26.

Keesokan Harinya

Sejak pagi tadi hingga sore hari ini, gue hanya nonton serial Netflix atau bermain Xbox. Semua yang gue perlukan sudah disiapkan oleh Bi Siti. Sebenarnya gue tidak suka merepotkan orang, andai saja gue udah bisa banyak bergerak, pasti Bi Siti gak perlu repot seperti ini, apalagi sampai harus dibantu Mirna.

Drrttt...drrrtttt ponsel gue bergetar dan ada panggilan masuk dari Aris.

"Halo, kenapa Ris?"

"Nay, share loct rumah lo dong. Gue kan cuma tahu gerbang komplek lo doang."

"Lo mau ngapain?"

"Gue mau ke rumah lo Nay, ada info penting."

"Info apaan? Lewat telpon aja."

"Gak bisa Nay, buruan share loct ya, gue tunggu sekarang. Gue udah di motor nih tinggal cabut."

"Duh, iya-iya, nanti gue share."

"Ok gue tunggu, dah."

"Dah."

Dengan terpaksa, gue pun memberikan alamat rumah ke Aris. Ya, tidak ada satu pun teman sekolah yang tahu alamat rumah gue.

Sudah 30 menitan dari Aris telpon, ada seseorang yang memencet bel di depan gerbang. Bi Siti langsung mengeceknya lewat cctv.

"Siapa Bi?" tanya gue.

"Itu Non, ada Mas Aris di depan," jawab beliau.

"Oh yaudah Bi, suruh masuk aja."

Bi Siti kemudian meminta penjaga di depan untuk membukakan gerbang. Lalu Bi Siti mempersilakan Aris masuk.

Gue menoleh ke arah pintu, terlihat ada Syahna tengah menatap gue lalu berjalan cepat menghampiri gue yang sedang duduk di sofa.

Kok bisa ada dia sih?!

Gue langsung menatap tajam ke Aris yang berjalan di belakang Syahna sambil menyengir.

"Nay! Lo kenapa harus bohong sih? Gimana keadaan lo sekarang? Apa yang sakit? Bisa-bisanya gak masuk sekolah ternyata malah main Xbox di rumah," ucap Syahna tanpa henti sambil memeriksa keadaan gue.

Sebelah tangannya tidak sengaja menyentuh bekas jahitan di perut gue sampai gue meringis kesakitan.

"Aduh duh," ringis gue.

Raut wajah Syahna langsung berubah panik. "Eh eh sorry, lo kenapa?"

Gue memegang pelan bekas jahitannya. "Aduuhh.."

"Sorry, kenapa?" kali ini wajahnya terlihat sedih.

"Ini luka gue, jangan dipegang-pegang, masih sakit," ucap gue.

Syahna langsung menatap Aris yang berdiri di sampingnya. "Lo bilang Naya cuma demam, kok bisa ada luka?"

"Emmm, emmm," gumam Aris.

"Ris, kenapa ada dia deh di sini?" tanya gue.

"Kenapa emangnya kalo gue di sini?" Syahna malah balik bertanya dengan ketus.

"Hehe sorry Nay, tadi Syahna nanya gue lebih tepatnya mengintimidasi terus dia ngancem mau kasih tahu aib gue ke Mala. Jadi, gue bawa deh dia ke sini," ucap Aris menjelaskan.

"Ck, ah ribet deh."

"Kenapa sih gue gak boleh tahu? Kenapa lo harus bolos sekolah? Lo sakit apa?"

Gue kembali menoleh ke Aris dan dia hanya menyengir saja.

"Nay, gue mau ke toilet dong, sakit perut nih," ucap Aris.

Gue menatapnya datar. "Tuh, lo lihat ada dapur di sana, lo ke kiri ke arah kolam renang terus ada pintu pas sebelum ke halaman belakang, di situ."

"Oke, bentar ya gue ke toilet dulu."

Syahna kembali menatap gue dengan tajam. Gue pun mengacuhkannya dengan kembali bermain Xbox.

"Ih, Naya, lo belum jawab pertanyaan gue!" gerutunya.

"Apa sih?" sahut gue tanpa menoleh ke arahnya.

Sedetik kemudian, Syahna mengambil stick dari tangan gue dan mengumpatkannya di belakang punggungnya.

"Ck, apaan sih? Balikin stick gue."

"Gak, lo kasih tahu gue dulu lo sakit apa."

Gue menghela nafas. "Apa peduli lo sama gue?"

"Ya..ya lo tinggal kasih tahu aja susah banget," Syahna terlihat salah tingkah.

"Buat apa lo tahu? Kan lo sendiri yang bilang kalo cuma kasihan sama gue, dan gue gak mau dikasihani sama lo."

Dia menundukkan kepalanya. "Ya, sorry, I didn't mean to."

Sedikit senyuman terbentuk di wajah gue, untung dia gak lihat.

"Hemmm..." gumam gue.

Syahna kembali mendongakkan wajahnya. "Terus jadinya lo kenapa?"

"Gak kenapa-kenapa."

"Bohong! Gue nanya serius Nay, lo kenapa?"

"Ya, emang kalo gue kenapa-kenapa urusanya sama lo apa?"

"Gue khawatir sama lo," ucap Syahna dengan cepat dan dia terlihat sedikit kaget atas ucapannya barusan.

Gue mengerutkan dahi menatapnya. "Wait, what did you say?"

Dia menggeleng dengan cepat. "I didn't say anything."

"Oh, yaudah," sahut gue sambil mematikan Xbox dan menyetel tv.

"Ish, nyebelin banget sih lo," gerutunya.

"Apaan lagi sih? Lo gak balikin stick gue, sekarang gue mau nonton tv lo malah marah-marah, aneh."

Dia menghela nafas kasar. Lalu kedua tangannya memegang wajah gue untuk menatapnya.

Gue bisa melihat wajah Syahna sangat dekat di depan mata gue. Tatapannya begitu serius dengan ekspresi yang terlihat khawatir.

"Lo sakit apa?" tanya Syahna dengan lembut.

Deg... jantung gue.

Gue terdiam sejenak sambil menatap dalam matanya.

"Gue..." belum sempat gue melanjutkan kalimat, tiba-tiba saja ada suara Mama memanggil nama gue dengan keras.

"Naya!"

Gue dan Syahna sama-sama kaget hingga tersentak. Gue langsung menoleh ke arah datangnya Mama dari pintu utama.

"Mama?" panggil gue.

"Kamu lagi ngapain?" tanya Mama dengan wajah sangarnya yang menatap Syahna dengan tatapan intimidasi.

"Sore tante," sapa Syahna dengan sopan.

Mama tidak bergeming.

"Siapa dia?" tanya Mama.

"Temen sekolah," jawab gue.

"Ngapain kamu berduaan pegang-pegangan muka kayak tadi?"

Syahna langsung menundukkan wajahnya. Sebelah tangan gue pun menggenggam tangannya mencoba untuk memberitahukannya kalau semuanya akan baik-baik saja.

"Tadi mata Naya kelilipan, Syahna bantu niupin."

Mama masih menatap kami berdua.

"Luka bekas tusukkan di perut kamu gimana?" tanya Mama kemudian.

Syahna langsung menoleh ke arah gue.

"Way much better," jawab gue.

"Jadi anak tuh jangan sukanya nyusahin orangtua," ucap Mama serius lalu dia pergi menuju kamarnya meninggalkan gue dan Syahna.

"Lo ditusuk siapa?" tanya Syahna.

"Perampok," jawab gue.

"Kapan?"

Tiba-tiba Aris datang. "Nay, yang tadi nyokap lo?"

Gue menoleh. "Oh, iya."

"Asli, serem banget. Gue sampe ngumpet dulu di dapur gak berani ke sini."

"Yaelah, biasa aja kali Ris."

"Uh, balik aja yuk Sya," ajak Aris.

Syahna masih menatap gue.

"Hp lo mana?" tanya Syahna.

"Mau ngapain?"

Kedua mata Syahna menatap ke sana ke mari, lalu dia mengambil ponsel gue yang sejak tadi gue letakkan di samping paha gue.

"Buka," ucapnya lagi sembari menyodorkan ponsel gue di depan wajah gue.

Gue hanya bisa menghela nafas mengikuti keinginannya.

Syahna terlihat mengutak-atik ponsel gue.

"Kenapa nama gue syaiton di kontak lo?"

"Ya suka-suka gue."

"Ck," gumamnya.

Beberapa detik kemudian, Syahna mengembalikan ponsel gue.

"Nih, awas lo ya block nomor gue lagi," ucapnya sedikit mengancam.

"Hemm, iya," sahut gue.

"Udah balik yuk," ajak Aris lagi.

Syahna masih menatap gue kemudian dia mendekatkan wajahnya di samping gue.

"Gue akan telpon lo, awas kalo lo gak angkat," bisiknya.

Gue hanya terdiam.

"Kita balik ya Nay, cepet sembuh lo," ucap Aris.

"Ya, hati-hati Ris."

"Bye Nay," ucap Aris.

"Bye," sahut gue sambil saling bertatapan dengan Syahna.

Lalu dia melambaikan sebelah tangannya dengan tatapan penuh kekhawatiran.

Gue sedikit tersenyum padanya.

"Hati-hati," ucap gue padanya tanpa bersuara.

Syahna menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Mereka berdua pun pergi dari rumah gue.

Shit, kenapa Syahna harus bertemu dengan Mama? Oh God, semoga semuanya akan baik-baik aja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top