JUNI
Memarkir mobil di depan indekos Anom, aku bisa memahami alasannya pindah dari tempat sebelumnya. Selain tampak lebih luas, aku tidak perlu berjalan kaki jauh dari tempat parkir yang terpisah dari bangunan utama. Sesudah memastikan kembali nomor kamar Anom, aku keluar dari mobil sembari membawa satu loyang berisi macaroni and cheese. Kebiasaan membawa makanan bukanlah demi menjaga impresi Anom tentangku. Jika bisa mengisi perutnya dengan bahagia, alasan untuk tidak kerap melakukannya terasa absurd.
Anom sempat bersikeras ingin singgah di apartemen, tetapi aku menawarkan diri datang-menggunakan alasan belum menginjakkan kaki di indekosnya yang baru. Meski balasan Anom terdengar tidak antusias, dia mengiyakan permintaanku.
Menaiki tangga menuju lantai dua, setiap langkah menggiring kenangan masa kuliah dulu. Menembus gelap lepas tengah malam demi mengenyangkan perut yang bersenandung merdu atau sekadar duduk di lantai teratas yang digunakan sebagai tempat menjemur baju atau memanjakan mata dengan lampu-lampu yang menghiasi Jakarta merupakan definisi menenangkan pikiran kalut yang sesungguhnya. Aku jelas tidak merindukannya, terutama dalam hal finansial karena kondisi kala itu jauh dibandingkan sekarang.
Mengatur napas, aku mengetuk pelan pintu bernomor lima. Tanpa menunggu lama, Anom membukanya dengan rambut yang masih basah.
"Welcome to my humble place, Mas," sambutnya dengan senyum.
Loyang di tanganku segera diambil alih Anom selepas aku menyodorkannya. Ketika dia mengintip isinya, sulit bagiku menahan tawa menyaksikan kegirangan Anom.
"Nggak adil, Mas! Tiap kali aku ke tempat kamu, pasti bawa sesuatu pas pulang. Giliran kamu ke sini, malah bawain aku ini dan aku nggak punya apa-papa buat kamu bawa pulang."
Aku memastikan satu loyang macaroni and cheese tidak menggerus banyak waktuku. Dengan bercanda, aku menggunakan status Anom sebagai anak indekos yang butuh gizi lebih baik. Dia hanya menggeleng sebelum meletakkan makanan itu di atas meja yang penuh dengan buku.
Kamar Anom terasa cukup lapang untuk ukuran Jakarta. Ada satu tempat tidur berukuran king, satu rak dengan empat bingkai foto-ingin rasanya melonjak layaknya bocah lima tahun saat menyadari foto yang kami ambil di Bali terpampang di sana-dan patung tembaga kecil serta beberapa novel. Selain tumpukan buku, Anom meletakkan laptop serta tas kerja di atas meja. Meski tidak melangkah ke dapur, kulkas, rak piring, dan kompor satu tungku tampak dari tempatku berdiri.
Kamar ini adalah ruang paling personal bagi Anom. Walau banyak yang telah aku ketahui tentang dirinya, berada di sini meneguhkan intimasi di antara kami yang hanya terbentuk dalam imajinasiku.
"Sori ya, Mas? Tempatnya kecil. Makanya aku nggak suka ngundang orang ke sini."
Aku sungguh tidak peduli ukuran kamar ini, Anom. Bertemu dengan kamu lebih memberi arti. Anom menyilakanku duduk di kursi sementara dia duduk bersila di atas tempat tidur.
"Mau ngasih tahu apa, Mas? Sampai harus dibela-belain ke sini."
Sejak mengajukan surat pengunduran diri sebulan lalu, aku hanya tinggal menghitung hari sebelum resmi keluar dari Coustiche. Mencari pekerjaan baru absen dari daftar rencana esensial. Aku akan mencampakkan diri dari zona nyaman selama dua bulan dengan menjajaki tanah yang asing dan membangunkan insting petualang yang mati suri sejak meninggalkan Australia. Satu yang pasti, fisikku akan melanglang jauh dari Jakarta saat tanggal aku dilahirkan tiba.
Mungkin menimbun rindu kepada Anom dan kota ini mampu menelurkan persepsi baru, dan menegurku tentang tujuan hidup yang kabur dengan kehadiran Anom.
Anom sempat terdiam setelah mengetahui waktuku di Coustiche tinggal satu jengkal menuju garis akhir. Dia tampak kesulitan mencerna informasi ini.
"Aku selama ini mengasosiasikan Coustiche dengan kamu, Mas. Keluar dari Coustiche sama sekali nggak terpikir olehku. Ada masalah apa?"
Penjelasan tentang tidak adanya masalah serius yang melatarbelakangi keputusanku kecuali ingin berganti atmosfer dan mencari tantangan lain di luar Coustiche ditanggapi Anom dengan anggukan. Aku yakin dia memahaminya.
"Terus udah dapet kerjaan baru?"
Sejujurnya menghamparkan agenda bepergian kepada Anom bukanlah kewajiban. Namun jika ada satu orang yang bisa aku percaya, pria yang mengenakan kaus putih yang telah kusam dan celana pendek batik inilah pilihanku.
Kali ini, keterkejutan Anom benar-benar mencapai klimaks selepas aku mengutarakan pekerjaan baru bisa menunggu sedikit lebih lam. Dia bahkan sempat menurunkan kaki dari tempat tidur dan menyangga dagu begitu mengetahui aku berniat menghabiskan dua bulan berada jauh dari Indonesia.
"Wow! Aku beneran nggak nyangka, Mas. This is the side of you that I've never seen."
Membeberkan alasan yang sebenarnya, aku mengakui rutinitas kantor melalaikan keseimbangan dalam hidup. Aku lapar menempuh hari-hari tanpa angka serta tanggung jawab. Efek kepergian kami ke Bali tahun lalu berumur pendek sampai kebutuhan menapak di tempat-tempat yang bahasanya tidak aku pahami lebih mendesak dibandingkan terjebak dalam pekerjaan.
"Kapan kamu berangkat, Mas?"
Mengutarakan kebohongan kepada Anom selalu menimbulkan rasa bersalah. Namun andai Anom tahu, dia punya kuasa mengacaukan rencana yang telah tersusun-satu keberatan dari Anom mampu menangguhkan rencanaku. Anom paham dengan penjelasanku karena detik berikutnya dia tersenyum lebar.
"Kabari ya, Mas? Biar nanti aku nggak ribut nanya kapan balik karena keburu kangen sama masakan kamu."
Aku memastikan tidak akan berangkat ke bandara sebelum bertemu dengannya.
"Terus reaksi temen-temen di Coustiche gimana, Mas? Aku yakin mereka juga kaget."
Saat mengajukan surat pengunduran diri kepada Ibu Sari, reaksi pertama beliau adalah diam sebelum melempar pertanyaan-pertanyaan sesuai posisinya sebagai Head of Human Resources Department. Seperti biasa, berita tersebut menyebar cepat, bahkan Dian sampai duduk bersamaku saat makan siang demi memastikan kebenaran kabar yang didengarnya. Dian khawatir penggantiku tidak memiliki kemampuan setara.
Dua minggu kemudian, Citra-yang akan menggantikan posisiku-mulai masuk. Dari diskusi serta jenis pertanyaan yang diajukannya, tidak tebersit keraguan bahwa dia punya potensi dan pengalaman mengambil alih tanggung jawab dariku. Pertanyaan, "Kenapa keluar?" begitu sering aku dengar hingga mencapai titik jenuh. Reaksi sebagian besar dari mereka tentu saja kaget, tapi begitu Citra datang, relevansi alasanku terlupakan.
"Nggak pengen nyoba kuliah lagi, Mas?"
Kembali sibuk dengan tugas dari dosen bukanlah sesuatu yang aku kais. Yang aku butuhkan justru pelajaran tentang hidup yang cuma bisa dibeli dengan menjauh dari semua yang telah menyekapku dalam nyaman.
"Aku mulai cari-cari beasiswa, Mas. Keputusanku buat ngelanjutin kuliah udah bulat."
Meski Anom pernah menyinggung keinginan itu, mengetahui determinasinya detik ini terasa berbeda. Muncul keyakinan jika Anom meninggalkan Indonesia, aku akan kehilangannya. Namun aku tidak menepis bahagia karena dengan mendapatkan beasiswa, masa depan Anom pasti terjamin.
"Ada beberapa universitas yang ngasih beasiswa buat program yang aku mau, Mas. Aku masih belum tahu mana aja yang mau dicoba. Rasanya deg-degan dan nggak yakin."
Aku membasahi tenggorokan sebelum mengompori kemampuannya pasti bisa mengantarnya pada impian.
"Printilannya banyak, Mas. Aku harus mulai nyicil dari sekarang biar nggak kerepotan nanti."
Jika Anom memerlukan bantuan, aku memintanya agar tidak segan memberitahuku.
"Aku nggak ragu kalau kamu pasti mau bantuin, Mas, dan kalau perlu, pasti aku kabarin. Semoga aja nggak karena aku jelas nggak mau ganggu traveling kamu. Thank you, Mas, but let's hope I'll be able to manage it myself."
Setahun dari sekarang, Anom mungkin tidak lagi menghuni tempat ini. Sulit rasanya memaksakan senyum membayangkan kemungkinan sejauh itu. Aku sempat yakin waktu punya kekuatan mengikis cintaku untuk Anom, tapi empat tahun-termasuk dengan kembalinya Lelo dalam kehidupanku dan hubungan dengan Cal-menegaskan perasaanku kepada Anom tidak banyak berubah.
Aku berharap yang terbaik untuk kamu, Anom.
"Makasih, Mas."
***
Sudah hampir dua jam internet menjadi teman terbaik menemukan negara serta kota yang pantas dijadikan tujuan. Saat keinginan untuk sejenak lepas dari tanggung jawab mengemuka tahun lalu, Eropa sesungguhnya tercoret dari radar. Namun setelah menimbang, aku menuliskan kembali benua tersebut sebagai kemungkinan.
Meski visa Italia sudah aku kantongi-Sisilia menjadi tujuan pertama sebelum menyebrang ke mainland-aku bimbang antara Eropa utara, selatan, barat, atau timur. Dorongan menyisipkan Cologne, kemudian melanjutkannya ke Belanda atau Luksemburg sempat mengantongi kepastian. Namun mengingat Cal pernah berkata dia ada di Frankfurt, aku ragu kekuatan diriku cukup untuk tidak pergi ke sana.
Menghela napas, aku memandang jam dinding yang hampir mendekati tengah malam. Aku harus mengabari Lelo tentang perjalanan ke Eropa karena tidak menyandang paspor memasuki Inggris, aku berharap bisa bertemu dengannya di kota lain.
Memandangi layar laptop yang menunjukkan artikel dari blog-blog perjalanan yang aku baca sebagai referensi, kesabaran segera pergi dari Jakarta semakin menipis.
Tidak pernah aku segusar ini untuk meninggalkan Indonesia. Mungkinkah semua yang bertalian dengan Anom dan Cal akhirnya mencapai titik nadir?
***
Dear all,
Ini mungkin salah satu bab terpendek di cerita ini, tapi lagi-lagi, saya ngerasa ini sudah pas.
Akankah ada kejadian di Eropa yang membuat Aku berubah? Atau Aku malah akan jadi makin susah berpindah hati? I'll let you guess.
Song - I Don't Owe You Anything by The Smiths
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top