10.

*play the song


Naya's Pov

Hari Senin di Sekolah

Bel masuk berbunyi, semua murid sudah bersiap di lapangan untuk melakukan upacara. Gue masuk ke barisan paling belakang di samping Aris.

Upacara pun dimulai dengan petugas dari kelas XI IPA 1. Jajaran guru juga telah berbaris rapi di depan lapangan dengan beberapa guru piket berjaga di barisan murid secara acak. Sudah lama sekali rasanya gue tidak upacara.

"Nay, Nay," panggil Aris berbisik.

Gue menengok ke arahnya seraya mengangkat dagu.

"Gue banyak pertanyaan ke lo," ucapnya lagi.

"Pertanyaan apaan?"

"Tuh," dia mengarahkan tatapannya ke barisan depan.

"Apa sih?" tanya gue tidak mengerti.

"Syahna," jawabnnya dan gue hanya memutar bola mata malas.

"Lo harus cerita ke gue kenapa Jumat lalu lo bisa ajak dia."

"Males ah."

"Harus, nanti di kelas."

"Lo tanya dia aja."

"Gak bakal gue digubris, dilepehin malah iya. Lo kudu cerita pokoknya."

"Gak penting."

"Ehem, Aris, Naya, ikut Bapak," tiba-tiba ada Pak Amir datang dari arah belakang menegur kami.

"Ck, lo sih," gerutu gue ke Aris dan dia hanya menyengir lebar.

Kami berdua pun mengikuti langkah Pak Amir munuju barisan murid yang tidak menggunakan perlengkapan upacara di bagian samping lapangan. Gue melewati Syahna dan mata kami sempat beradu untuk sekian detik. Ekspresinya penuh tanya menatap gue, dan gue hanya membalasnya dengan tatapan datar.

Gue jadi teringat Sabtu siang di rumahnya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada seseorang lagi yang berani menanyakan background keluarga gue. Ya, seorang Syahna Zeline Fredella yang baru gue kenal satu minggu itu dengan berani menanyakan personal things gue.

Tapi gue tidak bisa langsung cerita begitu saja pada orang yang baru banget gue kenal. Akhirnya siang itu kami hanya mengerjakan tugas.

Upacara sudah hampir selesai. Barisan kami pun semakin bertambah dengan murid-murid yang tertangkap basah oleh guru piket. Entah itu mengobrol, bolos upacara, ataupun tidak mengenakan perlengkapan upacara.

Satu persatu barisan kelas sudah beranjak pergi dari lapangan ini, termasuk kelas kami. Dan lagi, tanpa sengaja gue menangkap tatapan Syahna yang sedang melihat ke arah gue. Dia pun langsung memalingkan wajahnya ke sembarang arah dan kembali ngobrol dengan Mala.

"Semua yang ada di barisan ini, maju lima langkah ke depan," perintah Pak Amir membuyarkan tatapan gue.

Dengan langkah gontai, kami mengikuti perintahnya sehingga berbaris tepat di tengah lapangan yang terik.

"Sudah Bapak ingatkan berkali-kali, setiap Hari Senin harus berseragam yang lengkap untuk upacara. Dan kalian tidak boleh mengobrol, bercanda, apalagi bolos dari upacara. Sebagai hukuman atas kesalahan kalian, Bapak minta yang cowok lari mengelilingi lapangan sebanyak 10x. Sedangkan yang perempuan, kalian lari 5x. Kalau sudah, ijin ke Bapak untuk kembali ke kelas masing-masing. Mengerti semuanya?" teriak Pak Amir tegas.

"Mengerti Pak," jawab kami dengan suara lesu.

"Ya, ayo dimulai dari kamu," unjuk Pak Amir ke seorang cowok yang berbaris paling depan.

Dan kami pun mulai berlari mengikuti perintah Pak Amir. Aris yang sudah lari terlebih dahulu terlihat sengaja memelankan larinya dan menunggu gue.

"Jadi gimana ceritanya?" tanya dia lagi.

"Duh, lo penasaran banget emang?"

"Banget," jawabnya dengan wajah berbinar.

"Nanti aja deh, udah tau lagi dihukum nih gara-gara lo."

"Haha kan enak, kita jadi bisa telat masuk kelasnya. Lagian sekarang kan pelajaran si bu killer."

"Oh iya juga."

"Haha, jadi gimana?"

"Lo tuh bawel banget ya."

"Anak-anak semua pada nanya ke gue, apalagi pas lo berdua tiba-tiba pulang. Si Will langsung bingung hampir ngikutin lo keluar tapi gue tahan."

"Aris, Naya, kalian berdua sudah dihukum masih saja mengobrol. Mau ditambah larinya?" teriak Pak Amir ke arah kami.

"Iya Pak, maaf," sahut Aris menanggapi.

"Tuh kan, udah deh nanti aja ceritanya," ucap gue yang kemudian berlari lebih cepat darinya.

Setelah selesai mengelilingi lapangan 5 putaran, gue memutuskan untuk menunggu Aris sambil membeli minuman di koperasi. Tidak lama kemudian, Aris menghampiri gue dan dia langsung mengambil botol air mineral dari tangan gue tanpa ijin lalu menenggaknya.

"Huh..huh..anjir keringetan nih gue," ucapnya sembari mengelap keringat di dahinya.

"Ya sama gue juga," sahut gue.

"Udah yuk, ke kelas," ajaknya.

Aris berjalan lebih dulu lalu mengetuk pintu. Terlihat Bu Ida sedang menerangkan di depan kelas dengan suasana tegang seperti sebelumnya.

"Maaf Bu, kami terlambat karena tadi dihukum," salam Aris sopan padanya.

Bu Ida melihat ke arah kami berdua dengan tatapannya tajam yang seakan siap menerkam.

"Masuk," ucapnya mempersilahkan.

Kami pun masuk ke dalam kelas.

"Kalian bisa lihat kan kedua teman kalian ini? Jangan ditiru itu kenakalannya, tidak taat peraturan, susah dibilangin oleh guru, tidak akan sukses orang-orang macem itu nantinya," ucap Bu Ida menyindir kami dan membuat gue sangat kesal mendengarnya.

Kami tetap berjalan menuju bangku lalu Bu Ida kembali mengoceh.

"Anak-anak yang tidak pernah diajari disiplin oleh orangtuanya ya akan seperti kedua teman kalian itu," sindirnya lagi yang kali ini sungguh membuat gue benar-benar ingin menegurnya.

Gue pun menghentikan langkah dan membalikkan tubuh menatap Bu Ida. Beliau terdiam sambil menatap gue tajam. Gue mengepalkan tangan mencoba menahan emosi.

"Kenapa Davira? Kamu tidak pernah diajari oleh orangtua kamu?" tanyanya masih dengan tatapan yang tajam.

"Iya, saya memang tidak pernah diajari oleh orangtua saya, tidak seperti Ibu yang diajari untuk nyinyir bahkan ke muridnya sendiri," sahut gue dengan tegas.

Bu Ida sedikit berjalan ke tengah. "Kamu sudah salah tidak mau disalahkan?" ucapnya dengan intonasi mulai meninggi dan suasana di dalam kelas semakin terasa tegang.

"Saya memang salah, tapi Ibu juga tidak memiliki hak apapun untuk menghubung-hubungkan orantua dengan kesalahan saya," ucap gue semakin tegas.

"Lalu apa yang membuat kamu bersikap kasar seperti ini dan berani melawan orang yang lebih tua kalau memang bukan karena didikan di rumah kamu?"

Gue semakin geram menatapnya lalu ketika gue melangkah untuk menghampirinya, tiba-tiba ada seseorang memegang tangan gue mencoba menahan gue.

Gue langsung menengok dan melihat ternyata Syahna yang sedang memegang tangan gue.

"Nay, udah Nay," ucapnya pelan mencoba menenangkan gue.

Gue mengerutkan dahi menatapnya.

Wajahnya seketika berubah lembut dengan tatapan memohon.

"Udah, stop," ucapnya lagi masih dengan sebelah tangannya menggenggam tangan gue. Dan entah kenapa hal tersebut mampu membuat emosi gue mereda.

Gue menggelengkan kepala lalu menghempaskan pegangan Syahna dan kembali duduk di bangku gue. Gue agak sedikit membanting kasar buku paket serta catatan gue ke atas meja. Bu Ida terlihat sedikit kaget, dia kembali menatap gue.

"Kalau ada yang tidak suka dengan pelajaran saya, silakan keluar!" bentaknya.

Gue menengok ke kanan-kiri, semua murid hanya tertunduk takut. Gue menghela nafas lalu mengambil ponsel dari dalam tas kemudian berjalan santai keluar tanpa memedulikan panggilan pelan Aris maupun Syahna tadi.

Ketika gue sudah berada di luar, Bu Ida dengan cepat menutup pintu kelas dan agak membantingnya. Gue hanya menengok dengan wajah datar kemudian gue berjalan-jalan mengelilingi sekolah.

Langkah kaki gue membawa gue ke gedung olahraga indoor yang letaknya ada di belakang gedung utama. Gue masuk ke dalam untuk melihat-lihat. Lalu ketika gue ingin kembali keluar, ada Kiara mengenakan pakaian olahraga berdiri di ambang pintu memergoki gue.

"Naya, lagi ngapain?" tanyanya.

"Oh, gue cuma lagi lihat-lihat aja," jawab gue.

Kiara mengerutkan dahinya. "Kok lo gak di kelas? Lagi pelajaran apa?"

"Pelajaran Mat, gue lagi males."

"Males?"

"Ya gitu deh, yaudah gue mau keliling lagi."

Gue pun berjalan meninggalkannya, lalu tiba-tiba Kiara memanggil gue.

"Nay, tunggu," ucapnya sembari menghampiri.

"Ya?"

"Hemmm, boleh minta nomor hp lo?"

Kini giliran gue yang mengerutkan dahi menatapnya. "Nomor gue? Buat apa?"

"Oh gak buat apa-apa kok, hemmm, ya, yaudah gak apa-apa kalo lo gak mau kasih," jawabnya salah tingkah.

"Hemmm, mana hp lo?"

Dia terlihat bingung lalu mengambil ponsel dari kantung celana olahraganya. "ini."

Gue pun mengetikkan no hp gue dan memberikan nama Naya di kontaknya.

"Tuh, nomor gue."

Kiara tersenyum. "Makasih Nay."

"Yaa."

"Hemm, ya, yaudah, gue masuk ke dalam lagi ya," pamitnya dan gue hanya menganggukkan kepala.

Ngapain ya si Kiara minta nomor hp gue?

Bel pelajaran pertama selesai. Gue pun kembali masuk ke kelas setelah memastikan Bu Ida sudah keluar. Semua mata menatap ke arah gue, tapi gue tidak memedulikan tatapan mereka. Sedangkan ketika gue melihat ke bangku Syahna, dia sedang tidak ada di sana.

Gue duduk di samping Aris, dia langsung menggelengkan kepalanya sembari bertepuk tangan.

"Gila gila gila, Naya emang panutanque. Asli sumpah Nay, lo berani banget, salut gue. Lo harus lihat tuh mukanya Bu Ida, sumpah matanya melotot udah kayak mau keluar. Gokil sih lo Nay," ucapnya penuh semangat dengan disahuti oleh Ody dan Ryo.

"Ah biasa aja, lagian jadi guru kok sukanya nyinyirin murid, kesel lah gue, apa haknya coba," sahut gue.

"Gokil lo Nay sumpah," ucap Aris lagi.

"Perhatian, panggilan kepada Naya dan Syahna dari kelas XII IPS 1 harap segera datang ke ruang BK. Sekali lagi, panggilan kepada Naya dan Syahna harap segera datang ke ruang BK. Terima kasih."

Gue menghela nafas ketika mendengar pengumuman barusan yang terdengar di segala penjuru sekolah ini.

"Sana gih," ucap si Aris.

"Ya," sahut gue lalu berjalan keluar dan berpapasan dengan Syahna yang ingin masuk ke dalam kelas.

Kami saling bertatapan lalu gue meminta dia menyingkir dari pintu lewat bahasa tubuh.

Dia mendengus kesal dan mempersilahkan gue keluar. Gue pun berjalan ke arah lantai 2 menuju ruang BK. Terdengar suara langkah dari belakang yang gue yakini itu adalah si syaiton.

"Ngapain sih gue pake dipanggil segala," gerutunya pelan tapi masih bisa gue dengar dengan jelas.

Gue tidak meresponnya dan masih berjalan tanpa menoleh ke arahnya.

"Gara-gara lo nih," ucapnya lagi kesal dengan tiba-tiba dia berjalan menyamakan langkah gue.

"Ya kalo lo gak mau ke ruang BK tinggal diem di kelas, gitu aja kok ribet," ucap gue.

"Percuma, ujung-ujungnya kan gue juga bakal ke ruang BK," sahutnya.

"Yaudah."

"Isshhh," gerutunya lagi.

Gue mengetuk pintu BK.

"Permisi Bu," salam gue.

"Iya Naya dan Syahna, silakan masuk," sahut Bu Hilda dan sudah ada Bu Reni juga di dalam sana.

Kami masuk dan duduk di depan Bu Hilda dan Bu Reni.

Bu Hilda tersenyum menatap gue. "Ada masalah apa lagi Naya?"

"Masalah? Masalah apa ya Bu?"

"Tadi Ibu dapat laporan kalau kamu katanya berdebat lagi dengan Bu Ida lalu kamu keluar pergi dari kelasnya. Ada apa toh nak?"

Gue menghela nafas malas. "Beliau duluan Bu yang cari masalah."

"Ya bagaimana? Coba diceritakan."

Gue menghela nafas lagi lalu menceritakan kronologis kejadian pagi tadi. Bu Hilda dan Bu Reni mendengarkan dengan seksama.

"Begitu Bu kurang lebih," ucap gue mengakhiri cerita.

Bu Hilda diam sejenak. "Hemmm, Ibu mencoba memahami dari sisi kamu tapi Ibu juga tahu dari sisi seorang guru. Mungkin Bu Ida kesal karena kalian datang terlambat.."

"Ya tapi kan gak seharusnya juga dia menyindir tentang orangtua," gue memotong kalimat Bu Hilda.

"Iya Naya, Ibu paham. Ibu tahu kalau Bu Ida juga salah tapi tidak selamanya juga kamu bisa membentak guru seperti itu. Apalagi kamu sampai keluar dari kelasnya."

"Saya tidak akan seperti itu kalau tidak dipancing Bu. Masalahnya, saya tidak pernah membuat masalah apa-apa sama dia. Tapi dia atau siapapun di sini, gak ada yang berhak menyinggung tentang keluarga apalagi orangtua saya."

"Iya, sudah-sudah," sahut Bu Reni menenangkan.

"Kalau Ibu manggil saya sekarang hanya untuk menyalahkan saya, gak fair dong," ucap gue lagi.

"Ibu tidak ada niatan untuk menyalahkan kamu. Ibu hanya ingin mendengar langsung kronologisnya dari kamu biar jelas," Bu Hilda menjelaskan.

"Ya itu ceritanya dari sisi saya, gak tau deh kalau dari beliau bagaimana."

"Iya Naya. Ibu dan Bu Reni akan membicarakan hal ini juga dengan Bu Ida. Terima kasih karena kamu sudah mau menceritakan kejadiannya. Tapi Ibu harap kamu juga harus berusaha menjaga emosi kamu ya, ke siapapun itu."

"Saya gak akan emosi kalau gak ada yang cari masalah Bu."

"Iya Naya, Ibu mengerti."

Gue menganggukan kepala. Lalu gue baru menyadari sesuatu.

"Bu maaf, kenapa Syahna juga dipanggil ke sini ya? Daritadi dia diam aja tidak ditanya apapun."

"Ah iya Naya, Ibu memang sengaja memanggil Syahna bersama kamu biar Syahna juga bisa membantu jadi pendengar kamu kalau kamu butuh teman," jawab Bu Reni.

Gue langsung menatap Syahna begitupun juga dengan dirinya. Lalu kami sama-sama menghela nafas sambil buang muka.

"Yasudah, kalian bisa kembali ke kelas ya. Ibu tadi sudah ijin ke Pak Wanto untuk kalian berdua dipanggil ke sini," ucap Bu Reni.

"Iya Bu, kami permisi," ucap Syahna.

"Misi Bu," ucap gue.

"Iya terima kasih ya Syahna dan Naya."

"Iya Bu."

Kami pun berjalan keluar dari ruang BK menuju kembali ke kelas yang ada di lantai 1.

"Ish, ngapain juga sih gue harus dibawa-bawa ke masalah lo," si Syahna menggerutu lagi.

"Gue juga gak mau diribetin sama lo," sahut gue.

"Eh gue gak pernah ribetin lo ya. Makanya lo jangan cari-cari masalah kek."

"Eh siapa juga yang cari masalah? Gue gak pernah ngajak orang ribut, Bu Ida aja yang rese nyinggung-nyinggung soal orangtua segala."

"Ya lo harusnya bisa tahan emosi lo dong."

"Ya coba aja lo yang disindir, bisa tahan emosi gak lo?" tantang gue.

"Ish, tau ah. Capek ngomong sama lo, bikin emosi doang," gerutunya sembari berjalan lebih cepat menuruni anak tangga di depan gue.

Dubraaak...

Tiba-tiba kaki Syahna tergelincir dan dia terjatuh dengan posisi duduk.

"Awww," ringisnya sembari memegang bokong lalu kakinya.

Gue sedikit tertawa, entahlah mungkin karena posisi jatuhnya yang aneh atau karena ekspresi mukanya yang lucu.

Dia menatap gue. "Kok lo malah ketawa sih bukannya bantuin."

Gue berjalan menghampirinya lalu berdiri di depannya.

"Oh, lo minta bantuan gue? Minta tolong dulu dong yang bener."

Dia menatap gue tajam. "Gak usah, gak perlu, gue bisa sendiri."

Lalu Syahna mencoba berdiri dengan berpegangan pada tangga. Dia terlihat kesusahan lalu kembali terjatuh tidak bisa berdiri dengan sempurna. Dengan spontan, gue pun membantu menyanggah tubuhnya.

"Aduh," ringisnya lagi seperti menahan sakit.

"Eh, lo sakit beneran?" tanya gue serius.

"Ya emang lo pikir gue sakit bohongan?" dia balik bertanya dengan ketus.

"Ya gak tau kan gue. Apanya yang sakit?"

"Kaki kanan gue keseleo kayaknya," jawab si Syahna sambil kembali duduk di tangga.

"Yaudah ayo ke UKS."

"Ya gimana mau ke UKS? Gue aja susah berdiri."

"Ya terus gimana? Lo mau gue gendong? Ya kan engga, badan lo berat, gue gak kuat, males juga," oceh gue.

"Siapa juga yang mau digendong sama lo. Bantuin gue berdiri aja terus papah gue ke UKS."

"Yaudah sini," gue menjulurkan tangan padanya lalu dia berpegangan pada gue dan gue membantunya berdiri.

"Udah?" tanya gue sembari mencoba mengajaknya berjalan.

"Bentar-bentar," gerutunya.

"Masih sakit?" tanya gue lagi.

"Masih lah bego," jawabnya.

Gue langsung menatapnya datar. Kemudian gue melepaskan pegangan tangannya dan berjalan meninggalkannya.

"Nay, Naya. Kok lo ninggalin gue?" teriak si Syahna.

"Bodo amat, lo ke UKS aja sana sendiri," sahut gue tanpa menoleh ke arahnya.

"Naaay!! Iiisshh, dasar lo manusia paling nyebelin!!!!" teriaknya lagi tapi tidak gue gubris.

Bisa-bisanya dia ngatain gue bego. Udah gue tolongin malah diketusin. Terserah dia deh mau ke UKS gimana caranya. Syaiton...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top