AGUSTUS


Jika tahu dengan membuka mata akan diganjar nyeri di sekujur tubuh, aku pasti bersikeras melawan godaan melakukannya. Aku meringis, berharap perihnya menciut, tetapi sakit itu tetap menusukku dari berbagai sisi. Mengerjap, yang tertangkap pertama kali adalah cahaya remang dan bau yang identik dengan rumah sakit. Aku melenguh pelan selepas menyadari sedang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Berusaha menggerakkan tangan saat menyadari jam dinding menunjukkan hampir mendekati tengah malam, aku membatalkannya karena rasa kaku yang menjalari lengan.

Mendapati gelas di atas nakas, kering di tenggorokan yang sebelumnya absen, menyerangku dengan hebat.  Usahaku mengulurkan tangan dengan harapan mampu meraihnya, tersendat oleh rentetan rasa sakit yang tidak tertahankan. Aku melampiaskan frustasi dengan geraman pelan hingga sebuah suara membuatku menoleh.

"Lo udah bangun?"

Aku memanggil namanya dengan parau. Namun lega menyelimuti hati mengetahui ada manusia yang sangat aku kenal berada di sini. Menahan sakit, aku meraih wajah Joey dan mengelusnya pelan. Pria itu membalasnya dengan remasan tangan, seolah menyalurkan tenaganya kepadaku. Dia lantas mengecupnya.

"Thank God!" bisiknya pelan.

Dengan suara lemah dan sangat lirih, aku meminta Joey agar membantuku minum.

"Yes, of course!" balas Joey sebelum dia mengangkat gelas berisi air putih dan meninggikan bagian atas tempat tidur agar lebih memudahkanku minum. Joey lantas mengepit sedotan dan mengarahkannya ke bibirku. "Lo bakal baik-baik aja, nggak ada luka parah selain memar dan lecet-lecet."

Begitu rasa segar mengaliri tenggorokan, aku mengembuskan napas lega. Aku mengucapkan terima kasih—masih dengan suara pelan—dan menikmati genggaman tangan Joey. Aku bertanya alasan dirinya berada di sini.

"Menurut lo apa? Baru melek aja pertanyaan lo udah ngeselin gitu. Apa lo lebih seneng liat dokter ganteng daripada pacar lo sendiri?"

Rasanya ingin tergelak mendengar balasan Joey—karena kalimatnya merupakan bagian dari gurauannya—tapi nyeri di bagian rusuk terlalu kuat untuk diabaikan. Dengan lemah aku mengelus pergelangan tangannya dan mengatakan sangat bahagia bahwa dialah yang aku lihat saat tersadar.

"Seenggaknya sekarang gue bisa tidur nyenyak tahu lo udah sadar dan nggak kenapa-kenapa." Joey merendahkan tubuhnya untuk mengusap keningku. "I'm so sorry. Lo maafin gue, kan?"

Alisku mengerut, berupaya mengenang kesalahan yang dibuat Joey hingga wajahnya tampak begitu serius sampai harus melantangkan maaf.

Lantas ingatan beberapa jam sebelum kecelakaan memenuhi pikiranku.

Untuk pertama kalinya, kami dililit argumen yang tidak bisa diselesaikan dengan sentuhan, ciuman, atau es krim. Penyebabnya sungguh sederhana—Joey lupa tanggal pertemuan kami di Spanyol—dan kejutan untuknya terlanjur siap. Aku sempat menyalahkan diri karena harusnya paham, perayaan seperti itu bisa ditunda mengingat kesibukan Joey yang sampai mengorbankan waktu istirahatnya.

Merayakan sesuatu karena alasan sentimental adalah sesuatu yang signifikansinya kecil bagiku. Namun setelah Anom mengabari dia akan bertemu dengan Phillip di Thailand, mengingatkan diri sendiri tentang keberadaan Joey terasa lebih mendesak daripada sebelumnya. Menolak dirundung cemburu yang seharusnya tidak menguasai hati, aku menjadikan Joey sebagai pengalih perhatian karena hanya dia yang punya kemampuan menyisihkan kemelut mengenai Anom.

Salah? Tentu saja.

Seluruh emosi yang terpendam, meruah tanpa ada batas begitu tahu rencana yang telah tersusun kacau karena lupa yang mendera Joey. Aku menyemburkan deretan kata-kata kasar yang ditanggapi Joey dengan kalimat yang lebih tajam dan berbisa. Dia bahkan membanting pintu apartemen saat keluar menggandeng marah yang menggelayutinya.

Dengan pikiran kalut dan mencari pelampiasan, aku memutuskan berkeliling Jakarta tanpa tujuan yang pasti hingga kecelakaan itu terjadi. Wajah Anom terlintas setelah sadar tidak mampu lagi memegang kendali atas setir mobil. Ingatanku berhenti sampai di sana.

Memutar semua peristiwa tersebut membuatku berharap tidak mengigaukan nama Anom saat Joey ada di sini.

Aku mengangguk dan meminta Joey agar melupakannya.

Permintaan maaf Joey tidak lagi penting karena alasan yang membuat kami saling menyakiti sudah berlalu. Jika kalian berada di posisiku, mungkinkah kalian bertanya tentang keberadaan Anom? Maka aku menelan bulat-bulat keinginan menanyakan keberadaan Anom. Tahukah dia bahwa aku mengalami kecelakaan?

"Anom tadi ke sini karena begitu tahu lo kecelakaan, dia orang pertama yang gue kabarin. Dia keliatan panik luar biasa. Mungkin kejadian sama lo ini ngingetin dia sama cowoknya yang meninggal dulu. Gue bahkan nggak inget namanya. Tapi gue suruh dia pulang karena percuma juga dia di sini. Besok pagi gue kabarin kalau lo udah sadar biar bisa jengukin lo."

Hatiku merekah mengetahui Anom khawatir dengan kondisiku. Aku tidak pernah bermaksud membuat kamu khawatir, Anom, maafkan aku. Kepanikan Anom bisa aku pahami karena kejadian yang menimpa Pak Marteen jelas mustahil untuk dilupakan.

Tanpa bertanya, aku bisa merasakan Joey perlu istirahat hanya dengan memperhatikan wajahnya. Selain itu, kemejanya tampak kusut dan rambutnya berantakan hingga aku berusaha merapikannya dan memohon Joey supaya pulang dan tidur dengan pantas. Aku meyakinkannya tidak perlu ditunggui.

"Lo mau gue pulang supaya bisa ngecengin dokter yang handle lo? Not in a million years. Nggak usah mikirin kerjaan gue. Lo harusnya yang istirahat biar cepet sembuh. I'm okay, don't worry about me."

Aku menepuk pergelangan tangan Joey pelan karena dia lagi-lagi memancing tawa dariku. Dia hanya tersenyum sebelum mengusap keningku.

"Lo balik tidur lagi, ya? Apa perlu gue dongengin?"

Aku menggumamkan terima kasih sebelum kembali memejamkan mata. Aku merasakan bibir Joey mendarat di kening dan saat ini, yang baru diberikannya adalah pengantar tidur terbaik.

Membayangkan akan melihat Anom besok cukup membuat hatiku tenang. Aku berharap efek obat yang diberikan kepadaku tidak akan memaksa mataku terus terpejam.

***

Setelah memastikan kemungkinan ada orang lain yang memperhatikan kami nihil, aku dan Joey berciuman dengan sepenuh hasrat. Karena ada batasan yang harus kami jaga selama berada di rumah sakit, meenyatukan bibir kami lebih dari cukup.

"Gue tinggal dulu. Nggak usah macem-macem sama Sam," pesan Joey tanpa lupa menyebutkan nama dokter yang setiap hari melakukan visit—yang harus aku akui memang sangat memanjakan mata—"Gue kira dia belum ngizinin lo balik karena dia pasti mau ngajak lo nge-date. Coba dia tahu siapa gue, pasti bakal langsung kasih lo izin buat pulang."

Aku tidak harus menahan tawa karena perutku sudah cukup kuat menanggapi lelucon Joey yang terdengar absurd. Tiada hari yang terlewat tanpa menyinggung nama Sam sebelum Joey pergi.

Setelah memberiku satu senyum, Joey kembali meninggalkanku dalam kesendirian. Anom menemaniku sepulang kerja, tetapi selalu pamit setiap kali Joey datang. Aku tidak berani membayangkan kemungkinan yang melintas dalam pikiran Anom mengetahui Joey datang setiap malam untuk menemaniku. Selama dia belum menyuarakannya, mengambang harapan Anom tidak menganggap perlakuan Joey terhadapku berlebihan.

Senyumku mengembang saat melihat Anom melongokkan kepala dari luar. Dia segera masuk dan menghampiriku.

"Udah enakan, Mas?" tanyanya sembari meletakkan tas kertas yang aku yakin berisi roti. "Aku jam segini ke sini karena besok tetep harus ke Bangkok. Jadwal Phillip nggak bisa diganti dan aku kasihan kalau dia ke sana sendirian. Aku sebenernya nggak enak banget harus pergi sementara kamu masih di rumah sakit."

Meski niat melampiaskan cemburu yang mendadak mengungkung begitu besar, aku membalas penjelasan Anom dengan kalimat singkat. Aku hanya sanggup meyakinkannya bahwa dia harus menemui Phillip dan tidak perlu khawatir dengan kondisiku. Pilihannya sangat terbatas.

"Sudah tahu kapan boleh pulang?"

Aku menggeleng lemas karena Sam—yang menolak dipanggil dengan embel-embel dokter di depan namanya—masih berkeyakinan aku akan menerabas pantangan yang dibuatnya jika pulang. Joey berusaha keras membuatku bertahan sedikit lebih lama di sini dengan membawakan makanan yang diperbolehkan Sam. Meski tidak ada luka dalam atau infeksi, aku masih belum bisa makan gorengan padahal itu yang paling aku inginkan. Ada satu novel yang belum sempat aku selesaikan hingga aku meminta Joey mengambilkannya dari apartemen.

"Semoga pas aku pulang dari Bangkok, sudah bisa jenguk kamu di rumah."

Aku mengamini ucapan Anom. Tidak ada yang aku inginkan selain pulang dan tidur di tempat tidurku sendiri.

"Mau dibawain apa dari Bangkok, Mas?"

Aku meminta Anom agar menikmati kebersamaannya dengan Phillip daripada membebani pikirannya demi membawakanku sesuatu. Aku hanya berharap dia pulang dengan selamat.

Saat aku menatap Anom, dia seperti sedang menimbang keputusan yang penting. Aku mengenali ekspresi wajahnya hingga tidak ragu bahwa dia ingin mengungkapkan sesuatu kepadaku, tetapi masih ragu dengan keputusannya.

Dengan pelan, aku menyadarkan Anom tentang keberadaanku sebelum dia mengerjap dan tersenyum—yang jelas dipaksa. Aku bertanya apakah ada yang mengganggu pikirannya. Jika ingin berimajinasi, aku berharap dia sedang memikirkan kemungkinan untuk mengakhiri hubungannya dengan Phillip.

"Nggak ada, Mas. Aku cuma kepikiran soal kerjaan kemaren."

Meski tahu kalimat Anom diselimuti kebohongan, aku tidak menyudutkannya agar memaparkan ganjalan yang mengganggu pikirannya. Jika aku bersikeras untuk tahu, Anom akan bersikap defensif dan usahaku akan berbuah kesia-siaan.

"Aku nanti mungkin nggak bisa sampai nunggu Joey pulang, Mas, masih harus nyiapin keperluan buat besok."

Aku mengatakan paham dan menyuruh Anom meninggalkanku jika memang dia harus menyelesaikan urusan untuk ke Bangkok besok. Demi memgusir resah yang jelas menggantung dalam pikiran Anom, aku bertanya tentang perasaannya bertemu Phillip setelah sekian lama.

"Seneng sih, Mas. Kangen banget karena video call-an tiap hari nggak mempan juga," jelasnya dengan mata berbinar. "Tapi juga berarti aku musti nunggu sebelum ketemuan sama dia lagi dan itu bagian yang paling nggak aku suka."

Aku menelan ludah dan berharap Anom tidak perlu menjadikan hatinya sebagai taruhan atas sesuatu yang belum pasti. Namun dia sudah terlanjur terikat dengan Phillip. Anom bahagia, terlepas dari dusta yang dengan kuat aku sandarkan untuk mengingkarinya.

Bukankah mencintai Anom selaras dengan menyaksikannya tersenyum?

***

Dear all,

Bolehkah saya bilang kalau Aku ini sedikit nggak tahu diri? Muahahaha. Udah ada Joey, bukannya bersyukur, malah makin kebangetan sama Anom :p

Song - Lost Cause by Beck

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top