24.

Syahna's Pov

Sudah lebih dari 2 bulan aku tidak pernah lagi berbicara dengan Naya. Jangankan untuk sekadar menyapa, melihatku saja sepertinya dia sudah tidak mau. Kabar tentang hubungannya bersama Kiara juga sudah mereda. Aku rasa, seisi sekolah ini sudah menerima mereka, mungkin hanya aku saja yang belum dan tidak akan pernah bisa.

Seminggu lalu aku kembali ditembak sama anak kelas XI. Ya, dia sama saja dengan laki-laki lainnya yang bilang suka karena karakterku. Nasibnya pun juga sama, aku tolak mentah-mentah.

Untuk saat ini, hanya belajarlah yang jadi prioritas utama. Aku tidak ingin lagi memikirkan Naya, aku harus bisa mengembalikan rasa cuekku padanya.

"Sya, Syahna, ikut ke kantin gak?" Mala menyenggol lenganku.

"Oh engga deh La, gue mau di kelas aja," jawabku.

"Oh yaudah, mau nitip makanan gak?"

"Emmm, air mineral aja."

"Okay, gue ke kantin dulu ya."

"Iyaa."

Aku kembali membuka buku pelajaran dan membacanya. Aku pun merasa bosan lalu memutuskan pergi ke toilet untuk sedikit mencuci muka. Ketika aku masuk ke dalam secara terburu-buru, aku menabrak seseorang.

"Duh, lihat-lihat dong kalo jalan," gerutuku pada orang tersebut.

Dia pun mendongakkan kepalanya dan menatapku.

Shit, it's Naya.

Dia menatapku dengan tatapannya yang super dingin.

"Punya mata makanya dipake," ucapnya.

Aku masih menatapnya dan melihat garis panjang bekas jahitan di lengan kirinya. Sebenarnya aku masih penasaran, hal apa yang sebenarnya terjadi malam itu sehingga membuat Naya terluka parah.

"Bisa minggir? Gue mau keluar," ucapnya lagi membuyarkan lamunanku.

"Oh, iya," sahutku dan dia berlalu begitu saja.

Naya sudah sangat berubah sikap semenjak aku berbicara kelewat batas padanya. Tidak hanya padaku, di kelas pun dia lebih banyak diam dan masih sering bersitegang dengan Bu Ida.

Bahkan beberapa waktu lalu ia juga sempat dipanggil lagi ke ruang BK karena merobek kertas tugasnya yang menurut dia dinilai tidak objektif oleh Bu Ida. Hanya dia yang berani melakukan hal itu di sekolah kami.

Aku masih bisa melihat punggungnya yang berjalan menjauh dari toilet ini. Ah, aku jadi kangen berargumen dengannya. Apa aku harus meminta maaf padanya? Tapi untuk apa, toh dia juga sudah tidak peduli lagi denganku dan dia sudah punya Kiara sekarang.

Pelajaran terakhir berjalan seperti biasa hingga bel pulang berbunyi. Aku melihat ke arah luar jendela, langit mulai mendung dan sepertinya akan turun hujan.

"Sya, lo jadi kumpul sama anak OSIS dulu?" tanya Mala sambil merapikan buku.

"Jadi La, lo balik duluan aja kayaknya gue agak lama," jawabku.

"Oh yaudah, gue pulang duluan ya. Jangan terlalu sore Sya, mau hujan deres kayaknya, lo kan lagi gak bawa mobil."

"Iya, nanti kalo udah selesei rapatnya gue langsung balik."

"Okay, bye Syaaa."

Aku pun bergegas ke ruang OSIS untuk membahas kegiatan study tour yang akan dilaksanakan beberapa minggu lagi. Pihak sekolah melibatkan seluruh anggota OSIS untuk menjadi panitia bersama beberapa guru yang sudah dipilih, salah satunya ada Bu Reni.

Rapat berjalan lancar namun memakan waktu cukup lama hingga baru bisa selesai hampir di jam 5 sore. Hujan pun tadi sempat turun cukup lebat tapi sekarang hanya tinggal gerimis saja walau masih lumayan intensitasnya.

Suasana di sekolah sudah sangat sepi, bahkan ekskul karate yang harusnya latihan di lapangan juga sepertinya sore ini tidak ada kegiatan apa-apa. Satu persatu anggota OSIS mulai pulang. Sedangkan aku masih berdiri di depan ruang Tata Usaha menunggu gerimisnya agak reda.

Terlihat ada Bu Reni berjalan ke arahku bersama dengan Bu Sri. "Syahna, kamu belum pulang?"

Aku tersenyum sopan pada beliau. "Belum Bu, nunggu hujan reda."

"Gak bawa payung?"

"Lagi gak bawa Bu."

"Ya ampun, gak minta dijemput sama orang rumah?"

Aku menggeleng. "Lagi pada keluar Bu."

"Yasudah, nanti kalau belum reda juga coba minta tolong sama Pak Agus ya. Siapa tahu istrinya ada payung yang tidak dipakai."

Pak Agus adalah penjaga sekolah kami yang sehari-hari tinggal di rumah dinas yang ada di belakang gedung utama.

"Iya Ibu."

"Hati-hati ya Syahna, Ibu pulang duluan."

"Iya Bu hati-hati."

Aku kembali berdiri melihat ke arah langit yang masih gelap. Aku pun mengecek hp melihat balasan dari Bang Andra. Katanya, kelas dia baru akan selesei 40 menit lagi. Ini semua gara-gara Bang Andra meminjam mobilku pagi tadi.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 17.15, tapi gerimisnya masih juga belum mereda. Jarak dari gedung sekolah ke gerbang juga lumayan jauh. Pasti seragamku akan basah jika memaksakan untuk ke depan sana.

Namun tidak ada pilihan lain lagi selain melewati hujan ini. Ketika aku ingin melangkahkan kaki keluar dari gedung sekolah, tiba-tiba ada seseorang memegang bahuku dari belakang hingga membuatku kaget.

"Siapa sih?" bentakku sambil membalikkan tubuh menoleh ke orang tersebut.

Aku mengerjapkan mata beberapa kali.

"Naya?"

Dia tidak berbicara apa-apa, hanya menatapku dengan tatapannya yang dingin itu. Lalu dia menyodorkan sebuah payung padaku.

Aku menoleh ke payung tersebut lalu menatapnya bingung.

"Apa?"

"Ambil," ucapnya.

Aku mengerutkan dahi. "Buat gue?"

Dia hanya menganggukan kepalanya sekali.

Dengan gerakan perlahan, aku pun mengambil payung tersebut dari tangannya. Lalu dia memasang earphone bluetooth di kedua telinganya dan mengenakan hoodie yang menutupi kepalanya.

Dengan langkah santai, dia berjalan ke arah gerbang sekolah dan meninggalkanku begitu saja.

"Naayy, terus lo gak pake payung?" teriakku padanya.

Dia tidak menoleh atau menyahuti, dia hanya melambaikan sebelah tangannya padaku.

Seulas senyum pun terbentuk begitu saja di wajahku. Ternyata Naya masih peduli padaku. Dia memang seseorang yang memiliki hati lembut walau penampilan luarnya mengesankan kalau dia orang yang cuek.

Dari tempatku berdiri, aku melihat punggung Naya yang mulai menjauh. Dia berjalan seorang diri di tengah hujan dengan tidak memedulikan jaketnya yang mulai basah. Hingga dia benar-benar berlalu dari pandanganku, aku meyakini sesuatu kalau aku sudah jatuh hati padanya.



***


Naya's Pov

Gue mulai berjalan meninggalkan Syahna yang berdiri di ujung koridor sekolah. Bukan tanpa alasan gue bersikap dingin padanya selama ini, tapi gue hanya ingin dia berpikir kalau ucapannya kala itu sangat membuat hati gue sakit.

Ingin rasanya gue secuek itu ke Syahna, tapi entah kenapa rasa peduli ini tidak bisa gue ubah. Gue terlalu mengkhawatirkannya sampai gue harus diam-diam memerhatikannya dari jauh. Gue tahu dan gue yakin, apa yang ia ucapkan saat itu tidak semuanya benar. Hati gue meyakini jika dia juga punya perasaan yang sama ke gue, hanya saja dia terlalu naif untuk mengakuinya.

Tidak jauh dari gerbang sekolah, Aris dan Will sudah menunggu gue di dalam mobilnya Will. Gue pun langsung masuk ke dalam dan melepaskan earphone.

"Hai Nay," sapa Will.

Gue tersenyum padanya.

"So, what's the plan?" tanya gue.

"Okay, kita tungguin si Aldo di parkiran kampusnya terus gue akan ajak dia ke lapangan tenis. Lo berdua tunggu di sana," jawab Will.

"Hemmm, okay. Di situ kita ambil hpnya dan apus semua foto Kiara," sahutku.

"Kalo misal si Aldo udah copy foto-fotonya Kiara di laptop atau tempat lain, gimana?" Aris menyahuti.

"Gue yakin sih, dia cuma save di hpnya," sahut Will.

"Thanks ya Will, lo udah mau bantuin kita," ucap gue.

Will tersenyum dari balik kemudinya. "Buat Naya, apa sih yang gak?"

"Yaelah masih aja lo Will. Temen lo kenapa brengsek banget sih?" ucap Aris.

"Yaa, Aldo masih sakit hati sama Kiara dan Lo Nay. Dia masih mau bales dendam ancurin image-nya Kiara. Karena dia gak punya bukti foto-foto lo dan Kiara yang mesra-mesraan, makanya dia mau nyebarin foto-foto mereka ciuman dll-nya itu."

"Ada untungnya sih lo kenal deket sama dia Will," ucap gue lagi.

"You can rely on me, Nay," sahutnya.

"Udeh yuk ah cabs sekarang, keburu malem nih," ucap Aris.

"Ok, kita jalan."

Will mulai melajukan mobil SUV-nya dengan kecepatan lumayan tinggi. Sepanjang perjalanan, Aris menanyakan gimana kondisi Kiara saat ini yang tahu kalau foto-fotonya akan disebarkan oleh Aldo hingga ia bertanya kenapa tadi gue di sekolah sampai sore hari.

"Lo tadi ngapain di sekolah?" tanya Aris.

"Ada urusan," jawab gue singkat.

Aris menatap dari kaca tengah dan tersenyum penuh makna.

"Kayaknya gue tahu urusan lo apa," ucapnya.

Gue membalas tatapannya di kaca tersebut.

"Jangan bacot," ucap gue tanpa bersuara dan dia hanya tertawa.

"Kalian ngomongin apa sih?" tanya Will.

"Itu Will, si Aris lagi mau deketin Mala."

"Serius lo nyet?" tanya Will ke Aris.

"Haha, kan Mala udah single sekarang."

"Gerak cepat juga nih bocah."

"Monyet dibedakin juga bakal dikejar sama si Aris, Will."

"Haha iya sih. Cewek mana juga dia deketin."

"Kenapa jadi bahas gue sih?" celetuk Aris.

Gue dan Will hanya tertawa.

"Udah mau nyampe nih. Lo berdua turun di sini terus langsung aja tunggu deket lapangan, gue bakal nyamperin si Aldo," ucap Will.

"Okay, chat gue ya," sahut gue.

"Sip."

Sesuai rencana, gue dan Aris terlebih dulu pergi ke lapangan tenis yang ada jauh di belakang gedung kampusnya si Aldo.

Ketika menunggu dekat pohon, tiba-tiba ponsel gue berbunyi dan ada telpon dari Kiara.

"Nay, di mana?"

"Di kampusnya Aldo."

"Jadi sama Will dan Aris kan?"

"Iya."

"Hati-hati ya Nay."

"Iya, udah lo tenang aja Ki. Gue kan gak sendirian."

Kiara terdiam cukup lama.

"Ki?"

"Nay, please kabarin aku terus ya."

"Iya, yaudah gue matiin ya. Gue lagi nunggu chat-nya Will."

"Okay, take care."

"Ya, bye."

Gue mematikan telpon darinya dan kembali menunggu chat dari Will.

"Kiara?" tanya Aris.

"Iya."

"Hemmm, enaknya jadi Naya. Deket sama Syahna, dipeduliin sama Kiara, kalo begini gue pengen jadi cewek aja dah."

Gue menoyor kepala Aris. "Haha apaan sih lo Ris."

"Untung lo pake hoodie dan rok sekolah kita kotak-kotak Nay."

"Kenapa emang?"

"Daritadi tuh lo dilihatin terus sama anak-anak kampus sini. Gue sama Will sih udah ganti baju dulu, lo disuruh balik gak mau sih malah di sekolah. Nungguin Syahna kan lo tadi?"

Gue tersenyum sedikit. "Lo tahu lah."

Aris menggelengkan kepalanya. "Andai aja tuh si ratu jutek tahu kebenarannya, gue yakin pasti dia sujud-sujud ke lo deh minta maaf. Kenapa sih lo gak nyoba untuk jelasin lagi ke dia?"

Gue menarik nafas dalam. "Someday she will knows."

Ponsel gue bergetar beberap kali.

"Will sama Aldo ke sini nih," ucap gue.

"Ok, kita tunggu."

Tidak lama kemudian, Will datang bersama Aldo. Gue bisa melihat ekspresi Aldo yang curiga ketika di ajak ke sudut lapangan oleh Will. Ketika mereka berdiri di sana, gue dan Aris langsung menghampiri.

Aldo terlihat sedikit kaget dan langsung menunjuk ke wajah Will. "Anjing lo Will!"

Will hanya mengangkat bahunya.

"Siniin hp lo," ucap gue.

"Ngapain lagi sih lo cewek sakit?"

"Eh bro, mending lo kasih hp lo baik-baik daripada gue paksa."

"Urusannya sama lo apa sih? Lo siapa?"

Aris berdiri di depan gue menatap ke Aldo. "Gue temennya Kiara dan gue gak suka kalo lo sampe nyebarin foto-foto itu."

Aldo menatap tajam ke Will. "Lo, bangsat lo ya!"

"Lo yang bangsat Do, beraninya sama cewek. Jangan kayak banci lah, siniin hp lo."

Aldo yang terlihat terpojokkan tidak bisa melakukan apa-apa selain mengambil ponsel dari saku celananya. Ponsel tersebut diambil paksa oleh Aris lalu ia berikan ke gue.

"Cek terus hapus Nay," ucap Aris masih tetap menatap tajam ke Aldo.

Gue pun mengecek galeri di ponselnya Aldo dan menghapus folder foto Kiara. Gue cek lagi di tempat penyimpanan lain di ponselnya, gue hapus juga semuanya. Lalu gue menghapus nomor Kiara dan orangtuanya dari daftar kontak di ponselnya. Gue kembali memeriksa semua sosmed Aldo, semuanya juga sudah bersih.

"All clean," ucap gue sambil memberikan ponsel itu ke Aris.

Aris mengembalikannya ke Aldo. "Lo gak nyimpen foto-foto Kiara di mana pun lagi kan?"

"Bukan urusan lo," sahut si Aldo.

Aris menarik kerah kemeja Aldo. "Jangan pernah lo macem-macem anjing! Udah untung ya temen gue gak laporin lo ke polisi, awas lo macem-macemin Kiara dan Naya lagi."

Aldo menghempaskan kedua tangan Aris tanpa berbicara apapun.

"Eh do, sekali lagi lo aneh-aneh, lo tahu akan berhadapan juga sama gue," ucap Will mengintimidasi.

Aldo terlihat agak takut diancam seperti itu oleh Will. Ya, Will memang tidak tahu persis kejadian malam itu karena gue yakin kalau dia tahu, urusannya pasti akan lebih runyam. Dia hanya tahu kalau gue menjemput Kiara dari rumahnya Aldo dan gue terjatuh kena pecahan kaca.

Aldo hanya menganggukkan kepalanya. "Udah kan? Udah, gue mau cabut."

Kami bertiga saling bertatapan dan membiarkan dia pergi.

"Udah aman semua kan Nay?" tanya Aris.

"Aman kok."

"Ok, gue yakin dia gak akan berani lagi macem-macem," sahut Will.

"I hope so."

"Oke, kita cabut."

Kami bertiga pun pergi dari kampusnya Aldo. Will mengantar gue terlebih dahulu. Gue meminta Will untuk menurunkan gue di dekat gerbang komplek rumah karena ada yang ingin gue beli. Lalu mereka berdua pergi.

Setelah gue membeli dua bungkus sate untuk Bi Siti, gue pun memilih berjalan kaki untuk sampai ke rumah. Keadaan di komplek ini memang sangat sepi. Ya, masyarakat perkotaan yang individualistis sangat terasa di sini.

Tinggal satu blok lagi untuk sampai ke rumah. Gue berjalan di trotoar yang sepi seorang diri. Lalu tiba-tiba ada motor besar berjalan di samping gue dan berhenti tidak jauh dari tempat gue berdiri. Seseorang turun dari motor tersebut lengkap masih mengenakan helm di kepalanya.

Gue tetap berjalan seperti biasa dan dengan gerakan cepat, orang tersebut menghampiri gue lalu menusukkan sesuatu ke perut gue. Badan gue langsung terasa dingin. Gue hanya tercekat tidak bisa berkata apa-apa sampai tubuh gue jatuh tersungkur ke atas trotoar dan melihat orang tersebut sudah pergi dengan mengendarai motornya sangat cepat.

Sekujur tubuh gue terasa sangat dingin dan sakit. Hingga perlahan semuanya berubah menjadi gelap.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top