PROLOG
Mereka memperhatikanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ditambah dengan tatapan aneh sampai membuatku berkali-kali membenarkan tatanan rambut dan merapikan dress-ku. Ada iler nggak, sih, di mukaku ini? Kok, lama-lama mereka natap aku dengan tatapan jijik. Mau lihat cermin, sayangnya aku nggak bawa. Aku jadi makin nggak enak hati saat mereka mulai berbisik-bisik nyaring. Ahelah, kalau mau ngomong kenceng mah ngomong aja depan mukaku. Percuma bisik-bisik kalau aku saja masih bisa dengar bisikannya. Dasar, Emak-Emak rempong!
"Mungkin baru aja disewa Om-Om."
Hei, hei, apa dia bilang? Aku disewa Om-Om? Bener-bener harus disekolahin itu mulut Emak-Emak. Aku mau langsung labrak dia, tapi dosa nggak kalau marahin orang tua? Takut kena azab.
Aku mengerucutkan bibir sambil menghentakkan kaki cukup keras. Sampai orang yang duduk di sebelahku menoleh. Aku menggaruk tengkuk karena merasa canggung. Selanjutnya, aku merapatkan kedua tangan tanda memohon maaf. Laki-laki yang menoleh tadi memalingkan lagi wajahnya ke arah jendela kereta.
Mungkin cuma orang di sebelahku ini yang sedari tadi tak acuh padaku. Sejak masuk ke dalam kereta, laki-laki ini cuma duduk dan memainkan jemarinya di keyboard laptop. Sekarang laptopnya sudah dimasukkan ke tas dan kegiatannya cuma lihat bulan di luar.
Suara Emak-Emak di kursi pinggir masih terdengar. Ia sedang mengobrol dengan wanita di sebelahnya masalah dandananku yang katanya kurang sopan. Ia mengomentari dress-ku yang di atas lutut, make-up yang katanya ketebelan untuk ukuran remaja sepertiku, tatanan rambut yang tak menghalangi leher jenjangku, bahu mulus yang menurutnya paling disukai para laki-laki, terus mengomentari heels-ku yang mahal. Katanya pantas aku terlihat glamour, karena aku menjual diri dengan harga tinggi. Duh, lakban mana lakban?
Sontak aku berdiri, kudekati Emak-Emak yang dari tadi menggujingku.
"Tak sepantasnya orang seperti Anda membicarakan saya. Saya orang terhormat. Ibu dan Ayah saya mendidik saya dengan baik. Saya bisa mendapatkan apa yang saya mau tanpa harus menjual diri. Sama sekali tidak seperti apa yang ada ucapkan tadi. Ucapan yang tidak berdasarkan fakta itu namanya fitnah. Tolong, ya jaga lisannya. Jangan tajam macem pisau."
Setelah mengucapkan itu, aku kembali duduk. Aku abaikan tatapan mencemooh dari penghuni kereta ini. Kuusap dada berkali-kali. Sabar ... sabar ... sabar. Orang sabar kuburannya lebar. Tukang fitnah pantatnya lebar. Masukkan orang yang fitnah aku itu ke surga-Mu, Ya Allah. Detik ini juga!
Duh, jadi berdoa jelek kan aku!
Aku menyembunyikan wajah dengan kedua tangan. Niatnya mau nangis, tapi malu. Dari tadi udah nahan buat nggak nangis, masa kudu nangis cuma gara-gara nyinyiran Emak-Emak. Sakitnya belum seberapa kalau dibandingkan dengan kejadian di Stasiun Gambir tadi.
Aku menghela napas panjang. Kali ini aku bersandar dan menoleh ke jendela. Aku jadi ikut-ikutan melihat bulan di luar. Laki-laki di sebelahku menoleh. Mata cokelatnya bertubrukan dengan mataku. Aku sempat terhipnotis dengan binar matanya. Namun, tak berselang lama dia mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Semua orang akan sependapat dengan Ibu yang tadi menggunjing kamu," kata laki-laki itu. Aku langsung menegakkan badan. Mataku melebar mendengar perkataannya yang lembut tapi menusuk hati. Aku langsung bisa menyimpulkan ke mana arah pembicaraannya. "Jangan marah dahulu. Aku nggak akan melakukan hal yang sama dengan Ibu tadi."
Laki-laki itu membuka jaketnya. Lalu, menyerahkannya padaku. "Aku tahu gaunmu itu membuat kamu kedinginan. Pakailah!"
Aku masih diam. "Selain karena kamu kedinginan, alasan lainnya yaitu karena aku laki-laki. Aku menghormatimu. Jadi, tolong jangan mengumbarnya di depanku. Aku takut keimananku goyah."
Aku beristighfar berkali-kali. Kuterima jaket yang disodorkannya, lalu kupakai. Ia tersenyum dan kubalas dengan ucapan terima kasih. Dadaku meletup-letup macem petasan di malam lebaran.
Ada lagi nggak stok laki-laki macem dia? Pesen satu!
"Namaku Herlan," katanya.
"Aku Hermiza," balasku.
"Kamu ke Bandung malam-malam begini mau menemui siapa?"
"Nenekku. Kamu sendiri?"
"Aku mau menemui Ustadz Hafiz."
"Oh. Ustadz Hafiz rumahnya di mana?"
"Aku sendiri belum tahu. Tapi, Ibuku memberi alamatnya. Nanti kutanya masyarakat di sana."
"Oh. Memang kamu mau apa sama Ustadz Hafiz?"
"Mau belajar masalah agama."
"Oh."
Hening beberapa saat.
"Sepertinya kamu habis menghadiri sebuah pesta." Pertanyaan Herlan membuatku menoleh lagi padanya.
Aku hanya mengangguk.
"Apa tidak ada waktu untuk berganti pakaian dahulu?"
"Nggak sempat," jawabku sekenanya.
Kalau saja dia tahu kejadian yang membuat aku pergi mendadak, mungkin dia nggak akan menyalahkan aku yang cuma pakai dress saat naik Argo Parahyangan.
"Kamu islam?" tanyanya.
Apa, sih? Kok, nanya-nanya masalah agama?
"Ya. Memangnya kenapa?"
"Kenapa tidak berhijab?"
"Mamaku nggak pakai hijab."
"Kalau kamu berhijab, kamu pasti terhindar dari fitnah tadi."
"Aku belum siap."
"Semoga saja Allah memberikan hidayah-Nya."
Dalam hati aku mengamini doanya.
Satu jam berlalu dengan keheningan. Herlan masih setia memandang bulan. Aku berharap kantuk menyergap. Namun, mataku masih kuat untuk terbuka. Jadi, kegiatanku cuma celingak-celinguk sambil nahan lapar. Kapan aku sampai di Stasiun Bandung? Perutku sudah tak kuat menahan lapar. Gimana kalau nanti cacing-cacing di dalam demo? Terus makan dinding perutku dan tubuhku bolong macem sundel bolong. Eh, tapi sundel bolong kan bolongnya di belakang. Aku nepok jidat gara-gara memikirkan sesuatu yang nggak ada faedahnya. Tapi, aku benar-benar lapar!
Aku menoleh lagi ke arah Herlan yang kali ini sedang melepas kalung di lehernya. Digenggamnya erat kalung itu, lalu kepalannya terurai. Aku shock luar biasa saat melihat bandul kalung yang saat ini dimainkan oleh telunjuknya. Bandul salib yang kutahu hanya dipakai oleh umat kristen.
Masih kuperhatikan Herlan. Saat ini dia mendekatkan kepalan tangannya di dada. Kemudian, ia menatap sendu bandul kalung yang saat ini menyatu dengan dadanya.
Hei, aku kesulitan mencerna semuanya!
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top