32.
*play the song
Syahna's Pov
Rapat OSIS selesai lebih cepat 10 menit dari yang diagendakan. Semua persiapan untuk study tour minggu depan sudah 90%. Hanya ada hal-hal minor yang masih harus di-follow up bersama.
Satu persatu anggota OSIS ijin pulang. Ada beberapa dari kami juga masih duduk-duduk di dalam ruangan membahas hal lain. Aku pun pamit ke yang lain untuk lebih dulu cabut. Ketika aku keluar ruangan, aku tidak menemukan Naya. Aku mencarinya ke kelas kami, hasilnya juga nihil.
Ini anak ke mana sih?!
Lalu aku mengeluarkan ponsel dan menelponnya. Butuh waktu beberapa detik sampai akhirnya Naya mengangkat panggilan masuk dariku.
"Halo, di mana?"
"Lantai 3."
"Ngapain?"
"Ya mau lihat-lihat aja. Lo udah selesei?"
"Udah nih, gue di bawah."
"Oh yaudah bentar, gue turun."
"Gue tunggu depan mading deket tangga."
"Okay."
Setelah 5 menit menunggu Naya, akhirnya dia turun berdua bersama Will.
Aku menatap bingung ke arah mereka.
Will tersenyum padaku. "Sorry ya Sya, tadi Naya-nya gue pinjem dulu."
"Emang gue barang?" celetuk Naya.
"Oh iya Will, gak apa-apa," sahutku ke Will.
"Yaudah, gue mau ke anak-anak dulu. Nay, all good ya?" tanya Will ke Naya.
Naya melambaikan sebelah tangannya. "Good, thanks ya."
"Yoo, gue duluan ya," dan Will pun berjalan pergi meninggalkan kami menuju ke taman belakang.
Aku langsung menatap Naya. "Ada urusan apa lo sama Will?"
"Kenapa emang?"
"Pertanyaan tuh dijawab sama jawaban, bukan sama pertanyaan lagi."
"Ada lah," sahut Naya santai.
"Ck, isshhh," gerutuku.
"Balik sekarang yuk," ajaknya.
"Iya," sahutku.
Dan kami pun berjalan ke parkiran mobil melewati beberapa orang yang masih nongkrong di depan kelas mereka.
"Kok Naya bisa ya gak diomelin guru rambutnya gitu?"
"Gue denger-denger katanya Kiara udah baikan sama Syahna."
"Kalo Syahna, Naya, dan Kiara jalan bareng, surga dunia broooo. Sekolah kita punya 3 bidadari."
Selalu banyak omongan yang terdengar di telingaku setiap kali aku jalan bersama Naya.
"Norak," ucapku bersamaan dengan Naya dan membuat kami saling menatap satu sama lain lalu tertawa.
"Haha ngikutin gue lo," ucapku.
"Haha," sahut Naya hanya menggelengkan kepalanya masih sambil tertawa.
Kami pun masuk ke dalam mobil dan Naya langsung melajukan porche-nya menuju ke suatu tempat.
"Kita mau ke mana sih?" tanyaku.
"Entar juga tahu. Lo udah laper belum?"
Aku menggeleng. "Belum."
"Yaudah, makannya nanti aja ya kalo urusan gue udah selesei."
"Iya, emang lo ada urusan apaan sih? Gak usah sok rahasia-rahasiaan deh."
Naya menoleh sejenak lalu tersenyum penuh makna. "Makanya..."
"Makanya? Makanya apa?"
"Makanya punya hubungan biar gak rahasia-rahasiaan."
"Ih apa sih lo? Kenapa jadi ke sana arahnya?"
"Lo kan udah jujur atas perasaan lo ke gue, lalu?" tanya Naya dari balik kemudinya.
"Ya, ya lo kan tahu gak segampang itu punya hubungan kayak gini."
"Kenapa emang? Takut sama judgemental orang-orang?"
"Ya itu salah satunya."
Terdengar helaan nafas dari Naya. "Kelamaan tinggal di Indonesia sih, jadi terkungkung terus sama pemikiran yang masih konservatif."
"Iya iya, tahu gue kalo lo udah tinggal lama di luar."
"Ck, bukan itu maksudnya. But it's okay, dengan lo udah jujur sama perasaan lo ke gue aja, itu udah lebih dari cukup. Makasih ya," ucap Naya sambil tersenyum manis padaku.
Entah kenapa, aku jadi malu disenyumin seperti itu olehnya.
"Hemm, iyaaa," sahutku sambil mengalihkan pandangan ke luar kaca mobil.
Tidak lama kemudian, Naya masuk ke dalam parkiran sebuah apartemen. Dia mengajakku ke lantai 18 di salah satu tower. Lalu dia mengetuk sebuah kamar, dan ada seorang laki-laki bertato yang memiliki banyak body piercing membuka pintu tersebut mempersilakan kami masuk.
Aku berjalan di belakang Naya sambil memegang seragamnya. Ternyata dia mengajakku ke studio tattoo.
"Naya, temennya Will?" tanya laki-laki bertato tersebut.
"Iya Bang Ogi, gue Naya," jawab Naya sambil menjabat tangannya.
"Lo berduaan aja?"
"Iya Bang."
"Haha, tenang aja, gue gak akan gigit," ucap si Bang Ogi itu padaku.
"Hehe, iya Bang," sahutku.
"Duduk aja duduk, mau pada minum apa?"
Kami pun duduk di bangku panjang.
"Gak usah repot-repot Bang," ucap Naya.
Bang Ogi ikut duduk di depan kami. "Jadi lo mau bikin di daerah mana tatonya?"
"Bagian belakang lengan kiri gue Bang."
"Dari gambar yang lo kirim kemaren, kayaknya bakal keliahatan dikit nih dari balik seragam lo."
"Santai aja Bang, gak peduli gue."
"Haha, gue demen nih anak-anak rebel kayak gini. Yaudah yuk, langsung aja situ. Gue siapin alatnya dulu," ucap si Bang Ogi masuk ke dalam sebuah ruangan.
Ketika Naya ingin berdiri, aku memegang lengannya. "Lo mau bikin tato?"
"Iya, kenapa?"
"Ck, ngapain sih?"
"Gue mau nambah lagi."
"Kalo sampe ketahuan di sekolah, lo bisa kena SP Nay."
"Yaudahlah, biarin aja."
"Lo mau bikin tato apa sih?"
"Saturn."
"What?"
"Gue mau bikin planet saturnus."
Aku memandanginya sejenak lalu menghela nafas. "Terserah lo deh."
Dia tersenyum dan mendekatkan wajahnya di depan wajahku. "No need to worry ya."
"Hemm," aku hanya bisa bergumam.
Kemudian Naya ke toilet untuk mengganti seragamnya dengan kaos tanpa lengan. Dan setelah itu, dia tiduran di bangku untuk mulai ditato.
Bang Ogi duduk di sampingnya sudah dengan memegang alat pembuat tato.
"Nay, kalo lo di tengah-tengah butuh istirahat, bilang aja ya," ucapnya.
"Oke Bang."
Bang Ogi mulai menjalankan tugasnya. Aku menatap cemas ke Naya yang sedang menahan sakit. Aku tidak tahu rasanya seperti apa, tapi sepertinya sangat sakit.
Setelah hampir dua jam, akhirnya lengan Naya selesai ditato. Kulit di bagian tato tersebut pun menjadi merah, Naya juga terlihat capek tapi perasaan puasnya bisa aku rasakan.
Bang Ogi kembali menghampiri kami sambil membersihkan tangannya.
Dia menatap ke arahku. "Mau ditato juga?"
Dengan cepat, aku langsung menggelengkan kepala. "Engga Bang."
"Haha, dia mah anak baik-baik Bang gak kayak gue," sahut Naya.
"Udah ketebak sih, haha. Puas Nay sama hasilnya?"
"Will emang gak salah kasih kontak lo ke gue Bang."
"Karena lo temennya Will, gak perlu pake janjian sebulan sebelumnya sama gue, haha."
"Haha thank you Bang. Oh iya, tadi udah terima transferan gue kan ya?"
"Udah Nay, thank you ya. Next time kalo lo mau bikin lagi, calling gue aja."
"Siap Bang. Yaudah, gue balik dulu ya. Kasian nih temen gue udah kelaperan."
"Iya siap, thanks ya."
"Iya Bang, gue cabut dulu."
"Yooo."
Kami keluar dari kamar tersebut dan ketika sedang menunggu lift, aku melihat tato di bagian belakang lengan kiri Naya dari dekat.
"Why must saturn?" tanyaku.
"Because in ancient Roman mythology, Saturns is the representation of a connection with nature, farming, hard work, and ability to work with own hand," jawabnya menjelaskan dan aku hanya bisa ber-oh ria.
Naya menoleh lalu tersenyum. "Mau coba bikin tato?"
"Gak lah, gila."
Lift pun terbuka dan kami turun sampai ke basement 1.
"Jadi ini urusan tadi sama Will?"
"Iya," sahut Naya.
Kami jalan bersama menuju parkiran. Aku langsung menyodorkan sebelah tangaku padanya.
"Mana sih kunci mobil lo?" pintaku.
"Mau ngapain?"
"Tangan lo pasti masih pegel kan, gue aja yang nyetir, sini."
Naya tersenyum sejenak lalu memberikan kunci mobilnya padaku.
"Nih, jangan ngebut-ngebut ya," ucapnya.
"Iya."
Aku mulai melajukan mobil Naya dengan kecepatan standar.
"Ini kita mau ke mana?" tanyaku sambil fokus menatap ke depan.
"Langsung ke apartemen gue aja ya. Kita drive thru makanan aja deket apart gue."
"Okay."
Setelah 45 menit berkendara, akhirnya kami sampai di apartemen Naya. Aku membawa dua bungkus makanan cepat saji. Kami masuk ke dalam apartemen Naya yang sangat luas ini. Dia tinggal sendiri, tapi ruangan apart-nya seluas ini.
"Gue taro makanannya di meja ya?" tanyaku ke Naya yang langsung melengos masuk ke kamarnya.
"Bawa ke kamar aja Sya," sahutnya.
Aku menghela nafas. "Yaaa."
"Nay, cuci kaki dulu dong sebelum naik ke atas kasur," gerutuku padanya ketika melihat dia langsung merebahkan tubuhnya.
"Duh, bawel deh. Gue mager," sahutnya.
Aku berjalan menghampirinya lalu menarik tangannya membuat Naya terbangun. "Buruan sih, gak ada 5 menit kan cuci kaki doang. Sekalian cuci muka sama cuci tangan, kan mau makan."
Naya menghela nafas dalam lalu dia mengikuti perintahku. "Ya, iyaaaa."
Ketika dia selesai bersih-bersih, giliran aku yang mencuci tangan serta kakiku. Naya sudah kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Aku bertolak pinggang menatapnya. "Katanya mau makan?"
"Duh, lo duluan aja deh, gue mau tidur."
"Ck, yaudah gue gak mau makan. Kalo gitu gue pulang aja ke rumah," ucapku sambil berjalan keluar dari kamarnya.
Naya langsung bangun dan mengejarku lalu menahan lengangku.
"Iya, iya, gue makan, bareng sama lo ya," ucapnya dengan nada memohon.
"Hemm," gumamku.
Kami pun akhirnya menyantap burger dan kentang goreng di ruang tv sambil nonton serial Champions di Netflix.
"Gue mau minum beer, lo mau gak?" tanya Naya sambil berdiri.
"Ya ampun, bisa gak sih lo gak minum alkohol dulu?"
"Gak bisa," sahutnya cuek sambil berlalu ke dapur dan mengambil sebotol beer di tangannya.
Dia kembali menyantap burger di tangannya sambil tertawa menonton serial tersebut. Ketika dia ingin meminum beer yang tadi ia ambil, aku lebih dulu mengambilnya.
Naya langsung menoleh. "Lo mau? Kalo mau, ya gue ambilin nih."
Aku menatapnya dengan kesal. "Lo tuh bego apa tolol sih?"
Dia mengerutkan dahinya. "Lo kenapa jadi marah-marah ya?"
Aku menarik nafas mencoba mengatur emosiku. "Lo baru banget sembuh Nay, bisa gak untuk gak minum alkohol dulu?"
Dia hanya terdiam.
Aku menatapnya dengan serius. "Lo bilang lo gak pernah merasa dipeduliin atau disayangin sama orang lain. Nah sekarang gue ada di sini, di samping lo, gue peduli dan sayang sama lo Nay. Jadi gue minta lo untuk nurutin apa kata gue. Gue bukannya mau sok ngatur hidup lo, gue cuma gak mau lo kenapa-kenapa. Lo ngerti gak sih?"
Naya hanya menatapku dengan diam. Sedetik kemudian, dia menaruh burger-nya di atas meja dan dengan cepat sebelah tangannya memegang wajahku, lalu dia mencium bibirku.
Aku kaget dan tidak tahu harus berbuat apa. Naya masih memainkan bibirnya mengulum bibirku, hingga aku mengikuti setiap pergerakannya.
Tangan kiri Naya perlahan merangkul pinggangku, begitu pun dengan kedua tanganku yang melingkar di lehernya. Naya sedikit menggigit bibir bawahku dan aku bisa merasakan dia tengah tersenyum di tengah-tengah ciuman kami. Pergerakannya semakin intens membuatku agak kesulitan bernafas.
Sebelum Naya semakin bergerak lebih jauh, dengan sengaja aku melepaskan ciumannya dengan lembut. Aku langsung menatap wajahnya sama seperti dia yang tengah menatap mataku dalam.
"I'm sorry," bisiknya dengan nada sedikit penyesalan.
"It's okay," sahutku masih menatap lekat kedua matanya.
"I can't control myself. You look so gorgeous when you are mad. I'm sorry for that kissed," ucapnya kembali meminta maaf.
Aku menghela nafas lalu kedua tanganku memegang wajahnya dan sedikit menariknya untuk lebih dekat dengan wajahku.
"Lain kali kalo mau kayak gitu, jangan bikin gue kaget tiba-tiba," ucapku lembut.
Naya menatapku bingung. "Gue pikir lo akan marah sama gue."
Jujur aku memang sangat ingin menampar wajahnya yang tiba-tiba menciumku seperti itu begitu saja. Tapi aku tidak bisa melakukan hal itu padanya. Aku tidak tahu kenapa diriku bisa semudah itu menerima Naya. Mungkin aku sudah gila.
Aku kembali menghela nafas, lalu tersenyum tipis padanya. "Cuma lo yang gue ijinin kayak gitu Nay."
Naya tersenyum lebar, aku bisa melihat raut bahagia di wajahnya.
"You make me fall in love Sya. I love you," ucapnya.
"I love you too, Nay," sahutku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top