JUNI
"Kamu yakin nggak ada yang bisa aku lakukan buat ngubah keputusan kamu, Mas?"
Senyum tipis yang menjadi dekorasi sempurna pada wajah Anom menyusut setelah aku menjawab pertanyaannya dengan gelengan. Farewell dinner yang direncanakan oleh staf Coustiche untuk melepas Anom sudah berdengung seminggu lalu, tapi saat itu juga, aku memutuskan mangkir dari acara pelepasan termasuk ketika Anom meminta langsung.
Anom biasanya mampu menyerpih tekad yang dengan nyaring aku teriakkan, tetapi keinginanku melewatkannya sudah absolut. Alih-alih melebur bersama staf Coustiche yang lain, aku menjanjikan makan malam di apartemen dengan menu favoritnya. Mengundan Ano menikmati masakanku tanpa embel-embel perpisahan mendatangkan nyaman yang sebenarnya.
Di antara manusia-manusia yang menjadi keluarga besar Coustiche, akulah satu-satunya yang masih akan bersua dengan Anom selepas dia meninggalkan perusahaan. Perubahan terbesar adalah hampa yang akan duduk bersamaku di kantin mulai minggu depan. Satu botol Cabernet Sauvignon sudah tidak sabar mendapatkan pelampiasan emosi yang aku kunci rapat-rapat di hadapan Anom hari ini. Beruntung Sabtu datang esok hingga aku ketakutan menghabiskan isinya akan menemui kuldesak.
"Aku bakal dikerjain nggak sama anak-anak yang lain, Mas?"
Aku meyakinkan Anom agar menikmati acara yang dipersiapkan khusus untuknya.
Untuk pertama kalinya, aku dengan sengaja menampakkan sikap tak acuh di hadapan Anom. Semua kalimat yang dilontarkannya hanya sesekali mendapatkan tanggapan dariku. Jika Anom menganggap gerak-gerikku hari ini menjengkelkan, aku dengan senang hati meresponnya dengan kedikan bahu.
Sempat tebersit harapan bahwa dengan tiadanya Anom di kantor akan mengembuskan perubahan positif bagiku. Membayangkan perasaanku menipis akibat memendeknya frekuensi pertemuan kami cukup menjentikkan harap. Efek yang akan menghampiriku adalah kemampuan berbalut harapan menempatkan hati pada pria lain yang bukan Anom.
Namun semuanya tak lebih dari dusta yang aku ikrarkan demi menutupi sedih yang terlampau agung.
"Di mana lagi aku bisa nemu makan siang seenak buatan kamu, Mas?"
Saat Anom menubrukkan tatapannya diiringi senyum tipis, rasa sayang yang aku perintahkan supaya angkat kaki sejenak kembali berhamburan menjeratku. Menolak terperangkap dalam lara, aku menggunakan lelucon sebagai tameng.
Tawa Anom terdengar seperti denting piano di antara debat tentang politik. "Aku musti bayar berapa kalau kamu buka katering, Mas?" guraunya. "Adaptasi di tempat baru setelah dimanjain dengan makanan-makanan enak selama ini bakal susah. I will miss our time together, Mas. Jangan marah sama aku karena keluar, ya? This is not easy for me as well."
Aku menuntaskan air putih dari dalam botol air minum tanpa mencerap ucapan Anom.
Beban yang dibalut erat Anom dengan selendang di pundak sejak kematian Pak Marteen, lengkungan bibir yang ditafsirkan sebagai senyum oleh orang lain serta upayanya menyudutkan memori pria yang telah tiga tahun dikenalnya—sebelum maut menjatuhkan pilihan—tak lagi memberati kedua kaki dan tangannya. Sikapnya yang lebih terbuka layaknya ruang tamu yang siap menerima kunjungan setelah direnovasi besar-besaran. Anom tidak lagi perlu terperosok dalam memori di tempat ini. Terwujudnya keinginan Anom menyudahi karirnya di Coustiche justru meninggalkan satu lagi luka menganga di hatiku.
Tidak hanya bekal makan siang yang aku masukkan ke dalam tas, tetapi juga satu kotak pipih khusus untuk Anom. Ide menyodorkan hadiah perpisahan sempat aku tepis karena tidak relevannya dengan hubungan kami yang masih berlanjut. Namun aku gagal mengubah fakta bahwa hari terakhir Anom di Coustiche adalah hari ini. Aku ingin ingatan Anom membawanya ke kantin setiap kali matanya tertumbuk pada benda yang masih terbungkus rapi.
Sebelum Anom keberatan, aku sudah mencegatnya dengan alasan yang sulit dibantahnya.
"Boleh aku buka nanti? Atau harus aku buka sekarang?" tanyanya setelah menggaungkan terima kasih.
Dia tampak menimbang sesudah aku memberitahunya bahwa pilihannya tidak punya pengaruh bagiku.
"Aku buka nanti aja."
Percakapan kami lantas bergeser mengenai pekerjaan barunya.
"Yang pasti kantornya lebih kecil dari Coustiche, Mas. Kerjaan ini akan jadi sesuatu yang baru karena aku belum pernah kerja di perusahaan start-up. I know I will like it there." Anom membuang napas. "Aku juga punya rencana buat ngelanjutin studi meski belum tahu di mana dan kapan. I miss assignments and sitting for hours in the library. Mungkin aku bakal coba cari beasiswa lagi."
Kalimatnya tentang melanjutkan sekolah tidak mengejutkanku karena Anom acap kali menyenggol pengalamannya di Gothenburg. Namun ada perasaan aneh yang memepringatkanku bahwa Anom akan lepas dari hidupku jika dia mendapatkan beasiswa—yang pasti bukan di Indonesia. Terlepas dari ikatan emosional yang aku miliki terhadapnya, Anom punya kesempatan memaksimalkan potensinya.
Memancing Anom bukanlah hal yang sulit. Aku hanya perlu melemparkan umpan tentang sekolah yang memenuhi langit mimpinya.
Anom terlihat memikirkan pertanyaanku sebelum menjawab, "MIT atau Stanford, Mas. Dua universitas itu jadi patokan kalau berhubungan dengan computer science dan cuma orang nggak waras yang nggak mau sekolah di sana. Tapi aku sadar kemampuanku nggak setinggi itu, jadi aku mungkin udah tereliminasi duluan di awal," terang Anom dengan pesimisme yang telah aku hafal. "Ada beberapa universitas bagus di Inggris dan nggak kalah dari Stanford atau MIT, mungkin aku akan coba di sana. But ... it's still a long term plan, Mas. Aku belum mikirin sejauh itu."
Ponselku bordering tepat ketika Anom mulai membereskan makan siang kami. Mengetahui nama yang tertera di layar, keningku mengerut. Selama beberapa detik, mataku terpaku pada nama yang menjerit untuk dipuaskan nafsunya.
"Kenapa belum diangkat, Mas?"
Aku menekan tombol accept seraya menjauh dari jangkauan pendengaran Anom. Jakarta tampak mewakili perasaanku dengan mendung yang mengancam akan menumpahkan semua isinya.
Suara Lelo menyambutku dengan hati-hati, tapi dia tidak akan menghubungiku tanpa alasan jelas.
"Hey, are you busy?"
Aku menjelaskan bahwa waktu makan siangku akan berakhir dalam hitungan menit.
"Are you free this evening? I'd like to have a dinner with you."
Kata pertama yang aku lontarkan adalah kenapa. Lelo meninggalkan Jakarta bulan April lalu dan dari ceritanya, kemungkinan dia kembali ke Jakarta dalam waktu dekat setipis tim sepak bola Indonesia berpartisipasi dalam Piala Dunia. Aku menyuarakan keheranan yang menolak dipendam.
"Aku terpaksa kembali ke Jakarta karena ada yang harus aku selesaikan di sini. Aku menikmati Jakarta, tapi benci dengan perjalanan dan macetnya. A few things went wrong with the project I led, and I came here to fix the mess. "
Pandanganku kembali ke Anom yang menekuri ponsel. Kehadiran Lelo jelas akan menunda niat menghabiskan satu botol Cabernet Sauvignon yang telah menungguku. Tanpa berpikir lama, aku mengiyakan ajakannya.
"Aku kabari di mana nanti karena aku masih terlalu capek memikirkan satu tempat. Or you can pick the place if you want. I know you have a good taste when it comes to restaurant."
Keputusan itu aku serahkan kepada Lelo.
"See you tonight!"
"Ada masalah, Mas?" Keingintahuan Anom jelas berdasar karena aku masih dikuasai banyak pertanyaan tentang kehadiran Lelo yang seperti disengaja oleh takdir.
Tanpa menyebut nama Lelo, aku mengatakan ada teman lama yang datang jauh-jauh dari Inggris dan ingin bertemu.
"Ah, jadi kamu lebih pilih temen lama daripada aku?" goda Anom.
Kata rindu yang tidak punya makna lebih bagi Anom berhasil aku utarakan saat kami menunggu pintu lift terbuka. Makan siangku tidak lagi membosankan sejak dia menemani rutinitas harian.
"Kita masih bisa makan siang bareng kok, Mas. Kita bisa ketemu pas weekend," ujarnya begitu kami sudah berada di dalam lift.
***
Ajakan Lelo agar kami bertemu di Cork & Screw aku setujui tanpa keberatan. Dia datang sepuluh menit setelah aku duduk di meja yang telah dipesannya. Aku harus menelengkan kepala demi menerka senyum yang tidak hanya dipasangnya pada bibir, tetapi juga mata dan setiap otot di wajahnya. Mudah menebak suasana hati Lelo karena dia begitu ekspresif menunjukkan emosinya.
"I need to save you from your misery."
Lelo dengan percaya diri menebas alasan dia ingin mengajakku makan malam di tempat seperti ini.
"Aku tahu Anom keluar dari Coustiche—jangan tanya aku tahu dari mana—dan aku yakin ada satu botol wine yang sudah siap kamu habiskan, apalagi besok kamu tidak perlu ke kantor. Karena aku teman yang sangat baik dan pengertian, aku tidak akan membiarkan kamu sendirian di apartemen. I'm here as a company to get you through your miserable night."
Aku dan Lelo telah merambah rumput-rumput tinggi di antara kami hingga yang tersisa adalah tanah kosong yang lapang, tanpa satu pun pojok untuk bersembunyi. Ladang baru bagi kami memulai sebuah pertemanan tanpa lalai dengan sejarah yang mustahil diubah. Lelo memafhumi Anom yang telah meraup semua cinta dalam diriku hingga dia mampu melihat dengan jelas batas-batas yang tidak bisa disebranginya.
Kembalinya Lelo dalam hidupku dengan kapasitas lain sungguh aku syukuri. Namun aku perlu beradaptasi ulang dengan keterbukaan sikapnya.
"You'll see," balasnya diikuti satu kedipan mata begitu aku ingin tahu rencana yang dimilikinya untuk meredakan nyeri atas kehilangan Anom dari Coustiche.
***
"I hope you had a great time."
Sebelum Lelo menyelesaikan kalimatnya, aku sudah mengangguk.
Lelo mengambil alih kemudi setelah kami meninggalkan Cork & Screw dan sepanjang malam dia menggali dalam semua tawa yang aku punya. Kami mengelilingi jalanan Jakarta tanpa punya tujuan yang jelas—kecuali berhenti di sebuah convenient store untuk membeli es krim dan mengisi bahan bakar. Bahkan obrolan mengenai masa lalu kami mengandaskan kikuk yang sempat tebersit. Lelo menepati janji untuk sedikit menambal lecet yang disayat Anom.
Sebelum Lelo keluar dari mobil, aku mengucapkan terima kasih.
Lelo lantas mendaratkan bibirnya di pipiku dan berujar, "Aku tidak akan jauh kalau kamu membutuhkanku. I care about you, always."
Senyumku hanya tersungging setengah menyadari tulus yang tersembur dari ucapan Lelo sementara sikapku kepadanya masih terjerat ketidakpastian.
***
Dear all,
Maafkan saya yang dengan sengaja menelantarkan cerita ini hampir sebulan. Saya sempat memasuki fase tidak yakin dan kehilangan motivasi mengingat diksi yang saya gunakan dalam cerita ini cukup bervariasi. Namun saya kemudian mengumpulkan tekad bahwa saya harus menyelesaikan cerita ini dalam waktu dua minggu sebelum saya mulai rajin update.
And I'm glad to inform you that I've finished writing this story until the end. Dengan begitu, saya bisa mulai posting dua hingga tiga kali seminggu mulai akhir Juli. Saya cuma perlu mengeditnya supaya struktur kalimat serta diksi yang saya pakai dari awal nggak berubah hingga bab terakhir. Selain itu, ada ide baru yang ingin saya eksekusi meski detailnya belum bisa saya bocorkan. Just wait and see!
I hope you like this chapter and looking forward to the next ones!
Song - In The Hidden Places by The Mountain Goats
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top