15.

*play the song


Syahna's Pov

Naya tertidur lelap masih tetap menggenggam tanganku. Sejak tadi jantungku berdegup dengan kencang. Apa yang sebenarnya tengah aku rasakan? Mala sering menginap di sini dan tidur di sampingku, tapi kenapa rasanya berbeda ketika Naya yang ada di sebelahku?

Perlahan kedua mataku pun mulai terpejam hingga aku juga tertidur...

Tok..Tok..Tok..

"Mbak Syahnaaa.." terdengar suara Bi Sami memanggilku dari balik pintu kamar.

Aku mengerjapkan mata. "Iyaaa Bi?"

"Mbak Syahna dipanggil Ibu untuk makan malam Mbak," ucapnya.

"Oh iya, nanti aku turun," sahutku.

"Iya Mbaaak..."

Orang di sebelahku pun juga akhirnya terbangun. Aku hanya menatapnya melihat setiap gerak-geriknya.

Dia mengerjapkan matanya beberapa kali dan balik menatapku.

"Mau sampe kiamat lo pegangin tangan gue terus?" tanyaku membalikan kata-katanya tadi.

Dia langsung tersadar dan melepaskan genggamannya.

"Jam berapa ini?" tanyanya.

"Jam 7."

"Demi apa?"

"Lo lihat aja sendiri tuh."

"Oh iya."

"Turun ayo, nyokap gue nyuruh makan."

"Gue cuci muka dulu."

"Sama gue juga."

"Yaudah ayo barengan."

"Ih, lo aja sana duluan. Gue bisa di kamar mandi depan."

"Oh yaudah." Dan Naya pun berlenggang acuh ke kamar mandiku.

"Dasar aneh," gumamku.

Tiba-tiba dia berhenti dan menoleh. "Apa?"

"Apaan?"

"Tadi lo ngomong apa?"

"Apaan sih, gue gak ngomong apa-apa."

"Hemmm, dasar aneh," gumamnya.

Ish dasar nyebelin, pengen banget gue lemparin sesuatu ke mukanya!

Kami pun turun menuju meja makan. Sudah ada Papa dan Mama di sana.

"Oh ada Naya ternyata, sini nak makan malam bareng ayo," ucap Mama semangat ketika melihat Naya berjalan di sebelahku.

"Iya Tante," sahut Naya dengan senyuman ramahnya.

"Ini teman barunya Syahna?" tanya Papa ke Naya.

"Akhirnya si Syahna punya temen selain Mala ya Pa," Mama menyahuti Papa.

Naya tersenyum dan menyalimi tangan Papa. "Iya Om."

"Ayo makan bareng yuk," ajak Mama sambil mengambilkan nasi ke piring Papa, aku, dan Naya.

"Bang Andra mana Ma?" tanyaku.

"Nginep lagi dia di rumah temennya."

"Nginep mulu."

"Kamu kayak gak tau abang kamu aja," ucap Mama.

"Naya mau pakai ayam rica-rica atau yang teriyaki?" tanya Mama ke Naya.

"Yang mana aja boleh Tante."

"Yaudah cobain dua-duanya ya. Tante nih kalau masak ayam harus ada beberapa rasa, soalnya Syahna sama Papanya beda selera."

"Syahna emang seleranya suka beda sendiri ya Tante?"

"Iya nak, Syahna tuh, duh kadang susah dimengerti."

"Iya Tante, aku paham kok."

"Ih apa sih Mama, aku perasaan biasa aja," gerutuku ke Mama.

"Katanya Syahna kalau di sekolah jutek ya Naya?" kali ini giliran Papa yang bertanya.

"Iya Om, parah banget juteknya sampe gak ada yang berani deketin."

"Apa sih lo Nay, sotoy."

"Padahal mah di rumah kayak gini nih, manja banget sama Papa Mamanya," sahut Mama.

"Ih kok jadi ngebahas aku terus sih, kapan makannya isshh," gerutuku.

"Beda banget ya dia Naya?"

"Haha iya Om, 180 derajat."

"Diem lo," gerutuku ke Naya.

"Haha sudah-sudah, ayo makan."

Kami pun akhirnya menikmati makan malam bersama dengan gurauan Papa yang terus menceritakan aib-aibku semasa kecil. Dan baru pertama kalinya aku melihat Naya tertawa lepas mendengarkan cerita-cerita Papa dan Mama. Aku merasa kalau saat ini dia terlihat bahagia.

Setelah selesai makan, Naya membantu Mama merapikan peralatan makan.

"Nih lihat Naya Sya bantuin Mama, gak kayak kamu abis makan langsung aja nonton tv kalau gak ke kamar lagi."

"Anak gadis Papa ini kan emang paling males Maaaa," sahut Papa sambil merangkulku.

Aku dan Papa duduk di sofa sedangkan Naya dan Mama masih membereskan meja makan dibantu Bi Sami.

"Kamu kok masih pake seragam sih? Bau asem niiiihh," goda Papa.

"Ih Papa enak aja. Tadi pulang sekolah aku ketiduran."

"Capek banget atau gimana sih di sekolah?"

"Iya aku banyak tugas... Eh iya, Nay, tugas puisi kita gimana?" tiba-tiba aku ingat tugas Bahasa Indonesia yang harus dipresentasikan besok.

Naya dan Mama ikut duduk di sofa.

"Kan tinggal bagian lo yang belum."

"Ih bikin bareng dong."

"Kan gue udah bikin nada gitarnya, tinggal lo bikin syairnya."

"Lho Naya bisa main gitar?" tanya Papa.

Naya menganggukkan kepala. "Bisa Om."

"Wuah bisa main bareng sama Om dan Andra nih."

"Uuhh, udah ayo ngerjain di kamar gue," ucapku sambil menarik tangan Naya.

"Pa, Ma aku ke kamar lagi ya," ijinku.

"Ganti baju dan mandi dulu sayang, Naya nginap di sini kan?" tanya Mama.

"Oh iya, Naya seminggu katanya mau nginep di sini Ma. Orangtuanya lagi keluar kota, katanya dia gak berani sendirian di rumah," jawabku dan aku bisa merasakan kalau Naya saat ini tengah menatapku.

"Oh yasudah, kamu kan jadi ada temannya. Yaudah, Naya nginap di sini aja ya selama kamu mau."

"Iya Tante terima kasih banyak."

"Yaudah Ma, aku ke atas dulu."

"Iya sayang, yang rajin ya ngerjain tugasnya."

"Iyaaa."

Kami kembali ke kamarku dan Naya langsung berjalan ke arah balkon.

"Lo mau ngerokok lagi?"

"Boleh kan?"

"Engga, cukup tadi siang aja."

"Ck."

"Kenapa? Gak suka?"

Dia terlihat menghela nafas. "Lo kenapa bilang gue nginep di sini seminggu?"

"Emang lo mau pulang?"

Dia hanya terdiam.

"Nah, yaudah gak salah kan gue bilang lo di sini seminggu?"

"Emmm," gumamnya.

"Sekarang mau gue apa lo yang mandi duluan?"

"Bareng?"

"Hah? Bareng apaan?"

"Ya mandinya barengan."

"Ih, apaan sih lo? Ya gak lah, gila kali."

"Yeee maksudnya barengan tuh, either gue atau lo mandi di kamar mandi sini, satunya lagi di kamar mandi depan. Mesum banget pikiran lo."

"Ya... ya lo ngomong yang jelas dong. Gue mandi di sini, lo aja yang di depan. Bentar, gue ambil handuk sama baju buat lo," ucapku langsung masuk kembali ke kamar. Aku yakin kalau saat ini pasti wajahku sedang memerah.

Setelah kami sama-sama selesai mandi, aku mengambilkan gitar Bang Andra untuk dimainkan Naya.

"Jadi besok bawa gitar abang lo aja?"

"Ya iya, mau gimana lagi? Emang lo mau pulang dulu ambil gitar lo?"

"Ya gak sih."

"Nah, yaudah." Aku menyiapkan selembar kertas dan alat tulis.

Naya mulai memetik gitar akustik di tangannya. Dia memainkan sebuah lagu yang terdengar familiar di telingaku.

"Ah, ini lagu Easier dan Mansionair," batinku.

Tidak banyak temanku yang tahu lagu ini. Aku pun juga jadi fokus memerhatikannya. Dia terlihat sangat tenang, elegan, dan hemmm... cantik.

Tiba-tiba saja dia menghentikan permainan gitarnya.

"Lo ngeliatin gue?" tanyanya membuyarkan lamunanku.

"Eh, ah, engga, siapa yang lihatin lo," jawabku lagi-lagi salah tingkah karenenya.

Dia tertawa mengejek. "Jangan suka lihatin gue, nanti lo suka."

"Idih pede banget. Siapa ya yang tadi siang tiba-tiba pegang tangan terus cium tangan gue?" aku membalasnya.

Kali ini giliran dia yang terlihat sedikit nervous.

"Oh ya, sorry kalo lo gak nyaman sama perlakuan gue tadi siang."

"Bukannya gak nyaman, gue cuma mau tau kenapa lo tiba-tiba kayak gitu?"

"Oh berarti lo nyaman?"

"Ish, lo tuh paling bisa ya bolak-balikin omongan."

Dia hanya tertawa.

"Terus karena apa lo kayak gitu ke gue tadi siang?"

Dia kembali menjetikkan jemarinya pada jajaran senar gitar.

"Never mind," ucapnya tanpa menatapku.

Entah kenapa aku merasa tidak puas atas jawabannya tersebut.

"Okay," sahutku.

Naya duduk di atas karpet bersandar pada tempat tidurku. Sedangkan aku duduk di beanbag yang tidak begitu jauh dari tempatnya. Aku masih memegang selembar kertas dan pulpen di tanganku sambil berpikir syair apa yang harus aku tulis.


Keesokan Harinya di Sekolah

Aku duduk di sebelah Naya. Semua kelompok yang maju hari ini sudah bersiap diri. Tidak lama dari bel masuk, Bu Reni datang dan memberi salam. Aku perhatikan satu persatu kelompok yang akan maju, hanya kelompok kami yang membawa gitar.

"Baik anak-anak, sudah pada siap kan yang hari ini giliran maju?" tanya beliau

"Sudah Buuuu," sahut kami.

"Baik, Ibu pilih acak kelompok yang pertama maju ya," ucap Bu Reni sambil melihat daftar nama kelompok di tangannya.

"Kelompok yang pertama maju ada pasangan Syahna dan Naya, silakan maju."

Piwwiitttt...

"Ihiy, cewek-cewek cantik yang maju duluan. Seger dah nih mata pagi-pagi," celoteh Aris membuat seisi kelas tertawa.

"Hahaha, pilih yang mana Ris?" celetuk Ody.

"Dua-duanya dong Broooo.."

"Woooo, hahaha."

Aku hanya menggelengkan kepala mendengar jokes kampungan si Aris. Sedangkan Naya hanya tertawa sedikit.

"Aris, Ody, kalian berdua ini harap tenang yaaaa."

"Iya Buuuu," sahut mereka.

"Naya membawa gitar?" tanya Bu Reni ketika kami maju di depan kelas.

"Iya Bu."

"Hemmm, Adit dan Bagas tolong ambilkan 2 bangku kosong dari belakang dan taruh di depan ya. Untuk kelompok yang maju, Ibu perbolehkan duduk atau berdiri, senyamannya kalian ya."

"Iya Buuu," sahut anak-anak yang lain.

"Silakan, Syahna dan Naya."

Kami menganggukkan kepala lalu duduk di atas bangku. Naya menatapku memberikan isyarat kalau dia sudah siap. Aku menganggukkan kepala menandakan kalau aku juga sudah siap.

Sesaat aku mengingat kejadian semalam di mana Naya sampai tertidur karena menungguku yang tidak selesai membuat syair. Hingga pagi tadi, aku masih tidak mau menunjukkan syair romansa yang aku buat semalaman.

Aku menarik nafas dalam-dalam sambil memejamkan mata sejenak. Perlahan Naya mulai memetikkan senar gitarnya.

"Aku terjebak pada kepiawaianmu," ucapku membacakan judul syair romansa kami.

Aku kembali menarik nafas.

Kenyamanan itu kembali hadir tanpa permisi

Ragaku pun seakan belum siap menerima hati


Aku kini bertanya, kenapa kamu hadir secara tiba-tiba

Tapi kamu hanya terdiam tanpa mau bersuara


Hingga pada satu senja, kamu menyematkan jemarimu di sela-sela jemariku

Aku pun jadi semakin ragu, degupan jantung siapa yang kian menggebu

Ah, ternyata dirikulah yang telah terjebak dalam kepiawaianmu


Aku, aku ingin mengenalmu lebih jauh wahai manusia baru

Aku merasa bahwa kita bisa melihat luasnya dunia dengan saling bersatu

Untuk sekali lagi, aku telah terjebak oleh kepiawaianmu...


Perlahan terdengar riuhan tepuk tangan dari seisi ruang kelas ini. Aku menarik nafas lega karena telah membaca syair buatanku dengan sempurna. Lalu aku menoleh ke Naya, dia tengah menatapku dengan sorotan mata yang tidak bisa aku artikan.

Bu Reni menghampiri kami sambil bertepuk tangan.

"Wuah, cantik sekali pertunjukan musikalitas syair romansa kalian. Sekali lagi, kasih tepuk tangan untuk Syahna dan Naya," ucap beliau.

"Whooaaaa," semua pasang mata terlihat kagum menatap kami berdua.

Aku tersenyum lalu menundukkan kepala dan kami berdua kembali ke bangku kami.

"Gila, keren banget Nay, Sya," ucap Aris pada kami ketika kami melewatinya.

Aku hanya menganggukkan kepala padanya.

"Kelompok kedua giliran Putri dan Nina, silakan ke depan," ucap Bu Reni.

Kami kembali duduk. Naya mendekatkan tubuhnya dari arah sampingku.

"Syair lo buat untuk siapa?" tanyanya berbisik.

"Buat siapa kek, suka-suka gue," jawabku.

Dia kembali membenarkan posisi duduknya. Lalu tiba-tiba dia menulis sesuatu di belakang bukunya dan memberikannya padaku.

"Thanks for the beautiful poetry, I want to know you more too." Tulisnya.

Aku langsung menoleh menatapnya. Dan dia juga menatapku balik dengan sebuah senyuman manis yang berhasil kembali membuat jantungku berdegup kencang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top