DESEMBER


Bertemu Lelo adalah agenda yang tidak aku tanggapi dengan serius hingga malam ini. Mengabaikan seluruh surelnya yang mengisi kotak masuk sejak malam ulang tahunku, Lelo tetap menemukan cara  menghadang semua jalan keluar bagiku. Datang ke apartemen dan menenteng satu tas berwarna hijau dan biru terang yang sangat aku kenal adalah salah satu caranya. Tidak berlebihan saat Fe berkata, "Ada nggak sih yang mempan sama kharisma Lelo? Dia demen cowok pun, cewek-cewek tetep grogi dideketin dia," karena aku dengan sukarela pernah menurunkan tameng dan membiarkannya dengan pongah memasuki hatiku.

Kikuk langsung mengerangkeng pertemuan pertama kali setelah tiga tahun. Melihatnya berdiri di hadapanku, sulit melalaikan garis-garis tipis yang mulai menghiasi keningnya, atau warna perak yang menyembul malu-malu dari tumpukan rambut cokelat gelapnya. Dua kancing teratas kemeja abu-abu gelap Lelo sengaja dibuka, memperlihatkan rambut-rambut tipis yang dulu sering aku mainkan seusai kami bercinta. Nafsu yang sebelumnya mati suri bangkit seketika. Semua sikap tak acuh yang aku berikan sejak dia meninggalkan Indonesia dengan pelan mulai goyah. Rindu datang layaknya bintang jatuh, bertaburan dengan kecepatan tinggi, mematikan logika, dan tanpa ampun, Anom terpelanting jauh dari pusat hatiku.

Senyum yang sejak tadi diperlihatkannya kepadaku perlahan luruh. Dengan Lelo, aku sering gagal menduga kalimat yang akan terucap. Segampang membalik telapak tangan, dia acap kali menjebakku tanpa peringatan. Namun aku bisa menebak ucapannya melalui sejarah yang tertulis di antara kami. 

"I'm sorry. Aku tidak tahu apakah itu cukup, tapi hanya itu yang bisa aku katakan."

Kata maaf yang dulu begitu aku damba datang darinya, menghampiriku setelah perasaan kepada Lelo tergantikan oleh Anom.

Hubunganku dengan Lelo bisa dikatakan telah karam sejak awal. Cara pandang kami begitu bertolak belakang hingga pendapat paling temeh-temeh bisa menimbulkan perdebatan panjang. Namun mengesampingkan segala perbedaan, kami cukup bisa memahami dan berkompromi dengan kekurangan masing-masing. Namun kesabaran tiap orang memiliki tanggal kadaluarsa. Lelo pada akhirnya letih karena harus menahan perhatian yang ingin dicurahkannya kepadaku di kantor. Pilihan menyimpan seksualitasku di kantor mencapai puncak ketidakpahaman Lelo. Pertengkaran hebat yang terjadi pada satu Sabtu malam adalah titik kulminasi dari frustasi dan dialog yang terpendam. Kami berubah menjadi dua blok yang menolak berdamai hingga Lelo memutuskan kembali ke Inggris. Aku menutup hati dengan segera, menguncinya dengan berlapis-lapis gembok dan ego mengambil alih keputusan supaya tidak lagi menoleh ke belakang. 

Sampai Anom merayap dan membuka gembok-gembok itu tanpa dia sadari.

"I miss you," ujar Lelo saat diam yang didapatnya dariku.

Lelo melangkah maju sementara kakiku seperti tertumpuk salju dan membeku. Aku menelan ludah, berteriak lantang meminta akal sehat mengalungkan rantai pada nafsu yang mulai berulah karena aroma rempah-rempah yang menguar kuat dari tubuh Lelo. Mataku terpejam, kedua lenganku digelayuti bola besi hingga tak mampu terangkat ketika telapak tangan Lelo menangkup wajahku.

"I'm going to kiss you now because I've waited long enough for this chance to arrive. If you say no and tell me to bugger off, I will."

Detik berlalu, dan kalimat makian yang hadir dalam otakku tersangkut di tenggorokan. Saat membuka mata, tatapan Lelo meleburkan fakta bahwa aku sedang tidak menyasikan permukaan danau yang jernih dan tenang. Aku mengenali rasa jeruk begitu bibir kami bersua, tengkukku dijadikan sandaran oleh tangan Lelo sementara lidahnya memohon agar aku menyambutnya. Berserah pada asmara yang dipercikkan Lelo, aku mengabulkan keinginannya. Jarak Jakarta-London yang terpisah oleh samudera, sakit hati, dan ratusan malam, menunggal dalam hitungan detik.

Ketika aku menarik bibir, jemari tanganku meremas lembut rambut di atas tengkuk Lelo—seperti yang dulu aku lakukan. Kenangan akan malam—bahkan sore dan pagi—yang berakhir dengan peluh dan nikmat memenuhi benakku. Ragu mengambil alih panggung, berorasi dengan sederet fakta yang sewajibnya aku perhatikam sementara hasrat mencemooh hebat. Lelo dengan cepat akan menangkap keinginan tubuhku dan bersamaan dengan itu, menjerat bimbang, lalu mengubahnya dalam sekejap menjadi keputusan tak terbantahkan.

"Aku tahu kamu menimbang keputusan mana yang akan kamu ambil. Aku tidak akan memaksa kamu memilih. Take your time. I have all the time in the world to wait."

Lelo mendaratkan kecupan yang mengacaukan degup jantungku sebelum memindahkan tas yang sedari tadi dipegangnya ke tanganku. 

"Aku belum lupa," tambahnya.

Mataku melirik isi tas Fortnum & Mason dan senyumku tersungging tanpa bisa aku tahan. Aku mengucapkan terima kasih layaknya gadis remaja yang menerima cokelat Valentine pertamanya. Cokelat dari Fortnum & Mason adalah satu buah tangan yang tidak pernah alpa dibawa Lelo dari Inggris. Jika sedang bertugas atau menjenguk keluarganya di London, aku selalu dimanjakan dengan satu kotak Napolitains dan dua kaleng tinggi biskuit cokelat dan kacang macademia dari salah satu toko cokelat paling tersohor di Inggris. Sempat mengeluh perkara harga, Lelo menghujani keberatanku dengan ciuman bertubi-tubi.

Canggung telah meninggalkan kami berdua karena bosan. Pertanyaan tentang kabar membuka pintu demi pintu topik yang terkunci sejak kepergiannya dari Jakarta. Duduk berhadapan di dapur dengan dua gelas Riesling serta sisa brownies yang aku buat kemarin, kami berselencar di atas kepingan masa lalu diiringi tawa yang hanya bisa dipancing oleh Lelo. Aku tidak lupa mengabarkan tentang Pak Marteen dan reaksi yang diberikan Lelo hanyalah ucapan maaf karena tidak tahu-menahu lebih awal.

Mustahil menyebut nama Pak Marteen tanpa mengembalikan Anom dalam pikiranku. Menyadari itu, aku bangkit dari kursi dan membersihkan piring sisa makan malam yang masih tertumpuk.

"Is there someone else?"

Bahkan tanpa mengatakan apa pun, Lelo dengan mudah menjangkau rahasia terdalam. Aku tertangkap basah mendekap Anom dalam benak. Alih-alih membalas, aku menyibukkan tangan dengan mengeringkan piring dan gelas, lantas meletakkannya ke dalam rak. Aku mengungkapkan kepada Lelo bahwa tidak ada pria lain setelah hubungan kami berakhir.

"Jangan bilang kamu jatuh hati dengan pria yang bahkan tidak tahu perasaan kamu," ujar Lelo yang telah berdiri di sampingku sembari menyilangkan lengan. 

Kalimat itulah yang membuatku sangat enggan bertemu Lelo. 

"Aku kira tiga tahun bisa menyadarkanmu bahwa manusia lain tidak bisa membaca pikiran dan perasaan kamu ... kecuali aku tentu saja."

Senyum yang aku berikan kepada Lelo dibalasnya dengan tatapan serius. Lelo sedang tidak ingin aku menanggapi ucapannya dengan gurauan. Jika sudah seperti ini, dia tidak akan menyerah sebelum berhasil menggali perasaanku lebih dalam. 

Ada keinginan menceritakan segala tentang Anom, tetapi pantaskah Lelo tahu?

"Kamu tidak perlu cerita siapa pria itu." Lelo lantas memotong jarak di antara kami dan sekali lagi membelai pipiku dengan ibu jarinya. "Mungkin kedatanganku malam ini terlalu mengejutkan. Namun tidak ada cara lain untuk bertemu kamu selain datang tiba-tiba. I'm sorry. Aku masih akan di Jakarta hingga hari Minggu ... aku harap kita bisa bertemu lagi dan bicara lebih banyak. Let's put aside what happened between us three years ago. Bisa 'kan aku minta itu dari kamu?"

Aku mengangguk tanpa berpikir panjang.

Lelo hanya diam saat aku menyingkir dari sisinya. Dengan cepat, aku mengganti pembicaraan kami kembali ke Coustiche dan tentang beberapa hal yang telah kurencanakan beberapa hari ke depan. Lelo menanggapinya dengan terpaksa. Aku meminta Lelo memilih hari, waktu, dan tempat agar kami tidak perlu lagi membahasnya lewat surel atau pesan singkat.

"Aku bisa mendapatkan nomor kamu dengan mudah sekalipun kamu tidak memberitahuku. Aku hanya akan melakukannya jika terpaksa. Kamu mengenalku dengan baik. Let's not make this thing complicated, shall we?"

Aku pun tidak ingin mempersulit pertemuan kami dengan bersikap tidak acuh kepada Lelo. Namun bagaimana mungkin aku mengesampingkan Anom begitu saja hanya karena Lelo kembali?

"Lebih baik aku pulang sekarang." Lelo mendekatiku sebelum mendaratkan kecupan di pipi. "Aku tinggal di Keraton. Kamu punya nomorku dan aku tidak punya rencana apa pun setelah pukul enam sore."

Aku membiarkan Lelo membuka sendiri pintu tanpa mengantarnya. Begitu yakin dia telah menjauh, aku mendudukkan diri di kursi dan menatap tas Fortnum & Mason. Jika kedatangan Lelo yang hanya dalam hitungan jam mampu menepikan Anom, aku diliputi ketakutan membayangkan yang bisa dilakukan pria itu dalam hitungan hari.

Apakah ini berarti cintaku kepada Anom tidak sekukuh yang aku percaya?

 
***

Dear all,

Finally, a chapter about Lelo! Entah kenapa, saya nggak sabar pengen 'mengeluarkan' Lelo di cerita ini. Saya udah kepikiran peran dia akan seperti apa ke depannya. Jadi ini bukan terakhir kalinya Lelon muncul. He will have his part in the future.

Jadi, apa pendapat kalian soal Lelo?

Playlist - Somewhere Only We Know by Keane
 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top