Gosip = Cuan

Delapan orang wartawan dengan handphone, kamera, dan lanyard bertuliskan pers dari beberapa media berkumpul di depan sebuah rumah besar di daerah Kemang. Gerbang tinggi rumah itu terlihat terkunci rapat, tetapi orang-orang di sana justru dengan santai berkerumun di sebuah warung sambil mengamati pintu gerbang rumah tersebut. Sementara kepulan asap rokok membumbung dengan aroma kopi hitam terendus kental dari atas meja warung kecil itu.

"Menurut lo dia berani balik nggak?" tanya seorang pria berambut gondrong sembari menyesap kopi hitamnya di depan warung.

"Enggak sih. Terlalu berani dia kalau balik, apalagi orang rumahnya pasti udah ngasih tahu soal kita," sahut pria lain dengan lanyard bertuliskan Bejo dan logo program WazzUp Celebrity di sampingnya. "Menurut lo gimana, Lun?"

Perempuan yang disebut Luna itu menggeram dengan wajah yang ditangkupkan di atas meja warung dan melanjutkan tidurnya.

"Tepar dia?" tanya pria gondrong tadi kemudian menyalakan rokok miliknya.

"Tepar... semalam ikut gue ngejar Roni Sudarmo di Depok sampai jam 12."

"Dapat?" tanya yang lain penasaran.

"Enggak! Orangnya nggak muncul juga."

"Dibilang, kalau cari si Roni jangan di sana, tim gue dapat kok kemarin," kekeh seorang pria dari media Gosip Kita dengan wajah pongah.

"Begini nih orang sombong yang nggak mau spill informasi. Giliran nggak dapat info di grup, dia marah-marah," decak Bejo sebal.

"Bejo berisik!" omel Luna lalu mendongakkan wajahnya. Mata panda, rambut sebahu yang awut-awutan, dan sisa tisu menempel di ujung bibirnya pun tampak. Beruntung, pria-pria di sana sudah terbiasa melihat wanita-wanita seperti Luna dalam kerumunan mereka.

"Eh, datang tuh datang!" teriak salah seorang wartawan ketika mobil Alphard berhenti di pintu gerbang rumah itu.

"Siang, Mbak Gina.... Wih... makin cantik aja nih, boleh tanya-tanya sebentar?"

"Mbak Gina wawancara sebentar, ya?"

Mata Luna membelalak ketika suara rekan-rekannya terdengar. Apalagi Bejo sudah menyerobot ke depan mobil, mengambil gambar, dan meninggalkan dia seorang diri. Sementara semua wartawan yang sempat berkumpul di warung sudah mengerumuni mobil mewah itu.

"Luna! Buru!" teriak Bejo yang tubuhnya sudah terjebak di badan mobil.

Luna buru-buru bangkit dan berlari mengabaikan kepalanya yang terasa berputar akibat kurang tidur. Maka ketika sebuah lubang besar di jalan luput dari pandangan Luna, dia pun terjerembap dan terjun bebas di tengah jalanan aspal.

BRUK!

Fokus kerumunan wartawan di sana spontan berpindah kepadanya. Termasuk tatapan seorang artis muda yang baru saja terkena skandal perselingkuhan itu dari balik jendela mobilnya.

Luna bangkit. Sebuah cairan merah meluncur deras dari hidungnya. Semua orang terlihat kaget dan panik. Luna menjadi artis dadakan hari itu.

***

"Masih sakit?" tanya Bejo menyerahkan es batu dingin di dalam plastik kepada Luna. "Untung aja Asisten Mbak Gina baik mau bantu ngobatin lo. Lain kali kalau kecapekan gantian aja sama yang lain."

Di meja kerjanya, Luna mencebik. Pipi kanan dan hidungnya dipenuhi plester untuk menutupi lecet akibat terjatuh tadi.

"Jatuh lagi?" kekeh Tito seorang wartawan senior yang terkenal sombong di timnya.

Luna mengangguk. Sebagai seorang wartawan entertainment yang baru lulus training satu tahun lalu, jelas Luna masih belum ada apa-apanya ketimbang Tito, yang punya networking di mana-mana. Bahkan meski pernah berpindah-pindah desk, Tito dengan mudah mendapatkan liputan yang ditugaskan. Termasuk oleh Mbak Mirna, koordinator liputan mereka.

Bahkan, banyak kabar berseliweran bila Tito yang bakal menggantikan Mbak Mirna setelah Mbak Mirna naik jabatan. Meskipun gosip miring tentang Tito sebagai "wartawan amplop" yang sering mendapatkan pesanan berita dari artis-artis pendatang baru juga tidak kalah santer terdengar di seantero desk Showbiz.

"Wih, ada gosip panas lagi nih. Bakalan trending kalau kita bisa dapat liputannya sekarang," suara Tito kembali terdengar dari kubikel di depan Luna yang hanya setinggi tiga puluh senti itu. Bejo dan Luna sontak membuka ponselnya, grup chat mereka pun sudah ramai.

"Jo, bisa temenin gue liputan?" tanya Tito sambil merapikan barang-barangnya. "Lo kosong, kan?"

"Bentar gue siapin kamera dulu," jawab Bejo kemudian menatap Luna melas. "Mending lo di sini aja, rapihin berita soal Gina kek atau kepoin instagram artis, siapa tahu ada yang bisa dijadiin berita kayak kasus 'close friend' kemarin. Lagian udah jam tujuh juga. Dan soal liputan Gina, gue titip ke elo ya. Nanti lo yang kasih ke Mbak Mirna. Dia gue lihat masih ada di Control Room."

Luna mengangguk patuh ketika Bejo menyerahkan file rekaman mereka ke atas mejanya.

"Ayo, Jo! Lun, kita duluan, ya. Awas jatuh lagi," kekeh Tito dengan mimik songongnya yang sangat menyebalkan bagi Luna.

Sepeninggal Bejo dan Tito, Luna termangu di dalam kubikelnya. Suasana ruangan itu masih ramai, meskipun mayoritas wartawan sedang tidak ada di tempatnya. Kebanyakan mereka berada di pos masing-masing untuk mencari berita.

Ralat, bukan berita, melainkan hanya rumor yang didramatisasi bagi Luna.

Luna menarik napasnya dalam-dalam ketika acara berita malam tampak pada salah satu televisi yang dipasang berjejer di salah satu dinding. Sosok tegas dan lugas Nasyla Sina tampak di layar. Pembawa berita yang diam-diam menjadi idolanya sejak dulu. Namun, dengan dirinya terjebak di program infotainment seperti ini, entah berapa lama lagi Luna bisa setara seperti idolanya itu.

"Lun, liputan Gina udah ada? Ditunggu Mbak Mirna."

Teriakan seorang kru televisi dari ambang pintu ruangan menyadarkan Luna. Segera, Luna membawa hasil rekaman siang tadi dengan tatapan sesekali meratap sedih ke arah layar televisi.

"Hidung lo kenapa?" tanya seorang wanita di akhir tiga puluhan dengan seragam biru tua khas stasiun televisi mereka di Control Room, Mirna. Sementara Produser Acara mereka, Shafa yang ternyata juga sedang berada di sana, mengamati Luna penasaran.

"Jatuh," jawab Luna sambil menahan malu.

Tatapan Mirna terlihat takjub mengamati beberapa plester di wajah Luna. "Lagi?"

Luna meringis. Dia lalu menyerahkan hasil liputannya kepada Mirna.

Selang beberapa menit membaca dan menonton hasil liputan Luna, Mirna berdecak. Dia bahkan melempar botol kosong ke lantai saking kesalnya.

"Lo bisa bikin liputan nggak, sih?! Kalau berita lo cuma kayak gini, program kita bakal kalah rating sama program gosip yang lain. Padahal lo tahu kan gosip Gina itu lagi panas-panasnya? Masa lo nggak bisa ngejar dia atau minta keterangan dari si Roni?! Media lain bisa lho, masa kita nggak?!" bentak Mirna. Wanita berambut bondol itu mulai kehabisan stok sabar menghadapi Luna. "Belum lagi footage yang diambil sedikit banget. Bejo nggak biasanya ambil gambar sejelek ini?!"

Shafa yang penasaran, mengambil iPad Mirna dan melihat hasil kerja Luna.

"Sori, Mbak. Karena saya jatuh, kru jadi nggak fokus," jawab Luna dengan raut wajah serba salah.

Mirna memijat pelipisnya. "Tahu gitu gue suruh Tito aja yang ngeliput."

"Tapi Mbak, kalau memang kerjaan gue nggak oke dan nggak sebagus Mas Tito, gue rela kok dimutasi ke desk lain."

Spontan bola mata Shafa melirik Luna. Senyum tipis muncul di bibirnya.

"Lo pindah desk lain pun kalau kerjaan lo kayak gini, lo pikir bakal lebih oke? Pokoknya gue tunggu liputan lo soal Gina paling lambat lusa. Gue nggak mau tahu gimana caranya."

Luna tersenyum kecut. "Baik, Mbak."

Shafa sekali lagi membaca materi liputan di tablet dan mengamati Luna bergantian. Seperti tengah memikirkan sesuatu.

Di luar, Luna terlihat makin loyo. Sapaan beberapa rekannya di lorong pun hanya dia jawab seadanya.

"Luna!"

Masih tanpa semangat, Luna menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. Wajahnya yang loyo mendadak tegang ketika menemukan Shafa berdiri di depannya.

"Gue tahu lo pasti ngelakuin ini biar bisa pindah ke desk lain, kan?" tanya Shafa melengkungkan bibirnya.

Buru-buru Luna menggeleng. Wajahnya terlihat gusar.

"Nggak usah pura-pura. Gue udah setahun lihat kinerja lo kayak gimana," kekeh Shafa dengan raut pongah. "Gue bisa bantu lo buat pindah desk, tapi sebelum itu lo harus kerjain satu tugas dari gue."

Bola mata Luna membuka lebar.

"Kenapa? Enggak percaya. Lagian gue juga enggak mungkin pertahanin jurnalis nggak kompeten kayak lo. Jadi, kalaupun lo nggak bisa ngerjain tugas dari gue, mungkin nggak cuma pindah desk. Tapi gue juga bisa buat lo pindah media."

Luna menelan ludahnya kasar. "Emang tugasnya apa?"

Shafa tersenyum lebar. "Ikut gue."

***

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top