I - Positif

Air mata tidak akan bisa menghilangkan dendam.

Hanya akan menumpahkan penyesalanku.

SUARA pintu geser sedikit mengalihkan perhatianku. Mataku masih terfokuskan kepada bait-bait kata di dalam buku, tapi aku bisa merasakan hawa seseorang yang makin lama makin mendekati tempat aku menghabiskan waktu di ruang dosen.

"Rasanya ingin berkata kasar ...." Eria yang baru masuk ke dalam kubikelnya--tepat di sebelahku--berbicara dengan nada jengkel yang ditahan-tahan. Ini pertanda Eria memiliki unek-unek yang ingin sekali dia muntahkan.

Ketika aku menoleh dari lembaran kuning yang sedang kubaca, tebakanku tepat sasaran.

Matanya berkaca-kaca. Dahinya mengerut dalam-dalam untuk membendung air mata yang akan terjun bebas dari pelupuk matanya. Di dunia ini, ada beberapa tipe wanita yang kalau marah malah menangis. Dan salah satunya adalah Eria.

Rutinitas pagiku, yaitu menata emosi dan perasaan dengan membaca buku bertema kehidupan ala stoik, terpaksa harus dihentikan. Aku mengambil sebuah penanda ke sebuah kalimat yang patut kudalami lebih lanjut.

Dalam semua rencanamu, patuhi mereka sebagai aturan yang benar-benar keliru untu dilanggar. Sedangkan menyangkut apa saja yang mungkin dikatakan orang mengenaimu, abaikan saja hal itu karena itu bukan milikmu. -Epiktetos

Padahal pembahasan kali ini berhasil memberikan inspirasi terkait makna kehidupan. Apa saja yang harus dihindari demi kebaikan jiwa dan raga yang ternyata bukan hanya berasal dari luar--tapi kita sendirilah yang meracuni diri dengan emosi negatif setiap harinya.

Setiap kejadian yang kita alami, sekecil apapun itu.

Otak manusia adalah sebuah maha karya yang begitu luar biasa. Tak terbatas. Pernyataan bahwa manusia hanya menggunakan 10% dari fungsinya adalah sesuatu omongan yang tidak berdasar. Selain mengolah data dan informasi, organ yang mengandung lebih banyak lemak itu juga mengatur emosi dan ekspresi.

Berkaitan dengan otak dan emosi, aku jadi teringat dengan film animasi Inside Me. Kita bisa melihat betapa luar biasanya otak mengolah emosi serta kenangan. Tadi malam pun aku dibuat menangis tersedu-sedu bersama Ibu saat menonton Soul, film animasi tentang alam sebelum dan sesudah manusia memenuhi tujuannya hidup di bumi.

Bagaimana aku mejalani hidup di dunia yang tidak bisa kuatur sepenuhnya?

Aku akan menikmatinya.

Setiap saat.

Tiap detiknya.

Tidak ada yang disia-siakan. Sebaik atau seburuk apapun.

Tubuh sehat harus selalu disyukuri. Saat sakit sekalipun, kita juga harus bersyukur karena tubuh ini menunjukkan perlawanan pada keganjilan yang ada di sekitar kita. Semuanya adalah tanda bahwa kita hidup. Bahwa kita hanyalah manusia yang fana dan harus berterima kasih telah dilahirkan ke dunia. Terlepas dari hal buruk yang pernah menimpa kita.

Emosi itu menular dan aku tidak ingin merusak awal hari ini dengan sesuatu yang tidak bisa kukendalikan.

Karena itulah aku memutuskan untuk mengulas senyum dan berkata, "Ada apa, Eri? Kencan kemarin sukses, kan?" Setidaknya memberi telinga untuk mendengar keluhannya mungkin bisa membuat sahabatku yang satu ini lega.

Eria mengucek-ngucek matanya dengan pungung tangan, lalu dia tampak berpikir sebentar untuk mencari alasan untuk menyangkal. Anehnya, wajah cemberut Rinda adalah hal termanis yang kudapatkan untuk pagi ini. "Iya, tapi bukan itu yang sedang kupikirkan," gumamnya tanpa menatap langsung kedua mataku.

"Lalu apa?"

"Ini tentangmu, Rin."

Aku miringkan kepala, pertanda tidak paham yang membuat Eria mendecah kesal karenanya.

"Jangan pura-pura tidak tahu. Aku sudah muak dengan sikapmu yang terlalu baik ke orang lain."

"Oh ... kamu cemburu?" tebakku sembari tersenyum nakal.

"Tidaklah!" Eria membuang muka dan melipat kedua tangannya. "Ya ... walau sedikit." Dia akhirnya mengaku.

"Terlalu baik seperti apa?"

"Ya, seperti--"

Baru saja Eria ingin menjelaskan, Ira yang duduk di kubikel tepat di belakangku memanggil, "Rin, bisa lihat laporanmu untuk seminar kemarin? Tadi malam aku sibuk ngurusin adekku yang rewel sampai lupa bikin." Aku menoleh dan melihat Ira memasang wajah memelas andalannya.

"Boleh." Segera kubuka aplikasi Whatsapp di laptop dan secepat kilat mengirimkan berkas yang diinginkan Ira.

"Makasih," ucap Ira senang, kemudian tancap memperbaiki dandanannya yang cetar membahana di depan cermin kecilnya.

"Sama-sama. Nah, Eri, apa yang tadi kamu bilang--"

Baru saja aku kembali memfokuskan diri ke Eria, tiba-tiba pundakku di tepuk seseorang dengan telapak tangan yang besar. Pemiliknya adalah dosen baru yang pemalu bernama Bobi. Dia tersenyum kecil sembari menundukkan kepalanya, seolah dia tidak ada niatan untuk menatap mataku.

Kalau tidak salah, dia sempat berdiri di belakang Ira saat aku mengirimkan berkas. Aku kira dia menunggu wanita bersanggul satu itu untuk membagikan laporan tadi. Ternyata bukan.

Jarak antara baris kubikel satu dengan yang lainnya memang terbilang sempit. Karena itulah bukan sesuatu yang aneh jika kami bisa sampai ke meja teman dalam waktu singkat. Meski kekurangannya adalah ruang jalan yang tidak memadai sehingga perut Bobi yang cukup membusung ke depan kadang membuatnya kesulitan dan harus memiringkan badan untuk bisa lewat.

Dia terlihat meremas-remas tangannya yang basah dengan keringat. "Rinda, aku boleh pinjam uangmu lagi? Seratus ribu. Nanti aku ganti sama utangku yang lalu."

"Boleh," balasku dengan senyuman. Berhubung masih ada uang di kantong baju. Tidak ada salahnya membantu sesama.

Sesaat uang berwarna hijau itu jatuh ke tangan Bobi, wajahnya yang tadi malu-malu berubah drastis menjadi girang. "Terbaik memang seniorku yang satu ini," serunya sembari menepuk-nepuk punggungku dengan tenaga yang cukup kuat. Aku sampai harus menahannya sedikit agar tidak sampai badanku bersentuhan dengan ujung meja yang cukup tajam.

Selepas kepergian Bobi, Eria berdeham keras, membuat tubuhku otomatis berbalik ke arahnya. Air matanya sudah lenyap, digantikan dengan wajah semerah tomat.

Aku jadi teringat tomat ceri di kulkas yang harus segera kuolah sebelum terlalu masak. Malam nanti masak apa, ya?

"Morinda Citrifolia! Hentikan sikap masa bodohmu itu!" Eria membanting buku cetak biologi ke atas meja. Padahal buku itu amat tebal dan bisa digunakan untuk mengganjal pintu kelas yang suka tertiup angin.

"Masa bodoh? Aku?"

"Ya! Siapa lagi? Mau kamu naif, kek. Mau polos, kek--apa yang kamu lakukan bukan hal baik, tauk! Itu kebiasaan buruk!"

"Kenapa bisa begitu?"

Eria mendekatkan jari telunjuknya ke depan wajahku, seakan dia berniat mencolok mataku saking geramnya. "Pertama kamu meringankan pekerjaan Ira. Coba kamu pikirkan baik-baik. Itu artinya kamu telah membuat temanmu menjadi pemalas. Nanti kalau ada kepanitiaan, dia pasti bakalan lepas tangan lagi. Kedua, kamu terus meminjamkan uang kepada orang lain. Memangnya kamu tahu uang itu digunakan untuk apa? Jangan-jangan dia pakai buat hal buruk seperti membeli rokok, atau judi, atau jajan cewek di--"

Mulai lagi kultum pagi dari saudari Eria. Segera kuraih tangan Eria yang tegang itu, lalu mendekapnya dengan lembut. "Eria ... kita tidak boleh berburuk sangka kepada orang lain. Apalagi tidak ada bukti kuatnya. Itu sama saja fitnah, kan?"

"Ja-jangan menceramahiku! Rin, kamu terlalu baik dan itu tidak bagus untuk dirimu."

"Kenapa bisa?"

"Ummm ... karena kamu nanti tidak bisa menjadi dosen berprestasi ... atau ... membeli makanan enak di kantin!" Eria menjelaskannya tersendat-sendat. Dia berusaha mencari alasan yang kuat, namun berakhir dengan masukan yang sepele.

Sejenak aku menghela napas. Sejujurnya, aku senang Eria mencemaskan diriku. Dialah satu-satunya orang yang selalu mengawasiku, berdiri tegap di sisiku. Eria adalah kompas moralku, walau kadang aku masih suka ngeyel di beberapa kesempatan.

"Tenang saja. Prestasi dan uang bukanlah segalanya. Aku cuman ingin semua orang bahagia. Tidak ada salahnya menolong."

Eria mendesah panjang. "Kali ini aku menyerah, deh. Aku tidak bisa meyakikanmu kalau kamu sendiri tidak mau sadar dari dunia fantasimu. Dunia nyata tidak selamanya baik, Rin."

Aku tidak pernah mengeluhkan sifat teman-temanku. Aku selalu berpikir bahwa mereka tidak seperti diriku. Kesibukan tiap orang tidak bisa disamakan. Keuangan setiap orang tidak bisa dibanding-bandingkan. Jika mereka kekurangan, sepantasnya kita memberi karena sudah lebih dari cukup.

Bukankah harusnya seperti itu?

Manusia diciptakan untuk saling tolong-menolong.

Eria terdiam sebentar, memandang ke luar jendela yang tepat berada di sebelahnya, lalu berbalik kepadaku. "Aku bersikap seperti ini karena aku sayang padamu. Kita sudah bersama sejak S1. Aku tidak mau kamu dipermainkan orang lain terus."

Dadaku seketika terasa hangat. "Aku tahu, Eria. Karena itulah aku jatuh cinta padamu."

Mata sipit Eria membelalak. Dia sampai tidak sadar menyikut buku biologinya yang dari awal posisinya mengkhawatirkan, tepat di ujung meja. Kalau beneran jatuh ke lantai, dapat dipastikan akan membuat suara gema ke penjuru ruang dosen.

Gadis berambut bob sebahu itu salah tingkah gara-gara pernyataanku tadi. "Ja-jangan bilang begitu pada cewek! Nanti kita dikira macam-macam! Aku masih normal, loh!?"

"Jadi, aku boleh mengatakannya pada siapa?" godaku yang malah dibalas dengan tatapan jijik dari Eria.

Dia berdeham sekali, lalu mendekatkan wajahnya hingga tersisa satu jengkal denganku. "Jika itu kepada seorang cowok--kamu harus segera memberitahuku. Harus." Aku terkekeh dibuatnya.

Eria adalah tipe wanita yang kaya akan ekspresi. Semua orang bisa menebak isi kepalanya dengan hanya melihat raut mukanya saja. Itulah salah satu hal yang kusukai darinya.

"Baik, orang yang akan mengetahuinya paling dulu adalah dirimu, Eri."

"Janji?"

"Tentu. Malah aku 'pasti' akan menceritakannya kepadamu daripada ibuku sendiri."

*Morinda citrifolia: mengkudu

Badai akan segera datang ....

Kalian siap?

Oh ya, buat kalian yang takut baca cerita horor yang berisi hantu atau sejenisnya, TENANG SAJA ... cerita ini TIDAK ADA HANTUNYA. Dijamin!

Cuman kengerian realitis yang bisa saja terjadi di sekitar kita. Cuman ... hehehehe ....

Bagaimana menurut kalian dengan Rinda? Jangan lupa vote, komen, dan share ya. ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top