Gäte 2. Kipas Cerewet


~•■•~

KEPULAN asap hijau menyembul keluar dari cerobong kecil pada sisi belakang kereta kuda diikuti semerbak aroma busuk yang kerap kali disapa asap polusi oleh warga Hinlanda. Tampak mahal dan berkelas, kendaraan itu dilengkapi berbagai fasilitas elit serta guratan perak cantik yang melapisi dinding kereta. Pak kusir tanpa kepala misalnya, dia menggenakan seragam dengan kain berkualitas terbaik ditambah kuda tengkorak yang menarik kereta—gemuk dan sehat—mengingat Sang Majikan cukup rutin memberinya daging anak-anak ketika sarapan.

Tinggalkan sejenak kisah kusir dan kuda tengkorak, mari lihat lebih dalam siapa penumpang terhormat yang tengah mereka bawa dengan kereta kuda terbang.

Sapa saja Tuan Afu Suanggi. Pria paruh baya berpostur tinggi—kira-kira 250 centimeter jika beranjak berdiri dari kursi kereta—bulu-bulu hitam pekat bak binatang buas menutupi seluruh inci tubuhnya. Dia memiliki moncong aneh seperti serigala dengan mata merah menyala, terdapat tanduk di atas kepalanya, menunjukkan bahwa ia pernah menjadi salah satu bagian dari bangsawan iblis. Tuan Afu selalu mengenakan Beskap—baju tertutup—serba hitam dengan bawahan batik berwarna gelap. Hanya saja beliau tidak pernah memakai Blangkon—topi—tak seperti pengguna baju Beskap pada umumnya.

Kini belasan lembar kertas kerja terbang dengan tenang tepat di depan wajahnya. Usut punya usut, Tuan Afu kerap kali membeli tipe kertas mahal yang bisa melayang untuk mempermudahnya ketika membaca berkas tanpa mengutak-utik setiap lembarnya satu per satu. Itu sangat memungkinkan mengingat Tuan Afu tipikal monster sibuk, tentu saja dia memilih perabotan instan walaupun harus merogoh kocek lebih.

Tuan Afu memasang wajah serius seraya bersedekap dada. Suasana hening di dalam kereta membuat Tasawala—pelayan setianya—sedikit bosan duduk berhadapan dengan sang juragan. Monster berwajah rata yang hanya diberkahi satu mulut itu lantas mencoba berbasa-basi, mencairkan suasana.

"Ah iya, Juragan. Saya dengar Tuan Bhalendra juga sedang menuju ke lantai tiga, apakah itu benar?" Tasawala memecah keheningan dengan gaya bicaranya yang jenaka.

Tuan Afu mengalihkan sejenak sorot mata elangnya kepada Tasawala, sebelum berakhir kembali melanjutkan fokus kepada pekerjaan. "Lalu?"

Tasawala terbatuk-batuk. "J-juragan, bukankah seharusnya dia meminta izin terlebih dahulu kepadamu sebelum lintas lantai. Tentu saja Juragan harus peduli, lantai tiga dan seisinya adalah tanggung jawab anda sebagai Gonastabala Proletarian yang terhormat."

Masih dengan posisi duduk, Tuan Afu menyilangkan kedua kaki kokohnya sembari meletakkan kedua tangan di atas lutut. Sorot mata Sang Gonastabala masih menatap Tasawala yang hanya mengenakan seragam pelayan—dilengkapi rompi batik coklat. "Anak itu sudah mendapatkan stempel elevator kegelapan dari Nyonya Diajeng untuk sehari, terlebih lagi dia telah mengirimkan surat permohonan kepadaku walau tidak secara langsung. Jelas dia berhak menggunakannya."

Tasawala mengangguk paham. Jelas dia tidak bisa lagi berargumen jika sudah menyangkut keputusan Nyonya Diajeng—Gonastabala Cendekiawan—gubernur lantai dua, posisi wanita itu jauh lebih tinggi di atas Tuan Afu.

Walapun Tasawala tidak diberkahi mata ataupun hidung, dia masih bisa melihat dan mencium seperti monster pada umumnya melalui satu mulut yang terpampang pada wajah. Terbukti, bagaimana laki-laki berwajah rata itu tetap bertahan melayani Tuan Afu selama ratusan tahun belakangan bersama kedua saudara kembarnya, Hanaca dan Rakada. Hebatnya mereka sangat kompeten dan peka dalam melaksanakan tugas yang diberikan.

Hanaca, Rakada dan Tasawala memegang sumpah setia untuk melayani Tuan Afu sebagai juragan mereka hingga akhir hayat. Bahkan sekarang, Tasawala si bungsu yang jenaka menemani sang juragan dalam melakukan pemantauan pada sistem perekonomian di penjuru lantai tiga.

Hinlanda sangat menjunjung tinggi bidang perdagangan, itu sebabnya perekonomian selalu mengalir baik. Menurut sebagian masyarakat, profesi wirausahawan atau bisa disebut pedagang merupakan pekerjaan yang dinilai terhormat dibandingkan bidang lain.

Belum sempat berpikir lebih jauh, kereta kuda yang tengah mereka tumpangi berhenti mendadak hingga menimbulkan guncangan kecil pada kedua kursi penumpang. Sontak saja membuat Tasawala terjatuh dari duduknya hingga mencium lantai kereta, untung saja Tuan Afu cukup sigap sehingga mampu mempertahankan posisi dengan menggenggam sandaran kursi.

Semua terjadi dalam sekejap, bahkan membuat kertas-kertas terbang terjatuh kaku di lantai karena mendapatkan sinyal guncangan.

Tuan Afu menoleh datar sebelum berakhir membuka suara, "Sepertinya kusir terlalu banyak memberikan daging anak-anak kepada kuda tengkorak sehingga membuatnya mabuk."

"Kusir! Apa yang terjadi? Kau ingin membunuh Tuan Afu dan pelayan setianya yang menggemaskan ini, hah?" Tasawala bangkit dari posisi mencium lantai, ia meringis nyeri seraya berdumel kesal. Dia pun segera membuka jendela kecil—penghubung antar ruang penumpang dengan tempat kusir.

Si kusir nyaris terjungkal kaget mendapati pekikkan Tasawala yang berada tepat di belakangnya, mengingat jendela penghubung itu selalu berada di belakang pengemudi. "Maaf. Sepertinya kita terjebak macet, hampir saja saya menabrak segerombolan anak monster di depan sana."

Tasawala menaikkan sisi kiri alisnya, memandangi situasi sekitar dari jendela kecil yang sama. Dia terdiam sejenak, kereta kuda yang semula terbang rupanya tanpa mereka sadari sudah berada di jalur darat, sehingga sangat memungkinkan terjadinya kemacetan karena aktivitas penduduk. "Kau benar juga, tumben? Apa biasanya lantai tiga selalu macet di jalur darat? Kenapa tidak kembali terbang saja? Aku baru sadar, kedua kakakku itu tergolong sabar menunggu di antara kemacetan ketika sedang bertugas menemani Juragan."

"Sebenarnya aku merasa kedua saudara kembarmu jauh lebih baik ketimbang dirimu, Mas Tanpa Alis," timpal Pak Kusir dengan entengnya.

"Kau rupanya mau berdebat denganku ya?" Tasawala berucap kesal. Ah satu lagi, dia memiliki alis, walaupun tipis—nyaris tak terlihat—berbeda dengan kedua saudara kembarnya yang alisnya lumayan tampak. "Alisku—"

"Kusir." Tuan Afu yang semula terdiam lantas membuka suara hingga membuat Tasawala dan si kusir menoleh secara bersamaan ke sang juragan.

"Iya, Juragan?"

"Kira-kira apa penyebab kemacetan di jalur darat? Apa sedang ada perayaan?" Tuan Afu berujar tenang seraya duduk manis di atas kursi empuknya.

"Saya rasa karena mereka sedang menonton tarian di ujung pasar, Juragan." Kusir menjawab yakin, tebakkannya tidak mungkin salah mengingat terdapat suara gamelan dan nyanyian merdu di tengah kerumunan.

"Tarian? Tarian apa?" Tasawala menyahut.

Kusir berdehem. "Jika dilihat-lihat, sepertinya Tari Kipas."

Tasawala mendengkus kesal. "Mem-bo-san-kan! Segera cari jalur lain ketika macet mulai mereda. Jika begini terus, aku akan menggigit kursi demi menahan rasa bosan," ujarnya sebelum menutup rapat jendela penghubung. Dan yang benar saja, dia benar-benar menggigit kursi.

Tuan Afu hanya menggeleng pasrah mendapati tingkah pelayan setianya. Dia pun menoleh memperhatikan kerumunan dari balik jendela yang semula tertutup oleh tirai. Hal pertama yang terlihat yakni kesibukkan para monster di antara kegelapan dan temaramnya cahaya lampu. Berbagai transaksi pasar dan aktivitas lainnya berkumpul menjadi satu di tempat ini.

Hanya saja takdir mencoba mempertemukan mereka, mata Tuan Afu terpaku pada sesosok gadis di balik keramaian. Anak perempuan misterius dengan rambut hitam legam yang tertiup oleh semilir angin ilusi. Meskipun Hinlanda merupakan tempat tertutup, angin tetap bisa dinikmati melalui ilmu gelap para petinggi kelas sehingga setiap unsur alam tetap terjaga, kecuali cahaya matahari.

Gadis itu menari dan bernyanyi di antara keramaian dengan mengibaskan kipas hitam bermotif bunga. Suara merdu ditambah gerakan anggunnya, mengiringi irama gamelan. Walaupun hanya mengenakan kebaya lusuh disertai sayup-sayup gemuruh penonton dan hembusan angin ilusi yang entah datang dari mana, membuatnya seakan-akan memiliki kekuatan tersembunyi. Tuan Afu menyaksikannya dalam diam—menghiraukan sejenak ocehan Tasawala tentang kemacetan.

Usut punya usut, penari itu rupanya sedang menjajakan kemasan daging. Dia cukup cerdik dengan memberikan pertunjukkan tarian maka barang dagangannya bisa laku keras, terbukti sudah tak terhitung jumlahnya berbagai kalangan monster membeli produknya hanya demi untuk melihatnya menari.

Tiba-tiba mata mereka saling bertemu, disambut hempasan angin serta jarak sejauh lima ratus meter, sang gadis menatap dalam diam iris merah Tuan Afu yang bersembunyi di balik jendela kereta. Di saat yang bersamaan, kereta kuda Tuan Afu telah beranjak pergi. Macet di jalur darat sedikit mereda, semua terjadi dalam seperkian detik dan hilang begitu saja dimakan oleh waktu.

***

Kencana tersenyum sumringah. Entah mimpi apa dia semalam, dalam sehari ia mampu memperoleh ratusan ribu Uangkorak hanya dengan mempertunjukkan Tarian Kipas. Daging kemasan milik Restoran Garjita pun laku keras, sungguh beruntung dirinya.

"Totalnya seratus ribu Uangkorak," ucap Penjual Welthok sedikit keras kepada Kencana, sehingga lamunannya pun terbuyarkan begitu saja. Monster hijau bertubuh tambun berusaha mengambil karung bayangan milik Kencana lalu memasukkan beberapa makhluk kerdil tanpa tempurung kepala ke dalamnya. "Ini pesananmu. Berikan Uangkoraknya, saya tidak menerima tawar-menawar!"

Kencana terkekeh kecil sebelum memberikan sekantung besar berisi Uangkorak kepada si penjual. "Ah, tidak perlu marah, Pak. Jika begini terus, tubuhmu akan meledak," ujarnya tidak kalah sarkas sembari mengecek kelengkapan Welthok yang dipesan.

"Bocah sepertimu selalu mengutang barang sembako, bagaimana bisa aku percaya—" Penjual Welthok terdiam setelah menghitung jumlah keseluruhan Uangkorak yang diberikan Kencana. "Kau habis mencuri ya?"

Kencana menghela napas sejenak seraya mengetuk-ngetuk meja kaca berbahan dasar tulang merah dengan kuku jemarinya yang lentik. "Jadi, kau tidak mau menerimanya?"

"Oh, tidak-tidak! Jangan tersinggung gadis manis. Aku hanya memujimu, lain kali datanglah lagi. Kau ternyata hebat juga ya, mampu memberikan Uangkorak yang pas." Dalam sekejap penjual itu menunjukkan sisi ramahnya kepada Kencana. "Oh iya, kau sudah mendengar kabar terbaru yang diberitakan surat kabar?"

"Tidak, lebih tepatnya aku tidak peduli." Kencana tersenyum kecil seraya menopang karung bayangan berisi belasan Welthok. Untung saja para makhluk kerdil itu sedang tertidur, jika tidak akan sangat susah membawanya.

"Kau harus mendengarkan ini, Gonastabala Proletarian besok pagi akan mampir ke Restoran Garjita. Tuan Afu rupanya tidak sabar mencicipi makanan yang disajikan majikanmu, anak muda."

Kencana mengibaskan poni rambutnya yang sedari tadi menutupi mata. "Aku tahu. Makanya sekarang majikan gendut itu menyuruhku membeli Para Welthok di tokomu."

"Kau bercanda? Ini suatu kehormatan tokoku ikut andil dalam menyiapkan makanan untuk Tuan Afu yang terhormat," ujarnya gembira nyaris melompat girang.

"Ya, tapi hanya di balik layar." Kencana mengatakannya secara blak-blakan sebelum melenggang pergi.

"Hey, kau tidak mau membawa seember air, huh?" pekik penjual Welthok kepada Kencana. "Kau tahu, anak muda? Jika para Welthok bangun di tengah jalan dan menyemburkan api, sementara kau tidak membawa air ... hmm apa yang akan terjadi nanti?"

Kencana menepuk jidatnya sendiri, bagaimana bisa dia melupakan benda sepenting itu. Jelas dia tahu, para Welthok jika terbangun akan menyemburkan api, syukur-syukur semburannya hanya air atau udang yang membusuk. Bagaimana jika api? Lalu menghanguskan seluruh fasilitas lantai tiga. Oh, Kencana tidak bisa membayangkannya. "Kau benar. Aku akan mengambilnya."

Setelah mengambil seember air, Kencana bergegas melanjutkan perjalanannya kembali ke Restoran Garjita. Menepis sejenak rasa berat akibat menenteng air hingga membawa karung bayangan berisi belasan Welthok, Kencana pun sedikit tertatih-tatih di saat menyusuri trotoar. Ada kalanya terbesit di benaknya untuk menaiki becak terbang agar kakinya tidak keropos karena kelelahan. Namun ia perlu menghemat Uangkorak untuk diberikan kepada majikannya.

Sayup-sayup keramaian pusat lantai tiga terdengar di antara semilir angin ilusi, temaram cahaya lampu membuat suasana tenang dan nyaman bagi Kencana. Menghirup udara bebas seperti ini sudah membuatnya senang. Hanya saja ketenangan itu terhancurkan setelah kedatangan rombongan kereta kuda jauh di depan mata.

"Tamu dari lantai atas rupanya?" Kencana menaikkan sisi kiri alisnya, membaca situasi yang sedang terjadi. Kira-kira sekitar tiga kereta kuda terparkir secara sembarangan di tengah jalan. Bersamaan dengan itu, sekumpulan monster wanita membawa papan nama—berdiri berjejer—hendak mengerumuni seseorang yang saat ini masih berada di dalam kereta. Untung saja beberapa monster bertubuh besar—mengenakan jubah hitam—segera keluar dari kereta bagian belakang, mencoba mencegah massa untuk tidak bertindak lebih jauh.

"Astaga si tampan akan datang! Aku sering melihatnya di surat kabar. Andai saja dia menjadi Gonastabala juga."

"Aku akan pingsan sekarang, semoga aku pingsan di tangannya."

"Tuan! Aku siap jadi istrimu!"

Kencana nyaris muntah mendengarnya. Pekikkan para wanita di seberang sana membuatnya merinding. Bisa-bisanya mereka mengatakan hal yang menjijikkan di tempat umum. "Lupakan Kencana, segera pergi dari sini agar telingamu terselamatkan."

Teriakan para wanita terdengar semakin tak terkendali setelah kaki kokoh berlapiskan sepatu boots hitam mulai menampakkan diri, memperlihatkan seorang pria bertubuh tegap—berpakaian rapi bercirikan khas Meneer Belanda—bernuansa maskulin melangkah keluar dari kereta super mewah. Dia mengenakan topi Caping berenda hitam sehingga memberikannya kesan misterius.

Pria itu menyeringai kecil di balik caping sebelum membuka dan melemparkannya ke para penggemar. Rambut merah tuanya tertiup semilir angin ilusi, sorot mata coklatnya tajam—menghipnotis seluruh wanita dalam waktu singkat. Kini mereka semua nyaris memekik girang, ada beberapa di antaranya memperebutkan topi sang idola.

"Aku tahu kalian sangat mencintaiku. Jelas karena aku tampan dan berbakat. Aku Bhalendra, monster terhormat lantai dua hanya berkunjung sebentar. Kalian tidak perlu merusak pemandanganku di sini, hmm. Bukankah begitu cantik? Sekarang pergilah." Setelah mengatakannya, Bhalendra pun memberikan kedipan mata—tidak berlebihan—sehingga membuat semua gadis di tempat itu terhuyung pingsan memandangi pesona kharismanya.

"Gila." Kencana bergumam sebelum berpapasan dengan Bhalendra yang sedari tadi berdiri di tengah jalan. Sialnya, salah satu Welthok di dalam karung terbangun lalu menyemburkan udang busuk tepat ke mantel coklat Bhalendra.

Bhalendra yang sadar bahwa ada yang tidak beres sontak melirik bajunya. Rahangnya yang kokoh seketika itu juga menegang—menahan gejolak emosi—mendapati mantel mahal miliknya kotor karena udang busuk penuh lendir, untung saja emosinya cukup stabil sehingga ia masih menunjukkan senyuman khasnya. "Wah-wah ... coba lihat, gadis lusuh mana yang mencoba mengotori baju mahal aktor sekaligus pedagang tersukses lantai dua?" Dia terkekeh sinis. "Kau tahu berapa harganya ini, hmm?"

Kencana yang tidak sadar apa yang sedang terjadi lantas menoleh mendapati Welthok-nya baru saja memuntahkan udang ke baju orang asing. Belum sempat berkata lebih lanjut, salah satu monster kepercayaan Bhalendra bergegas muncul menengahi masalah. "Tuan, gadis ini biar saya saja yang urus, anda fokus saja kepada tugas di lantai tiga—"

Bhalendra mengangkat rendah tangan kanannya yang dilapisi sarung hitam ke udara, menandakan bahwa kalimatnya tidak mau dipotong. Lantas dia mengeluarkan cerutu kayu dari dalam saku, bersamaan dengan itu rambut merahnya mengeluarkan api—membentuk surai-surai bara. Kencana menyaksikannya dengan mata dan kepalanya sendiri, mengingat kini mereka sedang berhadapan di jarak yang cukup dekat.

Dengan gerakan santai, Bhalendra meletakkan ujung cerutu pada api ciptaannya. Dia menghisap cerutu lalu membuang asap ke wajah Kencana, menimbulkan aroma tembakau yang khas. "Bayanaka, katakan kepadanya berapa harga mantelku yang harus ia ganti."

Tiba-tiba cerutu milik Bhalendra hidup dengan sendirinya bahkan memunculkan relief mulut yang semula tidak pernah ada. "Satu juta Uangkorak, Bhalendra," jawab cerutu ajaib itu terang-terangan.

Bhalendra tersenyum. "Dengar apa yang Catraku katakan? Satu Juta Uangkorak. Kau mampu? Tunggu, kau tidak mengerti apa itu Catra?" Dia bersedekap dada seraya menyeringai. "Catra adalah benda ajaib yang akan menemani setiap monster kelas Ningrat dan Cendekiawan. Tentu saja, Bayanaka adalah Catra berkualitas terbaik berbeda denganmu yang tidak memiliki apa-apa."

Kencana tidak menjawab, ia terdiam memandangi rambut Bhalendra, fokusnya hanya terpaku pada api yang berkobar di atas sana.

"Heh, kau dengar?" Bhalendra mengibaskan tangannya di depan wajah Kencana. "Rupanya telingamu tu—"

Belum sempat melanjutkan kalimat angkuhnya, Kencana pun spontan melemparkan seember air yang ia bawa tepat ke rambut Bhalendra. Sontak saja membuatnya basah kuyub, bahkan api yang semula berkobar seketika itu juga padam tak tersisa. Semua anak buah Bhalendra terkejut bukan kepalang. Beberapa di antaranya ada yang menggigit jari—ketakutan.

"A-apa yang kau lakukan?!" Bhalendra nyaris murka, untung saja lima menit yang lalu ia telah mengusir habis para penggemarnya sebelum peristiwa memalukan ini terjadi. Kalau tidak apa yang mereka pikirkan jika mendapati sisi angkuhnya seperti sekarang.

"Rambutmu terbakar." Kencana menjawabnya dengan tenang lalu kembali menenteng karung berisi para Welthok. "Berterimakasihlah kepadaku."

Belum sempat melenggang pergi, Bhalendra pun mencengkram kuat lengan Kencana hingga membuatnya sedikit tersentak. Dia menyeringai sadis. "Siapa namamu?"

"Kenapa anda mau tahu? Tuan naksir kepadaku?" Kencana tersenyum menantang memandangi wajah Bhalendra dari jarak yang cukup dekat.

Menurut Kencana, wajah Bhalendra bisa dikategorikan pribumi—monster nusantara pada umumnya—hanya saja dia memiliki kecenderungan pada wajah yang serupa dengan monster kompeni. Terbesit di pikirannya bahwa Bhalendra adalah monster berdarah campuran. Mungkin karena faktor ini, wajahnya bisa dibilang enak dipandang.

"Kau tidak tahu siapa aku?" Bhalendra kembali menyerangnya dengan pertanyaan lain, dia tampak tenang walaupun sedikit menyeramkan.

Kencana menghela napas sejenak. "Tidak, lebih tepatnya tidak peduli."

Masih mencengkram kuat lengan Kencana, Bhalendra pun tertawa, seiring waktu terdengar sedikit menggila. "Lihat semuanya! Dia tidak tahu siapa pria yang berada di hadapannya!" ucapnya angkuh. "Aku Bhalendra ... Bhalendra Banaspati. Aktor besar di panggung sandiwara sekaligus pedagang tersukses yang saat ini menjabat sebagai tangan kanan Gonastabala lantai dua—Nyonya Diajeng—kau tahu? Welthok yang kau bawa itu adalah hasil dari pabrik ciptaanku. Sekarang bocah bodoh sepertimu mengenalku bukan? Bertekuk lututlah dan cium kakiku."

Kencana terdiam cukup lama. Dia tahu siapa sosok Banaspati, sejauh buku yang pernah ia baca monster ini tergolong berada di tingkatan teratas dengan ilmu hitam yang besar. Monster api yang haus akan ambisi dan ketenaran. Sekarang pria di hadapannya ini adalah bagian dari makhluk beringas yang selalu diagungkannya di dalam buku. "Tadi anda bilang namamu siapa?"

"Bhalendra Banaspati."

"Oh, aku pernah dengar ... Bhalendra putranya penjual toko Welthok langgananku ya. Senang bertemu denganmu, tapi aku harus pergi. Ah, waktuku terbuang sia-sia rupanya." Kencana tersenyum sekilas kepada Bhalendra sebelum sesosok wanita gemuk berkepala segitiga—Mbok Inem—berlari memanggilnya dari kejauhan.

"Kencana! Apa yang kau lakukan? Nyonya Garjita sudah menunggu. Ayo kau akan terlambat!" Setelah mata mereka bertemu, Mbok Inem pun berhenti berlari—mengambil napas sejenak. Pekikkan Mbok Inem sontak membuat fokus Bhalendra juga turut tertuju kepada sumber suara. Dia terkekeh sebelum beralih kembali menatap lekat ke dalam pupil coklat milik Kencana.

Kencana memandangi Mbok Inem dengan perasaan senang. "Iya, Mbok! Kencana akan ke sana—"

"Kencana, hmm? Namamu sangat indah. Memiliki arti yang berarti emas, para monster kompeni menyebut emas dengan 'Guoden'. Hanya saja dirimu tidak terlihat seperti emas. Bukankah begitu, Guoden?" Bhalendra tersenyum di tengah tubuhnya yang basah kuyub lalu melepaskan cengkramannya dari Kencana. "Pergilah."

Kencana melirik Bhalendra sekilas lalu berlari menyusuli Mbok Inem yang sudah menunggu di depan sana. Setelah siluet kedua monster itu menghilang. Bayanaka yang sedari tadi terdiam, lantas tertawa tanpa penyebab yang jelas. "Dia sangat cerdik dan berani. Kau harus berhati-hati terhadap monster sepertinya jika dia berada di posisi sederajat denganmu."

Bhalendra mendorong rambut merahnya yang basah ke belakang dengan satu tangan lalu dalam sekejap api kecil kembali bermunculan di atasnya. Dia menyeringai kecil seraya menghisap Cerutu Bayanaka lalu membuang asapnya ke udara. "Hmm? Akan kupastikan nyawanya terancam jika itu terjadi. Aku Bhalendra Banaspati, selalu berada di peringkat tertinggi dan tak akan pernah terkalahkan."

***

Kencana melemparkan tubuhnya ke atas ranjang. Ia cukup lelah seharian ini. Berbagai peristiwa aneh secara beruntun menyambutnya di waktu yang bersamaan. Kencana menatap langit-langit kamar yang berkarat. Ingatan yang paling membekas adalah Catra yang dimiliki oleh pria berambut api. Dia baru sadar benda yang bisa berbicara kerap kali dijadikan pendamping khusus untuk menemani monster kelas atas seperti mereka.

Menurutnya ini sangat keren. Sudah tak terhitung jumlahnya Kencana membaca buku mengenai aneka macam ilmu hitam bahkan makhluk-makhluk Hinlanda, sepertinya ia perlu mendalami literasinya lagi agar tidak tertinggal dalam memperoleh pengetahuan.

"Andai saja aku juga memiliki Catra. Sepertinya akan menyenangkan—"

"Nimisi."

Kencana beranjak bangun dari ranjang. Dia menoleh, mencari sumber suara. "Aku tadi mendengar sesuatu—"

"Nimisi."

Kencana beranjak berdiri. Kini dia benar-benar yakin bahwa telinganya masih berfungsi dengan baik. "Apa mungkin hantu?"

"Nimisi."

Kencana menoleh, fokusnya tertuju kepada kipas yang sedari tadi disimpannya di dalam kotak. Lantas dengan perlahan dia pun membukanya, betapa terkejutnya Kencana ketika mendapati kipas pemberian wanita tua misterius sudah berdiri dengan sendirinya. Bahkan relief mulut yang semula tidak ada, muncul secara ajaib di bagian tengah. Ini benar-benar mustahil!

"Nimisi." Sekali lagi kipas itu berbicara, dia memandangi Kencana cukup lama.

"K-kau bisa berbicara juga?" Senyuman Kencana tersungging menghiasi wajahnya yang menawan. Dia pun secara spontan memeluknya penuh harap.

"Heh nona muda, kau benar-benar ingin membuatku kehabisan napas ya?! Hentikan sekarang juga, Nimisi." Kipas itu meronta-ronta dalam dekapan Kencana. "Bisa-bisanya kau meletakkanku di dalam kotak berdebu, Nimisi?"

Kencana melepaskan pelukannya. "Ah, maaf. Aku tidak tahu bahwa kamu hidup."

Kipas itu melompat-lompat marah. Seperti gadis kecil yang sedang merengek meminta permen. "Kau benar-benar naif. Belajarlah dariku jika ingin lebih kuat, Nimisi."

"Nimisi?" Kencana mengernyitkan dahi tidak mengerti.

"Heeh, itu nama dan logatku, kau harus membiasakan diri kedepannya. Gadis sepertimu akan menjadi majikanku, bukan? Maka belajarlah menjadi kuat dan anggun, Nimisi."

Kencana tampak berbinar, dia cukup antusias mendengarkan ocehan dari kipas ajaibnya. "Oh! Kau pasti sejenis Catra, sama seperti cerutu bijak yang dimiliki pria berambut api tadi."

Nimisi tersenyum. "Tepat sekali, tapi jangan samakan diriku dengan Bayanaka yang bodoh. Cerutu itu sama seperti Tuannya, sama-sama memiliki wajah beraneka ragam, Nimisi."

"Hmm ... kau mengenal mereka rupanya." Kencana menopang dagu di atas ranjang, mendengarkan kipas ajaibnya berbicara.

"Jelas aku tahu, karena kita terlahir di pabrik yang sama. Catra diciptakan oleh pabrik utama yang dikelola langsung oleh Tuan Belze—Gonastabala Ningrat—lantai satu. Tentu saja aku mengetahuinya, Nimisi. Ditambah kejadian tadi siang, tentu saja membuatku sadar bahwa Catra diciptakan sesuai dengan kepribadian pemiliknya. Tapi mengapa aku bisa menjadi Catra gadis pendiam sepertimu ya, Nimisi?"

Kencana bersedekap dada, berusaha mencerna semua peristiwa yang baru saja didengarnya. "Sepertinya ini termasuk jalan dari garis takdir?"

"Bodoh! Takdir itu tidak ada. Hinlanda tidak mempercayai hal mitos untuk bertahan hidup, Nimisi."

"Baiklah, lalu mengapa sedari pagi kau tidak menunjukkan jati dirimu kepadaku? Apakah kau malu?" Kencana berusaha menggoda Nimisi dengan kalimat recehnya.

"Kau gila? Catra hanya diperuntukan kepada warga lantai satu dan dua. Apa kata orang jika gadis sepertimu menyimpam kipas ajaib yang bisa berbicara? Cukup hanya menemanimu menari di tengah keramaian, ya kuakui tarianmu sangat anggun. Tidak perlu besar kepala, Nimisi."

Kencana kembali berbaring di atas ranjang. Lantas ia pun menatap langit-langit kamarnya sekali lagi. "Kau benar, aku hanya monster cacat yang tersembunyi keberadaannya di dalam tembok besi restoran kecil lantai tiga."

Nimisi terdiam cukup lama. Rupanya ia sudah tidak lagi mengoceh. "Namamu Kencana, bukan? Kau majikanku sekarang, tentu saja aku akan mengabdikan seluruh hidupku untukmu. Aku juga bisa merasakan suasana hatimu karena saat ini kita saling terhubung. Tapi kau harus rutin memberiku bunga untuk dimakan ya, Nimisi."

Kencana beranjak bangun kembali. "Tuan Belze rupanya bisa menciptakan barang-barang seperti ini di dunia nyata. Beliau benar-benar hebat. Kau juga bisa makan toh?"

"Jangan bodoh, tentu saja bisa. Setiap Catra memiliki kebutuhan pangan yang berbeda, aku mengonsumsi aneka macam bunga sementara Catra seperti Bayanaka cenderung menggunakan api sebagai sumber kekuatan. Setiap jenis Catra memiliki kepentingan dan bahan bakarnya sendiri, Nimisi."

Kencana mengangguk setuju. "Ah, paham. Kini aku sudah mendapatkan banyak ilmu darimu. Oh satu lagi!"

"Apa lagi, Nimisi?"

"Berarti kamu mengenal nenek tua yang membawamu kepadaku ya?" Kencana menopang dagu seraya memikirkan wujud wanita misterius di dalam benaknya.

"Bukankah aku sudah dengan sendirinya berada di dalam kotak berdebu milikmu ya, Nimisi?"

"Hah? Tidak, sebelum itu ada seseorang yang memberikanmu kepadaku." Kencana berusaha memutar ulang kejadian yang terjadi tadi pagi.

Nimisi terkekeh kecil. "Jangan bercanda, Kencana. Aku tidak mengingat apapun sebelum kau menggunakanku untuk menari. Sudah, tidurlah. Besok kamu akan sibuk, bukan? Untuk kedepannya, aku akan sering tertidur agar tidak menimbulkan kecurigaan. Kecuali seseorang dengan jabatan tinggi dari kelas atas bersedia mengadopsimu, Nimisi," ucapnya sebelum benar-benar tertidur seperti benda mati pada umumnya.

Kencana terdiam cukup lama, pikirannya menerawang dalam keheningan. "Jika dia tidak tahu, lalu siapa wanita tua itu?"

~•■•~
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

°°°

Selamat! Dua kartu karakter terbaru Hinlanda Gate sudah terbuka! Silakan dicek!

°°°

Afu Suanggi ●
Original Card

__________________

Leader: 80%
Inteligence: 30%
Black Magic: 76%
Fame: 76%
Personality: Quite, Mature
Position: Gonastabala Proletarian (Third Floor)
Floor: Second (Cendekiawan)
Catra: (Masih Misterius)

_____________________________

Bhalendra Banaspati ●
Original Card

__________________

Leader: 30%
Inteligence: 89%
Black Magic: 7o%
Fame: 90%
Personality: Confident, Imperious, Crafty
Position: Gonastabala Cendekiawan's Right Hand.
Floor: Second (Cendekiawan)
Catra: Bayanaka (Cerutu Kayu)

___________________________

.
.
.
.
.

Clinnnggg! Kamus Hitam Hinlanda Muncul Pada Layar Pemain! Silakan Dicek.

~•••~

K A M U S H I T A M

Suanggi: Marga Tuan Afu. Yang dirumorkan selalu menempati Kursi Gonastabala Proletarian. Fun fact-nya di luar novel, Suanggi adalah sebutan pada makhluk gaib di dataran Papua dan pulau-pulau sekitarnya. Digambarkan bermata merah dan berbulu hitam. Tubuhnya serba hitam dan mengerikan. Memiliki kekuatan magis karena dirumorkan bahwa Suanggi mirip seperti Leak (Makhluk dari Bali) yang terjadi karena ilmu hitam yang tinggi atau sebuah kutukan turunan sehingga merubah wujud menjadi monster.

Banaspati: Marga Bhalendra. Banaspati dikatakan sebagai monster api. Fun fact-nya, makhluk ini sering berada di hutan malam hari dan berwujud seperti bola api yang melayang ada juga yang berbentuk kepala api. Rumor mengatakan bahwa Banaspati diakibatkan karena ilmu hitam yang tinggi sehingga mampu merubah wujud menjadi monster.

Beskap: Baju adat Jawa untuk pria.

Blangkon: Topi adat Jawa untuk pria.

Catra: Benda-benda ajaib bisa berbicara yang selalu menemani para monster elit di Wilayah Ningrat dan Cendekiawan.

~•••~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top