APRIL
Aku tidak pernah mengeluh jika harus tinggal di kantor lebih lama. Berbeda dengan Fe atau Teti yang alergi acap kali diminta lembur, aku justru menikmati kesunyian dan ketenangan yang sulit kuperoleh pada jam kantor. Tidak ada kekasih yang akan cemberut andai aku pulang larut, apalagi binatang piaraan yang menanti kedatanganku. Aku pria tanpa ikatan yang bebas mengalokasikan waktu untuk apa saja.
Niat menyelonjorkan kaki di atas sofa, menikmati nasi goreng tuna, dan menutupnya dengan dua gelas Riesling malam itu, tertunda. Alih-alih, satu porsi medium martabak telur dan dua gelas—bukan cangkir—kopi tanpa gula memegang peran krusial meredam lapar dan kantuk. Angka-angka yang jumpalitan menarik seluruh fokusku, menawan nama Anom supaya absen.
Selama tiga bulan, aku memperhatikan Anom sudah mampu berbaur dengan staf dari departemen lain. Melalui Fe dan kegemarannya mengumbar kabar burung, sejumput fakta mengenai Anom berhasil tersimpan dalam ingatan. Fe mencebik perilaku alim Anom yang menurutnya lebih dari mereka yang ada di pesantren hanya karena Anom tidak menyentuh tembakau, tidak mengonsumsi alkohol, dan tidak menyukai clubbing. Atau betapa polosnya Anom saat diminta mengerjakan sesuatu yang bukan tanggung jawabnya oleh Heri—atasannya di departemen IT—yang kemudian ditutup Fe dengan cemooh bertopeng gelak. Topik favorit Fe tentu saja mengenai hubungan Anom dan Pak Marteen—yang dikonfirmasi beberapa orang hingga yang sebelumnya merupakan dugaan semata, telah menjadi fakta. Aku memilih diam setiap Fe meminta pendapatku.
Kebetulan selalu menyenggol pertemuanku dengan Anom. Kantin menjadi satu-satunya tempat kami bisa bicara lebih dari sekadar bertukar sapa. Namun itu pun selalu berhubungan dengan Coustiche atau Jakarta pada umumnya. Aku jelas menyingkirkan segala keingintahuan mengenai Pak Marteen. Percakapan kami terbatas pada segalanya yang remeh.
Mencengkeram gagang gelas yang kopinya telah tandas, aku berniat mengisinya kembali di pantri kala suara yang sangat familier tertangkap pendengaran. Jemari yang terlanjur memegang gagang pintu, aku lepaskan. Berdiri di balik pintu, percakapan singkat mereka terdengar begitu jelas.
"Anom, kenapa belum pulang?"
"Masih ada yang harus aku kerjakan. Aku nggak tahu kamu masih di sini."
"Ada yang tertinggal, jadi aku kembali. Perlu aku bicara ke Heri supaya kamu enggak lembur?"
Ada jeda sebelum Anom membalas, "Kita setuju nggak ada perlakuan istimewa buatku, Marteen. Kamu pulang saja dan biarkan aku selesaikan pekerjaan."
"Kamu mau aku tunggu?"
"Aku nggak tahu kapan selesai."
"Aku tidak mungkin tidur sebelum tahu kamu selamat sampai di kos."
"Nanti aku kabari kalau udah pulang."
"Akan lebih mudah kalau kita serumah."
Ada jeda sebelum Anom membalas, "Marteen, we talked about this before."
"Oke. Kita bicara lagi lain kali."
Begitu yakin percakapan tersebut tamat dan Pak Marteen beranjak dari hadapan Anom, aku membuka pintu sepelan mungkin dan mempercepat jalan menuju pantri. Sesampainya di sana, aku tidak membuang waktu. Dengan cekatan, aku menekan tombol dan sedetik kemudian, suara pancuran kopi jatuh ke dalam gelas menimbulkan gaduh yang mustahil disembunyikan. Saat hampir penuh, aku mematikan mesin, tanganku menuang dua sendok teh gula, dan berniat kembali ke kubikel.
"Aku nggak tahu punya temen lembur."
Anom terlanjur memergokiku dan jantungku hampir melompat jatuh mendapati suaranya.
Aku mengerjap, menatap bayangan Anom dari kaca kabinet dapur yang selevel dengan pandangan. Setelah mampu menata hati, aku membalikkan badan dan memandangnya.
Teori bahwa kantor bisa dengan mudah menyedot energi manusia, sepertinya sungkan menyandingi Anom. Lelah tidak kentara di wajahnya. Lengan kemejanya sudah digulung hingga menyentuh siku sementara dua kancing teratas sengaja dia lepas, menampakkan kaus putih di baliknya.
Aku menawarinya kopi, tetapi dia menolak karena khawatir kafein gagal mendatangkan kantuk pada tubuhnya nanti.
Anom lantas bertanya soal keputusanku yang masih berkutat di kantor bersamaan dengan tanganku yang mengambil dua biskuit kelapa seraya duduk. Aku menggigit biskuit itu sehabis memberinya alasan singkat.
Kalimat yang terucap selanjutnya hampir membuat remahan biskuit di dalam mulutku tersembur. Aku bersyukur dia masih berdiri jauh dari tempatku.
"Kami setuju buat bersikap profesional di kantor," bukanya sambil menyandarkan punggung pada tembok. Dua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. "Marteen selalu khawatir tentang hal-hal kecil. Aku minta maaf jika suara dia kedengeran dari sini. Berita tentang kami masih belum reda ya, Mas?"
Aku tidak menduga Anom memilih relasinya dengan Pak Marteen sebagai topik bahasan. Aku terangkan secara singkat dan umum tabiat sekelumit karyawan yang kesenangannya membicarakan orang lain. Aku mengusulkan agar mengabaikannya.
"Untungnya Marteen jarang ada di kantor. Akan lebih susah kalau dia di sini tiap hari."
Balasan atas kalimatnya merajuk dari benak. Maka aku menyeruput kembali kopi yang mulai menghangat.
"Nggak papa kan aku cerita begini, Mas?"
Aku menanggapinya dengan ringan. Dari semua karyawan Coustiche, aku orang terakhir yang akan menyebarkan ceritanya. Bibir Anom tersungging. Jantungku kembali berulah.
Anom dengan lepas mengungkapkan sinopsis pertemuannya dengan Pak Marteen—hubungan mereka sudah berjalan dua tahun—dan keputusannya melamar di Coustiche setelah dia mengambil satu kursi dan duduk di hadapanku. Sejak mula, dia paham konsekuensi yang akan diterimanya. Namun dia menyepelekan kharisma dan kepopuleran Pak Marten di kantor. Anom tercengung dengan kabar yang merambat cepat ke telinganya.
"Meski Marteen minta aku tinggal di apartemen yang jarang dia tempati, aku ingin mandiri," ujar Anom sembari memainkan satu pak gula merah, memutarnya di antara ibu jari dan telunjuknya. "Aku nggak mau dianggap sebagai parasit."
Aku berkata cuma orang iri yang menyamakan benalu dengan dirinya. Anom tersenyum lebar.
Sesudah Anom duduk, sesekali aku menggeser pantat. Aku kerap menjadikan bibir gelas sebagai pelarian agar tidak terus-menerus membiarkan perhatianku terarah kepadanya.
Kopiku mendingin, hanya saja segan menyudahi momen berdua perdana dengan Anom. Meski miskin kata yang meluncur dari mulut kami tidak menimbulkan jenuh.
"Aku temani lembur, Mas, daripada sendirian."
Ucapan tiba-tiba itu menyentakkan kesadaranku. Aku mengingatkannya bahwa pekerjaanku bisa selesai lewat tengah malam. Anom berdalih dia akan mati bosan menunggu sendiri di ruang IT. Setelah menimbang, aku mengiyakan tawarannya.
Umpatan beruntun aku gemakan dalam hati begitu menyadari kesulitan berkonsentrasi dengan keberadaan Anom. Sesederhana dehaman Anom, atau acap kali dia berpaling dari laptop dan menyunggingkan senyum simpul, semua fokus yang aku kumpulkan dengan jerih akan tercerai. Aku harus pulang karena tidak akan ada pekerjaan yang selesai jika tetap di sini.
Seraya merapikan meja dan menyiapkan tumpukan berkas yang mau tak mau aku kerjakan esok, aku berujar pada Anom supaya dia juga berkemas. Sekalipun belum mengetahui tempat tinggalnya, aku menawarkan diri mengantarnya pulang karena sudah larut. Kami sempat terlibat tarik-ulur singkat mengenai jarak indekosnya dengan apartemenku. Pada akhirnya dia mengalah.
Memastikan tidak ada yang tertinggal, aku mematikan lampu dan menyusul Anom ke ruangannya.
Aku mengamati Anom memasukkan laptopnya ke dalam tas tanpa ada desahan letih. Begitu menyangkutkan tasnya ke bahu, Anom menatapku. "Yuk, Mas!"
Menyusuri koridor Coustiche yang sunyi sejak berjam-jam lalu, kami seperti dua penyusup. Jika bukan karena lanyard yang tergantung di leher, aku percaya satpam akan menanyai kami.
"Betah banget pake dasi seharian, Mas. Nggak gerah?"
Jawabanku memunculkan tawa yang memantul pada dinding Coustiche.
Kemampuanku bergulat dengan angka tak cukup untuk menghitung ledekan Anom tentang dasi yang masih kukenakan setiap kami berdua terjebak pekerjaaan hingga terpaksa lembur. Aku merindukan itu ketika Anom keluar dari Coustiche.
Anom meminta izin menyalakan radio setelah kami memasang sabuk pengaman dan lenganku mengarahkan mobil keluar dari bangunan The Plaza Office Tower. Aku melirik Anom, mendapati keningnya mengerut sementara jarinya sibuk mencari saluran radio yang masih beroperasi.
Kami bertukar pandang sesekali sampai dia menemukan saluran yang memutar lagu-lagu berbahasa Jawa. Dia lantas menyandarkan punggung dan bersenandung pelan. Aku tidak menyembunyikan keterkejutan menyadari dia hafal lirik lagu yang diputar. Anom terkekeh.
"Aku besar dengan lagu begini, Mas."
Meluncur di atas kesepian jalan utama Jakarta lepas tengah malam, diiringi gamelan serta rentetan kalimat yang artinya tidak kupahami, aku mengencangkan genggaman pada setir. Satu pertanyaan yang mengusikku saat itu: mungkinkah Anom mulai menjeratku dengan pesonanya?
***
Dear all,
Another part of Hingga Hati Lelah Menunggu is here.
Semoga suka, ya? Ditunggu komen dan vote-nya. Oh ya, silakan loh kalau mau follow playlist cerita ini di Spotify. Lima jam penuh dengan lagu-lagu yang saya pilih sesuai dengan alur cerita ini. I hope you'll check it out!
Playlist: April by Fiersa Besari
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top