49.

*play the song (it describes Naya's feeling)


Syahna's Pov

Waktu terus berlalu dan hari pun berganti. Hubunganku dengan Naya juga semakin jauh seperti ada jarak besar di antara kami. Aku sedang berusaha menerima keadaan tanpa menyalahkan siapapun. Tapi tentu hal itu tidaklah mudah karena Naya sudah mengisi ruang tersendiri di hati ini.

"Syaaa, nanti prom pake dress warna apa?" tanya Mala.

"Apaan La?" aku balik bertanya padanya karena sejak tadi fokusku selalu tertuju ke Naya.

"Ish, lo tuh kebanyakan bengong, kesambet aja. Ini gue lagi cari-cari referensi dress buat prom. Nanti lo pake warna apa?" Mala menunjukkan ponselnya.

"Gak tahu. Lagian lo udah mikirin prom aja, pengumuman UN aja belum."

"Haha kita semua pasti lulus. Kan pengumuman juga tinggal besok, lo kaku banget sih. Rileks sedikit kenapa sih Sya. Lo masih mikirin Naya ya?"

Aku memang tidak menceritakan secara detail ke Mala kenapa aku dan Naya putus. Dia hanya tahu kalau kami mengakhiri hubungan ini karena sudah tidak sepaham lagi.

"Ck, engga. Udah ah, gue mau balik duluan ya."

"Dih, kok pulang sih? Syaaa, temenin gue cari dress dulu ayoooo."

"Lo ajak Aris aja. Gue lagi gak mood. Udah ya, gue balik."

Aku pun membereskan semua buku ke dalam tas dan bergegas ke parkiran. Sebelum aku memasuki area parkir, aku melihat Kiara dan Naya sedang jalan berdua menuju ke mobilnya Naya.

Mereka tampaknya sedang membicarakan hal serius, aku bisa melihatnya dari raut wajah Naya. Lalu Kiara menggandeng lengan Naya dan mengelusnya. Mereka semakin dekat dan aku tidak punya hak untuk marah atau pun cemburu meski dalam hati ini aku masih kesal melihat kedekatan mereka.

Mereka berdua pun pergi meninggalkan sekolah. 

Kalau Kiara pulang berdua sama Naya, terus Will ke mana ya?

Aku terus berjalan menuju ke mobilku.


Keesokan Harinya

Semua murid kelas XII sudah ramai menunggu hasil pengumuman UN yang akan dipasang di papan pengumuman berdasarkan peringkat teratas dengan nilai tertinggi hingga terendah. Papan pengumuman juga terpisah sesuai dengan jurusan masing-masing. 

Mala terus menggandeng lenganku tidak sabar melihat hasil UN kami.

Ketika Pak Darto memasang beberapa lembar di papan pengumuman, semuanya langsung menyerbu ingin melihat nama mereka. Mala terus menarik tanganku agar bisa berdiri lebih dekat ke papan tersebut.

"Syaaa, Syaaaa, gue lulus Syaaaa. Gue ada di peringkat ke-49 Syaaa," ucap Mala sambil jingkrak-jingkrakan penuh semangat.

Aku pun mencari namaku yang ternyata ada di urutan kedua. Dan nama Davira Naya Baskoro ada di atas namaku. Naya dapat nilai UN tertinggi di sekolah kami untuk jurusan IPS.

Mataku langsung tertuju pada Naya yang sejak tadi hanya berdiri di belakang keramaian. Dia menatap hasil pengumuman UN dengan tatapan hampa, tatapan yang dulu pernah ia perlihatkan di balkon kamarku. Wajahnya hampir tidak ada ekspresi apapun, hingga dia membalikan tubuh dan berjalan meninggalkan keramaian ini.

Sungguh, saat ini aku sangat ingin mengejarnya untuk memberikan selamat padanya atau sekadar menggenggam tangannya. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh Naya, sorot mata itu menyimpan sebuah kesedihan.

Nay, aku pengen banget peluk kamu Nay.

Mala memeluk tubuhku. "Wuah, congrats Syaaaa, lo di urutan keduaaaa."

Aku sedikit tersenyum ke Mala. "Iyaa La, thank you."

"Tapi kali ini nilai lo kalah sama Naya. Syahna udah gak jadi juara pertama lagi deh," ejek Mala bercanda.

Biasanya aku sangat kompetitif jika berhubungan dengan nilai akademis. Aku bisa langsung menyalahkan diriku jika kalah dengan seseorang. Tapi kali ini, aku malah senang karena Naya yang mengalahkanku. Dia membuktikan kalau dirinya tidak main-main saat UN. Aku telah salah menilainya. Maafin aku Nay.

Semua murid kelas XII diminta masuk ke kelas masing-masing untuk mendapatkan arahan dari Wali Kelas.

Bu Reni masuk ke dalam kelas dengan wajah ceria karena angkatan kami lulus murni 100%. Beliau membawa beberapa kertas dan map yang ditaruh di atas meja. Lalu beliau berdiri di depan dan mengucapkan selamat kepada kami semua.

"Ibu sangat senang dan bangga pada kalian yang sudah berusaha keras untuk menghadapi Ujian Nasional dan dinyatakan lulus 100%. Ibu juga bahagia karena tiga orang dari kelas kita masuk ke urutan 5 besar. Ibu mau ucapin selamat ke Wildan yang berhasil mendapat urutan ke-5, Syahna di urutan kedua, dan untuk Naya yang berhasil mendapatkan nilai tertinggi tahun ini," ucap Bu Reni langsung disambut tepuk tangan oleh seisi kelas yang semua pasang mata tertuju menatap Naya.

Yang ditatap pun hanya menyiratkan sedikit senyuman walaupun dia sedang digoda oleh Aris.

Bu Reni kembali berbicara untuk menjelaskan ada agenda apa saja untuk menuju Hari Kelulusan kami.

"Jadi anak-anak, satu minggu ke depan kalian diperbolehkan untuk datang atau tidak datang ke sekolah. Kalau kalian ingin menghabiskan waktu sebelum akhirnya nanti jadi alumni, kalian bisa datang ke sekolah tapi ingat, jangan sampai mengganggu adik-adik kelas kalian."

Ody mengangkat sebelah tangannya. "Terus ke sekolah ngapain dong Bu?"

"Kalian bisa baca buku di perpus, bantu adik-adik kalian di eskul, bisa main ke ruang guru, curhat di ruang BK, atau ngobrol-ngobrol di ruang kelas ini," jawab Bu Reni.

Kali ini Aris yang mengangkat tangan. "Kalau pacaran di taman belakang boleh gak Bu?"

Ucapan Aris barusan langsung ditertawai oleh semua murid di kelas ini sampai Bu Reni pun menghela nafas terlebih dahulu sebelum meresponnya.

"Ariiiis Aris, kamu ini masih saja suka bercanda. Ibu sangat mengerti masa muda itu seperti apa, jadi Ibu memperbolehkan kalian dekat-dekat sama pacar, asalkaaaan tidak ada yang namanya pegangan tangan, rangkul-rangkulan, dan sebagainya. Karena apa?"

"Apa Buuuu?"

"Karena kasihan teman kalian yang jomblo. Nanti bisa iri," ucap Bu Reni ikut bercanda membuat kelas ini semakin pecah tertawa.

Aris menyahuti dengan tawanya yang keras. "Hahaha, kayak si Ody dan Ryo nih Bu, jomblo akut, hahaha."

Aku menoleh ke arahnya dan melihat Naya yang duduk di samping Aris hanya terdiam sambil melihat ke luar jendela. Lalu sedetik kemudian, Naya menatapku dan mata kami bertemu untuk sepersekian detik.

Sorot mata Naya begitu menyimpan banyak tanda tanya dan terlihat ada rasa kekecewaan di dalamnya. Hingga Naya memalingkan pandangannya dariku, aku masih memerhatikan wajahnya.

Aku ingin sekali kamu tahu yang sebenarnya Nay.

"Sudah-sudah bercandanya. Setelah satu minggu waktu bebas, nanti akan ada acara perpisahan angkatan di ballroom Hotel Ritz Carlton, Kuningan. Undangan resmi sedang disiapkan oleh pihak sekolah dan bisa kalian ambil di Hari Kamis."

Mala mengangkat tangannya. "Prom night tahun ini guest star-nya siapa Bu?"

"Pertanyaan yang sangat bagus Mala. Pasti semuanya juga sudah gak sabar ingin tahu kan?"

"Iya Buuu, siapa Buuu?"

Bu Reni tersenyum. "Tahun ini acara prom kalian akan dihibur oleh RAN dan juga... Dipha Barus."

Semua orang kembali bersorak dengan penuh semangat karena memang ini baru kali pertama ada DJ yang main di acara prom night sekolah kami.

Hingga Bu Reni selesai menjelaskan semuanya, kami diperbolehkan untuk pulang. Hampir semua cewek-cewek di kelas ini pada berkumpul dengan geng mereka membahas dress yang akan mereka pakai nanti.

Aris dan Naya tiba-tiba menghampiri ke meja aku dan Mala.

"Will ngajakin kumpul nih, yuk," ucap Aris.

Aku sempat menatap ke Naya.

"Lo ikut Sya, si kunyuk ini juga ikut. Pokoknya kita ber-6 diminta ikut semua sama Will. Dia lagi jalan ke sini sama Kiara," ucap Aris lagi.

Aku menyahuti. "Iya, gue ikut."

Mala langsung merangkul tubuhku. "Asiiiiik, udah lama nih kita gak jalan ber-6."

"Iya ya sayang," sahut Aris.

Lalu Will dan Kiara pun datang ke kelas kami.

"Ikut kan semua?" tanya Will.

Aris menyahuti. "Ikut lah Brooo."

Will tersenyum. "Gitu dong. Walaupun di antara kita udah ada yang gak sama-sama lagi, tapi kan kita semua jadi teman."

Aku menatap Naya dan dia pun juga menatapku lalu kami sama-sama berpaling.

"Betul ituuuu," sahut Mala.

"Jadi kita mau ke mana? Gue lagi gak bawa motor nih," ucap Aris.

"Kumpul di rumah gue aja. Tadi pagi gue udah minta orang rumah untuk nyiapin barbecue-an and some of drinks of course," sahut Will.

"Bosque emang paling terbaik," ucap Aris lagi.

"Nah yaudah, hari ini gue lagi tukeran mobil sama adek gue jadi cuma muat empat orang. Naya bawa mobil kan?" tanya Will ke Naya.

"Bawa kok," sahut Naya singkat.

"Oke, karena Aris gak bawa kendaraan jadi yang ikut gue dan Kiara, lo sama Mala ya Ris. Biar Naya dan Syahna berdua."

"Will," ucapku dan Naya bersamaan memanggil nama Will.

"Udah, lo berdua jangan jadi pada kaku gitu ah. Jalan sekarang yuk," ajaknya tanpa mengubris interupsi kami.

"Kuuuyyy," sahut Aris bersemangat sambil tersenyum jahil ke aku dan Naya.

Kami ber-6 pun jalan bersama menuju ke parkiran hingga mereka berempat naik ke mobil Will, aku dan Naya langsung jadi canggung.

Naya membuka kunci mobilnya lalu dia berjalan ke arahku membukakan pintu untukku. Aku menatapnya dan dia hanya berjalan ke arah pintu satunya lagi. Aku sedikit tersenyum dan sekaligus merasa sedih karena Naya masih memperlakukanku seperti dulu.

Dia kemudian menancapkan gas meninggalkan sekolah kami menuju ke rumah Will. Suasana canggung masih sangat terasa di antara kami. Dia pun akhirnya menyetel radio di mobilnya.

Jalanan siang ini lumayan macet hingga membuat kami membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai ke rumah Will.

Diam-diam aku menatapnya beberapa kali. Sedangkan dia hanya menatap lurus keluar di balik kemudinya.

Dreett.. drett..ponselku bergetar beberapa kali.

Ada panggilan masuk dari Mala.

"Halo, kenapa La?"

"Sya, gue sama anak-anak mau mampir dulu ke supermarket soalnya ada bahan yang kurang di rumahnya Will."

"Yah, terus gue gimana?"

"Yaudah, lo sama Naya muter-muter aja dulu. Ini juga cuma bentar doang kok."

"Gue susulin aja deh ke sana."

"Kata Will gak usah, cuma sebentar doang. Dia bilang lo sama Naya kalo gak mau muter-muter, ke rumahnya duluan aja. Dia udah bilang sama orang rumah."

"Duh, yaudah-yaudah. Gue ngomong dulu sama Naya."

"Oke, bye Syaaa. See youuu."

Mala mematikan panggilannya.

Naya menoleh ke arahku. "Kenapa?"

Deg... Naya masih bisa membuat jantungku berdetak gak karuan.

"Mala tadi telpon katanya mereka mau mampir dulu ke supermarket, ada bahan yang kurang."

"Oh yaudah, di mana supermarketnya?"

"Dia gak kasih tahu katanya cuma sebentar dan Will nyuruh kita ke rumahnya duluan."

"Hemm gitu. Yaudah," ucap Naya sambil kembali menatap ke depan.

Jalanan masih macet dan suasana hening kembali terasa di mobil ini. Aku memasukkan ponsel ke dalam tas lalu menatap ke luar jendela.

Hanya ada suara radio yang mengisi kecanggungan di antara kami. Hingga aku sedikit mendengar Naya sedang menarik nafasnya dalam.

"Kamu apa kabar?" tanya Naya tiba-tiba membuatku langsung menoleh ke arahnya.

Dia sedikit menatapku. 

"Baik, kamu?" aku balik bertanya.

"Mencoba untuk baik," jawabnya.

Aku diam sejenak tidak tahu harus merespon apa.

"Emm, Nay," panggilku.

"Ya?"

"Congrats ya, kamu dapet peringkat tertinggi."

"Oh, iya. Makasih."

Aku mencoba mencari topik pembicaraan.

Lalu tiba-tiba Naya kembali bertanya. "Kamu rencana mau kuliah di mana?"

"Oh, aku mau coba SNMPTN buat masuk ITB."

Dia menganggukkan kepalanya. "I see."

"Kalo.. kamu?"

Naya tidak menjawab dia hanya mengangkat bahunya.

Aku kembali bertanya. "Balik ke Norway?"

"Maybe."

"Tapi akan balik lagi ke Jakarta kan?"

"I'm not sure."

"Why?"

Naya menoleh menatapku bersamaan dengan lampu merah yang membuat mobil ini harus berhenti.

Dia melihat mataku sangat dalam.

"Karena udah gak ada alasan lagi untuk aku kembali ke kota ini," ucapnya seakan menusuk jantungku dengan sebilah pisau, sangat menyakitkan untuk didengar.

"I'm sorry Nay." Aku tidak tahu harus merespon apa selain kalimat tersebut.

Naya tersenyum tipis. "It's okay. I'm trying to dealing with it now."

Aku masih menatapnya dan setetes air mataku pun jatuh di pipi. Naya kembali menoleh ke arahku.

"Jangan nangis Sya," ucapnya.

Aku tidak sanggup mengatakan sepatah kata pun. Aku hanya bisa menangis lalu aku merasakan sebelah tangan Naya mengelus kepalaku sambil dia menyetir.

"Aku gak marah sama kamu Sya, sampe kapan pun gak akan pernah bisa," ucapnya lagi.

Aku berusaha mengusap air mata lalu aku melepaskan seatbelt, kemudian memeluk erat lengan Naya sambil menyandarkan dan mengumpatkan kepalaku di bahunya.

Naya tidak mengucapkan apa-apa. Lalu sedetik kemudian, dia mengecup lembut puncuk kepalaku.

Tangisku semakin menjadi di bahunya sehingga membuat seragam Naya basah karena air mataku. Aku hanya bersandar di bahunya tanpa melihat ke arah jalan hingga aku merasakan kalau Naya sudah menghentikan mobil.

Dengan gerakan perlahan, dia ikut melepaskan seatbelt-nya lalu dia mengubah posisi duduknya jadi menghadapku dan kemudian memeluk tubuhku dengan erat. Aku pun baru sadar kalau kami sudah berhenti di depan sebuah rumah yang megah.

"Jangan nangis, aku gak bisa lihat kamu nangis kayak gini Sya," ucapnya masih dengan memelukku.

"Maafin aku Nay, maafin aku," sahutku tanpa berani memberitahukannya alasan aku menyakitinya.

Naya mengelus punggungku. "Aku udah coba terima kalau memang kamu ingin kembali ke track yang seharusnya."

Aku semakin erat memeluk tubuh Naya. "Aku gak sanggup diem-dieman sama kamu segini lamanya."

"Kamu akan terbiasa ketika aku pergi nanti."

"Aku masih pengen ketemu kamu Nay."

Naya diam sejenak lalu dia melepaskan pelukannya. Dia menatapku dalam dan kedua tangannya mengusap air mataku.

"Cuma takdir yang mungkin bisa mempertemukan kita suatu hari nanti."

Aku memegang tangan Naya di wajahku lalu menggenggamnya. "Kamu harus janji satu hal sama aku."

"Apa?"

"Di mana pun kamu nanti, aku minta kamu untuk bahagia."

Naya sedikit tersenyum pahit.

"Bahagiaku cuma ada di kamu," ucapnya.

Hatiku semakin sakit mendengar kata-kata Naya. Kenapa takdir cinta kami harus seperti ini.

Naya pun kemudian melanjutkan kalimatnya. "Tapi aku sadar diri, hal itu gak ada di kamu."

"Engga Nay! Aku juga ngerasain hal yang sama. Bahagianya aku itu kamu Naya,"  ingin sekali aku mengucapkan kalimat itu padanya namun aku tidak bisa melakukannya.

Aku pun hanya bisa menundukkan kepala tidak tahu harus menjawab apa.

Naya menghela nafasnya panjang lalu dia kembali mengubah posisi duduknya seperti semula. Dia membuka kaca jendela mobilnya lalu menyalakan sebatang rokok.

Dia menatap jauh keluar sembari menghisap rokok di tangannya.

"At the end of the day, everybody will leave me," ucapnya.

Aku memegang sebelah tangannya lalu aku menciumnya penuh dengan rasa yang begitu dalam sambil memejamkan mata. Naya pun sampai menoleh ke arahku.

Setelah mencium tangannya, aku menatap matanya dalam.

"I love you more than you know, Nay," ucapku serius.

Naya sempat terdiam lalu dia memalingkan wajahnya. "Yeah, you used to be love me that much but not for now."

Ada rasa sakit mendengar kata-katanya barusan. Ini adalah resiko yang harus aku hadapi karena sudah memilih untuk mengakhiri hubungan kami ini.

Aku pun melepaskan pegangan di tangannya. Aku ikut membuka kaca dan menatap jauh ke langit cerah di atas sana. Biarkanlah Naya berpikir kalau rasa sayangku sudah tidak lagi padanya. Tapi jauh di dalam hati ini, aku akan selalu menyayanginya seperti dulu dan akan selalu sebesar itu.

Takdir ini begitu kejam. Aku pun harus menghadapi segala bentuk rasa di usiaku yang masih muda. Aku memang belum tumbuh dewasa, tapi Naya sudah mengajarkanku cinta yang luar biasa. Bersamanya aku selalu merasa bahagia... dan dengannya, aku merasa sempurna.

Mungkin ini akhir yang terbaik untuk hubungan kami. Aku sungguh mencintai kamu Nay, sangat mencintai kamu sampai kapan pun itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top