2.
Naya's Pov
Jam Istirahat
Beberapa anak menghampiri gue untuk berkenalan. Gue pun hanya bisa meladeni mereka sampai akhirnya Aris menarik tangan gue.
"Udah-udah, Naya laper mau makan dulu di kantin. Ayo Nay," ajaknya bersama dua orang siswa.
Setelah keluar dari kelas, gue langsung melepaskan pegannya.
Aris melihat ke arah gue. "Eh, sori-sori. Oh iya Nay, 2 cecunguk ini adalah sohib gue. Si kumis tipis itu namanya Rio, yang cepak ngehe itu Ody."
"Hai Nay," sapa mereka.
"Hai," sahut gue.
"Lo suka apa Nay? Bakso, mie ayam, lontong sayur, atau apa? Di sini sih yang paling enak baksonya," ucap si Aris penuh semangat.
"Ok, I'll try the meatball."
"Cakep, lo duduk sini aja dulu sama si Rio. Gue dan Rio yang pesen makan." Aris mempersilakan gue duduk di bangku panjang.
Gue bisa merasakan banyak mata yang sedang menatap ke arah gue. Gak di mana-mana, ada aja yang ngurusin hidup orang.
"Nay," panggil Rio.
"Ya?"
"Rambut lo keren deh warnanya," ucapnya lagi.
Gue tersenyum. "Haha thanks."
"Tadi pagi lo masuk ke ruang BK ya?"
"Kok lo tau?"
"Ya, gue lihat lo masuk dianter sama Pak Amir. Dia salah satu guru galak di sini Nay, sukanya perhatiin kelengkapan seragam murid."
"It can tell."
"Apa Nay?"
Gue menghela nafas. "Ya, gue udah bisa tau dia galak."
"Tapi untunglah wali kelas kita asik."
Gue pun hanya menganggukan kepala dan tidak lama, Aris datang membawakan dua mangkuk bakso dan Rio membawa 2 gelas teh manis.
"Nih Nay, cobain," ucap si Aris.
Gue pun mennyipi bakso yang katanya enak itu, dan benar rasanya lumayan enak untuk ukuran bakso di kantin sekolah.
"Nay, Nay, lo kok nanggung banget masuk kelas 3? Kenapa gak sampe lulus di Norwey?"
"Nyokap nyuruh gue balik," sahut gue.
"Hooo. Terus kenapa lo pilih sekolah ini?"
"Bokap yang mau."
"Hemmm, I see. Lo berani juga ya hari pertama masuk udah pake kaos kaki mencolok gitu. Rambut juga dicat lagi."
"Tadi guru BK nyuruh gue besok cat rambut gue jadi item dan pake kaos kaki warna putih atau hitam."
"Haha ya gitu deh di sini mah, banyak peraturannya. Pasti pas lo sekolah di sana enak banget ya Nay?"
"Ya, ada enak ada gak nya."
"Lo gak pake seragam kan?"
"Nope."
"Ah, enak banget."
"Lo sekolah di luar aja, nanti juga gak akan pake seragam."
"Haha andai dibolehin nyokap Nay."
"Iya, Aris kan anak Mami, hahaha," celetuk Ody.
"Yeee, sialan lo."
"Gimana baksonya? Enak kan?"
"Emmm, lumayan."
"Besok lo cobain batagor atau somay di sini, rasanya dua jempol," Aris mengangkat kedua jempolnya.
"Hemm, yeah."
Kami pun menghabiskan waktu istirahat dengan obrolan santai. Lebih banyak Aris yang mendominasi obrolan, dia cukup bawel. Setelah selesai makan, Aris mengajak gue untuk keliling sekolah. Sedang Ody dan Rio memilih bermain game di kelas.
"Nah, ini ruang OSIS Nay," ucapnya.
"Ya."
"Gue ajak lo ke taman belakang ruang OSIS, yuk."
Aku mengikuti langkahnya dan ketika kami ingin ke sana, Aris tiba-tiba berhenti dan menahan gue untuk tidak berjalan ke sana.
Terlihat seorang cowok sedang berbicara dengan satu cewek dan cewek itu adalah sekertaris kelas kami.
Cowok tersebut seperti sedang memohon, tapi si cewek melipat kedua tangannya dengan wajah datar. Lalu cewek tersebut meninggalkan cowok itu. Kemudian Aris mengajak gue untuk menghampiri di cowok tadi.
"Kenapa To? Ditolak?" tanya Aris.
"Iya Bro."
"Sabar Bro, lo cowok ke-9 yang dia tolak."
"Yaudah Bro, gue mau balik ke kelas aja."
"Oke Bro," Aris menepuk bahu cowok itu.
Aris kini menghela nafas. "Kasian si Dito, udah suka sama Syahna dari kelas X tapi sekalinya berani nembak malah ditolak."
Gue hanya diam tidak tahu harus merespon apa.
"Taman ini Nay, tempat saksi bisu gue juga ditolak sama Syahna," ucapnya lagi.
"Oh, lo pernah nembak dia juga?"
"Iya, gue jadi cowok ke-4 yang nembak dia waktu kita kelas X."
"Hafal banget lo sama jumlah cowok yang ditolak dia."
"Bukan gue doang yang hafal, semua anak cowok satu sekolah ini juga tahu Nay. Syahna tuh ibarat cewek yang menantang."
"Kenapa gitu?"
"Karena belum ada satu cowok pun yang berhasil diterima sama dia."
"Hemm gitu, yaudahlah kejar yang lain."
"Yang lain tuh gak semenantang Syahna Nay karena ketika lo bisa jadi pacar dia, lo tuh kayak mendapatkan jackpot. Pasti semua cowok pada iri."
"Oh, jadi di pikiran cowok-cowok di sini mau dapetin dia biar bisa dibanggain gitu? Bukan karena bener-bener suka?"
"Bukan gitu Nay, tapi duh gimana ya gue jelasinnya. Pokoknya bakal punya pride tinggi tersendiri deh."
"Ya, ya, ya," sahut gue.
"Hemmm, yaudah yuk balik kelas. Udah mau bel nih," ajak si Aris.
Kami pun masuk kelas dan semua terlihat tegang. Lalu tiba-tiba masuk seorang guru wanita dengan perawakan yang terlihat sangar. Dia membawa buku paket matematika.
"Shit, bener ternyata Bu Ida jadi guru mat. Mati deh nih," ucap Aris pelan.
Gue memerhatikan seisi ruangan ini langsung diam dan hening, berbeda sekali dengan tadi pagi.
Ketika guru tersebut masuk, ketua kelas langsung memberikan salam.
Sang guru dengan wajah seramnya itu memerhatikan seisi ruang kelas ini.
"Buka buku paket kalian halaman 5," ucapnya dan semuanya langsung patuh.
Aris kembali menaruh buku paketnya di tengah-tengah meja kami. Pelajaran pun berlangsung dengan suasana kelas yang tegang.
Gue memerhatikan Aris yang tiba-tiba jadi gelisah. Dia mengeluarkan ponsel dari kantong celananya diam-diam. Sepertinya dia sedang membaca pesan.
Gue pun tidak ingin mencampuri urusannya. Jadi gue kembali fokus membaca buku sambil mendengarkan penjelasan Bu Ida.
Aris menjauhkan tubuhnya dan dia masih fokus menatap ke layar ponsel. Hingga tiba-tiba spidol melayang ke arahnya yang mengenai tubuhnya. Aris langsung kaget, sama seperti gue maupun semua murid di kelas ini.
"Aristyo, sejak tadi Ibu perhatikan kamu mainan hp terus. Kembalikan spidolnya sekalian ponsel kamu Ibu sita!" ucap Bu Ida dengan tegas.
Semua murid hanya tertunduk. Gue mencoba membaca raut wajah Aris yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu.
"Emmm Bu, emmm," gumamnya.
"Cepat ke sini!!" ucap Bu Ida dengan intonasi tinggi.
Aris pun menuruti perintah Bu Ida. Dia maju ke depan mengembalikan spidol.
"Mana ponsel kamu?"
"Ja-jangan disita Bu."
"Kemarikan ponsel kamu."
"Ja-jangan Bu."
"Cepaaat!!" teriakan Bu Ida tersebut membuat suasana di kelas semakin tegang.
Aris masih berusaha tidak memberikan ponselnya.
"Kamu kasih saya ponsel kamu atau kamu keluar dan tidak akan pernah bisa mengikuti kelas saya?" Bu Ida mengancam.
"I-iya Bu," dengan wajah tertekan, Aris memberikan ponselnya pada Bu Ida.
"Kembali ke maja kamu dan perhatikan pelajaran saya."
Aris kembali duduk di samping gue. Wajahnya terlihat seperti sedang mengkhawatirkan sesuatu.
Ody yang duduk di samping bangku kami langsung menanyakan Aris.
"Gak apa-apa Bro?" bisiknya.
Aris hanya menggelengkan kepala. Lalu tiba-tiba spidol kembali melayang ke arah mereka dengan kali ini mengenai wajah Aris.
"Aduh," ringisnya.
"Kamu ini ya, baru dibilangin sudah berisik lagi!" Bu Ida semakin marah.
"Bisa tidak mendengarkan saya dengan tenang?"
"Bi-bisa Bu, maaf," ucap Ody dan Aris.
Bu Ida melihat geram ke arah mereka. Gue hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan beliau. Tidak seharusnya dia melempar spidol dengan kasar seperti itu.
"Bawa ke sini spidol saya," perintahnya lagi.
Ketika Aris ingin mengambil spidol yang ada di bawah kolong meja kami, gue langsung menghentikannya. Gue langsung mengambil spidol tersebut dan berjalan ke depan mengembalikannya ke Bu Ida.
Gue taruh spidol itu dengan sedikit membantingnya di atas mejanya. Seisi ruangan kelas langsung kaget. Gue pun berjalan santai menuju bangku.
"Eh kamu!!" teriak Bu Ida memanggil gue.
Gue menoleh ke arahnya. "Ya?"
Terlihat wajah Bu Ida semakin geram menatap gue dari atas sampai bawah.
"Kamu tidak pernah diajari sopan santun sama orangtua kamu? Rambut berwarna merah, kaos kaki tidak beraturan, dan taruh spidol saya dengan tidak sopan."
Gue sedikit menghela nafas sambil menatap matanya. "Rambut saya warnaya burgundy red, kaos kaki saya hanya bercorak kotak-kotak, dan untung saya mengembalikan spidol Ibu dengan tidak melemparinya sama seperti yang Ibu lakukan ke murid Ibu. Dan satu lagi, tidak usah membawa orangtua untuk hal seperti ini."
Wajah Bu Ida langsung berubah merah padam. Sebelah tangannya mengepal. Kedua matanya melotot menatap gue.
Gue balas tatapannya dengan wajah santai.
"Siapa nama kamu?" tanyanya berteriak.
"Naya," jawab gue santai.
"Keluar kamu dari kelas saya," perintahnya.
Gue menatapnya sejenak, lalu gue menganggukan kepala dan berjalan ke bangku untuk mengambil ponsel serta earphone. Semua pasang mata tengah menatap ke arah gue.
Gue pun keluar kelas tanpa meminta ijin dari Bu Ida. Sepertinya saat ini dia juga tengah memerhatikan pergerakan gue.
Ketika gue udah di luar kelas, Bu Ida langsung menutup pintu. Gue pun mendengarkan musik sambil memainkan ponsel di koridor kelas.
Sampai tiba-tiba ada Bu Reni menghampiri gue dan bertanya pada gue.
"Kamu kenapa di depan kelas seperti ini Naya?"
Gue langsung melepaskan earphone. "Disuruh keluar sama Bu Ida, Bu."
"Lho kenapa? Coba Ibu tanyakan Bu Ida," ucap Bu Reni lalu beliau langsung masuk ke kelas.
Tidak lama kemudian, Bu Reni memanggil gue untuk kembali masuk ke kelas.
"Maaf Bu Ida, Naya ini siswi baru di sekolah kita. Hari ini adalah hari pertama dia masuk, dia masih butuh penyesuaian," ucap Bu Reni pada Bu Ida.
"Tetap saka Bu, anak ini tidak ada sopan santunnya sama sekali."
Bu Reni kemudian menatap gue dan meminta gue menjelaksan apa yang terjadi. Gue pun menceritakan kejadiannya dari awal.
"Coba Ibu Reni pikir, bagaimana kalau murid bisa seberani itu sama gurunya?" ucap Bu Ida.
"Ya Ibu kalau mau dihormati sama murid juga harus menghormati murid dong, jangan asal lempar spidol sembarangan kayak tadi. Kalau spidol itu kenapa mata atau bagian tubuh yang sensitif bagaiaman?" tanya gue balik.
"Kamu ini benar-benar tida ada sopan santunnya ya!" bentak Bu Ida.
"Ibu juga harus tanya dulu ke Aris, kenapa dia bisa tiba-tiba main hp pada saat pelajaran Ibu, dia juga pasti punya alasan kuat," debat gue.
"Aris, bisa tolong ke depan?" tanya Bu Reni pada Aris.
Aris langsung ke depan. "Iya Bu."
"Kamu kenapa mainan hp ketika pelajaran berlangsung?"
"Emmm, itu..." gumam Aris sambil menundukan kepalanya.
"Kenapa Ris?" tanya Bu Reni lagi dengan lembut.
"Hemmm, tadi Mama saya tiba-tiba kirim pesan dan kasihtau saya kalau adik perempuan saya jatuh dari tangga Bu," ucap Aris.
Wajah Bu Reni langsung terlihat iba, sedangkan Bu Ida masih memasang ekspresi sangarnya.
"Adik kamu gimana keadaannya sekarang?" tanya Bu Reni.
"Saya belum tahu Bu, tadi hp saya sudah keburu disita," jawab Aris.
Bu Reni langsung menatap Bu Ida. "Nah Bu, Aris punya alasan kuat kenapa dia main hp di kelas."
"Ya seharusnya dia kasihtau saya dong," ucap Bu Ida maish defensif.
"Ya seharusnya Ibu bisa tanya baik-baik ke murid jangan asal langsung lempar spidol aja," gue menyahuti.
"Kamu ini!!" teriak Bu Ida.
"Udah-udah, Naya," ucap Bu Reni menenangkan gue.
Gue hanya menghela nafas.
"Bu Ida, saya meminta ijin untuk mengambil ponsel Aris ya."
"Silakan."
"Nih Ris, kamu coba telpon Ibu kamu dulu di depan ya."
"Iya Bu, terima kasih."
"Nah Naya, kamu bisa minta maaf ke Bu Ida?"
Gue langsung mengerutkan dahi. "Untuk apa saya minta maaf? Saya gak salah."
"Anak ini benar-benar tidak pernah diajari sopan santun ya rumah?"
"Udah Bu udah Bu, tenang."
"Gimana saya bisa tenang menghadapi anak berandal kayak gini?"
Bu Reni menarik nafasnya dalam-dalam. "Naya, kamu ikut Ibu sebentar ke ruang BK ya. Bu Ida, silakan kembali melanjutkan pelajarannya."
"Bawa saja anak itu, tidak usah dia masuk lagi ke kelas saya," ucap Bu Ida.
Gue hanya menatapnya tajam dan Bu Reni langsung memegang lengan gue.
"Saya permisi Bu," ucap Bu Reni.
Bu Reni mengajak gue kembali ke ruang BK. Di dalam ada Bu Hilda dan seorang anak murid. Setelah anak murid tersebut keluar, Bu Reni meminta gue untuk menunggu sebentar di depan ruangan. Beliau masuk dan berbicara dengan Bu Hilda.
Setelah menunggu 10 menit, gue dipersilakan masuk. Bu Hilda meminta gue menjelaskan apa yang terjadi. Beliau mendengarkan gue dengan baik. Lalu Bu Reni meminta ijin keluar dan tidak lama bel istirahat kedua berbunyi.
"Mungkin Naya belum terbiasa dengan segala situasi dan kondisi di sekolah ini. Ibu bisa memahami itu. Tapi lain kali, coba untuk tidak emosi ya."
"Saya gak emosi Bu, saya hanya tidak suka melihat perlakuan Bu Ida ke muridnya. Dia kan bisa tegur Aris baik-baik tanpa perlu melempari spidol dan memarahinya dengan teriak-teriak."
"Iya Naya, Ibu mengerti. Tapi tidak seharusnya juga kamu tersulut emosi seperti itu."
"Saya gak akan emosi kalo gak ada suatu hal yang membuat saya jengah Bu."
Bu Hilda menarik nafasnya dalam. "Ibu sudah membicarakan ini dengan Bu Reni baik-baik. Untuk 1 bulan ke depan, kamu akan ditemani sama salah satu teman sekelas kamu untuk mengenal lebih dekat sekolah kita."
"Saya gak butuh Bu."
"Ini tidak akan membatasi ruang gerak kamu, dia hanya akan memberitahukan kamu hal-hal yang perlu kamu tahu."
Tok..tok..tok
"Permisi Bu."
"Silakan masuk Bu Reni."
Bu Reni masuk bersama dengan seseorang. Gue langsung menghela nafas.
"Nah, ini Syahna yang akan membantu kamu 1 bulan ke depan. Syahna ini mantan Ketua OSIS yang sangat baik prestasinya. Untuk itu, Ibu minta bantuan ke Syahna untuk menemani kamu."
Syahna menatap gue dengan ekspresi yang tidak bisa aku ketahui.
"Kalian berdua baik-baik ya," ucap Bu Reni.
"Iya Bu," sahut si Syahna.
"Sekarang kalian bisa gunakan istirahat kedua ini untuk mengenal satu sama lain. Kalian juga sudah boleh keluar," ucap Bu Hilda sambil tersenyum.
"Baik Bu," sahut si Syahna dengan sopan.
Kami pun keluar dari ruang BK. Baru beberapa langkah, Syahna yang berjalan di depan gue menoleh ke arah gue.
"Gue harap lo bisa diajak kerjasama," ucapnya dengan wajah jutek.
"Kerjasama untuk apa ya?" tanya gue on point.
Dia menghela nafas. "Bu Reni minta gue untuk bantuin lo tahu segala macem hal di sekolah ini. Jadi, gue minta lo jangan kebanyakan tingkah. Cukup dengerin apa yang gue kasihtahu."
"Haha siapa lo harus gue dengerin."
Dia menatap gue dengan jengkel. "Gue juga gak mau ngabisin waktu gue cuma buat nemenin lo. Kalo aja bukan karena Bu Reni yang minta ke gue, gue juga gak mau."
"Then yaudah gak usah dilakuin, gitu aja repot. Bye," ucap gue padanya sambil meninggalkan dia.
"Naya, Nayaaa," panggilnya tapi gak gue gubris.
"Dasar nyebelin," ucapnya masih bisa terdengar dengan telinga gue.
Dan gue pun menjauhkan diri darinya.
Apapun yang bakal terjadi di sekolah ini, gue gak akan pernah peduli karena gue tidak pernah meminta untuk kembai ke Indonesia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top