Gäte 1. Karung Bayangan


~•■•~

"Kamu jelek! Kamu busuk! Waktu sudah berganti, bau!"

HARI baru menyambut, disertai pekikkan puluhan topeng seram pada dinding kayu milik Restoran Garjita. Tampak sarkas, sekumpulan benda aneh itu berteriak sendiri menjadi alarm penanda bahwa pagi telah tiba. Ini sangat normal, mengingat Hinlanda—tempat para monster tinggal—tidak pernah disinari oleh cahaya, sehingga penduduk cenderung menggunakan topeng sebagai penunjuk waktu.

Setiap rumah memiliki dua puluh empat topeng yang digantung dengan bentuk dan warna berbeda, masing-masing berbunyi setelah waktu berganti. Terkecuali ketika pukul enam pagi dan tengah malam, dua puluh empat topeng bisa memekik secara bersamaan serta mata merah menyala hingga membuat monster tertentu nyaris terkena serangan jantung.

Lupakan sejenak, mari lihat apa yang terjadi kepada para pekerja berwujud seram di Restoran Garjita. Semua koki dan pelayan berduyun-duyun panik keluar dari kamar menuju ruang utama untuk membersihkan meja-meja tamu. Bahkan salah satu dari mereka lupa memakai sepatu karena takut terlambat. Ada juga yang terjatuh berguling menabrak kursi, mengingat Hinlanda tidak pernah diterangi oleh cahaya.

Tuan dan Nyonya Garjita menuruni tangga menuju ruang utama. Rupanya, kedua monster bertubuh gempal—pemilik restoran—ingin mengecek kesiapan para pekerjanya, sebelum restoran dibuka. Seperti biasa, kenyamanan tamu adalah prioritas agar mendapatkan uangkorak—mata uang Hinlanda—yang jauh lebih banyak. Sungguh materialistik. Sepadan dengan jumlah uangkorak yang dikumpulkan, Tuan Garjita mengenakan jas putih khas Meener Kompeni. Sementara si Nyonya tampil dengan kebaya abu-abu modis. Walaupun mereka berdua cukup aneh dengan tubuh besar nan mengerikan.

Nyonya Garjita mengambil napas sejenak sebelum memekik kencang, "Beeeeerbariiiis!" Suaranya meledak hebat nyaris memecahkan setiap kaca, semua pekerja menutup telinga rapat-rapat seraya membentuk dua barisan horizontal—saling menghadap—di sisi kanan dan kiri jalur tangga yang akan dilewati oleh sepasang suami istri Garjita.

Tuan Garjita memang tipikal monster yang tak banyak bicara namun cukup rakus, paling tidak dia jauh lebih baik dari pada istrinya yang hobi berteriak dan menghabiskan uangkorak untuk berbelanja. Semua koki dan pelayan menunduk—tak berani menatap juragan mereka. Nyonya Garjita melewati anak buahnya, menghitung jumlah keseluruhan yang hadir.

"Sembilan, sepuluh, sebelas, dua belas, tiga be—di mana pelayan ketiga belas?" Nyonya Garjita bergumam kesal disertai dengkusan. "Siapa anak ketiga belas yang telat bangun? Cepat katakan!" Sekali lagi Nyonya Garjita memekik kencang, hampir saja membuat piring—piring berwajah seram terjatuh dari lemari.

Salah satu pelayan memberanikan diri menjawab, "A-anu ... anu ... itu ... K-Kencana masih belum hadir, Juragan."

Nyonya Garjita menoleh garang ke si pembicara. "Monster cacat itu lagi rupanya," ucapnya kesal dengan gemertak gigi. "Keeeennnncaaanaaa!"

Pekikkan Nyonya Garjita terdengar menggelegar hingga menembus kamar Kencana yang dilapisi dinding logam, gadis muda berambut hitam legam itu membuka mata lebar-lebar, terbelalak saat mengetahui bahwa ia terlambat bangun. Lantas Kencana pun berlari keluar kemudian berbaris, bahkan ia tak sempat menyisir rambut ataupun mengganti baju.

"Kencana, hadir." Kencana mengucapkannya sembari memasang wajah datar, sedikit tenang dalam menghadapi masalah.

Nyonya Garjita menyorotinya penuh amarah. "Daging mentah atau matang?"

"Maaf, Juragan?" Kencana menaikkan sisi kiri alisnya tidak mengerti.

"Saya bilang, daging mentah atau mataaaang?!" bentaknya emosi.

"Daging mentah." Kencana menjawab asal-asalan.

Nyonya Garjita tersenyum sebelum berakhir menamparnya keras-keras. Sontak saja membuat si gadis terjatuh ke lantai bermotif papan catur hingga kepalanya terbentur. Semua pekerja di tempat itu sama sekali tidak peduli, mereka terdiam tak berani berkutik, kecuali Mbok Inem ... pelayan senior dengan kepala berbentuk segitiga yang sudah menganggap Kencana sebagai putrinya, hanya saja dia tidak bisa berbuat apa-apa jika Nyonya Garjita bertindak.

"Cih, monster cacat sama sekali tidak berguna. Daging matang merupakan jawaban yang benar, pelanggan menyukai makanan matang. Lain kali bangunlah lebih pagi dan basuh wajah kotormu itu, kembali fokus! Harusnya kamu beruntung ... kami mau menerimamu di tempat ini. Sejak dulu kau hanya monster buangan. Betapa menjijikannya."

"Maaf, Juragan. Daging mentah adalah jawaban yang tepat." Masih dengan posisi merangkak, Kencana menyahut. Tentunya membuat semua orang menganggapnya tidak waras.

"Apa?" Nyonya Garjita menoleh.

"Monster sejati hanya suka memakan sesamanya hidup-hidup—"

"Masih membantah hah?!" Nyonya Garjita menendang Kencana kuat-kuat, sadar bahwa emosinya kian memuncak, sang suami pun turut turun tangan.

"Sudahlah, biarkan saja. Untuk apa mengajari monster cacat seperti Kencana kedisiplinan? Lebih baik kau persiapkan saja menu makanan buat besok," sahut Tuan Garjita sambil menepuk bahu istrinya. "Dengarkan semuanya! Besok, restoran kita akan kedatangan tamu istimewa, Tuan Afu—seorang Gonastabala Ploretarian yang terhormat sekaligus warga lantai dua terkaya. Itu sebabnya persiapkan menu makanan istimewa, karena beliau telah memesan seluruh meja untuk para pekerjanya juga!"

Belasan pelayan dan koki saling berbisik, lebih tepatnya mereka terkagum-kagum. Tuan Afu memang dikenal sebagai monster paruh baya yang dermawan dan dingin. Mustahil makhluk penting seperti dia berkunjung ke restoran terpelosok seperti milik Keluarga Garjita, tempat para penduduk menengah bawah atau bisa dikatakan proletar berada.

Ya, walaupun status beliau adalah Gonastabala Proletarian—gubernur lantai tiga. Namun tetap tidak etis rasanya seorang monster dengan jabatan tinggi mampir untuk sekedar mencicipi masakan restoran kecil. Mengingat para gonastabala rata-rata tinggal di lantai dua, kecuali jam kerja, mereka akan melakukan pemantauan pada wilayahnya masing-masing. Sehingga mual memakan makanan kelas bawah.

Kencana beranjak bangun, berusaha mempertahankan keseimbangan tubuhnya, menepis sejenak memar pada daerah kening dan tangan. Luka merupakan tanda yang biasa ia peroleh selama tinggal di kediaman Garjita. Menurutnya itu sama sekali tidak sakit melainkan geli.

"Kalian paham?" tanya Tuan Garjita tegas.

"Paham!" seru mereka bersamaan.

"Bagus, sekarang bubur—maksud saya bubar. Buka pintu depan dan sambutlah para pelanggan. Jangan lupa siapkan kebutuhan untuk menyambut Tuan Afu besok." Tuan Garjita pun beralih pergi meninggalkan rapat kecil di pagi hari bersamaan dengan bubarnya para pekerja.

Kencana cukup acuh menyangkut situasi sekitar. Pikirannya hanya terfokus pada makanan yang tengah disembunyikannya di dalam saku, jelas dia tahu bahwa Tuan dan Nyonya Garjita tidak pernah memberikan sarapan ataupun baju seragam untuk para pekerjanya. Mereka berdua dinilai pelit dan rakus. Untung saja ia semalam berhasil mencurinya diam-diam dari dalam kulkas.

"Aku akan menyimpannya untuk nanti."

***

Nyonya Garjita terdiam di tempat, memandangi Kencana yang saat ini tengah disibukkan mengelap piring-piring berwajah seram. Kencana selalu tampil menawan walaupun hanya mengenakan kebaya putih lusuh. Sorot mata coklatnya tajam dan teduh. Wujudnya nyaris sempurna layaknya manusia normal—wujud monster idaman—gigi beruncing ataupun kelebihan khusus yang membedakannya. Mungkin ini sebabnya Nyonya Garjita membenci Kencana, mengingat beliau sangat memperhatikan standar kecantikan untuk dirinya sendiri.

"Kencana! Saya akan memberikan hukuman untukmu," tegas Nyonya Garjita kesal. Bersamaan dengan itu, koki bermata satu baru saja tiba seraya membawa lima puluh kemasan daging matang dalam karung tembus pandang berwujud bayangan pekat. "Jual semua kemasan daging ini untuk mempromosikan Restoran Garjita! Lalu sisihkan Uangkorak untuk membeli para Welthok di pasar, ingat! Besok kita membutuhkan banyak Welthok untuk memasak makanan buat Sang Gonastabala. Paham?"

Kencana terdiam beberapa saat. "T-tapi, bagaimana jika daging yang saya jual tidak laku, apakah saya tidak perlu membeli para Welthok?"

"Saya tidak mau tahu, itu urusan kamu. Kau harus membawa Welthok-Welthok dan menjual semua daging ini secara bersamaan. Saya tidak akan memberikan uangkorak sepeser pun. Jika gagal, maka malam ini tidak ada jatah makan untukmu, camkan itu Kencana!"

Nyonya Garjita terkenal medit—pelit. Monster gemuk ini memang mencintai Uangkorak hingga ingin mengunyahnya mentah-mentah. Sebenarnya sifat pelit merupakan hal yang lumrah dialami oleh pebisnis, terlebih lagi restoran Garjita mampu memberikan makanan yang enak. Pemasarannya juga bagus. Mungkin itu sebabnya banyak pelanggan yang mengantre, lihat saja belum lama restoran dibuka ... tamu pun sudah mengisi hampir semua meja yang tersedia. Di sisi lain, restoran Garjita sangat cantik dan berkelas untuk lingkungan kumuh nan sederhana seperti lantai tiga.

Kencana menghela napas kesal. "Dasar ikan buntel pelit," cicitnya sarkas. Sebelum pergi, ia mengambil ember berisi tumpukan debu kotor dan menumpahkannya ke rambut Nyonya Garjita ketika sedang berbalik. Bersamaan dengan itu, dinding pemakan debu membuka mulutnya yang tak bergigi lalu melahap kepala sang juragan.

"Aaaa apa yang terjadi?! Tolong! Tolong! Rambut palsu mahalku!" Nyonya Garjita memekik kaget, ketika dinding pembersih debu baru saja melahap kepalanya dari belakang. Teriakannya sontak membuat keributan di dalam restoran, para tamu pun menahan tawa sementara pelayan berusaha mengeluarkan sang juragan. Kencana terkikik pelan. Lantas ia pun mengambil karung bayangan berisi kemasan daging lalu beralih pergi dengan perasaan gembira.

Setelah melewati pintu, hal pertama yang dilihat Kencana yakni becak terbang berjalan cepat melewatinya, menyisakan asap hijau beraroma kaos kaki busuk di wajah, nyaris saja ia tertabrak. Terkadang bapak-bapak pembawa becak suka lupa jalur bahwa trotoar tidak boleh dilewati kendaraan apapun.

"Asap polusi! Demi rambut Nyonya Garjita, sungguh tidak tahu sopan santun!" Kencana berkata kesal seraya terbatuk-batuk menghirup asap hijau yang kerap kali keluar dari becak terbang ataupun kereta kuda melayang.

"Maaf Nona! Becak saya sedikit mabuk karena melihat kecantikan anda," seru pengemudi becak terbang sebelum melenggang pergi.

Kencana memutar bola matanya jengah. "Ternyata bukan bapak-bapak, tapi pria muda tukang gombal."

Dia pun mendengkus seraya menyusuri trotoar di kawasan lantai tiga. Kencana tidak memakai sepatu ataupun selop, sehingga dingin menembus kulit kakinya karena menginjak jalan yang terbuat dari besi dan logam. Kencana memanglah gadis muda yatim piatu, jika disamakan dengan manusia—para budak lantai empat—Kencana seharusnya berusia tujuh belas tahun. Namun untuk seukuran monster, dia berumur sekitar seratus tujuh puluh tahun mengingat para monster selalu tampil awet muda dan hidup abadi. Kecuali dimakan hidup-hidup oleh sesamanya atau dibunuh secara paksa dengan senjata khusus.

Meskipun Hinlanda lantai tiga dipenuhi kegelapan, pusat keramaian tetap terdengar mengusik dengan gemerlap lampu-lampu hias di sepanjang trotoar logam. Becak dan kereta berkuda tengkorak terbang melintasi jalan raya. Mengingat kawasan lantai tiga cukup luas dan tinggi, terbukti bagaimana tangga-tangga besi mengitari setiap kediaman penduduk berstruktur tradisional dan pertokoan yang tertata rapi membentuk tingkatan-tingkatan hingga mencapai langit-langit.

Kerap kali indera pendengarannya menangkap suara bising mesin yang diduga berasal dari bawah pijakan kaki. Tempat para budak tinggal, atau bisa disebut ... lantai empat. Wilayah penuh kesengsasaraan, sekumpulan manusia hidup di sana sebelum berakhir menjadi binatang ternak.

Hinlanda sendiri adalah sebuah tempat yang sudah dianggap negeri oleh para iblis, monster, ataupun manusia. Kegelapan selalu menyelimuti. Hinlanda terbagi ke dalam empat lantai yang juga mewakili kelas sosial. Lantai empat—tempat para manusia berdosa tinggal—dinilai sebagai kelas terbawah. Tentunya makhluk seperti mereka tak pernah diizinkan naik ke lantai atas. Lalu selanjutnya, lantai tiga—kawasan yang tengah dipijak oleh Kencana—kelas Proletarian, tempat monster-monster menengah bawah hidup.

Kencana tersenyum kecil di sela-sela pikirannya yang menjelajah. Gadis itu tampak bersusah payah menarik karung bayangan di pundaknya melewati pasar. Sesekali mendapati anak-anak tak berkepala bermain Gerobak Sodor di sekitar jalanan kumuh. Sementara orangtua mereka cukup sibuk berjualan daging di tiap tenda kecil, sesekali beradu argumen kepada pelanggan yang terlalu banyak menawar.

Setelah puas mengamati keadaan, Kencana mengadahkan kepalanya ke atas, terkesima sejenak memandangi atap logam—langit-langit pasar. Dia sadar, di balik sana terdapat kawasan elit, tempat para cendekiawan tinggal—lantai dua—monster berkelas tinggi berada.

Menurut buku yang selama ini ia baca, kelas dua terkenal elit dan serba berkecukupan. Para monster berlomba-lomba menjadi cendekiawan berotak brilian. Selanjutnya lantai satu ... wilayah iblis, mereka menamainya 'Lantai Ningrat'. Kelas satu digambarkan megah, indah, berkelas dan serba ada. Hanya saja, itu semua belum ada apa-apanya dibandingkan Gerbang Hinlanda—lantai teratas—puncak dari semuanya. Satu-satunya tempat yang tidak pernah diselimuti kegelapan. Pemimpin utama Hinlanda tinggal di sana ... Sang Cahaya.

Untuk menuju ke lantai bawah ataupun atas, monster harus menggunakan Elevator Kegelapan—lift antar lantai—dalam melintas. Transportasi itu dijaga ketat oleh penjaga khusus. Mengingat hanya Gonastabala dan makhluk tertentu yang boleh melintasi lantai. Bahkan Kencana, semasa hidupnya tidak pernah mengunjungi lantai bawah maupun atas. Melihatnya pun saja belum.

Kencana melangkah menghindari genangan kecil yang disebabkan oleh pedagang kaki lima. Rupanya mereka membuang beberapa sup otak sembarangan, untung saja setiap lantai memiliki saluran pembuangan air otomatis. Ditambah petugas kebersihan berkepala ular, tentunya membuat lingkungan kembali bersih.

Kencana melanjutkan perjalanannya hingga melewati sebuah kolam besar di pusat keramaian, terlihat menakjubkan disertai pilar-pilar penyangga. Sayangnya, warga Hinlanda lantai tiga menganggapnya kolam terkutuk, mengingat isinya dipenuhi air bercampur arang. Namun hanya di kolam ini cahaya bisa menembus masuk.

Ketika mengadahkan kepala ke atas, seseorang akan menemukan lubang sebesar kolam yang mengangga di langit-langit. Setiap monster bisa menyaksikan ratusan lantai bertingkat—kawasan kelas dua dan satu—yang berujung ke cahaya menyilaukan. Disimpulkan bahwa Kolam Arang adalah satu-satunya tempat yang mampu menghubungkan tingkatan kelas, hanya melihatnya dengan mata terlanjang. Selayaknya pusat dari Hinlanda.

Kolam Arang juga menjadi saksi atas pertemuan awal Mbok Inem dengan Kencana. Beliau menemukan gadis muda itu tenggelam dalam lumuran air bercampur arang kental. Untung saja, monster baik sepertinya menolong serta membawanya ke kediaman Keluarga Garjita. Ya, walaupun Kencana terbangun tanpa mengingat apa-apa, ia lupa ingatan, hanya nama sendiri yang dihapalnya.

Mereka menduga Kencana ditelantarkan oleh orangtuanya—penduduk lantai tiga, karena sangat mustahil Kencana dibuang dari lantai satu ataupun dua apalagi Gerbang Hinlanda, mengingat dia tidak memiliki keistimewaan apapun untuk menapakkan kaki ke atas sana.

"Aku kasihan dengan diriku sendiri, tak mempunyai keluarga ataupun teman." Kencana bergumam datar. "Tidak masalah, memangnya hubungan semacam itu penting?"

Kencana pun membuang napas panjang. Dia harus menjual habis daging dalam karung bayangan agar bisa membeli para Welthok—kompor berjalan—makhluk kerdil yang tidak memiliki tempurung kepala melainkan api panas. Hanya saja ia punya mata dan cukup nakal. Warga Hinlanda menggunakan mereka untuk memasak, sayangnya Welthok hanya dipakai sekali, jika digunakan lagi maka akan meledak. Biasanya Welthok lama bisa didaur ulang kembali oleh pabrik Keluarga Banaspati. Pabrik itu berada di lantai dua dan selalu di-import ke berbagai lantai melalui kurir tengkorak.

Kencana melirik situasi sekitar, dia pun memutuskan untuk menjual semua daging di depan Kolam Arang, mengingat letaknya sangat strategis. Lantas gadis berambut panjang sepinggang itu menjajakan semua kemasan daging di atas karung bayangan sebagai alas.

Tiga puluh menit berlalu, namun Kencana tak kunjung menemukan pelanggan. Waktu yang dia punya hanya dihabiskan berdiam diri sembari memandangi monster dari berbagai wujud berlalu-lalang di tiap emperan pertokoan nusantara. Sesekali ia menemukan poster-poster bersinar bertuliskan aksara kuno pada toko tertentu. Selain itu terdapat berbagai macam tumbuhan cantik yang menghiasi jalanan. Walaupun Hinlanda tidak memiliki tanah, tanaman mampu tumbuh dengan pot khusus yang diberi mantra hitam.

"Cih. Berdagang tidak semudah seperti yang selama ini kupikirkan rupanya." Kencana menopang dagu, sisi depan rambutnya yang berantakan menutupi sebelah mata, ditambah baju kebaya lusuh dan tanpa alas kaki tentu membuatnya dicap sebagai pengemis jalanan.

Perut Kencana berbunyi.

"Waktunya makan pagi!" Kencana berujar antusias. Dia pun sedikit terburu-buru mengambil satu jeruk yang dilapisi kertas dari dalam saku Jariknya—rok batik seukuran mata kaki. Memang sial, makanan di kulkas hanya tersisa satu jeruk. "Meskipun cuma segini, paling tidak bisa mengganjal perut. Ayo Kencana! Harus bersyukur—"

"Cucu manis ... boleh Mbah minta jeruknya?"

Belum sempat membuka jeruk, monster nenek peyot berkerudung hitam secara tiba-tiba menampakkan wujudnya di sebelah Kencana.

Masih dengan wajah tanpa ekspresi, Kencana terdiam tanpa memandangi Si Nenek. Jelas ia tahu bahwa monster ini merupakan pengemis yang hobi memalak makanan ataupun uangkorak.

Sadar tidak ada tanggapan, nenek dengan mata berwarna merah menyala itu duduk di samping Kencana seraya menggenggam tongkat kayunya—memandangi keramaian lantai. Tanpa diduga, Kencana pun menyodorkan buah jeruk kepadanya. Padahal dia juga sedang dilanda kelaparan.

"Ambil ini. Aku sudah cukup kenyang." Kencana berujar pelan tanpa menoleh. Lantas dia pun bertekat membereskan barang dagangannya sebelum berjualan ke tempat yang lebih ramai, menurutnya monster-monster di sini kurang minat pada daging kemasan.

Si Nenek tersenyum senang seraya membuka mulut lebar-lebar hingga sebesar ring bola, melahap habis jeruk beserta pembungkusnya dalam sekali kunyah. "Mau pergi ke mana, anak manis?"

"Anda tidak perlu tahu, Mbah."

"Apa impianmu?" Nenek misterius itu menepuk-nepuk kebaya berlubangnya.

Kencana terdiam sejenak. "Tidak ada. Monster cacat tidak perlu punya mimpi."

Jelas Kencana akui, tak seperti monster normal lainnya, ia tidak bisa menggunakan ilmu hitam—kebutuhan dasar para makhluk di Hinlanda—mengingat tempat ini dipenuhi mantra gelap yang membuat semuanya tampak ajaib namun mengerikan, tentunya monster wajib menguasai ilmu hitam untuk beradaptasi.

Si Nenek tertawa kecil, sedikit serak dan ringkih. "Semua makhluk hidup punya mimpi, walaupun ada yang berusaha menyembunyikannya. Kau ingin menjadi penari kipas dan ada satu ambisi lain bukan?"

Kencana terbelalak kaget, seakan-akan dia bisa mengingat sesuatu. "B-bagaimana anda bisa—"

"Maka, raihlah." Nenek aneh itu tersenyum seraya memandangi langit-langit logam. "Gunakanlah bakat terpendam untuk menyelesaikan masalah."

"Bakat terpendam untuk menyelesaikan masalah? Apa mungkin aku harus menari untuk menarik banyak pelanggan agar mereka bersedia membeli daging? Tapi yang benar saja—" Kencana menoleh, tampak tertarik dengan Si Nenek. Sayangnya belum sempat mengucapkan terima kasih, wanita tua itu menghilang menyisakan bisingnya aktivitas para monster, meninggalkan kotak hitam tepat di sebelah Kencana. "Lho, hilang! Pakai buang sampah sembarangan lagi. Eh-eh ini bukan sampah ...."

Tanpa berpikir lebih lama, Kencana pun mengambil dan membukannya. Dia cukup terkejut mendapati jeruk yang sedari tadi sudah dimakan utuh-utuh oleh Si Nenek telah berada di sana bersama kipas tangan berwarna hitam pekat berhiaskan renda emas.

Kencana pun menganga kaget. "Aku sangat yakin. Mbah itu pasti salah satu dari Keluarga Kuntilanak kurang kerjaan?"

Aksi Kencana ditutup dengan melahap jeruk itu utuh-utuh seperti yang dilakukan oleh Si Nenek sebelum melenggang pergi. Sekilas gigi-gigi beruncing tajam terlihat bersamaan dengan munculnya senyuman kecil nan manis—seringaian menawan lebih tepatnya.

Begitulah kisah Kencana, gadis berambut hitam legam bersama para makhluk seram lantai tiga. Hanya saja, dia tidak tahu, bahwa sebuah jeruk mampu mengantarkannya pada petualangan gelap di masa yang akan datang.

.
.
.
.
.
.

Clinnnggg! Kamus Hitam Hinlanda Muncul Pada Layar Pemain! Silakan Dicek.

~•••~

K A M U S H I T A M

Hinlanda: Suatu tempat luas dipenuhi logam kayu dan suara mesin aneh yang sudah dianggap dunia serta memiliki empat lantai dengan status berbeda. Dihuni oleh para iblis, monster dan manusia.

Uangkorak: Mata uang Hinlanda.

Gerbang Hinlanda: Lantai paling atas yang dirumorkan terdapat cahaya serta tempat di mana sang pemimpin sekaligus pencipta Hinlanda berada.

Gonastabala: Sebutan untuk Gubernur. Terbagi menjadi empat bagian yaitu Gonastabala Ningrat (Gubernur lantai teratas/ lantai 1), Gonastabala Cendekiawan (Gubernur lantai dua), Gonastabala Proletarian (Gubernur lantai tiga) dan Gonastabala Lantai Budak (Gubernur lantai empat).

Elevator Kegelapan: Lift antar lantai yang dijaga ketat oleh Laskarsa—pasukan elit Hinlanda.

Kolam Arang: Pusat Hinlanda.

Meener: Sebutan 'tuan' untuk orang Belanda. Dan bisa digunakan untuk Hantu Pria Belanda. Dipandang berkelas.

Kompeni: Warga asing/kolonial/orang Belanda.

Jarik: Rok adat Jawa bermotif batik biasanya selalu dikenakan bersama Kebaya sebagai atasan.

Gerobak Sodor: Sejenis permainan daerah dari Indonesia. Permainan grup yang terdiri dari dua kelompok, di mana masing-masing tim terdiri dari 3 - 5 orang.

Welthok: Makhluk kerdil yang bisa mengeluarkan api pada tempurung kepalanya. Biasanya sering digunakan senagai kompor oleh warga Hinlanda. Fun fact-nya, Welthok menurut legenda di dunia nyata (luar novel maksudnya) merupakan makhluk magis yang menghinggapi wilayah Jawa Timur, Surabaya. Namun namanya sangat tidak familiar bagi masyarakat Indonesia. Kalah tenar dengan Kuntilanak, Banaspati, Genderuwo dan sebagainya.

~•••~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top