DESEMBER
"Lagi nggak mau makan sehat?"
Suara serak yang berselaput kantuk itu terdengar layaknya sambutan paling merdu dalam hidupku. Belum lagi aksen Indonesia yang berbaur dengan logat aslinya, memunculkan intonasi yang unik. Sedetik kemudian, senyum sumringahku merebak saat dua lengan melingkar di pinggang. Dengan kokoh, dia mengayun tubuhku pelan sebelum rambut-rambut tipis yang belum dicukur menggesek lembut pipiku. Pagiku terasa hangat sekalipun matahari sulit dibujuk keluar dari balik kelambu mendung.
Aku mengangguk seraya memasukkan peterseli dan satu telur utuh sebelum mengaduknya pelan.
"Can I try some?"
Dengan jenaka, aku menjaili Cal bahwa perut bulenya akan berontak mencerna mi instan pukul sembilan pagi. Terlebih sarapannya selalu lebih sehat dan penuh serat.
Dia mencebik sebelum mendaratkan kecupan di pipi. "You'll see that I'm not like any other bule."
Peringatan yang aku kumandangkan adalah dia wajib menanggung risiko kecanduan dengan makanan instan paling nikmat sedunia. Suara tawa Cal tidak berbeda dengan keripik tempe yang aku tahu adalah salah satu makanan favoritnya. Peringatan dia bisa saja mondar-mandir ke toilet ditanggapinya ringan.
"Life without risk is life without excitement."
Maka aku mengabulkan permintaan Cal.
Dari banyaknya yang enggan aku bagi dalam hidup, salah satu yang menempati posisi lima besar adalah seporsi mi instan kuah dengan lima cabai rawit, dua siung irisan bawang putih, dan bawang bawang merah yang telah ditumis sebentar serta satu telur. Nikmatnya? Mungkin melebihi makanan yang dimasak koki profesional. Setidaknya untukku.
Aku membelalakkan mata saat pertama kali menyaksikan Cal mengigit cabai dengan tahu isi tanpa berpikir panjang. Begitu sadar lambungnya mencerna pedas tanpa protes, sulit menggunakan alasan itu agar dia tidak mencicipi porsiku.
Menyadari mendung dengan berat menggantungi langit Jakarta, pikiran pertama yang muncul ketika mataku terbuka adalah mi instan kuah super pedas. Mengetahui Cal masih terlelap dan tidak akan tergoda dengan aroma soto, aku menjadikannya menu sarapan. Keingin Cal mencoba hidangan yang dianggap sebagian besar orang kriminal disantap pagi hari, cukup mengagetkan.
"Kita mau ke mana hari ini?"
Sejujurnya, rencana Sabtu ini adalah mengeram di apartemen, terlebih cuaca denga ikhlas memberi izin bermalas-malasan. Namun Cal pasti kelabakan jika dia harus terkungkung di dalam ruangan. Menemaninya jalan-jalan adalah satu agenda rutin yang kami lakukan pada akhir pekan, tetapi ada kalanya aku terlalu malas mengayunkan kaki keluar dari apartemen. Ada kesadaran bahwa sikapku bisa berpengaruh pada kelangsungan hubungan kami.
Selepas obrolan tentang makanan favorit di awal perkenalan, rasanya ada yang hilang jika kami tidak saling mengabari. Cal bahkan tidak segan menuliskan maaf jika pesanku harus teronggok lebih lama di kotak masuknya karena kesibukan pekerjaan.
Permintaannya agar kami bersemuka seminggu setelah dia mengirim pesan sempat aku abaikan. Enggan menghadangku karena menganggap perkenalan kami masih sebatas menyapu permukaan. Namun mengingat topik tentang seks mangkir dari obrolan kami, aku menyanggupinya. Tidak terpikir olehku bahwa pertemuan itu akan terulang.
Hampir lima jam kami bertukar kisah hingga berat saat harus mengakhirinya. Aku ditampar fakta bahwa bertemu orang baru tidak berbeda dengan naik rollercoaster. Ada benturan antara ingin menjadi diri sendiri dan memberi impresi. Cal berhasil meruntuhkan canggung yang aku sangka akan merajai kami. Dia adalah kombinasi sempurna dari easy going dan serius. Rasa nyaman yang jauh dari pikiranku justru berbaris paling depan semakin kami saling mengenal.
Dalam hitungan minggu, frekuensi perjumpaan kami semakin bertambah. Anom jelas masih bertengger di singgasananya, mustahil tergantikan oleh pria yang baru aku kenal. Namun Cal dengan pesona dan senyumnya mengoyak-oyak satu sudut hati yang sebelumnya kosong. Cal mencipratkan warna baru yang sebelumnya tidak aku kenal. Layaknya sungai, aku menikmati setiap riak emosi yang ditimbulkan pria jangkung itu.
Cal dengan segala ketenangan dan pengertiannya memahami bahwa mengumbar kata-kata bukanlah bagian dari pesonaku. Kami bisa duduk berdampingan tanpa mengucapkan satu kalimat dalam jangka waktu yang lama.
Aku tidak lagi mengejar Anom untuk mencadangkan satu hari untukku. Kesibukan telah merampas sisa waktu yang dipunyainya. Pesan darinya tidak pernah tersingkirkan, tetapi intensitas pertemuan kami yang berkurang justru menggandakan fokusku bersama Cal. Anom akan terus mendapatkan perhatian penuh dariku, tetapi saat ini, aku berniat menumpahkan sebagian untuk Cal meski masa depan kami masih dipenuhi kabut yang tidak tertembus penglihatan.
"What about we're staying in today? Cuddling?"
Aku mengiyakannya dengan cepat.
Cal dengan cekatan mengambil dua mangkok dan menatanya di meja sementara aku mengolah satu lagi bungkus mi instan untuknya.
Sekalipun dengan angkuh dia mengatakan pedas sudah bisa dicernanya tanpa susah payah, aku tetap mengurangi jumlah irisan cabai yang masuk ke dalam panci. Saat memergoki Cal yang bersandar pada kulkas sementara lengannya tersilang dan pandangannya terkunci ke arahku, aku mengajukan pertanyaan singkat.
"Have someone ever told you, what a fantastic guy you are?"
Pujian bagiku adalah bentuk lebih sopan dari omong kosong. Hanya penghargaan dari Anom yang aku anggap serius. Cal bisa dengan gampang melemparkan kata-kata yang tidak tertebak dan menangkapku dalam kebisuan untuk membalasnya, termasuk kali ini.
"Aku penasaran kenapa kamu ada di Grindr. Aplikasi itu sangat nggak cocok dengan kepribadian kamu. Kamu kebalikan dari semua yang identik dengan dating app mana pun. Semakin kenal kamu, aku semakin yakin harusnya ada pria dengan bunga atau cokelat di tangan mereka yang berbaris rapi disertai kata-kata manis yang hanya mereka ciptakan untuk kamu. Aku nggak akan komplain karena justru aku yang ada di samping kamu sekarang. Why is that? Why were you on Grindr?"
Mi instan untuk Cal sudah siap sehingga memberiku kesempatan untuk menggantung pertanyaan Cal. Saat kami duduk bersisian dan bersiap menikmati makanan paling mewah bagiku untuk sarapan, Cal justru menggeser mangkoknya untuk menatapku.
"Jawaban kamu nggak akan mengubah apa pun."
Menghindari utang yang pasti lupa aku lunasi, aku memberi Cal alasan utama menggunakan Grindr: ingin mencoba tahu apakah mungkin ada yang tertarik denganku. Senyum Cal merekah sebelum kalimatku selesai, lantas mengecup pipiku.
Kombinasi panas dan pedas langsung melegakan hidung dan tenggorokan, tetapi hal itu tidak berlaku bagi Cal. Sulit bagiku menahan tawa kala menyaksikan kulit pucatnya memerah sampai dia berkali-kali mengisi gelas kosongnya dengan susu. Tekadnya menaklukkan mi instan di hadapannya patut diberikan apresiasi. Aku bertepuk tangan saat dia berhasil menandaskan seluruh isinya tidak lama setelah kenyang mengisi perutku.
"Can I pass as an Indonesian now?" Upayanya mengusir pedas dari mulut masih justru membuatku semakin terpingkal-pingkal hingga dia berucap, "You are enjoying this, aren't you?"
Tanganku terulur demi menyibak anak rambut yang menutupi keningnya. Meski dua bulan belum genap sejak kami saling mengenal, tatapan yang diarahkannya kepadaku saat ini pasti akan diikuti dengan ungkapan serius.
"I like you a lot, have I ever said that out loud?" Saat gelengan yang didapatnya, Cal menambahkan, "Aku suka menghabiskan waktu dengan kamu. Semoga kita bisa terus melakukannya."
Cal masih kesulitan berdamai dengan pedas karena keringat yang mulai mengaliri pelipis dan lehernya dengan cepat membuat kausnya basah. Aku meraih serbet yang belum terpakai dan mengusapnya, berharap Cal mengerti itulah caraku membalas perkataannya.
Pagi di pertengahan bulan Desember itu memunculkan asa tentang mengizinkan Cal merasuki jiwaku lebih jauh. Yang belum aku pahami adalah takdir punya wewenang untuk menjegal keinginan manusia tanpa secuil pun peduli.
***
Pergantian tahun adalah malam yang berharap bisa aku lompati. Semua undangan yang mampir di mejaku selalu berakhir di tempat sampah. Orang waras mana yang rela terjebak macet sementara di saat yang bersamaan mereka bisa menyelonjorkan kaki di rumah masing-masing?
Dengan lantang aku memberitahu Cal jauh-jauh hari lebih ingin diam di apartemen dan menonton film saat miliaran orang bersuka ria merayakan tahun baru. Saat dia mengusulkan agar aku menginap di apartemennya di daerah Setia Budi supaya bisa menghabiskan malam dengan damai, tidak ada yang bisa terucap selain mengiyakannya. Satu lagi kecocokan yang tidak harus menerbitkan argumen di antara kami.
Dengan penuh semangat, aku merencanakan menu tahun baru satu minggu menjelang perubahan tahun. Aku bahkan menempel daftar resep di kulkas agar tidak harus berbelanja pada saat-saat akhir dan bergulat dengan macet.
Bangun lebih awal di hari terakhir 2012, aku segera mengeluarkan semua bahan-bahan untuk mulai mengisi satu toples besar kaca dengan coconut chocolate chip cookies. Mendekati pukul sepuluh, satu loyang chocolate banana bread keluar dari oven bersamaan dengan Cal yang menghampiriku di dapur.
Aku sengaja mengabaikan permintaannya agar dibangunkan karena tahu dia perlu membayar jam tidurnya yang berkurang dua minggu terakhir. Selain itu, Cal pasti enggan membiarkanku tenang bekerja di dapur. Hanya mengenakan boxer brief lengkap dengan rambut cokelatnya yang berantakan, Cal menggumamkan selamat pagi dan membenamkan hidungnya di tengkukku.
"Can I have my breakfast?" tanyanya dengan suara parau.
Meski paham maksud sarapan pagi yang diinginkan Cal, aku mengarahkan wajahnya ke atas meja. Matanya melotot saat melihat banana bread bertaburkan potongan dark chocolate serta toples yang sudah terisi penuh.
"Can I finish them all while you are cooking? I will have nothing to do."
Aku dengan tegas-dibarengi senyum simpul-melarang tangannya menyentuh apa pun sembari menyiapkan bumbu-bumbu untuk memasak rendang. Dengan malas, dia memelukku dari belakang, membatasi gerakan tanganku.
Ketika aku protes, dia justru berbisik, "You smell better than that delicious banana bread. And I can use my hands for something better than eating those cookies." Decakan yang didengar Cal justru diganjarnya dengan kecupan. "Siapa yang harus aku beri ucapan terima kasih karena kamu membuat akhir tahunku jauh dari kata membosankan?"
Tentu saja aku, Cal.
"Yes, of course, you're one of the best things I've received this year."
***
Menjelang pukul dua belas malam, ponselku berdering.
Sesungguhnya aku memang menanti Anom mengirimi ucapan lebih dulu. Aku enggan mencari tahu alasannya baru menghubungiku sekarang ketika aku dan Cal sudah duduk manis di depan televisi.
Meski begitu, aku menerima panggilannya setelah berhasil menjauh dari Cal yang menikmati bir dan kue kering yang telah berkurang setengah.
"Happy New Year, Mas! Semoga tahun baru ini ngasih semua yang terbaik buat kamu. I'm so lucky having you as a friend. Kita musti ketemuan. Soon!"
Balasanku tidak jauh berbeda dan dengan basa-basi mengungkapkan ketidaksabaran agar dia mampu menyisihkan waktu luang. Tawa Anom terdengar lepas saat aku menggodanya tentang kesibukannya yang jauh lebih menguras waktu dibanding pendiri perusahaan tempatnya bekerja.
"Aku selalu punya waktu buat kamu, Mas, jangan khawatir."
Tidak lama waktu yang kami gunakan untuk bertukar kabar karena Cal keriuhan yang menyelinap di antara kami.
"We have to kiss when the midnight strikes!"
Seruan Cal dari ruang tengah menyegerakan langkahku untuk kembali duduk di sampingnya.
Sekalipun tidak paham arti ciuman pada saat pergantian tahun, aku menurutinya karena Cal tampak begitu menunggu saat ini. Tepat setelah seruan tahun baru berkumandang, kami saling bertatapan dan bibir kami pun segera bertemu.
"Happy new year," bisiknya. "Will it be too much if I say I love you this fast?"
***
Dear all,
Ini salah satu bagian di mana Anom nggak jadi pusat cerita, tetapi Aku tetap saja kepikiran dia. And to be honest, I love the chemistry between Aku and Cal (yaiyalah, kan saya yang nulis, muahahaha) Meski cuma satu bab, saya bisa ngerasain ritme hubungan mereka yang sangat laid back dan Aku pun terlihat lebih relaks. Bahkan setelah menyelesaikan cerita ini, Cal jadi salah satu karakter favorit saya.
What do you think of him?
Song - Happy New Year by ABBA
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top