VII - Nyali

Rahasia busuk, kenangan kosong, dan hati yang patah berserakan di lantai.

Aku tersungkur tak berdaya, kau pun menyeretku lebih dalam, menuju tempat kau akan menguburkanku.

Pantas saja tidak ada yang mendengar teriakanku.

Aku tidak menyangka bahwa malam yang ditunggu-tunggu Eria adalah pertemuan di sebuah gubuk kecil dengan tiga belas anak tangga menuju bawah tanah yang dingin. Kesan pertamaku malah seperti sedang mengikuti jurit malam.

Dulu sekali, aku tidak sengaja mengikuti perekrutan siswa baru dalam eskul pramuka saat SMP. Setelah pola pikirku sudah cukup dewasa, sebenarnya 'ritual' yang harus dilewati para anak bawang saat itu bisa dibilang kurang berfaedah. Mungkin ada beberapa yang akan terbentuk mental kuat nan pemberani, tapi tidak sedikit yang malah mengalami trauma. Aku ingat pernah ditinggalkan di tengah kuburan, disuruh menjaga sebatang lilin yang tersulut api kecil agar tetap menyala sampai kumandang adzan subuh terdengar.

Tengah malam. Sendirian.

Sebenarnya aku sadar bahwa tidak jauh dari tempatku berlesehan di atas rerumputan dan ilalang, ada beberapa senior dan pembina yang berjaga-jaga. Mereka tidak diperbolehkan menyalakan sumber cahaya satu pun, berusaha berdamai dengan nyamuk-nyamuk ganas yang haus akan darah segar. Mereka fokus mengawasiku dan peserta lainnya. Peraturannya sangatlah simpel, apakah kami bisa menjaga api kecil yang terus menari-nari diterpa tiupan angin yang nakal, agar mereka tetap hidup selama tiga puluh menit atau tidak.

Malam itu terasa amat panjang. Belum lagi hawa dingin menusuk yang entah dari mana asalnya. Bukan hanya lilinku yang diganggu, bulu roma di leherku pun tidak luput darinya. Aku terpaksa menghalau angin dengan membentuk benteng menggunakan kedua telapak tanganku. Menutup lilin itu seolah dia adalah satu-satunya sumber kehidupan yang sekarang kumiliki.

Demi membendung rasa takut, aku berusaha menyibukan tiap saraf otakku untuk mengingat pelajaran tentang suhu badan manusia. Di mana manusia akan mengalami halusinasi jika suhu tubuhnya berubah secara ekstrim dalam durasi waktu yang lama. Seperti fatarmogana di gurun pasir yang panas.

Apakah fenomena tersebut juga berlaku pada hawa dingin?

Sejujurnya aku tidak tertarik dengan hal-hal gaib. Selama aku tidak melihat atau berhadapan secara langsung, maka aku tidak akan percaya dengan apapun yang dikatakan oleh orang lain. Kepercayaan akan ketindihan, suara-suara tidak jelas, atau badan yang berat sebelah secara tiba-tiba tidak terlalu kupusingkan. Itu hanyalah mitos yang sering diucapkan orang dewasa agar anaknya patuh dan bersikap baik.

Aku tidak mau berpikir yang tidak-tidak. Sudah cukup dipusingkan dengan masalah kehidupan yang setiap harinya menghantui pikiranku. Aku hanya ingin menjalani hidup dengan tenang.

Namun malam ini dapat dipastikan tidak menjadi malam uji nyali seperti dulu. Pelatihan pembentukan karakter adalah momen di mana kami harus mengeluarkan semua unek-unek, masalah yang terpendam, memuntahkan hal-hal buruk yang menimpa kehidupan, dan kembali menjadi orang yang baru sesaat matahari terbit nanti.

Tapi tetap saja, aku tidak suka aula di bawah tanah.

Terpisah dari gedung utama, ada sebuah gubuk beratapkan daun-daun kering seluas kamar kecil yang menghadap ke hutan yang lebat. Setelah menuruni tangga dan melewati pintu hitam tebal yang terbuka lebar, kami akan disambut dengan arsitektur yang unik. Seolah-olah kami terlempar ke masa pra sejarah, terdapat sebuah ruang cinema yang menjorok ke dalam tanah.

Ada rasa ganjil selama memasuki tempat tersebut. Awalnya kami seakan masuk ke lubang kelinci di dunia Wonderland. Hukum fisika tidak berlaku di sana. Semakin masuk ke dalam, bukannya semakin sempit, tapi tubuh kami malah merasa amat kecil dalam ruangan megah itu. Kedap suara, dingin, dan kelam--tempat yang cocok untuk menonton sebuah film dengan layar super besar.

"Apa karena ruangan ini makanya kamu sangat menantikannya?" tanyaku kepada Eria yang segera mengambil bangku incarannya, tepat di barisan tengah sebelah kanan.

"Ini cuman permulaan." Eria menepuk kursi di sebelahnya yang kosong. "Kamu pasti akan mengerti jika mengikutinya sampai akhir."

Meski masih banyak pertanyaan yang ingin kulayangkan kepadanya, pada akhirnya aku menuruti perkataan Eria tanpa banyak berbicara. Aku yakin jawabannya akan sama saja.

Melly yang tadi terus berjalan di belakangku dari pintu masuk, memutuskan duduk di sebelahku. Aku menyapanya dengan senyuman dan dia pun ikut melakukan hal yang sama.

Gadis yang suka mengenakan topi itu berbeda sekali dengan Eria. Kesan misterus dan sulit dipahami menambah pesona Melly dan membuatnya populer. Setiap kali Melly tiba di ruangan dosen, keberadaannya sudah bisa menyamai seorang dewi. Sampai ada rumor, entah dari mana asalnya, megatakan bahwa dia sempat berkencan dengan Pak Alvi.

Ya, bersama si kutu kampret itu.

Aku tidak tahu sejauh mana kebenaran dari informasi itu. Namun sudah bisa dipastikan bahwa mereka berdua memang memiliki hubungan yang serius. Buktinya saja tadi pagi. Sebelum Pak Alvi menyapaku, Melly sudah memberi kode, seakan dia membantu Pak Alvi untuk mendekatiku.

Gadis satu ini harus aku waspadai. Meski dia lebih enak diajak ngobrol dibandingkan Eria yang suka men-judge setiap tindakanku. Namun aku masih setia dengan Eria. Walaupun dia sedikit menyebalkan.

"Sudah hadir semua, kan?" Pak Alvi yang berada di lantai paling dasar, pas di depan layar, mengedarkan pandangan sembari menghitung jumlah peserta yang sudah duduk di kursi yang tersedia. "Bapak, Ibu yang terhormat. Sekadar informasi, panitia kembali memberi waktu lima menit untuk pergi ke kamar kecil sekarang karena setelah acara dimulai, semua pintu akan dikunci."

"Kenapa harus dikunci?" gumamku.

Melly yang sepertinya mendengar bisikanku, menoleh. "Supaya acaranya berjalan lancar. Pikiran kita harus fokus dan tidak boleh teralihkan. Apapun yang terjadi."

Aku memandang ke sana kemari, ke arah teman-teman yang sudah menuruni tangga menuju ruangan di balik layar. Terlihat sinar kuning yang mengintip di sana setiap kali derit pintu terdengar. Itu berarti pintu masuk ke tempat ini hanya ada satu.

Rasanya aku mulai tidak nyaman. Kami seakan terkubur ke dalam tanah, namun dalam peti yang mewah.

Eria yang sedari tadi menikmati suasana, akhirnya bersuara. "Waduh, saking tidak sabar, aku jadi pengen pergi ke toilet juga. Kamu mau ikut?"

"Ummm ... iya, deh," jawabku.

Sesampainya kami di lorong toilet, aku bisa merasakan energi cemas melayang di udara. Berbeda dengan Eria yang santai dengan senyuman yang tidak lentur sedetik pun, gadis-gadis yang ada di sana menatap pantulan diri mereka di cermin seperti monster yang buruk rupa. Cepat-cepat mereka membumbuhkan bedak dan lipstik di atas kulit wajah. Sepertinya akan ada peperangan terselubung dari para dosen yang masih membujang.

Tidak butuh waktu lama, ritual Eria di dalam bilik selesai dan kami kembali ke bangku masing-masing. Lampu-lampu kuning yang bersembunyi di setiap sudut ruangan perlahan mati satu per satu. Anehnya tubuhku sepintas menggigil tidak karuan. Entah karena udara dingin yang mulai terasa menusuk sesaat indera pengelihatan sudah tidak bisa diandalkan lagi, atau karena aku tidak bisa mengetahui suara langkah kaki siapa yang berjalan ke sana kemari. Eria yang ada di sebelahku pun menjadi sosok hitam yang bernapas dengan tenang.

Antara penasaran dan takut, aku hanya bisa memeluk diriku sendiri. Menepuknya beberapa kali. Berusaha menenangkan diri.

Tidak apa-apa, Rinda. Ini semua akan berakhir. Besok kamu sudah pulang ke rumah dan menjalankan kehidupan seperti biasa.

Atau kah ... setelah hari ini hidupku tidak akan sama lagi?

Seketika sinar terang menyerang pengelihatan, membuatku harus memicingkan mata untuk bisa melihat layar yang disorot cahaya putih, memperlihatkan siluet Pak Alvi yang berdiri di depan pondium.

"Selamat datang semuanya di kegiatan rutin kita; character building Fakultas Biologi, Universitas Clarius Jaya. Saya harap, bapak-bapak, ibu-ibu, masih sehat lahir dan batin. Semoga kita selalu mendapatkan perlindungan dari Yang Maha Esa. Amiinn."

Pak Alvi memulai sambutan dan perkenalan pada pemateri yang didatangkan untuk memberikan kami motivasi agar bisa berdamai dengan pekerjaan dan kehidupan sehari-hari.

Sesi materi cukup menarik perhatianku. Namun, semakin malam, entah mengapa suara yang kudengar terasa berbeda. Seperti aku bisa mendengar setiap kata dan jeda yang ada. Bisa mencernanya dengan baik dan tidak teralihkan sedikit pun.

"Sekarang, aku akan memberikan kalian sebuah tontonan bagaimana manusia bisa bersatu dengan alam. Bagaimana manusia bisa menjadi makhluk teratas di rantai kehidupan. Perhatikan dengan baik-baik."

Sebuah film dokumenter yang berkisar lima menit itu diputar. Aku melihat sekelilingku, semua orang membisu. Tidak ada suara. Tidak ada yang bergerak. Semua orang menatap layar dengan seksama. Aku ikut menatap layar di depan.

Film yang diputar itu sebenarnya bukan hal yang baru bagiku. Film dokumenter dengan seorang pria yang bernarasi dengan puitis tentang keindahan alam sambil ditampilkan pesona alam yang ada di setiap belahan bumi. Hanya saja, ada sesuatu yang ganjil. Setiap kali perpindahan dari satu adegan dengan adegan yang baru, ada simbol-simbol samar yang acak muncul, sekejap saja. Mungkin tidak sampai satu detik, tapi aku bisa melihatnya dengan jelas.

Simbol apakah itu?

Lalu, di setiap kali narrator berhenti berbicara, suara seperti bel kecil berdentang sekali. Terdengar harmonis, namun menggelitik di telinga.

Dan saat layar berubah menjadi warna-warni seperti layar televisi yang kehilangan sinyal, aku bisa mendengar nada panjang yang terasa dekat di telingaku. Begitu dekat hingga bulu kudukku berdiri.

"Tidur." Suara bernada lembut yang mirip sekali dengan suara Pak Alvi, sontak membuat telingaku berdengung. Bergema di dalam kepala, menghambat bunyi apapun masuk ke dalam otakku.

Suara ambruk terdengar di mana-mana. Semua orang pingsan dan hanya meninggalkan diriku sendirian.

Jeng, jeng, jeng! Apa yang terjadi ini?

Kok cuman Rinda yang tidak terpengaruh?

Kalau kalian, punya pengalaman aneh saat mengikuti sebuah kegiatan di sekolah/kampus?

Jangan lupa vote, komen, dan share. ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top