X - Energi

Sebelumnya maaf, aku bertanya-tanya, apakah kamu akan menangis untukku sekali lagi?

Maaf, kenyataanya aku hanya ingin bermain dengan air matamu.

Aku tidak menyangka caraku memandang Pak Alvi akan berubah secepat ini. Sekarang aku takut berada di dekatnya. Seakan ada sesuatu yang dia sembunyikan dan itu adalah hal besar dan berbahaya. Secara naluriah, aku akan memilih jalan memutar ketika mendapati beliau berada di suatu tempat.

Kejadian di gedung itu semakin meyakinkanku bahwa dia adalah orang yang berada di dunia yang lain dariku. Bagaikan langit dan bumi, aku tidak bisa menerima tindakannya dengan mudah. Malah aku bisa berada di posisi berlawanan dengannya.

Bagaimana tidak, setelah pelatian karakter itu, tidak ada yang mempertanyakan tindakannya yang seenaknya menggeruk luka orang lain tanpa persetujuan mereka, secara sadar sepenuhnya.

"Loh? Bukannya mereka mengikuti pelatihan ini karena tahu akan apa yang akan mereka alami nantinya?"

Pernyataan yang amat sangat mencurigakan.

Belum lagi mulut dan cara bicaranya yang terlalu manis. Semua orang seolah menelan bulat-bulat semua ucapannya. Seakan tidak ada yang perlu diragukan dari dirinya.

Apa semua orang takut dengannya? Atau ada sesuatu yang membuat mereka tidak bisa melawan Pak Alvi?

Semakin lama aku memikirkannya dengan keras, semakin gelap jalanku menuju kebenaran. Pada akhirnya aku memilih jalan termudah; jangan berurusan lagi dengan Pak Alvi.

Namanya saja mudah, tapi prakteknya amatlah sulit. Sebab Pak Alvi malah semakin lengket denganku. Dia seperti terus mengawasi gerak-gerikku. Rasa penasarannya tersirat jelas dari ekspresi wajahnya.

Setiap hari, ketika jam istirahat dimulai, ruangan dosen yang biasanya bakal sepi ditinggal para penghuninya untuk makan siang dan beribadah, akhir-akhir ini ramai terus dengan orang-orang yang penasaran dengan kedekatanku dan Pak Alvi. Mereka segera memborongiku dengan berbagai pertanyaan selepas pria penyuka wanita itu pergi. Berbagai pertanyaan unik dan aneh selalu kudapatkan setiap saat. Malah ada yang sudah memberi selamat kepadaku dan bersiap jika Pak Alvi akan melamarku untuk tahap selanjutnya.

Bisa-bisanya mereka berpikir sampai ke situ, padahal rencana aku akan menikah masih buram di mataku.

Eria pun sekarang berubah menjadi manajer pribadiku yang akan menjawab beberapa pertanyaan nyeleneh yang membuatku terkadang tersinggung. Sahabatku yang satu ini memang bisa diandalkan dalam berbagai macam situasi.

Saat aku menceritakan apa yang terjadi selama aku sepenuhnya sadar di pelatihan karakter beberapa hari yang lalu, Eria percaya dan bersikukuh bahwa apa yang terjadi pada diriku adalah sebuah pertanda besar. Meski aku rasa arah pembicaraan kami malah mengarah pada Eria yang ingin di 'terapi' oleh Pak Alvi.

Dia sampai bilang rela menjadi pasien pertama, agar diberi sugesti untuk berhenti belanja secara berlebihan. Mendengarnya malah semakin membuatku tidak suka dengan Pak Alvi.

"Hebat, loh! Dia sudah bisa menjadi seorang magician ala Deddy Corbuzier, tuh!" seru Eria penuh antusias.

"Salah, Eri. Deddy Corbuzier bukan spesialis begituan. Lebih cocok Romy Rafael."

"Ah, ya, itu. Kan sama aja. Mereka jago begituanlah. Eh, malah aneh kamu. Kok malah paham dengan yang begituan tapi tidak mau percaya dengan Pak Alvi." Penyakit ngeyelan Eria ternyata masih ada.

Apa aku minta hilangkan juga sifat Eria yang satu ini?

Suara alaram dari jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri menyadarkanku bahwa aku belum makan siang dan jam istirahat sisa lima menit lagi. "Aduh ... sudah hampir habis jam istirahat dan aku belum pergi ke kantin untuk membeli sesuatu."

"Oh ... kamu belum makan, Rin?" Maria--teman yang duduk di barisan paling depan mendengar keluhanku dan menoleh ke arah kami berdua. "Kalau mau, nih, makan aja gado-gadoku. Aku sudah kenyang juga makan cemilan dari Riki. Tenang aja, belum kusentuh sama sekali."

"Beneran? Aku bayar kalau gitu--"

"Eh? Jangan! Anggap saja ini sebagai tanda terima kasih sudah pernah membantuku. Kalau tidak ada kamu, mungkin aku sudah tanding satu lawan satu sama Bu Citra." Maria tertawa manis yang membuatku teringat dengan kejadian itu.

Dari dulu Maria terkenal sebagai dosen yang kritis. Dia jujur dan bersikap apa adanya. Kalau dia suka, pasti itu yang akan dia katakan. Begitu pula dengan sebaliknya. Namun karena kebiasaannya itu pula, dia sering dimusuhi oleh koleganya. Apalagi dosen perempuan di fakultas ini cukup sensitif sehingga pertikaian antara sesama biasa terjadi.

Ternyata keputusanku untuk membantunya menyelesaikan masalahnya dengan salah satu petinggi fakultas memberikan dampak yang sangat positif. Semenjak itu aku berikrar untuk membantu teman-temanku. Terlepas seberapa brengseknya mereka, jika mereka butuh bantuan dan aku mampu, pasti akan kubantu.

Tapi ... kenapa, ya?

Kalau dengan Pak Alvi ... aku tidak merasakan hal yang sama?

Baru saja aku membuka bungkus makanan pemberian Maria, orang yang tidak pernah kusangka akan berbicara denganku, berdiri di samping meja Eria. Pria itu berdiri tegak, wajahnya tidak menampakkan ekspresi apapun; diam dan dingin. Sorotan matanya tidak memberikan hawa simpati sama sekali. Peter sedang memandang ke arahku tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Entah apa salahku padanya, tapi aku bisa tahu dia sedang tidak senang denganku.

"Kamu senang berhubungan dengan Pak Alvi?" tanyanya tiba-tiba dengan nada dingin yang begitu mengilukan.

Aku dan Eria saling menatap, antara bingung dengan pertanyaan Peter atau siapa yang sebenarnya diajak bicara di sini.

"Aku berbicara padamu, Rinda." Peter tampak paham dengan gelagat kami dan segera memberi koreksi atas perkataannya. Dan bukan itu saja yang membuatku kaget, ini pertama kalinya dia memanggil namaku tanpa awalan Ibu atau Bu.

"Maaf sebelumnya, apa aku punya salah denganmu?" Aku bertanya balik agar tidak ada salah paham di antara kami berdua.

"Sejauh ini belum."

Jawaban macam apa itu? Artinya aku 'pasti' akan berbuat salah kepadanya? Pria ini memang misterius. Dia tipe orang yang bekerja tanpa banyak berbicara. Belum lagi dia memang salah satu dosen ter-cool di fakultas. Aku masih belum paham mengapa banyak orang yang memuja orang seperti dia.

Padahal, saat kami berada di villa, sikapnya lebih hangat dan meluluhkan.

Penampilannya khas dosen teladan. Rambut dipotong rapi, poninya disemir rapi ke arah kanan, tidak ada bulu halus tampak di dagu dan atas bibirnya, tinggi badannya menjulang pas sebagai seorang pemain basket unggulan. Tapi anehnya, badan atletis itu tidak dia gunakan dengan baik, Peter lebih suka menghabiskan waktu antara di laboratorium kimia atau perpustakaan. Pantas saja dia disebut sebagai The Hermit--alias si Pertapa.

"Apa tujuanmu sebenarnya, Rinda?" tanya Peter kembali sembari mencodongkan wajah seriusnya kepadaku. Alis tebalnya semakin menambah seram ekspresi ingin tahunya.

Aku harus tenang. Apa yang kulakukan selama ini, tidak ada yang salah dan tidak memberikan dampak buruk baginya. Itu artinya aku tidak bersalah.

"Tujuan yang kamu maksud itu tentang apa, kalau boleh tahu?" Aku bertanya balik agar diriku tidak terlihat terlalu lugu di hadapannya.

Peter berkacak pinggang dan aku bisa merasakan tatapan matanya makin menusuk, seperti jarum suntik yang ingin menyedot apapun yang ada di dalam pikiranku. "Kamu kira kampus ini tempat untuk bermesra-mesraan?"

Eria yang menyadari arah pembicaraan mulai memanas, segera menengahi kami. "Wow, wow, wow ... time out, guys! Peter, jangan berpikir yang tidak-tidak kepada Rinda. Dia juga korban di sini."

Korban?

Tunggu--sejak kapan Eria memanggil Pak Peter dengan namanya langsung?

Eria yang tidak suka dengan nada bicara Peter, berdiri dan menjadi perisai yang memisahkan diriku dengan cowok menyeramkan itu. Peter terdiam dan segera membalikan badan tanpa memberikan klarifikasi apapun dengan sikap dinginnya kepadaku.

Aku pun mencegatnya. "Tunggu ... apa maksud Bapak tadi? Kalau Bapak memang ada yang ingin dibicarakan dengan saya, tolong lebih jelas."

Peter yang sudah berada di depan pintu keluar menghentikan langkahnya. Dia diam sebentar, kemudian menoleh. "Rinda, ini demi kebaikanmu sendiri. Hentikan apa yang sedang kamu lakukan sekarang. Kamu akan menyesal jika terus melakukannya." Peter berlalu tanpa menoleh lagi.

"Ish, kenapa sih dia? Aku baru pertama kali lihat Peter bersikap sedingin itu sama cewek. Yah ... walau dia memang jarang dekat sama cewek, sih," keluh Eria yang kembali duduk di bangkunya dengan kesal.

Perkataan Peter masih terus terngiang di dalam kepalaku. Apakah dia tahu tentang kejadian di vila bersama Pak Alvi?

Akhirnya Peter mulai naik ke panggung permainan, awowowowok. Siapa ya sebenarnya Peter? Kok serem gitu ngancam Rinda. Atau ada benih-benih cemburu di dalam hatinya???

Jangan lupa vote, komen, dan share. Simpan juga cerita ini di perpustakaan kalian biar tidak ketinggalan update bab terbarunya. 💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top