Bab 6

Semua ini salah Hito. Fix, aku benci Hito! Kalau saja dia menepati janjinya untuk mengantarku ke sekolah hari ini, aku tidak akan membersihkan WC karena terlambat upacara. Dosa apa Miza, Ya Allah? Kenapa Engkau memberiku pacar yang begitu kejam?

"Kak, lo ngapain selonjoran gitu?" tanya Abiyaksa, cowok bertubuh gemuk yang senasib denganku. Dia kelas X IPS 2. Aku baru mengenalnya tadi, saat Ibu Anya menyebut namanya dan menyuruhnya bergabung dengan timku. Tim pembersih WC.

"Cape, Bi, cape! Dosa apa aku sampai dikasih cobaan buat bersihin WC?"

"Makanya kalau mau berangkat sekolah salim dulu sama Emak-Abah di rumah, biar nggak sial."

"Kamu hari ini sial gara-gara nggak salim?"

"Iya, gue kesiangan tadi. Emak lagi ke warung buat beli nasi uduk. Eh ... gue udah keburu naek angkot. Mungkin Emak kesel karena pengorbanannya nggak dihargai sama gue. Jadinya gue berakhir bareng lo di WC."

"Sabar, Bi, ini ujian."

"Lo sendiri kenapa?"

"Nungguin pacarku jemput. Eh, dianya jemput sahabatnya. Nyesek, Bi, sumpah!"

"Sahabatnya cowok?"

"Cewek. Nah kan, lebih menyesakkan!"

"Sabar, Kak, ini ujian."

Aku mendengus kesal. Kenapa Abi jadi ikut-ikutan ngucapin kalimat itu?

"Heh, kalian! Bel masuk udah bunyi. Kalian mau tetep bersemayam di WC?" teriak Lusiana, siswa kelas XII IPA 5. Anak reguler yang terkenal dengan kebandelannya.

"Gue duluan," pamit Abi. Aku mengangguk. Kemudian, berdiri dan lari secepat kilat ke kelas.

***

Ulangan bahasa inggris kali ini lancar. Aku bersyukur sekali karena otakku sudah bisa diajak mikir. Nggak melulu terpusat pada Hito. Aku sudah tak peduli lagi dengan Hito dan Athaya. Bodo amat. Mau mereka jalan bareng, makan bareng, pindah planet bareng pun aku tak peduli.

Aku sudah keluar dari kelas. Siswa akselerasi 1 juga satu per satu keluar dari kelas. Beberapa menit kemudian, Miss Rachel juga keluar dari kelas. Ulangan hari ini selesai. Oke, saatnya menyerbu kantin. Aku sudah lapar. Energiku terkuras saat membersihkan WC tadi pagi.

"Miza!" seru seseorang di belakangku.

"Kenapa, Lula?" Aku mengernyit.

"Mau ke kantin?"

"Iya."

"Gue ikut."

Bentar, tumben ini bocah nggak menyebalkan? Oh, mungkin dia sudah mau berdamai denganku. Okelah, kalau dia baik, aku pun akan lebih baik padanya.

"Ayo."

Sampai di kantin, semua mata tertuju pada bocah lima belas tahun yang berjalan di sisiku. Tatapan mereka bermacam-macam. Ada yang terpesona, bingung, heran, mendamba, pokoknya aneh-aneh, deh.

"Lula, kenapa mereka lihatin kamu kayak gitu?" tanyaku bingung.

"Gue juga nggak tahu. Setiap kali gue ke kantin, orang-orang emang suka lihatin gue. Makanya, gue nggak pernah mau kalau jajan ke kantin."

"Ya terus, kenapa sekarang kamu malah ngikutin aku ke kantin?"

"Gue kesiangan, lupa bawa bekel."

"Oh. Kalau kamu nggak risih sama tatapan mereka, kita lanjut makan. Kalau risih, mau aku beliin makanan biar nanti dimakan di kelas?"

"Makan di kelas, deh. Tolong ya, beliin bakso. Jangan pake saos sama sambel."

"Oke. Ya udah sana. Nanti aku bawain ke kelas."

"Makasih, ya."

Lula langsung balik ke kelas. Sedangkan aku mulai mengantre di depan Ibu penjual bakso. Beberapa anak kelas reguler yang sedang duduk di meja sedang mengobrol. Kenceng banget suaranya. Aku aja masih bisa dengar dengan jelas yang mereka omongin.

"Oh, yang tadi itu si Lula? Yang waktu itu ditembak sama Kak Dodi?" Siswa dengan nametag Yosie sangat antusias bertanya.

"Iya. Gila! Cantik banget," kata siswa di sebelahnya, Ona.

"Kak Dodi emang nggak salah cari pacar." Vio menimpali.

"Tapi, Lula nolak dia tahu," kata Ona.

"Bodo banget. Kurang apa Kak Dodi, coba? Ganteng, iya. Keren, iya. Kaya, iya. Ketua OSIS pula," ucap Vio seraya menerawang. Mungkin sedang membayangkan wajah Kak Dodi.

Aku berhenti memperhatikan mereka karena giliranku memesan bakso. Setelah menyebutkan pesananku, Ibu kantin langsung menyiapkan baksonya. Ia menaruh dua mangkuk bakso dan dua gelas air putih di nampan.

"Makasih, Bu."

***

Helma Aquilla

Uni gk bisa jemput
Naik taksi aja ya

Hermiza Alyssa Daniar

Hm

Helma Aquilla

Jgn ngambek
Uni mau pergi ke Paris
Mau nitip apa?

Hermiza Alyssa Daniar

Nitip cowok ganteng
Anti selingkuh
Anti php
Satu doang

Helma Aquilla

😑😑😑

Coba Uni mengirim pesan itu dari tadi. Mungkin aku takkan menunggunya sampai sejam lebih. Kumasukkan ponsel ke dalam saku. Lalu, aku melangkah ke halte. Jam di tanganku menunjukkan pukul 16.30. Butuh waktu sepuluh menit untuk sampai di tempat les. Ditambah menunggu taksi, mungkin bisa sampai dua puluh menit. Untung saja aku sudah makan di kantin. Sudah mengerjakan tugas pula, agar tidur nanti tak terlalu malam. Dan untungnya lagi, jadwal lesku bisa diubah semauku. Seluangnya waktuku. Jadi, aku tak usah buru-buru.

"Mau bareng, nggak?"

Aku menoleh, mendapati Lula dengan mobil silvernya. Hebat ini bocah, belum punya KTP sama SIM, tapi udah nyetir mobil.

"Aku mau ke tempat les."

"Tempat les yang deket kafe depan?"

"Iya."

"Ayo, bareng."

Lumayan, irit ongkos. Aku mengiyakan tawarannya. Secepat kilat, aku masuk ke dalam mobilnya, memasang sabuk pengaman, dan duduk dengan nyaman.

"Kamu les di sana juga?"

"Nggak. Gue nggak minat ikut-ikut les gitu. Kakak gue yang les di sana."

"Oh, kamu emang udah pinter, sih. Nggak usah les juga tetep aja pinter."

"Nggak juga. Si Gabriel lebih pinter dari gue, tuh."

"Hm, kalian sama-sama genius, deh."

Aku memandang ke luar jendela. Memperhatikan lalu lalang kendaraan. Sesekali melirik Lula yang agaknya kehabisan stok obrolan. Lula fokus memandang jalanan yang lengang. Tapi, wajahnya yang gelisah membuatku penasaran. Mau tak mau kuajak lagi dia bicara.

"Oh iya, orang-orang yang lihatin kamu di kantin itu kayaknya terpesona sama kamu."

"Yang ada mereka benci gue, Miza." Aku menautkan alis bingung. Lula mendesah pelan. Kemudian melanjutkan ucapannya, "Gue nolak Kak Dodi. Makanya seluruh siswa judge gue. Katanya, gue jual mahal lah, so cantik lah, so pinter lah, pokonya omongan mereka pedes-pedes."

"Ketua OSIS itu?"

"Iya."

"Kenapa kamu nolak dia?"

"Gue dilema, Miza. Di satu sisi, gue juga suka sama dia. Tapi di sisi lain, Kakak larang gue pacaran. Apalagi ini sama Ketua OSIS. Katanya, nanti gue jadi sorotan anak-anak seantero sekolah. Alasan lain juga karena gue yang masih umur lima belas tahun dan Kak Dodi yang udah umur delapan belas. Katanya, gue bakalan nggak bisa imbangi Kak Dodi. Yang ada nanti gue bersikap manja dan Kak Dodi yang malah egois karena merasa dia benar. Orang dewasa kan sikapnya kayak gitu. Kakak gue juga egois, tuh."

Aku turut prihatin sama masalah Lula. Sama-sama suka, tapi nggak bisa bersama. Sedangkan aku dan Hito sudah saling memiliki, tapi ujung-ujungnya dia yang menyakiti.

"Pacaran juga bikin sakit tahu. Jatuh cinta itu nggak enak. Coba aja, kalau Kak Dodi tulus sama kamu, mungkin dia akan berjuang. Tapi kalo nggak, pasti udah nyari yang lain. Cowok kan gitu."

"Lo punya pacar?"

"Hm, aku ini udah berumur tujuh belas tahun, punya pacar, dan udah pernah berkali-kali jatuh bangun karena cinta."

"Oh. Tapi kan enak kalau punya pacar. Setiap hari pasti ada yang perhatiin. Gue belum pernah ngerasain itu. Selalu aja Kakak larang gue buat pacaran. Dengan berbagai alasan yang sama sekali nggak ngaruh sama kehidupan gue."

"Kata siapa pacaran nggak ngaruh sama kehidupan kamu?"

"Berapa persen ngaruhnya gitu?"

"Lah, malah balik nanya. Ngaruh besar pokoknya. Coba aja."

"Mau coba gimana? Kan dilarang Kakak."

"Ya, backstreet. Gampang, kan?"

"Gue pertimbangin."

"Eh, tapi kalo sakit hati jangan salahin aku."

"Doainnya yang baik-baik makanya."

Aku tertawa. Tak lama setelah itu mobil Lula berhenti di depan bangunan berlantai tiga tempatku les. Aku mengucapkan terima kasih. Lalu, keluar dari mobilnya. Lula pun ikut keluar. Lah, ini anak katanya nggak les?

"Nggak pulang?" tanyaku.

"Nunggu Kakak gue. Tuh, dia keluar."

Aku mengikuti arah pandangan Lula. Cowok berseragam SMA baru saja keluar dari gedung berlantai tiga itu. Ia tersenyum ke arah Lula yang sedang melambai-lambai menyuruhnya ke sini. Aku kaget melihat sosok yang beberapa kali selalu menjadi penolongku itu. Bagaimana mungkin mereka itu kakak-beradik?

"Hai. Kok bisa sama Hermiza?" sapa cowok itu ketika sampai di hadapan Lula.

"Kalian udah saling kenal?" tanya Lula tak percaya.

"Iya. Hermiza les di sini juga?"

Aku masih bengong karena terpaku dengan senyumnya yang manis. Senggolan pada lenganku akhirnya membuyarkan semuanya.

"Eh, Herlan, iya."

"Yaudah berhubung Kakak gue ini udah keluar, gue balik duluan, ya," ucap Lula sembari menarik tangan Herlan untuk masuk ke dalam mobilnya.

Aku menatap kepergian mereka. Selanjutnya, senyum mengembang di bibirku. Kalau Lula punya hubungan dekat dengan Herlan, berarti aku bisa kepoin Herlan lewat adiknya. Aku masih penasaran sama sosok Herlan. Apalagi sikapnya yang selalu berbeda-beda. Kata Lula, Herlan egois dan suka ngatur-ngatur. Tapi, sikapnya pada Rio, tidak begitu. Malah Herlan sangat pedulian orangnya. Oh, aku juga akan bertanya masalah agama Herlan. Karena, yah dia menunjukkan dua sisi berbeda saat pertemuan kami di kereta dulu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top