiara anak IPA 2." Dia menjulurkan tangan kanannya.

Gue mengerutkan dahi menatapnya lalu menjabat tangannya. "I-ya."

"Sorry, gue yang waktu itu lihat lo lagi mapah Syahna pas pingsan." Dia terlihat salah tingkah.

"Oh iya, thanks waktu itu udah bantuin."

Dia tersenyum dengan tatapan matanya yang terlihat tidak fokus.

"Hemmm, ada yang mau diomongin lagi?" tanya gue.

"Oh, emmm, engga. Eh iya, ada," jawabnya masih terlihat salah tingkah.

"Ya?" tanya gue.

"Syahna sekarang gimana? Udah...baikan?" tanyanya yang menurut gue terdengar dipaksakan.

Gue masih mengerutkan dahi.

"Tuh, depan mading."

Dia menoleh sejenak. "Ooh."

"Lo temennya dia?"

"Iya, dulu waktu kelas X sekelas."

"Yaudah, temuin aja tuh."

Dia hanya tersenyum menatap gue.

"Gue balik ke kelas ya," ucap gue.

"Iya Naya," sahutnya masih dengan senyuman yang sama.

Dia kenapa ya.

***


Bel pulang sekolah

"Nay, lo balik naik apa?" tanya Aris sesaat setelah Pak Ruslan keluar kelas.

"Ojek paling," jawab gue.

"Langsung balik?"

"Hemm, maybe."

"Ikut gue sama anak-anak nongkrong aja dulu yuk," ajaknya.

"Siapa aja?"

"Tuh si Ody, Rio, terus ada anak IPS 4 si Will, Pandu, sama Sandy."

"Cowok semua?"

"Is that matters?"

"Nope."

"Nah, yaudah yok daripada langsung pulang kayak anak cupu luh," ejeknya.

"Haha, ya iya."

"Yaudah, lo bareng gue aja naik motor."

"Oke."

Kami pun berjalan ke arah parkiran motor bersama. Di sana sudah ada anak-anak yang tadi disebutkan Aris.

Ketika kami ingin menaiki motor, tiba-tiba ada Syahna berjalan ke arah kami.

"Nay, sini," panggilnya.

Gue menengok ke Aris, dia hanya mengangkat bahu.

Gue pun menghampiri si Syahna. "Apaan?"

"Lo mau balik?" tanyanya.

"Kenapa emang?"

"Kapan mau ngerjain tugas bahasanya? Dari kemarin bilang besok-besok terus."

"Yaudah besok."

"Besok libur."

"Yaudah nanti kapan kek."

Dia menghela nafas. "Lo tuh ya, kelompok lain udah pada ngomongin konsep bahkan udah ada yang mau selesei. Cuma kita doang yang belum ada progress apa-apa."

"Masih Rabu ini."

"Besok udah Sabtu, Nay."

"Duh, nanti aja deh ah. Gue mau cabut nih."

Dia menatap gue dengan kesal.

"Berapa nomor hp lo?" tanyanya sambil mengeluarkan ponsel dari kantongnya.

Gue mengerutkan dahi curiga. "Mau ngapain?"

"Gue mau ingetin lo terus. Buruan sebutin berapa?"

Gue hanya diam.

"Mana?"

Gue pun mengeluarkan ponsel dari dalam tas lalu memberikan padanya.

"Nih, lo ketik nomor lo sendiri."

Dia mengambil ponsel gue lalu mengetikan nomor dan menelponnya.

"Tuh, nomor gue, save!" ucapnya sembari mengembalikan ponsel.

"Ya," sahut gue lalu pergi meninggalkannya.

"Nyebelin," umpatnya samar-samar terdengar di telinga gue.

Dan entah kenapa, senyuman tipis secara otomatis terbentuk di wajah gue sekarang.

Gue kembali ke Aris dan yang lainnya.

"Kenapa lagi lo sama si Syahna?"

"Dia nanyain tugas bahasa."

"Oh, kok mukanya kesel gitu tadi?"

"Bukannya tiap saat mukanya kayak gitu terus ya?"

"Emmm, ya sih cuma agak beda aja. But yaudahlah, cabs sekarang yuk."

"Yuk."

Kami pun berangkat ke tempat tongkrongan mereka. Ternyata tempat yang dimaksud Aris adalah sebuah café kecil yang terletak di jalan kecil tidak begitu jauh dari sekolah.

Di dalamnya sudah ada beberapa siswa dari sekolah kami. Sedangkan murid ceweknya paling hanya 5 orang termasuk gue.

"Sini Nay duduk," ajak Aris.

Dia memperkenalkan gue pada teman-temannya. Lalu mereka mengeluarkan sebungkus rokok dan mulai menghisapnya.

"Mau?" tawar Aris.

Gue mengambil sebatang rokok dari bungkus yang diberikan olehnya. Aris terlihat tersenyum penuh arti sambil menyalakan rokok yang gue ambil.

"Gak salah sih gue ngajak lo ke sini," ucapnya.

"Naya mau pesan apa?" tanya si Will. Dia ini perawakannya cukup tampan. Badannya tinggi, rambut klimis, dan memakai kacamata. Tapi ya, wajahnya standar playboy cap sekolahan. Mudah sekali ditebak.

"Ice cappucino please," ucap gue.

"Itu aja? Gak mau pesen makan?"

"No, thanks."

Dia tersenyum manis. Pasti sudah banyak cewek yang luluh dengan senyumannya itu.

"If you need something, just tell me. My treat," ucapnya.

"Wuiiiii, kita juga dong Will?" sahut si Aris.

"Gak lah, lo mah bayar sendiri-sendiri sana."

"Dasar lo. Cewek doang yang dibaikin," ucap si Aris.

"Gimana Nay? Asik kan nongkrong di sini?" tanyanya lagi.

"Hemm, lumayan."

"Ini basecamp kita Nay. Gue mulai nongkrong di sini sama mereka dari kelas X. Cuma di sini kita bisa ngerokok bebas."

"Gak pernah ketahuan guru?"

"Ya kalopun ketahuan kan ini udah di luar sekolah," celetuk Ryo.

"Yoiiii," sahut Ody.

Gue menganggukan kepala. "Biasanya kalian ngapain aja kalo nongkrong di sini selain ngerokok dan ngopi?"

Aris menatap ke Pandu, Pandu menoleh ke Sandy, dan Sandy tersenyum lebar lalu mengeluarkan laptop dari dalam tasnya.

"Tukeran video bokep, hahaha. Mana San yang baru? Ada yang versi cewek sama cewek kan?" ucap si Aris yang diikuti rasa excited.

Gue memutar bola mata malas menatap mereka.

"Boys will be boys," tiba-tiba Will duduk di sebelah gue.

"Lo gak ikutan?"

Dia menggelengkan kepala. "Udah bosen."

Gue menghela nafas. "Cowok gak di mana-mana sama aja ya."

"Yaaa namanya juga laki Nay, isi otaknya gak jauh-jauh dari selangkangan. Hahaha." Aris menyahuti dan diikuti oleh tawa yang lain.

"Setiap hari begini?" tanya gue ke Will.

"Engga sih, kadang kita mabar atau curhat."

"Curhat? Masalah cewek?"

"Iya, biasanya kita kalo curhat lebih ke bego-bego-in diri sendiri sih. Haha kayak si Pandu tuh baru diselingkuhin, ya kita bego-bego-in," jelas Will.

"Hemm, berarti kalian sering nongkrong bareng di luar sekolah."

"Kadang-kadang sih," jawabnya.

"Nanti malem kita mau ke club Nay di SCBD, ikut yuk," celetuk si Aris lagi.

"Jam berapa?" sahut gue.

"Jam 10-an lah kumpul. Kalo lo mau, nanti gue chat tempatnya. Sekalian aja bareng gue, gue jemput gitu ke rumah lo," ucap Aris.

"Sama gue aja Nay," sahut Will.

"Gue jalan sendiri aja. Nanti lo chat ya Ris tempatnya di mana."

"Siiip."

Kami pun mengobrol banyak hal. Mulai dari game, bahas guru-guru, bahkan mereka sampai ngobrolin cewek. Tadi Sandy sempat membicarakan tentang Kiara. Dia bilang kalau Kiara belum lama ini putus dari Bang Aldo, senior mereka yang sudah lulus. Jadi anak-anak cowok lain ingin mencoba mendekatinya lagi.

"Serius San? Lo denger dari mana?" tanya Ody.

"Abang gue kan temenan sama Bang Aldo," jawab si Sandy.

"Wuah, kenapa putusnya?" kini giliran Ryo yang bertanya.

"Gak tau, katanya si Bang Aldo gak mau cerita."

"Gue sih ya mending deketin dan nembak si Kiara daripada si Syahna, udah pasti akan ditolak soalnya," ucap Pandu.

"Pemegang record banget sih tuh si Syahna, semua cowok yang nembak dia gak ada yang dia terima," celetuk Aris.

"Lo kan salah satunya Ris," ejek Ody.

"Hahahaha," tawa mereka.

"Sial lo. Lagian, si Syahna gak suka cowok apa ya? Gila, semuanya gak ada yang masuk kriteria dia."

"Anjir, gak mungkin lah bego. Cewek cantik kayak dia pasti punya standar yang tinggi, dan lo boro-boro masuk standar cowoknya, kalo jadi supirnya sih ya bisa lah, hahaha," ejek si Sandy.

"Lo pada ributin Syahna gak ngehormatin Naya yang di sini. Tenang Nay, kalo gue sih maunya deketin lo aja," ucap Will.

"Mana mau Naya sama playboy kayak lo Will," sahut Aris.

"Gue playboy nomor 1 kan lo playboy nomor 2 nya Ris."

"Bangkeee."

Gue hanya tertawa mendengar ocehan mereka. Dari dulu gue emang lebih suka ngobrol dengan anak-anak laki ketimbang perempuan. Menurut gue, mereka lebih bisa mengeluarkan pendapatnya dan tidak fake. Hal itu yang jarang gue temukan di lingkaran pertemanan cewek.

Waktu sudah menunjukkan jam 5 sore. Satu persatu dari kami mulai pergi meninggalkan tempat ini. Gue pun memesan ojek online untuk mengantar gue pulang.

"Lo gak mau gue anterin aja Nay?" tanya Aris.

"Gak usah, thanks," jawab gue.

"Sama gue juga gak mau Nay?"

"No, thank you."

"Yaudah, gue tungguin sampe ojek lo dateng kalo gitu," ucap Aris.

"Gue balik duluan ya," ucap Will.

"Okay, nanti malem jangan lupa ya bro."

"Pasti lah. Bye Naya, hati-hati ya nanti pulangnya. See you tonight," kemudian Will pergi meninggalkan kami berdua.

"Masih jauh ojek lo?"

"Di maps sih 5 menit lagi."

"Hemm, Nay."

"Ya?"

"Hemmm.." gumam Aris dengan ekspresi yang sepertinya memikirkan sesuatu.

"Kenapa?"

Lalu dia menggelengkan kepala. "Never mind."

"Okay."

Tidak lama kemudian ojek online yang gue pesan datang dan gue pun pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah, keadaannya masih sama seperti tadi pagi, sunyi.

"Selamat datang Non. Non Naya ingin dimasakkan apa untuk makan malam nanti?"

"Gak usah Bi, nanti saya makan di luar aja. Mirna di mana Bi?"

"Oh Mirna lagi ngerjain tugas di kamar Non, ada apa?"

Gue memberikan sebungkus kotak ke Bi Siti.

"Ini tolong kasih Mirna, tadi saya beliin blueberry cheese cake."

Wajah Bi Siti berubah haru.

"Terima kasih Non Naya, Non selalu baik sama anak saya."

Gue tersenyum. "Bi Siti juga udah baik sama saya. Saya ke atas dulu ya Bi."

"Iya Non, terima kasih Non."

Masih dengan memakai seragam, gue merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Sudah hampir 2 bulan gue di sini sampai gue masuk sekolah, baru beberapa kali gue merasakan sarapan atau makan malam bersama Papa dan Mama. Itu pun suasananya dingin, tidak ada kehangatan sama sekali.

Kehidupan gue jauh lebih baik ketika gue di Norwey bersama Oma. Di sana gue selalu merasa disayang, tidak seperti di sini yang semuanya pada sibuk masing-masing. Kenapa Papa harus minta gue balik ke Jakarta, kota yang sudah lama gue lupakan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top