Bab 11

Hasil rapat keluarga seminggu yang lalu menghasilkan keputusan yang nggak bener-bener mufakat. Uni masih merasa nggak adil atas persyaratan Ayah yang mustahil untuk dilakukan oleh Kak Hendra, pacarnya. Ayah bilang Uni harus membujuk Kak Hendra agar masuk islam dulu supaya mereka bisa menikah. Uni sendiri sudah menyerah sebelum perang. Bagaimana pun, keyakinan nggak bisa dipaksakan dengan dalih karena cinta. Kalau ada salah satu dari mereka yang pindah agama, itu harus karena hatinya bukan karena cinta. Cinta pada Tuhan itu haruslah lebih besar dari cinta pada ciptaannya.

Namun, saat kutanya mengapa Ayah mengajukan persyaratan itu, beliau menasihatiku panjang lebar. Malam itu untuk pertama kalinya aku bicara dengan Ayah dalam mode serius yang benar-benar menguras otak. Aku diajak berpikir keras karena bahasa Ayah yang ketinggian. Padahal kesimpulannya cuma gini: kalau Uni memaksakan menikah dengan status agama yang berbeda, nanti mereka nggak pernah mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu kebahagiaan pernikahan, punya anak dan mengurusnya bersama dengan sukacita. Sekali, dua kali, mungkin salah satu dari mereka akan mengalah dalam suatu masalah. Lambat laun mereka juga akan mengalami masa keras kepalanya masing-masing. Tujuan Uni akan ke sini, melalui proses yang begini, menurut kaidah agamanya. Sedangkan Kak Hendra akan mencapai tujuan dengan caranya, melalui kaidah agamanya. Ujung-ujungnya mereka akan balik kanan bubar jalan sampai di situ.

Aku menghela napas berat. Kepalaku cenat-cenut memikirkan masalah Uni yang lumayan ruwet ini.

"Lo masih waras kan, Za?" tanya Rumi. Ia menempelkan punggung tangannya ke keningku.

"Kalau kamu belum lihat aku di rumah sakit jiwa, berarti aku masih waras, Mi," jawabku ketus.

"E-eh, maksud gue nggak gitu loh, Miza."

"Terus apa?"

"Sensi amat sih, lagi pms?"

"Gak."

"Gue tuh mau nanya lo lagi sakit apa gimana? Dari tadi dilihatin diem mulu. Ngelamunin apa?" Rumi memperjelas maksud pertanyaannya tadi.

"Banyak pikiran."

"Cerita, dong!"

"Nanti deh, ya. Aku belum mau cerita."

Rumi nggak menjawab lagi ucapanku. Kini gadis itu menyenggol-nyenggol lengan Lula yang sedari tadi diam.

"Apa?" Lula bertanya polos.

"Ih, bocah kutu kupret, lo nggak dengerin gue ngomong sama Miza barusan?"

"Emang kalian ngomongin apa?"

"Sinting kalian berdua. Dari tadi ngacangin gue. Kalian terusin ngayal babu kalian. Gue mau balik ke kelas."

Siapa yang ngayal babu, Rumi? Aku lagi mikirin masalah Uni-ku. Namun, sayang banget belum juga aku bilang, Rumi sudah menghentakkan kaki dan berlalu dari kantin.

Kini tinggal aku dan Lula di meja ini plus dengan pikiran masing-masing. Aku dengan masalah Uni dan Lula dengan masalah Herlan. Yah, aku tahu gimana perasaan bocah itu.

Lula terluka karena sikap Herlan yang berubah 180 derajat. Setelah acara kabur-kaburan Herlan ke Bandung dan drama heroik Lula yang berhasil menyeret kakaknya pulang, Herlan malah bersikap dingin pada semua orang. Termasuk aku. Entah kenapa aku jadi terlibat dalam masalah ini. Yang pasti, aku tidak nyaman dengan tatapan dingin Herlan.

***

Hari ini Uni menjemputku di tempat les. Sesegera mungkin aku masuk ke mobilnya. Kulirik sekilas wajah Uni yang cemas. Kantung matanya semakin melebar. Matanya merah. Aku yakin 1000% kalau hari ini dia sudah melaksanakan rutinitasnya, menangis. Selama seminggu ini ia menghabiskan waktunya untuk menangis. Aku jadi kasihan melihatnya seperti ini. Dia bukan seperti Uni-ku yang tegar dan kuat menghadapi cobaan apa pun.

"Antarkan aku ke Bandung, Uni," ucapku.

"Mau ngapain?"

"Aku mau minta restu Oma untuk Uni."

"Nggak perlu, Miza. Lagipula apa hubungan Uni dengan Oma? Dia orang tua ayahmu, mertuanya Kak Herisa, Uni bukan siapa-siapanya."

"Jadi, Uni nggak pernah nganggap Oma ibunya Uni?"

"Enggak, bukan gitu maksud Uni."

"Uni, dengar aku. Uni sudah merawatku sejak bayi. Uni melakukan permintaan terakhir Mama untuk menyayangiku sebagaimana Mama menyayangiku. Uni sudah kuanggap sebagai Mama. Uni tahu? Uni sangat berharga. Apa yang aku punya, itu milik Uni juga. Jadi, bisakah Uni menganggap Oma juga ibunya Uni? Uni nggak sendirian di sini. Ada aku dan Oma yang mau menyemangati Uni kalau memang Ayah yang keras kepala itu tak acuh pada Uni."

"Tapi, kecil kemungkinan Uni bisa bersama dengan Hendra. Daripada semuanya sia-sia, lebih baik Uni akhiri sekarang juga."

"Uni, hasil nggak akan mengkhianati proses. Ingat kata-kata itu?"

"Tapi--"

"Antarkan aku ke Bandung Uni. Besok. Aku sudah janji akan melakukan apa pun untuk Uni. Itu kan yang kujanjikan saat Uni membuatkan baju Wonder Woman."

"Baiklah kalau kamu memaksa. Dasar keras kepala."

"Jangan menghina. Ini udah genetik yang diturunkan Ayah. Aku syukuri sajalah."

***

"Kamu mau ke mana?"

Suara berat itu menghentikan kegiatanku memasukkan pakaian ke dalam tas. Aku menoleh ke arah pintu, mendapati Ayah dengan wajah lelahnya. Dahiku mengernyit. Tumben Ayah ada di rumah? Bukannya setelah bicara denganku Ayah sudah pergi lagi ke luar kota?

"Ayah nggak kerja?"

"Jangan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan."

Sudah kubilang kan, kalau Ayah bahasanya belibet. Padahal tinggal bilang: jawab dulu pertanyaan Ayah. Hufftt.

"Anu ... eng ... aku mau nginep di rumah Lula. Ayah tahu kan temen sekelasku yang masih berusia lima belas tahun itu?"

Maafkan Miza Ya Allah karena sudah berbohong.

"Dia masih tinggal di Jakarta, kan?"

"I-iya."

"Terus ngapain bawa pakaian banyak sekali? Nggak ada pakaian sekolahnya pula. Besok kamu masuk sekolah, kan?"

"Eng ...."

"Berani bohong sama Ayah?"

Duh, emang aku kelihatan banget boongnya, ya?

"Mau ke mana?"

"Ke Bandung."

"Ngapain."

"Kangen Oma."

"Jangan pergi bawa masalah sama Oma. Dia sudah tua. Jangan bebani dia dengan masalah kamu, Miza."

"Yah, ini masalah Uni. Aku mau minta dukungannya."

"Tanpa kamu meminta dukungannya, dia sudah memberi nasihat pada Ayah sebelum ini. Persyaratan yang Ayah ajukan itu berdasarkan nasihat Oma kalau kamu mau tahu."

"Hah?"

"Memang kamu pikir Ayah bisa melakukan semuanya sendirian? Ayah tipikal orang yang susah mencari jalan keluar untuk suatu masalah. Dulu ada ibumu, setelah dia tiada harus sama siapa Ayah meminta nasihat? Ayah cuma memiliki Oma. Karena kamu nggak bisa bersikap netral untuk dimintai pendapat."

"Tapi, Yah--"

"Sudah. Lebih baik kamu istirahat. Ayah nggak akan kerja dan 24 jam bakal ngawasin kamu."

"Yah, aku ...."

Bunyi ponsel di atas nakas menghentikan ucapanku. Aku mengambil ponsel dan menerima panggilan dari Lula.

"Hallo."

"Kak, bantuin gue."

"Kamu kenapa?"

"Kak Herlan pergi lagi. Kak Dodi masih di sekolah buat rapat OSIS. Bantuin gue. Dia baru aja pergi."

"Lula, tenang. Aku mau ke Bandung. Nanti kuajak pulang Herlan."

"Miza!" Bentakan Ayah membuatku terkesiap. "Sini ponselmu." Aku menyembunyikan ponsel di belakang. Namun, secepat kilat Ayah merebutnya dengan kasar.

"Jangan hubungi anak saya. Dia tidak akan pergi ke Bandung." Setelah itu, Ayah membawa ponselku dan pergi.

"Ayah! Yah, tunggu dulu." Susah payah aku mengejar Ayah, menuruni anak tangga menuju ruang kerjanya. "Ayah nggak bisa bersikap kasar sama aku. Ayah boleh marah, tapi kali ini tolong ngerti. Temen aku lagi butuh bantuan dan kebetulan aku akan pergi ke Bandung. Jadi, sekalian aku bisa bawa--"

"Nggak ada yang akan ke Bandung, Miza! Kamu membantah Ayah?"

"Tapi, Yah ...."

"Jangan keras kepala. Ayah sudah capek dengan semua masalah ini. Kamu selalu saja membuat semuanya rumit. Kamu cuma bisa berbuat ulah. Seharusnya kamu memang nggak pernah ada di dunia ini."

DEG!

Bagai petir menyambar tubuhku, aku langsung terduduk di lantai. Air mataku tiba-tiba bergerombol turun. Bahuku naik turun, terisak. Kenapa Ayah bisa mengucapkan itu? Jadi, memang benar aku ini bukan anaknya? Atau bagaimana?

"Seharusnya memang kamu yang dipangkuan Tuhan. Bukan Herisa. Bukan Herisa yang saya cintai. Kalau Herisa nggak keras kepala mempertahankan kamu, mungkin dia masih bisa bersama saya."

"Hans! Cukup!"

Suara Uni membuatku menoleh padanya. Segera aku bangkit dan menubruk tubuh Uni. Air matanya berlinang entah karena apa. Yang pasti sekarang suara tangis kami berdua saling bersahutan.

Ayah duduk di meja kerjanya. Ia memijat pelipis. Napasnya naik turun menahan emosi.

Uni membawaku ke kamar. Sedangkan, dia kembali ke ruang kerja Ayah. Aku tidak mau Ayah dan Uni bertengkar karena aku. Jadi, kuputuskan untuk kembali ke ruang kerja Ayah untuk memastikan Ayah tidak memukul Uni.

"Tujuh belas tahun kamu mencoba bersikap seperti tidak ada apa-apa. Dan sekarang kamu menghancurkan semuanya. Apa tidak cukup perlakuan kamu pada anakmu itu menyakitinya? Apa harus dipertegas lagi dengan ucapan pedasmu itu? Dia anakmu, bukan pembunuh. Harus berapa kali kubilang padamu tentang itu?"

Aku dianggap pembunuh oleh Ayah?

Aku langsung menghentikan langkah. Kubekap mulutku agar tangisku tak terdengar. Dari kejauhan kudengarkan pertengkaran mereka.

"Herisa nggak akan meninggal kalau dia tidak keras kepala mempertahankan bayi dalam kandungannya. Dia yang membuat Herisa meninggal, Helma!"

"Hans! Cukup!"

"Dia pembunuh!"

"Hans! Semua ibu ingin yang terbaik untuk anak-anaknya. Sembilan bulan Kak Herisa kesusahan merawat dia dalam kandungan. Saat hari melahirkan tiba, dia nggak mungkin membiarkan anaknya tak dapat melihat dunia. Ini bukan salahnya, Hans. Dia tidak tahu apa-apa."

"Saya tidak suka kamu menasihati saya."

Tangan Uni terkepal kuat. "Bego! Tolol! Kalau lo nggak mau lihat Hermiza di sini? Kenapa lo nolak saat gue mau bawa Hermiza pergi? Kenapa lo nolak saat gue mau berhenti kuliah cuma buat membesarkan anak lo sendirian. Kenapa?" Kalau Uni sudah berbicara dalam mode lo-gue, berarti emosinya sudah mencapai puncak.

"Karena kamu sudah banyak berkorban! Karena kamu sebenarnya mencintai saya. Karena kamu ingin diakui. Karena dengan merawat Hermiza kamu merasa merawat darah dagingmu. Karena kamu akan menganggap Hermiza sebagai anak dari kita berdua."

"Picik sekali otak lo, Hans."

Aku sudah sesak. Kulari dari rumah ini setelah semua pernyataan Ayah tentangku kudengar. Aku tak pernah percaya alasan di balik dinginnya Ayah padaku. Tenyata dia ... menganggapku pembunuh!

***

Bingung aku mau nulis apaan. Soalnya  kertas outline-nya ilang, hahaha.
Untung aja inget konflik sama endingnya. Tapi, aku butuh outline itu untuk banyak hal. Intinya ya gitulah. Aku lagi sedih.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top