XII - Di Balik Kaca

Jadilah penyelamat, bagi orang yang tak bisa kembali.

Jadilah konduktor orkestra, dalam mempersembahkan ratapan simponi ini.

Ayo, panggilah aku, untuk mengubah takdirmu.

Berbeda dengan ruang dosen biasa yang ada di lantai dua, ruangan Pak Alvi berada di lantai satu dan lebih privat. Selain menjadi dosen Mikrobiologi dan pembina UKM pecinta alam, Pak Alvi adalah Ketua Penjaminan Mutu sehingga dia memiliki fasilitas tersendiri di gedung utama.

Dari luar, terlihat siluet hitam berjalan di dalam ruangan Pak Alvi. Aku memberanikan diri mengetuk pintu kaca yang memaparkan nama, gelar, dan jabatannya.

"Masuk." Suara Pak Alvi yang terendam akibat sekat memberikan perintah kepadaku untuk membuka pintu dan masuk ke dalam.

Saat aku dan Eria masuk, udara surga tertiup ke tengku kami. Aroma lavender semerebak di penjuru ruangan. Kami dipersilakan duduk di sofa panjang yang di tata rapi menghadap meja stainless hitam milik Pak Alvi. Ruangan itu memang sempit, tapi pria yang sudah berkepala tiga itu bisa membuatnya menjadi ruang kantor idaman setiap dosen.

Tidak heran jika Pak Alvi mendapat perlakuan khusus dari para pejabat kampus, khususnya Rektor. Bukti nyatanya adalah beberapa pigura yang berjejer di atas meja kecil di sudut ruangan. Mereka segan dengan keluarga Pak Alvi, terlepas apakah mereka pernah saling bertatap muka atau tidak. Dosen-dosen senior sangat berhati-hati berurusan dengannya. Apalagi setelah salah satu dosen paling sepuh dan kolot--Pak Samsul--pernah mengkritik perlakukan Pak Alvi terhadap anak-anak bermasalah.

Dosen yang sudah mengabdi selama dua puluh tahun di kampus kami, merasa tindakan juniornya itu terlalu lembek. Dia masih percaya dengan ideologi kunonya bahwa mahasiswa akan menjadi teladan dan mudah diatur jika peraturan ditegakkan dengan tegas. Namun Pak Samsul yang kerjaannya cuman bisa mengaggungkan mahasiswa di jaman keemasannya dahulu kala, Pak Alvi dengan mudahnya memutar balikan argument itu sehingga lawannya tidak bisa berkutik lagi.

Semenjak itulah dosen Ekologi ter-killer di Fakultas Biologi itu memasang bendera perang terhadap Pak Alvi. Dia tetap akan melakukan caranya tanpa peduli Pak Alvi memperingatinya. Semua dosen tampak mengacuhkan perang dingin mereka. Tidak ada yang berani menengahi mereka sebab keduannya adalah orang yang cukup keras kepala dan sama-sama kuat.

"Kalian datang ke sini untuk membahas pekerjaan? Atau ... tentang diriku?" tanya Pak Alvi ingin mengklarifikasi maksud kunjungan kami.

Sumpah, narsisnya sudah tidak tertolong lagi.

Setelah kejadian di villa itu, Pak Alvi masih bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Semua dosen pun tidak menyinggung kejadian aneh saat malam itu. Aku yang masih merasa tidak enak telah mendengar kepedihan Melly, segera meminta maaf keesokan harinya. Gadis itu malah tertawa cekikikan dan mengatakan itu adalah hal biasa.

Hal biasa? Kekerasan di rumahnya itu biasa?

Aku benar-benar tidak paham jalan pikiran Melly.

Mungkin, sebaiknya aku diam saja.

"Iya, Pak. Saya ... mau jujur. Sebenarnya, Bapak punya tujuan apa? Saya tidak nyaman dengan perlakuan Bapak yang terlalu intens akhir-akhir ini."

Pria jakung itu menyadarkan punggungnya di sandaran kursi. Ekspresinya menggambarkan raut kebingungan dari perkataanku tadi. "Lah ... belum paham juga? Saya itu suka denganmu."

"Su-suka?! Pak? Bapak tidak sedang bercanda, kan? Karena ini tidak lucu sama sekali." Tanpa berpikir aku langsung mengeluarkan suara kaget yang cukup keras, aku pun terkejut mendengar suaraku sendiri.

"Memang tidak lucu. Karena saya serius."

Seketika ruangan hening. Aku menggigil merasakan dinginnya suhu di dalam ruangan yang terasa seperti pisau tajam yang menusuk-nusuk tubuh. Padahal aku sadar jika aku bisa sedikit menahan diri. Hari ini pasti akan segera berakhir dan esok hari akan tiba tanpa aku menyadarinya. Seharusnya begitu, tapi kenapa aku merasa bahwa aku harus keluar dari ruangan ini dan tidak akan pernah kembali ke sini?

Aku ingin memastikan kembali. Semoga jawabannya berubah. "Pak, maksudnya suka itu ... pekerjaan saya, ya kan?"

"Bukan. Kamu. Aku jatuh hati padamu. Apa itu ... masih kurang jelas untukmu?"

Oh Tuhan, aku rasanya ingin mati saja.

"Ta-tapi ... saya--"

Eria langsung memotong dan mencairkan suasana yang canggung itu. "Rinda sulit menolak permintaan orang lain, Pak. Saya sebagai sahabat dekatnya sangat paham dengan kebiasaannya itu. Makanya dia susah mengutarakan apa yang sebenarnya dia rasakan sekarang. Dia butuh waktu untuk berpikir, sebaiknya bagaimana baiknya. Untuk Bapak dan Rinda sendiri." Entah mengapa rasanya lega ketika gadis itu mengemukakan pendapatnya. Menggantikan diriku untuk menjelaskan apa yang ada di dalam kepalaku.

"Jadi, gunamu di sini sebagai juru bicaranya?" Pak Alvi menunjuk diriku dengan dagunya. Kemudian melipat kedua tangannya. "Sayangnya, aku mau mendengarnya langsung dari mulutnya. Kamu diam dan mengawasi saja."

Meski sekejap, aku bisa merasakan ada sengatan yang menjalar ke seluruh tubuhku. Seakan jariku menyentuh barang yang dialiri listrik bertegangan tinggi.

"Baik, saya akan diam dan mengawasi," beo Eria dengan mantap.

Ya, tidak ada salahnya kalau keberaniannya menciut. Lawannya salah satu petinggi kampus yang sangat disegani.

Tapi itu artinya, aku sudah tidak punya tameng lagi untuk menghadapi lelaki yang sedang menyatakan perasaannya kepadaku. Padahal bukan itu yang kuinginkan.

Aku hanya ingin kedamainku kembali. Hari-hari biasa dan membosankan yang kujalani sehari-hari. Apakah itu sangat sulit untuk dikabulkan?

Terkadang, sambil tersenyum penuh arti dan pandangan yang terlihat sedikit mencemoh, Pak Alvi menunjukkan respons seperti dia telah mengendalikan keadaan dan menyudutkan diriku. Setiap kali aku mencoba untuk menangkis serangannya, dia dapat mengelak dengan mudahnya.

Benar-benar lawan yang sulit.

Seorang manupilator yang berbahaya.

"Sekarang, aku ingin bertanya kepadamu, Rinda. Jawab dengan jujur, ya. Kamu harus menjadi pacarku. Sekarang. Apa sudah jelas?"

Pertanyaan? Itu terasa seperti perintah.

"Maaf, saya menolaknya." Aku menjawab dengan bersungguh-sungguh.

Pak Alvi memandangku dengan teliti. Setiap kali dua retina itu memusatkannya ke arahku, aku bisa merasakan ketidak nyamanan yang aneh. Memang hal seperti ini sering terjadi, apalagi dalam situasi seperti ini. Tapi ada sesuatu yang berbeda dari cara Pak Alvi memandangku. Sesuatu yang amat dalam.

"Sayangnya, kamu tidak bisa menolaknya. Begini, perasaanku padamu ini sudah seperti keran yang sudah jebol. Alirannya tidak bisa dihentikan sembarangan orang selain ahlinya."

"Tapi saya bukanlah orang yang tepat, Pak. Masih banyak wanita yang lebih hebat dari saya dan saya rasa kita berdua tidak akan memiliki hubungan yang cukup panjang," jelasku sembari memajukan posisi duduk agar lebih dekat dengan Pak Alvi. Aku berusaha memaksa dosen bucin itu untuk menerima kenyataan yang ada, bahwa aku tidak suka dengannya.

Malah, sekarang, aku benci dengannya.

"Baiklah. Mari kita lihat, apakah kamu akan berubah pikiran atau tidak."

"Maaf, maaf saja, Pak Alvi. Saya bukanlah wanita murahan yang menjilat ludah sendiri." kataku dengan lirih. Rasa kecewa yang ada di dalam dadaku berusaha kutahan dengan menggenggam kedua tanganku erat-erat.

Pak Alvi yang menyadari perubahan nada suaraku dan segera menghiburku. "Aku menantikannya, Rinda. Saat kamu jatuh ke tanganku."

"Kalau begitu, saya permisi."

"Mau saya antar?"

"Tidak, terima kasih. Kami bisa pulang tanpa bantuan Anda."

Aku menarik Eria untuk beranjak dari sana. Sesaat pintu ruangan itu tertutup di belakangku. Suara tawa menggelegar di dalam sana. Entah apa yang dia tertawakan sekarang. Aku sangat marah sekarang.

Kalian pernah liat dua pengajar berkelahi? Atau saling menyindir yang lain pas jam pelajaran? Apalagi kalau kita sebut namanya di depan musuhnya?

Coba cerita di sini, yuk.

Aku pernah loh bela guru yang baik banget sama muridnya (plus lumayanlah tampangnya) apalagi pemikirannya lebih gaul gitu daripada guru senior. Tapi aku sadar tidak boleh ikut campur sama masalah mereka. Urusan orang dewasa jangan kita buat makin rumit, ya. 👍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top