Gäte 5. Trik Berdagang Ala Kencana


~•■•~

Entah sudah hari ke berapa dia tersiksa akan ajaran tata krama yang diberikan oleh guru monsternya—rupanya Tuan Afu mengirimkannya juga seorang pengajar tua berkacamata. Bagaimana tidak? Setiap satu jam sekali, Kencana dituntun untuk melatih cara berjalan, berbicara, makan, dan sebagainya. Tak hanya itu, Hanaca dan para pelayan wanita berkepala balon selalu membantunya membersihkan diri, berpakaian bahkan mereka turut menyisir rambut pekat Kencana. Anak itu tidak mau rambutnya diikat, sehingga ia tidak mengizinkan para pelayan menyanggul rambutnya. Menjadi bangsawan sangatlah merepotkan.

Ya, paling tidak selama seminggu lebih ini Kencana mengalami kemajuan dalam berpenampilan serta memahami etiket bangsawan secara umum. Terlebih lagi pada dasarnya Kencana sudah cukup cerdas dan anggun secara alami sehingga sangat mudah beradaptasi di lingkungan baru—tetapi mungkin sifat liarnya masih tertinggal sedikit.

"Aku benci kelas tata krama!" gumam Kencana kesal seraya membenamkan wajahnya di atas tempat tidur. "Sudah seminggu lebih, tetapi Tuan Afu belum mengembalikan kipasku!"

Hanaca yang sedari tadi merapikan pakaian Kencana hanya tertawa santai. "Mungkin sebentar lagi. Selama ini, Nona sudah mengalami kemajuan yang hebat, bukan? Apa anda menyadarinya?"

Kencana mengelus dagunya sejenak. Jika dipikir-pikir ia memang mengalami kemajuan yang signifikan selama beberapa waktu ini. Dia tampak anggun dan menawan. Tentu ia sadar sejak lama wajahnya memang cantik bahkan dalam kondisi bau pun Kencana tetap indah. "Ngomong-ngomong, aku belum pernah menginjakkan kaki di luar Kediaman Suanggi dan toko besar Tuan Afu. Kudengar toko milik Tuan Afu sangat megah."

Hanaca berdehem. "Berkunjung ke toko sangat mudah. Karena Kediaman Suanggi menjadi satu dengan toko mewah milik Juragan."

"Sejak kapan? Kenapa aku baru menyadarinya?" Kencana menyahut tidak percaya. "Pantas saja setiap berjalan di koridor, aku kerap kali mendengar suara keramaian pengunjung dari balik dinding, rupanya toko Tuan Afu menjadi satu dengan kediamannya sendiri."

"Ya, sebenarnya ada jalan khusus menuju tempat kerja milik Juragan sehingga ketika aku dan kedua saudara kembarku mengajak anda berkeliling, kami tidak sempat menunjukkan toko kepada Nona."

Kencana menaikkan sisi kiri alisnya. "Memang jalan khususnya berada di mana?"

"Hehe ... berada di ruang kerja Juragan."

***

Kencana tidak habis pikir jalur antara toko dan Kediaman Suanggi diharuskan melewati ruang kerja Tuan Afu. Tentu mustahil untuk melakukannya.  Kencana malas menemui ayah angkatnya yang judes. Sebenarnya bisa saja dia melangkah keluar dari Kediaman Suanggi terlebih dahulu lalu memasuki toko melewati jalur selatan—tempat para pengunjung—namun membutuhkan waktu yang lama terlebih lagi toko Tuan Afu dan Kediamannya berada di kawasan perumahan melayang sehingga sangat merepotkan jika harus menaikki kereta trem atau memanjat. Sayangnya, Kencana menghindari pilihan kedua.

Kencana beranjak bangun dari ranjang. "Baiklah, berhubung monster paruh baya itu sedang ada tugas di lantai tiga, aku bisa menyelinap ke dalam ruang kerjanya dan memasuki toko."

"Apa? Tidak-tidak. Aku tidak berani masuk ke ruang kerja beliau tanpa izin. Terlebih lagi untuk apa anda penasaran dengan toko Juragan. Itu sangat membosankan bagi anda. Hanya para monster pria dan bangsa kompeni yang menyukai aktivitas berdagang." Hanaca bersedekap dada, dia mengatakan kebenaran yang terjadi di Hinlanda.

Pada dasarnya, monster wanita pribumi cenderung lebih senang di rumah. Bahkan ketika mereka menikah, rata-rata memilih menjadi ibu rumah tangga ketimbang mengurus karir dan sejenisnya. Sangat disayangkan padahal wanita bisa melakukan keduanya sekaligus—meski tidak secara keseluruhan selayaknya pria dalam urusan pekerjaan. Namun berbeda dengan monster kompeni. Pria maupun wanita sama-sama memiliki jiwa berdagang yang besar, mereka sederajat serta berpikiran maju.

Hinlanda sendiri memiliki tiga ras secara keseluruhan. Ras manusia, ras monster dan ras iblis. Namun ras monster terpecah menjadi beberapa suku karena jenis mereka sangatlah beragam. Namun ras monster secara umum dibagi lagi ke dalam dua golongan, Pribumi dan Kompeni. Pribumi cenderung mengarah ke rakyat beraliran nusantara atau oriental—mengenakan pakaian adat walaupun beberapa di antaranya mengikuti arus modern. Sementara Kompeni mengikuti aliran modern dan liberalisme—pelopor era industri serta memakai pakaian Eropa. Mereka menguasai perekonomian.

Kencana termenung dalam benaknya sendiri. Hinlanda cukup luas tanpa disadarinya. Aktivitas rakyat yang menentukan peradaban. Padahal tempat ini sangatlah kecil.

"Kau salah, Hanaca. Mengingat statusku saat ini sebagai penerus satu-satunya dari Kediaman Suanggi, seharusnya aku terlibat dalam urusan berdagang." Kencana berujar tegas. "Jika kau tidak mau ikut maka aku yang akan pergi," ucapnya seraya keluar dari kamar.

"Eh, tidak. Nona jangan pergi sendiri. Baik-baik! Aku ikut." Hanaca merengek lantas dikejarlah sang nona hingga memasuki ruang kerja Tuan Afu. Untung saja penjaga sedang tidak berjaga di sana sehingga mereka berdua bisa dengan leluasa berjalan masuk.

Kencana melirik binatang peliharaan Tuan Afu yang sedari tadi berjalan di dalam akuarium, makhluk itu seketika bersembunyi setelah melihatnya. Mungkin saja dia takut setiap kali melihat wajah Kencana karena trauma dilempari wadah perkakas. "Di mana jalur menuju toko?"

"Itu di sebelah lemari." Hanaca menunjuk rak buku besar sebagai pintu jalan pintas menuju toko yang dimaksud.

"Oh aku mengerti, jalur rahasia di balik rak buku." Kencana menafsirkannya sendiri.

"Tidak, memang Juragan menyukai buku sehingga pintunya dibuat dalam bentuk rak buku." Hanaca menjelaskan dengan tenang sementara Kencana pun hanya menepuk pelan dahinya. Bisa-bisanya pintu dijadikan rak.

Kencana tanpa berbasa-basi lagi segera membuka pintu itu dan betapa terpukaunya dia setelah melihat ribuan rak-rak raksasa yang bisa melayang terpampang megah di depan matanya. Plafon toko sangatlah tinggi—mungkin sembilan meter dari permukaan lantai. Tempat ini sangat luas dan klasik, puluhan pengunjung berwujud aneka ragam jenis monster membeli berbagai benda yang terpajang pada rak. Sementara para pekerja toko mengenakan seragam khusus. Tapi, mengapa seragam penjaga?

"Tunggu, seragam penjaga? Tuan Afu memperkerjakan antek-anteknya juga sebagai pelayan toko? Pria tua itu benar-benar tipikal penghemat Uangkorak. Untung saja pengunjung tidak terlalu peduli dengan pelayanan para pekerja toko walaupun wajah antek Tuan Afu sangatlah garang seperti algojo." Kencana membatin.

Hanaca menghela napas menyaksikan Kencana terdiam mematung seusai membuka pintu jalur pintas. "Sudah kubilang, bukan? Toko sangatlah membosan—"

"Ini sangat keren! Aku akan betah di sini! Kenapa tidak mengatakannya sejak awal?!" Kencana menepuk bahu Hanaca keras.

"T-tapi—Nona bagaimana jika Juragan mendapati anda berkeliaran di toko?"

"Eh, monster tua itu tidak mengizinkannya?"

"Ya, tidak juga sih. Tapi kurasa anda belum siap—"

"Dia pasti akan mengizinkannya, setelah aku melakukan satu hal ini." Kencana tersenyum penuh maksud dan Hanaca pun merasakan sesuatu yang tidak beres akan terjadi setelah ini.

***

Tuan Afu terkejut bukan kepalang setelah turun dari kereta terbangnya. Bagaimana tidak? Sejak kapan toko pernak-perniknya bisa seramai ini? Ratusan mobil terbang terparkir di tempat parkiran, monster elit berbondong-bondong memasuki toko. Padahal dia baru meninggalkan tokonya karena urusan Gonastabala lima jam yang lalu. "Sebenarnya apa yang terjadi?"

Tuan Afu pun mencoba masuk ke dalam tokonya melewati segerombolan Noni Belanda sosialita yang tengah bergosip.

"Eh kalian tahu? Aku tidak menyangka Toko Besar Suanggi bisa merekrut satu gadis cantik sebagai pekerja toko. Bukankah Tuan Afu tidak pernah memperkerjakan monster perempuan sebagai pekerja toko?"

"Fufufu ... tapi kurasa ini sangat menarik untuk dijadikan bahan gosip. Lagi pula gadis itu sangat menawan, aku iri kepadanya. Dia bisa menari sekaligus berjualan. Dia bertalenta, tentu saja para bangsawan manapun akan terpikat olehnya. Tunggu, kau tidak lihat? Sekitar lima bangsawan pria mencoba mengajaknya mengobrol. Sayang sekali dia menolak mereka. Lagipula gadis itu misterius sekali, entah datang dari mana namun sekali muncul keberadaannya membuat semua makhluk pangling."

"Ya bisa kusimpulkan, gadis itu memahami trik kecil dalam berdagang. Aku rasa toko Suanggi sebentar lagi melejit dalam pasar penjualan dan tentu saja bersaing kembali dengan toko sebelah."

"Toko sebelah? Maksudmu Toko Banaspati? Milik Tuan Bhalendra Banaspati? Pemilik Welhtok?"

"Ya! Si pengusaha muda. Bukankah Toko mereka bersebelahan?"

"Ekhem." Tuan Afu berdehem, secara spontan membuat fokus para Noni Belanda tertuju kepadanya lalu terdiam kikuk mengalihkannya kepada sesuatu yang lain.

"Oh astaga demi kemuliaan jubah Tuan Belze, betapa kagetnya aku ... selamat sore, Tuan. Kami permisi dulu." Salah satu dari mereka bersuara lalu segera pergi dari sana begitupun juga dengan para noni yang lain.

Tuan Afu bersedekap dada lantas Tasawala yang baru saja keluar dari kereta terbang karena membawa banyak sekali persediaan ulang pernak-pernik jualan—menentengnya masuk ke dalam toko tanpa memusingkan sekumpulan para pengunjung elit di sana. Tuan Afu bersama Tasawala memasuki toko dan benar seperti gosip tadi, Kencana rupanya menjadi akar dari permasalahan yang terjadi. Gadis itu menari, melompat indah, dan bernyanyi merdu bahkan nyanyiannya mengandung lirik untuk mempromosikan barang dagangan. Anehnya itu sama sekali tidak buruk melainkan indah bagi siapa saja yang mendengarnya, seperti karya seni dengan standar tinggi. Kencana pun turut sesekali mengajak para pekerja toko—antek Tuan Afu berwajah garang—menari bersama.

"Selamat sore para hadirin! Saya Kencana. Jika ingin melihat tarian, anda harus membeli salah satu dari barang dagangan kami. Lagi pula, secuil benda dari Toko Suanggi bisa membuat harimu bersinar." Kencana berucap anggun, seperti aliran sungai yang mengalir. Suaranya lembut sehingga membuat siapapun terpana. Rupanya tidak sia-sia Hanaca mendandaninya setiap hari sebagai wanita bangsawan yang menawan. Kebaya brokat berwarna hitam tampak sedikit dewasa untuknya sehingga Kencana menutupnya dengan selendang sutra berwarna merah. Jarik coklat tuanya menyapu permukaan lantai. Dibandingkan sebagai pekerja, dia tampak seperti primadona Toko Suanggi. Kencana melirik kedatangan Tuan Afu di sudut ruangan. "Aha, ayahandaku baru saja tiba."

Tuan Afu pun terkejut menyadari semua mata pengunjung tertuju ke arahnya. "Apa?"

***

Ruang jamuan di Kediaman Suanggi bisa dibilang sangatlah megah. Untuk rakyat kelas dua kerap kali mengatakannya sebagai ruang makan biasa namun bagi kaum proletar tentu saja menganggapnya tempat mewah. Interior klasik dengan karpet beludru, lukisan antik dan ribuan lilin tak lupa hiasan lampu Chandelier. Meja makan di Kediaman Suanggi terbilang berkelas. Terbuat dari kayu jati berkualitas terbaik, berukuran panjang namun yang menggunakannya hanya dua makhluk, Tuan Afu dan Kencana.

Saking panjangnya meja itu mengharuskan Kencana menyipitkan mata agar bisa memandangi Tuan Afu yang duduk di seberang sana. Berbagai sajian makanan tertata rapi di atas meja bertaplak hitam. Usut punya usut rupanya Tuan Afu memang pecinta warna gelap sehingga semua unsur di dalamnya selalu tak berwarna.

"Kau bisa menjelaskan perbuatanmu di toko, Kencana?" Tuan Afu memecah keheningan, entah sedari kapan dia membawa kotak emas yang diduga Kencana sebagai tempat Nimisi tersimpan. "Entah kenapa sore ini aku mendapatkan banyak sekali surat dari pria muda yang ingin melamarmu."

Kencana berdehem setelah menelan puding. Dia tidak menduga sekali kemunculannya di depan publik membuat para pria berani melamarnya melalui perantara Tuan Afu. "Aku hanya ingin berjalan-jalan. Lalu kulihat toko anda cukup sepi sehingga aku mencoba melakukan sesuatu agar para bangsawan berdatangan secara sendirinya."

"Jadi itu sebabnya kamu menari seperti orangutan?" Tuan Afu mengangguk memahami seraya memotong steak dagingnya dengan pisau makan.

Kencana mendengus kesal. Dia mengatakan anak perempuannya sendiri dengan sebutan 'Orangutan'? Yang benar saja. "Ya, bukankah itu bagus. Toko Tuan semakin ramai dan aku pun senang karena tidak perlu berdiam diri di dalam kamar ataupun mengikuti kelas tata krama yang membosankan. Jadi, anda tidak perlu marah kepada para pekerja toko karena akulah yang memaksa mereka."

Tuan Afu menghentikan makannya sejenak. Seketika ruang jamuan dipenuhi aura suram. Hanaca dan para pelayan wanita berkepala balon yang terdiam di pojokan hanya bisa menelan ludah. Sementara Kencana yang duduk di sudut meja nyaris terlihat seperti kelinci kecil yang siap dijadikan lauk oleh serigala. "Kau memaksa mereka? Bagaimana caranya?"

Kencana berpikir sejenak. Sementara Hanaca menggigit jari—takut. Kencana tersenyum santai, "Dengan menggoda para pekerja. Aku hanya mengatakan para pekerja tampan dan mereka pun mengizinkanku membantu."

Tuan Afu menepuk jidatnya sendiri.

"Tunggu, memangnya ada yang salah?" Kencana menaikkan kedua bahunya acuh.

Tuan Afu menghela napas panjang. "Kau tahu? Jika sekarang statusmu adalah putriku maka seluruh kehormatan Keluarga Suanggi juga menjadi tanggung jawabmu. Tentu sebagai ayah angkat, aku tidak akan membiarkan dirimu keluar jika belum memahami etiket kebangsawanan dan budaya kesantunan selayaknya wanita elit."

"Astaga, merepotkan." Kencana bergumam kesal.

"Apa?"

Kencana menggeleng. "Tidak apa-apa. Aku bilang ini sangat keren." Kencana menggembungkan pipinya kesal. "Lagi pula dia selalu menyebutku Orangutan, jadi kenapa harus diajarkan tata krama lagi. Memangnya Orangutan tahu tata krama?" Kencana bergumam pelan di sela-sela makan.

Kencana harus bersikap baik. Ya meskipun dia malas melakukan hal-hal bodoh seperti mengikuti kelas tata krama tetapi ia harus melakukannya kali ini paling tidak sampai Nimisi kembali ke dalam genggamannya. Namun semua pikiran itu seketika sirna setelah hal menakjubkan terjadi di ruang jamuan terkutuk. Sesuatu yang langka, bahkan tidak pernah terjadi. Para pelayan berkepala balon nyaris memecahkan kepalanya sendiri karena terkejut. Sementara Hanaca, Rakada dan Tasawala terdiam tidak percaya.

Tuan Afu tertawa.

Kencana menganga di tempat duduknya. Memangnya sedari tadi dia mengucapkan kalimat konyol? Perasaan ia mengatakan sesuatu yang serius.

"Apa yang lucu? Anda salah makan daging?" Kencana bertanya sarkas.

Tuan Afu berusaha menahan tawannya. "Maaf-maaf. Kurasa jika putri angkatku sudah cukup memahami etiket bangsawan, kelas tata krama tidak perlu lagi diadakan." Beliau memangku dagu dengan satu tangan. "Itu hal yang bagus, Kencana. Kini kau pandai dalam urusan bisnis. Maka mulai sekarang aku membebaskanmu keluar masuk toko."

Kencana tampak berseri-seri. "Aku diizinkan berkeliling lantai dua juga?"

"Ya, asalkan Hanaca, Rakada atau Tasawala menemanimu." Tuan Afu berujar tenang. "Lalu sesuai janjiku, aku akan mengembalikan Nimisi sekarang."

"Eh? Sungguh?! Anda sangat baik!" Kencana berujar ceria padahal semenit lalu dia mengolok Tuan Afu. Matanya semakin berbinar setelah sihir hitam milik Tuan Afu menerbangkan kotak emas itu kepada Kencana. Lantas dibukalah benda itu dan hatinya merasa tenang mendapati Nimisi masih tertidur nyenyak. "Terima kasih," Kencana bergumam pelan.

***

Gemericik air memenuhi bak—jacuzzi pribadi—yang terbuat dari marmer. Berbanding terbalik dengan kediaman Suanggi, tempat ini dipenuhi interior bernuansa merah api. Bahkan area kamar mandi pribadi pun demikian. Satu makhluk—monster tanpa kepala—berpakaian serba merah melangkah masuk ke pemandian. Segeralah dia berlutut di depan tirai berwarna merah darah yang kini menutup area jacuzzi. Lebih tepatnya ia memberikan etiket penghormatan kepada sosok yang kini tengah berendam.

"Tuan Bhalendra, pelayanmu menghadap. Saya hendak melapor, Toko Banaspati mengalami kerugian besar dikarenakan dalam satu hari ini hanya menerima tiga ratus pengunjung." Monster itu berujar tenang walau sedikit ada nada keraguan. Dia melirik bayangan sang majikan dari balik tirai, susah payah ia menelan ludah—ketakutan.

Bhalendra menghisap cerutunya—Bayanaka—lalu membuang asap ke udara. Wajahnya tampak tidak senang. Jelas menunjukkan bahwa dia sedang kesal. Gemericik air menyapu tangan kekarnya, walaupun sedang marah, wajah itu tetaplah tampan. Kini rambut merahnya sedang tidak mengeluarkan api dikarena air masih membasuh tubuhnya. "Siapa dia?"

Pelayan setia Bhalendra tampak tidak mengerti arah pembicaraan sang majikan. "Maksud anda, Tuan?"

Bhalendra beranjak bangun dari Jacuzzi, membiarkan sisa-sisa air tergelincir jatuh dari tubuhnya. Segeralah ia mengenakan kimono mandi berwarna hitam, lalu terdiam sejenak di depan cermin—memandangi wajah tampannya yang kini sedang kesal. "Gadis itu, primadona Toko Suanggi. Kudengar dia baru saja diadopsi oleh Tuan Afu sebagai anak perempuannya."

"Oh, gadis cantik itu. Dia Kencana, Tuan. Nona Kencana Suanggi," ucap sang pelayan sopan.

Bhalendra tersenyum gila. "Kencana?" lantas dalam hitungan detik api menyerupai panah melesat menembus keluar dari tirai pemandian menuju sang pelayan—nyaris mengenainya—jika monster itu bergerak sedikit saja ke kiri maka tamatlah riwayatnya. "Enyahlah dari sini."

"B-baik, Tuan." Sang pelayan tampak tergagap, lantas segeralah dia keluar—lari terbirit-birit dari pemandian pribadi milik sang majikan.

Setelah suasana benar-benar kembali hening, menyisakan gemericik air, Bhalendra pun meninju keras cermin di depannya menggunakan tangan kiri hingga membuat tangannya dipenuhi darah berwarna hitam—darah monster. "Sial. Aku kalah bersaing."

Bayanaka yang masih berada di tangan kanan Bhalendra mencoba menghiburnya. "Tenang saja, kau akan sangat mudah mengalahkannya jika dia bodoh. Tunggu, sepertinya aku pernah mendengar nama itu di suatu tempat."

Bhalendra menyeringai kecil. "Aku tidak bisa melupakannya. Gadis yang waktu itu mengotori mantelku, sejak melihat ke dalam matanya, dia menyimpan dosa dan dendam. Guoden, kini dia datang lagi untuk menghancurkan bisnis yang kurintis."

Bayanaka mencoba mengingatnya sekali lagi. "Oh gadis cerdik dan berani itu. Ya, kurasa jika dia berada di status bangsawan, memang benar akan menjadi saingan terberatmu—upss!" Bayanaka merutuki dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia salah mengutarakan masukan di saat Bhalendra sedang berada di puncak kekesalan. Lantas diliriklah sang majikan yang auranya berubah semakin panas. Bahkan kini rambutnya sudah dipenuhi sulur-sulur api. "Sial, aku salah bicara."

Wajah Bhalendra menggelap di bawah bayangan, dia pun menyeringai kecil. "Aku punya rencana untuk membunuhnya dalam diam, kau mau ikut?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top