27.

Naya's Pov

Sepulangnya Aris dan Syahna dari rumah, gue memutuskan untuk kembali ke kamar. Sampai makan malam pun, gue meminta Bi Siti mengantarkannya karena gue menghindari bertemu dengan Mama.

Ya, walaupun sepertinya dia juga sibuk dengan urusannya sendiri. Sejak tadi, Mama tidak ada melihat keadaan gue atau at least masuk ke kamar gue. Kayaknya Mama udah sebenci itu sama gue, dan gue pun juga gak peduli.

Gue tengah duduk di balkon kamar sambil mendengarkan lagu menggunakan earphone. Tiba-tiba saja ponsel gue berdering ada panggilan masuk dari Syahna. Dia ganti namanya di phonebook gue ternyata.

"Halo."

"Halo Nay, di mana?"

"Di rumah lah. Kenapa?"

"Lagi apa?"

"Lagi duduk. Kenapa?"

"Emmm, udah makan malem?"

Gue mengerutkan dahi sejenak, ada apa sama si syaiton?!

"Udah. Kenapa?"

"Pake apa?"

"Bi Siti masakin sayur sop sama ayam. Kenapa?"

"Bisa gak sih lo jawab aja pertanyaan gue tanpa harus tanya balik kenapa?"

"Lho, emang kenapa?"

"Zzzzz, tau ah."

"Lo kenapa sih? Kesambet? Eh tapi kan lo syaiton, mana mungkin kesambet."

"Bisa gak sih sekali aja lo gak nyebelin?"

"Emmm," gue hanya bergumam.

"Udah minum obar belum?"

"Belum."

"Kenapa belum? Udah tahu lagi sakit, abis makan tuh langsung minum obat, bisa gak sih lo care sama diri lo sendiri?"

Bibir gue pun mengulum senyum mendengarkan omelan Syahna barusan.

"Jawab, jangan diem aja," lanjutnya.

"Ya gimana gue bisa jawab sih, lo nyerocos terus daritadi gak pake titik."

"Kenapa belum minum obat?"

"Karena obatnya baru bisa diminum satu jam setelah makan malem, dan gue baru 5 menit lalu selesei makan. Udah puas sama jawabannya?"

"Emmm, emmmm..." gumam si Syahna dari balik telpon.

"Lo lagi gak ada kerjaan ya?"

"Ada tapi gue pengen tanya banyak hal ke lo."

"Duh, apa sih yang mau lo tahu?"

"Pertama, kenapa lo bisa ditusuk sama perampok? Kedua, kenapa lo harus bohong sama pihak sekolah? Ketiga, kenapa lo harus selama itu ijin dari sekolah? Dan keempat, lo baik-baik aja kan di rumah? I mean, nyokap lo gak ngapa-ngapain lo lagi kan?"

Gue kembali tersenyum mendengarkan segala pertanyaan dari Syahna.

"Perlu gue jawab?"

"Ya perlu lah."

Gue menarik nafas.

"Pertama, gue ditodong orang di pinggir jalan terus gue ngelawan jadi kena tusuk. Kedua, karena gue males sekolah. Ketiga, jawabannya sama kayak kedua. Dan yang terakhir, ya gue harap gue akan baik-baik aja."

Syahna kembali terdiam sejenak.

"Emmm, nyokap lo sampe kapan di rumah?"

"Gak tau, kenapa?"

"Bisa gak sih gak usah nanya kenapa?"

Gue menghela nafas.

"Ya, terus gue mesti respon apa?"

"Hemmm, besok balik sekolah gue ke rumah lo lagi."

"Mau ngapain?"

"Mau jengukin lo lah."

"Gak usah, nanti ribet lagi ketemu nyokap gue."

"Ya kenapa sih?"

"Ck, lo gak tahu nyokap gue kayak gimana."

"Yaudah sih, gue juga gak akan macem-macem kan cuma jenguk lo."

"Yaudah terserah lo aja."

"Yaudah, besok balik sekolah gue ke sana.

"Emmm.."

"Jangan lupa diminum obatnya."

"Iyaaa bawel."

"Ck, yaudah gue matiin telponnya, bye."

"Bye."

Dan Syahna pun mengakhiri panggilan telponnya. Gue hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum membayangkan wajahnya. Ah Sya, andai lo mau dengerin penjelasan gue tentang hubungan gue dan Kiara.

***


Keesokan harinya

Sejak pagi hingga siang hari, gue memilih untuk tetap di kamar. Dan seperti biasa, Bi Siti membawakan sarapan serta makan siang gue ke atas. Bi Siti juga memberitahukan gue kalau pagi-pagi sekali Mama sudah pergi ke luar entah ke mana tapi akan pulang sore nanti.

Gue melihat jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 14.30, itu tandanya Syahna sudah pulang sekolah. Benar saja, dia mengirimi gue pesan memberitahukan kalau dia sudah di jalan menuju ke rumah gue.

Setelah mandi dan mengganti baju, gue turun ke bawah untuk menemui Syahna yang kata Bi Siti sudah sampai dari 5 menit lalu. Ketika gue menuruni anak tangga, gue melihat Syahna sedang duduk dengan anggunnya di sofa ruang tamu.

"Sya," panggil gue membuatnya menoleh.

Syahna langsung berdiri dan menghampiri gue.

"Masih sakit perut lo?"

"Hemm, mayan."

Gue pun duduk di sampingnya.

"Lo bawa mobil?"

"Iyaaa."

"Udah makan belum?"

"Udah tadi di sekolah. Emm Nay, rumah lo selalu sepi kayak gini?"

Gue tersenyum sedikit. "Rumah sebesar ini cuma ada gue, Bi Siti dan Mirna anaknya, dan dua satpam, satu penjaga kebun. Mereka pada sibuk dengan kerjaannya masing-masing."

"Emm.. terus lo daritadi ngapain aja?"

"Tidur, makan, bengong, main hp, ya gitu aja."

"Terus udah makan kan?"

Gue sok berpikir.

"Udah belum ya? Lupa gue."

Syahna langsung memukul bahu gue. "Yeee, gimana sih? Udah belum?"

"Udaaah, kasar banget sih."

"Ya abisnya lo nyebelin."

Gue sedikit tertawa.

"Kenapa ketawa?" tanya Syahna.

"Ya suka-suka gue. Eh by the way, ke kamar gue aja yuk."

"Gak apa-apa emang?"

"Lho emang kenapa?"

"Emmm, yaudah."

"Oke. Yuk, kamar gue di atas."

Gue pun mengajak Syahna ke kamar gue. Ketika masuk ke dalam, Syahna langsung menanyakan kamar mandi karena dia ingin mencuci tangan dan kaki. Selagi dia di toilet, gue menyandarkan tubuh di tempat tidur sambil menyalakan lagu lewat bluetooth dari ponsel gue.

Syahna keluar dari kamar mandi dan gue meminta dia untuk merebahkan tubuhnya juga di samping gue. Dia pun menuruti kata-kata gue.

Suasana kamar gue sangat hening, kami hanya ditemani dengan lagu-lagu akustik dari Macaron Project. Gue mulai memejamkan mata dan tiba-tiba saja gue ingin merebahkan kepala gue di bahu Syahna.

Syahna terlihat sedikit kaget dengan gue yang tiba-tiba menyandarkan kepala gue di bahunya.

"Lo kayak gini, cewek lo gak akan marah?" tanya dia.

Gue menghela nafas sejenak.

"Well, I need your time to listen to me okay."

"Hemm?"

Gue masih menyandarkan kepala di bahunya. Jujur, gue sangat butuh sandaran di saat seperti ini.

Setelah gue berpikir, sepertinya gue harus menjelaskan semuanya ke Syahna agar dia tidak salah paham lagi.

"Syahna, gue gak pernah pacaran sama Kiara."

Syahna langsung bereaksi dan membuat gue membenarkan posisi duduk dengan tidak lagi menyandarkan kepala di bahunya.

"Maksudnya?" tanya Syahna menatap gue.

Gue balik menatapnya. "Ya, gue gak pernah punya hubungan khusus sama Kiara."

"Waktu di apartemen, kenapa ada dia? Dia nolongin lo yang jatuh malem-malem itu?"

Gue menggelengkan kepala. "At that time, Kiara hampir diperkosa sama si Aldo. Gue dateng ke rumahnya Aldo buat nolongin Kiara. Along the way, gue berantem sampe tangan gue kena pecahan kaca dan membuat gue lumayan luka parah. Jadi, tengah malam itu Kiara yang bawa gue ke UGD, lalu gue minta Aris datang dan jemput kita. Kiara ngerasa bersalah makanya dia nemenin gue di apartemen."

Syahna masih menatap gue dengan lekat. "Kenapa lo bohongin gue?"

"Karena gue gak mau bikin lo khawatir Sya."

Syahna terlihat sedang mengatur emosinya. "Terus luka tusuk yang sekarang apa bener karena lo ditodong orang?"

"Hemm, emmm.."

"Jawab Nay."

Gue menghela nafas. "Gak Sya, jadi beberapa hari lalu gue, Aris, dan Will datengin si Aldo karena dia mau macem-macemin Kiara lagi. Terus singkat cerita, urusannya udah selesei sampai gue di jalan balik ke rumah sendirian, tiba-tiba ada orang naik motor berenti di depan gue dan dia nusuk gue gitu aja. Gue gak sadar sampai besokannya udah ada Aris di rumah sakit dan Papa."

Syahna menarik nafasnya. "Lo udah lapor polisi?"

Gue menggelengkan kepala.

"Kenapa?" nada bicara Syahna sudah mulai meninggi.

Gue kembali menghela nafas. "Bokap gue udah urus semuanya. Intinya, Aldo udah pindah ke Surabaya dan dia gak akan berani macem-macemin gue lagi."

"Terus jadi dua kali lo luka kayak gini cuma buat belain Kiara? Lo segitu sukanya sama dia?"

"Lho, gue nolongin orang bukan karena gue suka atau apa kan?"

"Ya terus apa namanya lo bela-belain ngebahayain nyawa lo sendiri buat dia?"

"Sya, Kiara itu gak punya temen. Selama ini dia tertekan sama Aldo, dia gak punya temen curhat, dia gak punya tempat untuk ngadu, dan gue bantu dia pure karena gue ingin bantu."

"Terus kalo terjadi sesuatu sama lo gimana?"

"Ya, yaudah," gue bingung harus merespon apa.

"Lo tuh suka banget ya ngegampangin sesuatu? Lo harus tahu di mana batasan lo Nay."

"Ya kan sekarang udah selesei masalahnya."

Syahna menggelengkan kepalanya. "Jadi selama ini lo bohongin gue demi ngelindungin si pengkhianat itu?"

"Kiara bukan pengkhianat Sya, you have to listen her explanation."

"It's bullshit.. Gila ya, bisa-bisanya lo ngebelain dia sampe segininya."

"Bukan gitu maksud gue Sya."

"Lo tahu gimana keselnya gue ketika gue tahu lo sama Kiara pacaran, hah? Lo tahu gimana gue segitu mikirin hubungan kalian?"

Gue mencoba menenangkan diri. "Ya sorry, lagian kan lo juga yang bilang ke gue kalo sikap baik lo selama ini ke gue cuma karena lo kasihan sama gue, ya kan?"

"Gue ngomong kayak gitu karena gue kesel Nayaaaa, gue benci sama lo, gue gak suka lihat lo terus-terusan sama si Kiara. Dia udah pernah nikung gue dari belakang dan gue gak mau ngerasain itu lagi Nay. Lo ngerti gak siiiihh?" ucap Syahna dengan tatapan mata yang seperti sedang menahan tangis.

Gue pun menarik tubuhnya ke pelukan gue.

"I'm sorry I didn't mean to," bisik gue mencoba menenangkannya.

Syahna pun menangis.

"I hate you," isaknya.

"And I need you Sya," bisik gue lagi membuatnya sedikit mereda lalu dia menarik tubuhnya dari pelukan gue.

"What?"

Gue menatap matanya dalam. "I need you Syahna."

Wajah Syahna berubah jadi merah padam. Dia mengusap air matanya sambil melihat ke sana ke mari tidak ingin menatap balik mata gue.

"Sya," panggil gue.

"Ya?" sahutnya masih malu-malu.

"I need you to be by my side," ucapku serius.

"W-why do u need me?"

"Cause you are the only reason to make me stay here. I feel alive whenever I'm with you."

Syahna akhirnya membalas tatapan gue dan dia diam sambil melihat wajah gue.

"Gue.. gue pun juga pengen ada di samping lo Nay. But I can't be more than a friend with you."

"I'm not asking you to be my girlfriend. I'm asking you to be beside me," ucap gue memperjelas kalimat gue barusan. Ya, gue tahu kalau Syahna tidak akan semudah itu menerima ajakan gue untuk jadi pacar gue karena reputasinya di sekolah dan di mata orang-orang.

"Hemmm, ya.. ya gue akan terus ada di samping lo," sahut Syahna.

Gue tersenyum lalu mengacak puncuk rambutnya. "Jangan jutek-jutek lagi ya sama gue."

"Kalo lo ngeselin, ya gue jutekin lah," sahutnya sembari membenarkan rambutnya.

"Tuh, belum apa-apa aja gue udah dimarahin."

"Ya abis lo bikin emosi terus sih," gerutunya.

"Hemm.. Eh anyway, sekarang tanggal berapa ya?"

"Tanggal 16, kenapa?

"Shit, gue lupa."

"Lupa apa?"

"Hari ini harusnya gue kontrol ke dokter untuk cek jahitan gue."

"Ih bego, kok lo tolol banget sih bisa sampe lupa? Udah ayo buruan ke dokter, gue anterin!"

"Ya namanya juga lupa. Bentar, gue telpon RS-nya dulu dokter gue praktek jam berapa."

"Stupid," gumamnya.

Ketika gue ingin menelpon, tiba-tiba saja pintu kamar gue dibuka oleh seseorang.

Gue dan Syahna sama-sama kaget dan langsung melihat ke arah pintu.

"Mama?" ucap gue.

"Kamu ini benar-benar merepotkan orang aja ya. Papa kamu barusan telpon Mama dan marah-marah ke Mama karena kamu belum kontrol ke rumah sakit. Gak tahunya kamu malah enak-enakan di sini sama temen kamu lagi. Ngapain kalian?"

Gue langsung berdiri menghalangi Syahna yang masih duduk di atas tempat tidur.

"Naya lupa dan Naya akan pergi ke RS sama Syahna," ucap gue.

"No, kamu pergi ke Rumah Sakit sama Mama. 5 menit lagi Mama tunggu di bawah! Dan kamu, pulang sana," ucap Mama sangat ketus ke Syahna.

"Bisa gak sih Mama bersikap baik sedikit aja ke teman Syahna?"

Mama melipat kedua tangannya menatap gue dengan tajam. "Kamu tinggal di rumah ini, kamu ikuti peraturan di sini. Kalau kamu gak suka, ya jangan tinggal di sini!"

Gue mencoba mengatur nafas. "Sejak awal Papa minta saya pulang ke sini, saya juga gak mau. Lebih baik saya tinggal sama Oma daripada harus ketemu seorang Ibu yang gak pernah peduli sama anaknya."

Mama berjalan menghampiri gue. Lalu sebelah tangannya langsung menampar gue dengan keras.

Plaaakk...

Rasa perih langsung menjalar di bagian pipi kiri gue.

"Tante!" ucap Syahna yang langsung berdiri di samping gue.

"Kamu kalau ngomong sama orang tua jangan kurang ajar. 5 menit lagi kita ke rumah sakit, Mama tunggu di bawah!" ucap Mama menggertak lalu dia pergi keluar dari kamar gue.

Gue masih diam sambil memegang sebelah pipi gue menatap kesal ke arah pintu.

"Nay?" panggil Syahna.

"I hate to be here," gumam gue.

Syahna memegang lembut punggung tangan gue yang memegang pipi. Lalu dia mengelus pipi kiri gue sambil menatap gue dengan tatapan iba.

"Turutin apa kata nyokap lo ya," ucap Syahna.

Gue menggeleng lalu mengambil tas gym dan memasukkan beberapa baju ke dalamnya. Gue membawa semua perlengkapan gue ke dalam tanpa pikir panjang.

"Aww.." ringis gue memegang bekas jahitan yang tiba-tiba terasa sakit.

"Nay, mau ngapain sih?" ucap Syahna mencoba menghentikan gue.

Gue memegang tangannya dan menatapnya. "Gue butuh bantuan lo sekali lagi Sya."

"Apa?"

"Lo turun duluan, lo balik dan bawa keluar mobil lo dari rumah gue. Lo tunggu gue di tikungan blok depan, gue akan nyusulin lo ke sana. Okay?"

"Lo mau kabur lagi?" tanya Syahna khawatir dan gue hanya menganggukkan kepala.

"Are u sure?"

"Udah please, ikutin arahan gue aja ya."

"O..okayy.." jawab Syahna sedikit terpaksa.

Dia pun kemudian keluar dari kamar gue dan turun ke bawah. Gue mencoba mengintip dari atas melihat Syahna pamit ke Mama lalu pergi ke ke luar. Gue menunggu beberapa menit sampai Syahna mengirimi gue pesan kalau dia udah berada di tikungan.

Gue menuruni anak tangga dengan perlahan. Gue melihat kalau Mama sedang berada di ruang tengah sambil menelpon. Dengan langkah cepat, gue berlari menuju pintu keluar. Tinggal satu langkah lagi menuju gerbang, Mama meneriakkan nama gue dari pintu.

"Naya, mau ke mana kamu?" Mama berjalan cepat menghampiri gue.

Gue pun mempercepat langkah gue lalu berlari ke luar gerbang menuju ke mobil Syahna. Gue masih mendengar Mama berteriak tapi gue hiraukan. Syahna memundurkan mobilnya lalu gue masuk ke dalam. Kami akhirnya bisa pergi dari rumah gue dengan selamat.

Gue mengatur nafas sambil memegang bekas jahitan gue.

"Huh..huh..huh, shit hampir aja," ucap gue.

"Lo gila Nay, gimana kalo nyokap lo ngejar?"

"Ya makanya lo ngebut buruan, huh..huh..huh.. aduh duhh.."

"Lo kenapa?" tanya Syahna sambil melihat ke arah gue.

"Gak tau, perut gue sakit," jawab gue masih dengan memegangi bekas jahitan.

Sebelah tangan Syahna menarik tangan gue. "Awasin tangan lo."

"Emmm, ngapain sih?"

"Coba angkat bajunya," ucapnya lagi.

Gue mengikuti perintahnya dan gue sedikit kaget melihat perban jahitan gue yang mengeluarkan darah.

"Tuh kan, kita ke rumah sakit!" ucap Syahna langsung menancapkan gas lebih kencang.

"Aduhhh," ringis gue.

"Kita ke RS langganan keluarga gue."

"Iyaa Sya."

Entah apa yang harus gue lakukan setelah ini, yang pasti gue tidak akan pulang ke rumah dalam beberapa hari ke depan. Setidaknya sampai Mama pergi lagi ke luar kota.

Gue bersyukur saat ini ada Syahna di samping gue. Perasaan gue jadi lebih aman ketika bersamanya. I know I can rely on her.


*Note

Hai para pembaca setia Hiraeth, saya hanya ingin memberitahukan kalau sepertinya selama 1-2 minggu ke depan saya tidak akan update next chapter karena saya akan liburan :D

Jadi, harap bersabar menunggu kelanjutannya ya.

Oh iya, saya juga ingin berterimakasih atas vote dan komen-komen dari kalian. Walaupun saya tidak dapat membalas satu persatu, tapi percayalah saya selalu membaca setiap komen yang masuk.

Terimakasih sudah telah mendukung saya dengan membaca cerita saya.

Happy monday!


With love,

Reinata

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top