VIII - Hipnoterapi
Aku ditipu oleh suara-suara yang tidak bisa kudengar.
Maaf, lain kali aku akan lebih baik lagi.
Maaf, lain kali aku akan menjadi manusia yang sesungguhnya.
Telingaku berdengung seolah ada gelombang suara yang membelah udara. Frekuensi yang amat tinggi, mengingatkanku pada suara bor besar yang berusaha melubangi besi yang tebal. Aku tuli dalam beberapa detik. Begitu sakit hingga otakku terasa berguncang di dalam tempurung kepala.
Aku mencengkram kedua daun telinga kuat-kuat. Tapi tindakan itu tidak memberi efek yang berarti. Dan ketika suara itu perlahan menjauh, terdengar benturan yang keras. Aku melihat teman-temanku pingsan satu per satu. Bagaikan domino yang jatuh akibat satu sentuhan lembut.
Berkali-kali aku mengerjapkan mata, seolah semua ini hanya ilusi semata. Namun yang terlihat sekarang adalah semua orang sudah terkulai lemas. Ada yang bersandar di kursi layaknya penumpang bus yang kelelahan. Ada yang terjungkal ke depan yang untungnya di tahan dengan sandaran kursi di depannya sehingga dia tidak jatuh bebas ke lantai. Ada pula yang bersandar di bahu temannya.
Seketika aku tenggelam dalam kegelapan. Tidak bisa merasakan daratan. Tidak bisa mendengar apa-apa. Tidak bisa menghirup bau apapun. Seolah aku sedang mati suri. Semua inderaku tumpul.
Apa yang sebenarnya terjadi?
"Loh? Masih ada yang bangun?"
Secepat kilat aku menoleh, seperti seekor kelinci yang merasakan bahaya mulai mendekat. Pak Alvi yang tadinya ada di atas panggung, menuruni tangga, dan berjalan santai ke bangkuku. Tubuhku menggigil hebat. Saking gugupnya, aku ingin buang air kecil.
Aku sudah tidak tahan lagi.
Aku berlari, menghindari tangan Pak Alvi yang mencoba menangkapku, lalu mendorong pintu toilet sampai hampir terpeleset karena kakiku yang lemas. Pintu kubanting keras dan segera menurunkan celana lepis hitamku sebelum terlambat. Suara air pancuran bergema di dalam kubikel. Bukannya merasa tenang, aku mencengkram perut. Mual. Sensasi ini mirip ketika aku naik pesawat untuk pertama kalinya. Jetleg yang menjengkelkan.
Pintu yang berada di hadapanku bergetar lembut. Seseorang mengetuknya.
"Kamu baik-baik saja, Rinda?"
Aku menelan ludah. Terasa tenggorokanku kering seperti jam pasir yang turun ke bawah. Mataku berair. Bukan menangis, tapi air mata terus membendungi pengelihatanku. Awan yang pekat bergantungan di sekitarnya. Sesak.
Pintu diketuk kembali, sekarang lebih ringan. "Rinda, kalau kamu ingin tidak mengikuti acara ini sampai selesai, boleh, kok. Jadi, ayo, keluarlah."
Suara Pak Alvi terdengar seperti rayuan seorang pangeran berkuda yang mencoba meyakinkan putri kerajaan yang takut akan hutan gelap. Setelah menyelesaikan urusanku di dalam, aku membuka pintu dan bisa melihat senyuman tipis di wajah Pak Alvi.
"Kamu tidak apa-apa?" tanyanya pelan.
Aku kembali menelan ludah, tetap saja tindakan yang sia-sia. "Iya ... saya tidak apa-apa, Pak." Suaraku terdengar seperti cicitan burung yang kehausan.
Meski dengan kemeja yang pas di badan, celana kain berpotongan rapi, serta rambut yang disisir ke samping dengan baik, aura Pak Alvi menggambarkan suasana hatinya yang buruk. Tangannya yang lebar mencoba menyentuh pundakku, namun entah mengapa aku kembali menunjukkan perlawanan dengan mundur ke dinding.
Pak Alvi meremas tangannya dan berlajan ke arah pintu toilet. "Biar kuambilkan air minum untukmu."
"Bagaimana dengan yang lain?" tanyaku dengan suara rendah.
Pak Alvi yang tadi bergegas keluar toilet segera menghentikan langkahnya. "Bisa-bisanya kamu mencemaskan orang lain sedangkan kau pucat seperti itu."
***
Pemandangan yang ada begitu ganjil. Aku sadar seratus persen tapi semua orang menutup matanya dengan tenang. Namun, mereka tidak tidur.
Pernapasan mereka memang konstan, namun tidak terlihat rileks. Aku sering mengalami insomnia sehingga aku sering memperhatikan orang-orang yang tidur di sekitarku. Ayah, Ibu, Eria--wajah tidur mereka sudah sering kulihat saat terlelap. Dan apa yang menimpa semuanya sekarang, sangat berbeda.
Dan aku sangat yakin yang kudengar adalah suara Pak Alvi. Memberi perintah untuk tertidur
Aku yakin akan hal itu.
Para psikolog yang tadi sempat panik melihat tindakanku, memastikan sekali lagi keadaanku, apakah aku ingin mundur atau melanjutkan. Rasa penyesalan menyelimutiku, begitu pula dengan ketidak enakan, sehingga aku mengangguk lesu dan tetap mengikuti kegiatan sampai selesai.
Sementara itu, Pak Alvi sedang duduk berleseh di seberangku, menatap penuh selidik.aku berdiri tepat di depan layar. Berusaha tidak menatap mata yang menganalisisku lekat-lekat. Aku seperti sedang di telanjangi tanpa disentuh sedikit pun.
"Kamu sudah pernah dihipnotis sebelumnya?" tanya Pak Alvi setelah kami lama diam.
Aku menggelengkan kepala dengan lemah. Mulutku tidak bisa dibuka dengan baik. Bibirku mati rasa.
"Kamu dibesarkan di keluarga yang keras?"
Semakin lama, pertanyaan Pak Alvi seperti interogasi polisi. Aku merasa tidak nyaman dan malah teringat Ibu di rumah. "Apa yang Bapak lakukan pada teman-teman?" Lebih baik aku bertanya balik daripada menjawab. Karena situasinya memang penuh dengan tanda tanya.
Pak Alvi menggaruk kepalanya dengan kasar dan terdengar erangan kecil. Dia tampak kalut. "Ini pertama kalinya kamu ikut acara ini, kan? Baiklah, akan aku jelaskan pelan-pelan."
Tubuhku bergerak sendiri. Lagi. Sesaat Pak Alvi bangkit, aku segera mundur beberapa langkah. Aku tidak bisa menjelaskannya tapi tubuh dan otakku seperti tidak singkron satu sama lain.
Aku sulit berpikir. Aku sulit mengendalikan tubuh yang terus menggiggil ini.
Aku takut.
"Kamu tahu terapi sugesti?"
"Tidak."
"Pantas ... sekadar kamu tahu, ini adalah salah satu bentuk terapi sugesti. Semacam pengobatan untuk orang-orang yang mengalami stress berat. Ya, sebut sajalah hipnotis. Ini sudah lama dilakukan di Mesir dan Yunani, tentu saja di Indonesia sering pula digunakan untuk terapi penyakit mental."
"Maksudnya, Pak?"
"Saya bersama para psikologi di sini mencoba untuk memberikan sugesti positif kepada teman-teman yang sedang mengalami masalah di kehidupannya. Mereka memang terlihat baik-baik saja, tapi tidak dengan di bagian dalamnya."
Jantungku yang tadi berdetak tidak karuan mulai menunjukkan kenormalan. Perlahan aku bisa memahami apa yang dikatakan Pak Alvi.
"Apa Bapak juga seorang psikolog?" tanyaku penasaran.
"Bukanlah."
"Ah, kalau begitu, kenapa Pak Alvi tidak ikut diterapi juga?"
Pak Alvi melipat kedua tangannya, tanpa memalingkan pandangan dariku. "Kalau aku bilang, aku bergabung dengan komunitas peduli kesehatan kejiwaan, kamu percaya?"
Sejenak aku menatap kedua bola mata itu. Rasanya seperti ada energi gaib yang bisa menarikku ke dalam tatapannya. Untungnya aku masih bisa mengendalikan diri dan menggelengkan kepala dengan lemas.
Meski sekejap, pupil mata Pak Alvi melebar. Kegelapan hampir memenuhi iris mata cokelatnya. Seakan dia tidak menyangka dengan jawabanku.
Atau mungkin dia sedang tersinggung. Ya, habis ... dia sama sekali tidak memiliki aura seorang yang serius dalam setiap ucapannya.
Pria itu berdeham dan melanjutkan penjelasannya yang sempat terputus. "Kesimpulannya, acara ini digunakan untuk mengeluarkan unek-unek akan masalah yang membenani mereka. Sesuatu yang terlalu lama ditahan dapat merusak akal."
"Be-begitu, ya." Aku menghela napas panjang sampai tidak sadar aku merosot ke bawah. Lantai yang dingin malah terasa empuk untuk kakiku yang kelelahan.
"Nah, sekarang giliranmu. Apa kamu sedang dalam pengaruh obat keras?"
Mendengar pertanyaan itu, aku mengubah posisi dudukku menjadi seiza--cara duduk orang Jepang agar lebih fokus dan tenang. "Hah? Tidak. Kenapa memangnya, Pak?"
Pak Alvi mengusap pelipisnya. "Ini aneh. Mau orang baru ikut sekalipun, kemungkinan kamu tidak terpengaruh amat kecil. Kecuali kamu memang sedang dalam tekad batin yang amat kuat sehingga sugesti dari luar terhalang untuk masuk."
"Tekad batin?"
"Ya, sudahlah. Kita tetap lanjut saja acara malam ini. Sudah terlalu banyak waktu yang menghilang." Pak Alvi berbalik dan menuruni tangga panggung.
"Ah ... maafkan saya, Pak. Kegiataannya jadi berantakan. Ini semua salah saya."
"Tidak, ini bukan salah siapa-siapa." Tiba-tiba langkah Pak Alvi berhenti. Dia kembali melipat tangannya, lalu mengelus dagu cukup lama. "Aku ada ide." Dia menoleh ke arahku sambil mengajungkan jari telunjuk. "Bagaimana kalau kamu menemaniku? Menjadi asistenku untuk acara malam ini?"
"Eh?"
"Mungkin ini alasan kenapa kamu tidak terpengaruh ... mungkin kita punya kecocokan." Senyuman nakal terulas di wajahnya.
Sampai di sini, kalian masih percaya dengan Pak Alvi atau tidak? Masih awal, loh. Jangan langsung tebak-tebak berhadiah, wkwkwkwk.
Tapi kalian tahu, kan? Kalau hipnotis itu tidak selamanya kegiatan yang jahat. Banyak kok terapis yang menggunakan teknik ini untuk pengobatan macam orang yang ketergantungan dengan rokok atau punya fobia tertentu.
Atau kalian pernah dihipnotis sebelumnya?
Kalau terapisnya Pak Alvi, kayaknya bakal banyak yang ngantri. Hehehehe.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top