50.

*play the song (it represents Naya's feeling)


Naya's Pov

Gue dan Syahna sama-sama saling diam menatap ke luar jendela dengan pikiran kami masing-masing. Hingga yang lain tiba, kami pun langsung masuk ke dalam rumah Will.

Will langsung mengajak ke pinggiran kolam renang yang letaknya ada di bagian samping.. Di sana sudah disediakan tempat grilled dan berbagai perlengkapan masak lainnya.

"Will, sorry, toilet sebelah mana ya? Gue mau cuci tangan dulu," tanya Syahna ke Will.

"Oh itu lo lurus aja Sya ke arah ruang tengah, di samping kiri ada pintu, itu toiletnya. Ada tulisannya kok," jawab Will.

"Oke," sahut Syahna.

"Gue ikut," gue pun mengikutinya dari belakang.

"Ceileeeh, gak mau banget ditinggal Nay," Aris mengejek.

Gue menoleh ke belakang ke arahnya lalu mengacungkan jari tengah padanya membuat dia malah semakin tertawa, sama seperti yang lainnya.

Syahna menghentikan langkah di depan pintu toilet. "Kamu mau ngapain?"

"Kamu?" gue malah balik bertanya.

"Cuci muka, cuci tangan, cuci kaki."

"Aku juga."

"Hemmm, yaudah gantian. Aku duluan."

"Silakan."

Dia pun masuk ke dalam terlebih dahulu hingga beberapa menit. Lalu dia keluar sambil mengusap wajahnya dengan tisu. Gue memerhatikannya dan menghentikan gerakannya untuk sesaat.

"Bentar," ucap gue sambil mengambil sisa tisu yang ada di dahinya dan mengusap sedikit air yang masih tersisa di sana.

Syahna terlihat salah tingkah dengan jarak kami yang sangat dekat seperti ini. Gue pun sampai bisa merasakan deru nafasnya dan mencium wangi parfum dari lehernya.

"Sorry," ucap gue.

"Iya, gak apa-apa. Makasih," sahutnya.

Gue mempersilahkan Syahna untuk lewat dan kembali berkumpul dengan yang lain. Ketika gue selesai mencuci tangan, gue juga menghampiri mereka dan melihat Will dengan Aris sedang mempersiapkan arang untuk dibakar, sedangkan Kiara, Syahna, dan Mala sedang memotong daging serta sayuran.

"Gue ngapain nih?" tanya gue membuat semua orang menengok ke arah gue.

Aris langsung menghampiri dan merangkul bahu gue. "Ya lo bantuin gue dan Will lah Nay, biar imbang, tiga-tiga. Sini, lo bumbuin daging yang ditusuk sama cewek-cewek."

"Hemm, okay. Kan gue juga cewek Ris."

"Iya sih cewek, tapi jadi-jadian haha. Udah sini lo bantuin."

Gue menoyor kepala Aris. "Sialan lo."

Kami ber-6 pun melanjutkan barbecue-an di pinggir kolam renang dengan saling mengobrol dan bercanda seperti biasanya. Gue pasti akan merindukan momen-momen kayak gini bareng mereka. Banyak hal yang sudah kami lewati bersama.

Dari awal gue masuk ke sekolah, Aris orang pertama yang menyodorkan tangannya dan berteman sama gue. Lalu ada Ody dan Ryo yang selalu bikin jokes receh tapi tetap bisa bikin tertawa. Kemudian gue mengenal Syahna, cewek jutek yang selalu ribut sama gue sampai akhirnya kami mengakui perasaan masing-masing. Syahna pula yang menjadi alasan utama gue mulai merasakan kalau gue punya tujuan untuk tinggal di Jakarta.

Dan juga Mala yang selalu ngintilin Syahna ke mana pun dia pergi, hingga Aris jadian dengan Mala, kami jadi semakin sering meluangkan waktu bersama.

Tidak hanya mereka, Will juga seorang sahabat yang sangat bisa diandalkan. Dia selalu membantu kami setiap kali kami ada masalah. Walaupun tampangnya seperti fuck boy, tapi Will adalah salah satu cowok paling gentle yang gue kenal. Terakhir Kiara, entah sejak kapan kami jadi saling terbuka, tapi gue udah beberapa kali ngebahayain diri gue demi menolongnya. Kiara itu cewek yang lembut dan gue yakin siapa pun yang kenal dekat dengannya, pasti ingin melindunginya. Kiara dan Will adalah pasangan paling cocok dan gue berharap hubungan mereka bisa lama.

"Woy, Nay, bengong aja. Mau beer lagi gak?" Will menyenggol lengan gue.

"Oh, iya, boleh Will."

"Gue ambilin dulu ya."

"Thanks Will."

Kiara datang menghampiri dan duduk di samping gue. "Kamu udah kasih tahu Syahna rencana kuliah kamu untuk ambil penerbangan?"

Gue melihat ke arah pinggir kolam di mana Syahna tengah mengobrol dengan Mala.

"Belum Ki dan aku gak ada rencana untuk kasih tahu siapa-siapa tentang itu sih," jawab gue.

"Lho? Kenapa emangnya?"

Gue menoleh ke Kiara. "I wanna start a new life. So, I need your favor to keep this from anyone. Can you do that for me?"

Kiara menatap mata gue lalu sedetik kemudian dia tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Yeah, I will Nay."

Gue tersenyum. "Makasih ya, aku percaya sama kamu."

"But... why?" tanyanya.

Gue menghela nafas panjang dan kembali melihat ke arah Syahna di sana. "I was born in this town. I'm growing here till my brother passed away. Then my parents sent me off to Norway. Till one day, they want me come back here..."

Gue diam sejenak lalu menatap Kiara. "Do you know what's the meaning of hiraeth?"

Kiara menggelengkan kepalanya. "No, what's that?"

"It's a homesickness for a home you can't return to.. or that never was..." ucap gue kembali menggantungkan kalimat.

Lalu gue menaruh botol beer di meja dan kembali menatap ke satu arah, yaitu Syahna.

"When I came back here, deep inside my heart, I'm still have a little hope that my parents will love me as they used to be. But I was wrong and I realize something. I don't have a home to return to Ki. Until I met Syahna, she changes the way I think, she changes me to be a better person, and she makes me feel like I have a destiny, I have home to come back... and it was her. But at the end, she will never be mine. I don't have anywhere to go. So, yeah.. I wanna start a new life as a new me. Then I will leave everything behind," ucap gue lagi menjelaskan ke Kiara apa yang gue rasa.

Sebelah tangan Kiara menarik tangan gue dan menggenggamnya. Gue pun menoleh ke arahnya. Dia menatap gue sangat dalam hingga gue tidak bisa mengalihkan pandangan gue dan hanya tertuju menatap kedua matanya.

"You are not alone Nay. Please, don't ever think you don't have anyone besides you. I know and I understand your decision... but bear in your mind, I will always here to support you, to hear you. You have me as your best friend, as your sister, okay?"

"Thanks a lot Ki. Makasih karena kamu udah ngertiin aku."

Kiara tersenyum. "Syahna is so lucky to be loved by you."

Gue menggenggam tangan Kiara yang sedang memegang sebelah tangan gue. "And Will is a lucky bastard to have you as his girlfriend Ki."

Kiara sedikit tertawa bersamaan dengan datangnya Will. Gue pun langsung melepaskan pegangan tangan gue.

"Ck, baru beberapa menit gue tinggal ke dalem, cewek gue udah ada yang megang-megang aja," ucap Will bercanda.

"Haha sorry Will, I don't mean it," sahut gue.

Will memberikan sebotol beer ke gue lalu dia duduk di sebelah Kiara dan merangkul bahu pacarnya itu.

"Kiara nyamanin banget ya Nay?" tanyanya ke gue membuat gue tersenyum dan sedikit tertawa.

"Haha, you are so lucky to have her bro. Don't ever break her heart ya, make her happy," ucap gue ke Will.

Will menarik nafasnya lalu dia mencium kepala Kiara dari samping di depan gue. "Sure, I will make her happy."

Gue tersenyum ke mereka. "I'm so happy for both of you."

Tiba-tiba ada Aris lari dari dalam mengenakan boxer dan langsung nyebur ke kolam renang.

"Gue luluuuuuuus!" teriaknya.

"Aris, iiihhhh, baju gue basaaaaaah!" gerutu Syahna teriak ke Aris karena dia terkena cipratan air kolam.

Will melepas rangkulannya dengan Kiara dan dia berjalan ke pinggir kolam. "Haha mampus lo Ris."

"Eh, eh, sorry Sya, sorry," ucap Aris dari dalam kolam.

"Ck, nyebelin lo ah," gerutu Syahna lagi dan Mala hanya terkikik melihat pacarnya diomelin sama sahabatnya.

Syahna pun berjalan menuju ke dalam. Ketika dia melewati gue, gue memegang sebelah tangannya.

"Mau ke mana?"

"Toilet," jawabnya masih kesal.

Gue pun berdiri di depannya. "Mau ngapain?"

"Keringin seragam," sahutnya lagi.

"Mau keringin pake apa emang?"

Syahna menoleh ke Will. "Ada hairdryer gak Will?"

"Kayaknya lagi dibawa sama adek gue nginep deh Sya."

Syahna ngedumel kesal.

"Pake kaos aku aja, semalem abis aku ambil dari laundry-an dan ada di mobil," ucap gue ke Syahna.

"Hemm, yaudah."

"Yaudah, kamu tunggu di depan toilet aja. Biar aku yang ambil ke mobil."

"Oke, makasih."

Gue pun bergegas ke mobil dan mengambil kaos kesayangan gue dari dalam koper. Gue memandangi kaos bergambarkan album Parachute Coldplay yang ditandatangani oleh Chris Martin. Gue mendapatkan kaos tersebut ketika nonton konser mereka di London beberapa tahun lalu.

Gue menghampiri Syahna dan memberikan kaos tersebut padanya. Dia melihat kaos tersebut lalu menatap gue.

"Kamu pinjem aku kaos kesayangan kamu ini?"

"Iya, udah sana ganti baju buruan nanti kamu masuk angin."

"Makasih ya Nay."

"Iya Sya, sama-sama."

Setelah Syahna mengganti baju dan waktu pun sudah menunjukkan pukul 7 malam, kami semua memutuskan untuk pulang. Will mengantar Kiara, Aris dan juga Mala. Sedangkan gue menawarkan diri untuk mengantar Syahna pulang.

Selama di perjalanan, suasana kembali canggung. Syahna pun menyalakan radio di mobil gue, hal yang biasa dia lakukan dulu.

"Emmm, besok kamu ke sekolah gak?" tanyanya tiba-tiba.

Gue menoleh. "Kenapa emang?"

"Besok anak-anak sekelas mau ngomongin prom."

"Ooh, emang kamu mau ke sekolah?"

"Iya."

Gue kembali menatap ke depan. "Emmm, aku lihat besok deh."

"Tapi kamu datang ke acara prom sekolah kita kan?"

"Emang wajib ya?"

"Iya, wajib. Masa kamu gak mau dateng ke acara perpisahan angkatan kita sih?"

Gue diam tidak mengucapkan apa-apa.

"Emmm, nanti ke promnya aku bareng kamu boleh?" tanya Syahna terdengar malu-malu.

Gue kembali menoleh sejenak. "Aku gak janji ya."

"Kenapa?"

"Gak apa-apa."

"Hemmm, okay," gumamnya.

Suasana pun kembali hening hanya ada lagu yang terdengar dari radio. Hingga kami sampai di depan rumah Syahna, aku menghentikan mobil dan kemudian melepaskan seat belt lalu menatapnya.

"Syaaa.." panggilku.

Syahna menoleh. "Iyaa?"

Aku diam sejenak lalu mencoba tersenyum padanya. "Maafin aku ya."

Syahna terlihat bingung. "Maaf? Untuk?"

Gue menarik nafas dalam-dalam untuk mengumpulkan keberanian.

"Aku mau minta maaf ke kamu karena aku punya perasaan ini. I drag you into this situation. I change you to be in love with me, a girl like you. I'm so sorry for everything I did to you. Ini salah aku, gak seharusnya aku jatuh cinta ke kamu sampai kamu harus merasakan semuanya. Tapi, aku bener-bener gak bisa milih untuk jatuh hati ke siapa Sya. Semenjak kenal kamu, duniaku berbeda, pemikiranku jadi berubah, kamu juga udah kasih aku kenyamanan dan rasa sayang yang belum pernah aku rasain sebelumnya. Aku sayang banget sama kamu Sya, tapi aku juga ngerti kalau kamu ingin kembali ke jalan yang seharusnya. Terlepas dari siapapun cowok itu, aku cuma berharap kalau kamu bahagia dengan keputusan kamu. You don't have to think about me, you don't have to feel sorry to me karena aku udah mencoba untuk menerima semuanya," ucap gue serius ke Syahna.

Dia menatap dalam mata gue hingga sebulir air mata jatuh di pipinya. Entah kenapa, gue bisa merasaka kalau Syahna sedang menyembunyikan sesuatu dari gue tapi gue gak bisa menebak itu apa.

"Kamu gak harus minta maaf ke aku Nay. Aku jatuh cinta ke kamu bukan karena kamu yang mengubah aku, tapi karena emang hati aku yang milih kamu. Aku gak pernah nyangka, seorang anak baru yang selalu berdebat dan ribut sama aku hampir setiap hari, ternyata bisa bikin hati aku luluh. Kamu bikin hidup aku jadi lebih berwarna Nay. Aku yang harusnya minta maaf ke kamu karena udah ngecewain kamu. Maafin aku," jawabnya.

Aku mengusap air mata di wajahnya.

"Aku boleh minta satu permintaan ke kamu?" tanya gue.

"Boleh, apa?"

"Apa aku boleh peluk kamu?"

Syahna diam sejenak dan dia seperti melihat ke arah luar mobil. Lalu dia menganggukkan kepalanya. "Boleh."

Gue tersenyum dan sedetik kemudian gue memeluk tubuhnya dengan sangat erat. Gue mencium aroma tubuhnya yang pasti akan gue rindukan. Gue menarik nafas dalam-dalam hingga gue gak bisa menahan air mata gue lagi.

Perlahan gue melepas pelukan kami dan gue kembali menatap wajah Syahna. Dia terlihat kaget melihat gue menangis. Kemudian kedua tangan Syahna mengusap air mata di wajah gue.

"Kenapa kamu nangis?" tanyanya.

"Gak apa-apa," jawab gue berdalih. Padahal saat ini gue sangat sedih harus menerima kenyataan kalau gue gak akan pernah memilikinya.

"Jangan nangis Nay, besok kita ketemu di sekolah ya," ucapnya berusaha menenangkan gue.

Gue hanya tersenyum dan mencoba menenangkan diri. "Yaudah, sana gih masuk, ini udah malem."

Syahna membalas senyuman gue. Dia pun kembali mengusap wajah gue dengan lembut.

"Kamu hati-hati ya nyetirnya, jangan ngebut-ngebut."

"Iyaa."

Dia mengambil tas dari jok belakang lalu membuka pintu. Sebelum dia keluar, gue kembali memanggil namanya.

"Syaa.."

"Iya?" dia menoleh.

Gue tersenyum, senyuman yang hanya gue berikan padanya.

"I love you," ucap gue tanpa mengeluarkan suara.

Syahna ikut tersenyum. "I love you too," sahutnya juga tanpa suara.

Dan Syahna pun masuk ke dalam rumahnya meninggalkan gue yang masih melihat punggungnya semakin menjauh.

I'm so grateful to know you, Syahna.

***


Keesokan Harinya di Sekolah

Syahna's Pov

Aku berangkat seperti biasa ke sekolah. Kelas kami sudah janjian hari ini untuk membahas prom dan juga konsep buku tahunan yang rencananya akan dilakukan lusa nanti.

Ketika sampai di sekolah, sudah ada Mala dan Aris yang sedang mengobrol di bangku depan kelas.

Aku menghampiri mereka. "Ris, Naya belum dateng?"

"Eciyeee, pagi-pagi udah nanyain Naya aja," ejeknya.

"Udah dateng belum?"

"Belom keliatan batang idungnya daritadi," sahut Aris.

"Hemm, yaudah," ucap gue lalu masuk ke dalam kelas.

Hingga bel berbunyi, masih ada beberapa anak kelas kami yang belum datang termasuk Naya. Ya, di minggu bebas seperti ini, khusus kelas XII memang dibebaskan ingin masuk dan pulang jam berapa saja, asal tidak mengganggu kegiatan belajar kelas X dan XI.

Kelas kami masih berdiskusi mengenai konsep buku tahunan dan saling melempar ide. Hingga bel istirahat pertama berbunyi, hanya tinggal Naya yang belum datang.

Aku pun akhirnya memutuskan untuk menelpon ke nomornya.

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan."

Ck, Naya ke mana sih?!

"Udah bisa dihubungin Sya?" tanya Mala.

"Belum nih, nomornya gak aktif. Dia gak ngabarin lo emang Ris?" tanyaku ke Aris.

"Gak ada sih, cuma semalem doang dia chat gue bilang udah sampe," jawab Aris.

"Ck, masa iya sih jam segini dia masih tidur?" gumam gue.

"Coba gue tanya si Will ya," sahut Aris sambil mengambil handphone-nya untuk menelpon Will.

Belum sempat Aris menelpon, Will dan Kiara masuk ke kelas dan menghampiri kami.

"Naya mana?" tanya Will.

"Lah, baru mau gue tanya ke lo nih," sahut Aris.

"Gue pikir dia udah dateng daritadi soalnya dia gak ada chat sama sekali ke gue atau Kiara," ucap Will.

"Udah coba telpon ke nomornya Sya?" tanya Kiara.

"Udah Ki tapi di luar jangkauan."

"Hemmm, udah ada yang coba telpon ke nomor rumahnya belum?" tanya Will.

Aris menyahuti. "Oh iya, coba telpon Sya."

Aku pun langsung menelpon ke rumah Naya berkali-kali tapi tidak ada yang angkat.

Aku mulai panik.

"Naya ke mana sih? Dia gak aneh-aneh kan semalem? Gak mabok-mabokan lagi?"

Kiara merangkul bahuku mencoba menenangkanku. "Tenang Sya, mungkin Naya masih tidur kali di apartemennya."

Aris kembali menyahuti. "Iya Sya. Dia gak mabok-mabokan kok semalem. Dia chat gue bilang udah sampe abis anterin lo balik."

"Tapi feeling gue gak enak nih. Gue samperin aja deh ke apartemennya," ucap gue langsung memasukkan buku ke dalam tas dan bergegas pergi.

"Aku temenin Sya," ucap Kiara mengejarku.

"Nanti tas kamu aku yang bawain Ki," ucap Will ke Kiara.

Aku langsung menancapkan gas menuju ke apartemennya Naya.

"Hati-hati nyetirnya Sya," ucap Kiara.

"Iya," sahutku sambil menancapkan gas ngebut ke apartemen Naya.

Sesampainya di sana, kami langsung menuju ke kamar Naya dan memencat bel berkali-kali tapi tidak ada jawaban sama sekali. Kami diam di sana sambil tetap berusaha menelpon nomornya dan juga tetap memencat bel kamarnya hingga 15 menit berlalu.

Lalu ada seorang cleaning service keluar dari lift menuju ke lorong ini. Aku langsung menghampirinya.

"Mas, Mas tahu gak pemilik kamar ini ada di kamar atau gak?"

"Maaf Mbak, saya gak tahu. Mbak tanya ke resepsionis bawah aja," jawabnya.

"Oke, makasih."

Lalu kami langsung turun ke bawah menuju ke resepsionis. Aku langsung menanyakan Naya dengan menyebutkan tower, lantai serta nomor kamarnya.

Salah seorang resepsionis tersebut mengecek dari layar komputernya.

"Kamarnya atas nama Davira Naya Baskoro, benar?" tanyanya.

"Benar Mbak," jawabku.

"Oh kalau di database kami, kamar tersebut sudah kosong sejak semalam nih Mbak."

"Kosong? Maksudnya?" tanyaku.

"Iya, sudah tidak dihuni lagi oleh teman Mbak."

"Duh, Ki, gimana nih?"

"Tenang Sya. Oh iya Mbak, ada info gak ya yang sewa kamar tersebut ke mana?"

"Oh maaf Mbak, untuk hal tersebut kami tidak tahu."

"Okay, makasih ya Mbak."

"Sama-sama Mbak."

Kiara menarik tubuhku dari meja resepsionis. "Sekarang kita ke rumahnya aja ya Sya."

"Iya ayo Ki," ajakku.

"Eh tapi sini, biar aku aja yang nyetir ya. Kamu sekarang lagi panik nanti bisa bahaya di jalan."

"Iya, nih kuncinya," aku memberikan kunci mobilku pada Kiara.

Kami langsung bergegas ke rumah Naya. Sesampainya di depan rumahnya, hanya ada mobil Naya terparkir di dalam. Perasaanku pun jadi sedikit tenang.

Kami memencet bel beberapa kali sampai Bi Siti keluar membukakan pintu.

"Siang Bi, Naya ada di dalam?"

"Oh Non Syahna, hemmm Non Naya..." Bi Siti menggantungkan kalimatnya.

"Naya ada di dalam kan Bi? Itu mobilnya ada di garasi."

"Emm, maaf Non. Non Naya semalam sudah terbang ke luar negeri sama Bapak."

Aku mencoba mencerna ucapan Bi Siti barusan. "Ma, maksudnya Bi?"

"Iya Non, semalam Non Naya balik ke rumah untuk bawa semua pakaian dan barang-barangnya terus pergi sama Bapak Non."

"Gak balik lagi ke sini?"

"Sepertinya engga Non. Semalem Bibi sempet denger pembicaraan Bapak dan Non Naya, katanya Non Naya mau tinggal dan menetap di sana."

"Di mana Bi?" tanyaku.

"Bi Siti kurang tahu Non, maaf."

Aku langsung menoleh ke Kiara dengan mata berkaca. "Kiiiiii..."

Kiara juga terlihat shock sama sepertiku.

"Bi, ada nomor Naya yang bisa dihubungi?" tanya Kiara mencoba tetap tenang ke Bi Siti.

"Bibi juga gak tahu Non soalnya Non Naya cuma pamit aja ke Bibi tanpa bilang apa-apa."

Aku dan Kiara sama-sama saling menatap.

"Kiiii, Naya pergi gitu aja?" tanyaku tanpa bisa membendung lagi air mataku.

Kiara mengelus tanganku. "Tenang Syaaa.."

Tubuhku terasa lemas hingga aku tak sanggup lagi berdiri. Kiara dan Bi Siti menuntunku duduk di bangku teras rumah Naya.

"Kiiii, gue belum kasih dia penjelasan Kiiii. Gue masih pengen ketemu Naya, gue masih pengen ngabisin waktu sama dia. Kiiii, gue harus gimanaaaa?" tangis gue semakin keras.

"Bibi ambilin minum dulu ya Non," ucap Bi Siti.

"Iya Bi, makasih," sahut Kiara.

"Kiiii, gue masih belum bisa ngelepasin Naya Kiiiii. Dia pergi ke manaaaa?"

Kiara merangkul tubuhku dan mengusap air mataku. "Udah Syaaa, tenang ya."

Aku memeluk tubuh Kiara menumpahkan rasa sedihku, rasa penyesalanku, dan rasa bersalahku pada Naya.

"Gue udah nyakitin Naya Kiiii, gue sayang sama dia. Gue gak siap kehilangan dia Kiiiii," ucap gue masih dalam tangis.

Aku tidak pernah menyangka sama sekali kalau kemarin malam akan menjadi kali terakhirku bertemu Naya.



***

Satu bulan telah berlalu dari kejadian itu. Di mana Naya pergi secara tiba-tiba tanpa ada satu orang pun di antara kami yang mengetahui ke mana ia pergi. Sampai detik ini pun, aku masih sering menangis jika mengingat Naya. Banyak hal yang masih belum aku jelaskan padanya.

Ternyata, malam itu adalah malam terakhir aku bisa bertatap muka dengan Naya. Aku masih mengingat cara dia menatap dalam mataku, senyumannya yang hanya ia berikan padaku, dan bisikan terakhirnya sebelum aku keluar dari mobilnya.

Nay, di mana pun kamu berada saat ini, aku hanya ingin sampaikan maaf padamu. Dan perlu kamu tahu Nay, aku tidak milih Giffran, aku milih kamu Naya. Hanya saja keadaan yang tidak membiarkanku untuk bersamamu lebih lama. Tapi jauh di dalam hatiku, cintaku ini hanya untukmu Nay.

Aku sangat mencintai kamu, Davira Naya Baskoro. Maafin aku karena belum sempat memberikanmu penjelasan yang sesungguhnya. Aku harap, kamu akan selalu bahagia. Dan semoga, suatu hari nanti, aku masih bisa bertemu dan bertegur sapa denganmu.

I love you Naya... and I miss you.



END

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top