Bab 12
Untuk kesekian kalinya aku kembali menaiki kereta, membawa masalah dari Jakarta, menuju Bandung tercinta. Kali kedua ditatap bingung oleh penumpang kereta yang lain. Bukan karena malam ini aku memakai rok mini lagi, tetapi malam ini aku memakai baju tidur Doraemon. Tatapan orang lain menjurus pada mataku yang sembab dan rambutku yang sudah lepas dari ikatannya. Aku duduk di sebelah jendela kereta. Sedu sedan mungkin terdengar hingga ke ujung kereta, tapi aku nggak peduli. Aku cuma butuh menangis untuk mengeluarkan semua beban yang tiba-tiba menghimpit dadaku.
Pembunuh.
Aku adalah pembunuh.
Aku adalah penyebab kematian Mama.
Aku.
Aku.
Kupukul dadaku yang semakin terasa sesak.
Sebuah sapu tangan disodorkan oleh seseorang di depan wajahku. Aku menoleh. Lalu, seketika tubuhku menegak. Kuhapus air mata yang turun dengan derasnya. Selanjutnya, aku menatap wajah kuyu Herlan.
Kali kedua aku duduk bersamanya dalam kereta.
Kali kedua kita sama-sama pergi membawa masalah.
Kali pertama dia menepuk dadanya, seolah mempersilakan aku meminjamnya untuk sandaran.
Kali pertama dia menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Dia elus rambutku dan menepuk punggungku agar aku tenang.
"Lima menit," ucapku di sela isakan yang makin kencang.
"Lebih dari lima menit juga silakan saja, Miza," jawab Herlan.
Kuanggukan kepala dan kucari posisi ternyaman di dadanya. Kuhirup aroma parfumnya yang 100% pasti membuatku candu dan ingin berlama-lama dalam dekapannya. Ritme jantungnya cukup cepat. Namun, masih lebih cepat detak jantungku.
Dering ponsel Herlan menginterupsi, mengembalikan waktu yang terasa stagnan sedari tadi. Aku berinisiatif melepaskan tangan yang melingkari tubuh Herlan. Kuusap air mata yang tak bisa kubendung. Herlan mengambil ponsel dari dalam jaketnya. Ternyata ada sebuah pesan dari ... seorang perempuan. Jarak duduk kami sangat dekat, maka dari itu aku dapat melihat jelas apa isi pesannya.
Hanum
Kamu serius akan pergi ke Bandung lagi?
Apa kamu tidak takut pada Papamu?
Abi kan sudah bilang supaya kamu menyelesaikan dulu
masalahmu dengan beliau.
Herlan Antonio GN
Aku sedang dalam perjalanan.
Kamu nggak perlu cemas.
Hanum
Masalahmu sudah diselesaikan?
Herlan Antonio GN
Belum selesai. Tapi, aku sudah meminta maaf sama Papa.
Herlan tak lagi menunggu balasan dari orang bernama Hanum itu. Ia langsung memasukkan ponselnya ke tempat semula. Lalu, bertanya padaku.
"Sudah tenang?"
Aku hanya mengangguk tanda jawaban. Ada sesuatu yang mengganjal saat aku membaca pesan Herlan.
"Siapa?" Dengan ragu-ragu kutanyakan orang asing itu pada Herlan.
"Namanya Hanum."
"Pacarmu?"
"Bukan. Anaknya Ustadz Hafiz."
"Oh."
"Kenapa?"
"Nggak pa-pa."
"Bukan itu maksudku, kenapa kamu di kereta pakai piyama dan matamu sembab?"
"Ada masalah sedikit."
"Kalau masalahnya sedikit, kamu nggak mungkin kabur dengan pakaian begitu."
Herlan menatapku tepat di mata. Entah dia sedah mencari kejujuranku atau kebohonganku. Yang pasti aku merasa ditelanjangi olehnya. Sungguh, mata itu adalah satu-satunya organ tubuh yang nggak bisa menunjukkan kebohongan. Aku takut dengan Herlan yang sepertinya sangat hapal cara melumpuhkan kebohongan yang kubuat.
"Jangan menatapku seperti itu, Herlan!" Aku geram karena Herlan tak juga menyudahi tatapannya padaku.
"Mau cerita?"
"Nggak ada gunanya."
"Siapa bilang? Seenggaknya dengan berbagi duka hati kita akan merasa lebih baik."
"Kamu juga mau cerita?" Herlan mengangguk. "Janji?" Dia mengangguk lagi sembari mengacungkan jari kelingkingnya. Pinky promise.
Selanjutnya mengalirlah ceritaku dari mulai masalah Uni dan Kak Hendra yang ditentang untuk menikah. Masalah pertengkaran Ayah dan Uni beberapa jam yang lalu. Semuanya kuceritakan tanpa ada secuilpun yang terlewat. Isak tangisku menghiasi sesi curhat saat ini. Herlan tak segan-segan mengusap-usap punggungku memberi ketenangan. Dia tak banyak bicara. Dia adalah pendengar yang baik. Dia tak pernah memberikan respon atau menyela dan memberi masukan selagi aku bicara.
Ceritaku usai diakhiri dengan tangisan hebat yang tak lagi bisa kubendung. Mau tak mau Herlan membawaku ke pelukannya. Dia korbankan lagi dada bidangnya untukku membuang air mata.
"Boleh aku bicara?" tanya Herlan saat tangisku reda. Aku cuma mengangguk dan menjauhkan tubuhku dari rengkuhannya.
"Kita memang sama-sama pengecut. Kita tinggalkan masalah, menghindarinya. Padahal kita sendiri tahu itu tindakan bodoh. Tapi, setiap orang ingin ketenangan. Jadi, kita nggak pernah salah jika berlari untuk bersembunyi."
***
Sudah lama mendekam di draft akhirnya dipublish juga, ya meskipun cuma 600 word :v Nanti aku lanjut kalau sudah selesai bertapa dan mendapat pencerahan🤣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top