AGUSTUS

Di balik kacamata surya, aku memendam gejolak emosi yang menggedor tanpa jeda. Gulungan ombak yang gemuruhnya saling bersahutan, memanjakan penglihatan serta pendengaranku. Warna hijau kebiruan yang lebih dari dua jam menyuguhkan kreasi alam, mengusik konsentrasi hingga membaca Bring Up the Bodies bukan lagi masuk dalam prioritas.

Membuang napas, aku merapikan ujung kain pantai dan berandai-andai bisa menghabiskan setiap hari tenggelam oleh embusan angin laut dan suara samudra. Terlebih Green Bowl jauh dari hingar-bingar turis dan restoran. Kesunyian yang disodorkan tempat ini langsung mengoyak sebuah ide gila meninggalkan semuanya di Jakarta.

Bali sejujurnya bukan bagian dari agenda perjalananku tahun ini. Namun ketika Anom dengan kekuatan yang selalu gagal aku tangkal menyuarakan ajakan ke Pulau Dewata, menolaknya tersingkir dari pilihan. Menguatkan satu alasan mengenai satu hal yang belum pernah kami lakukan bersama adalah traveling, dia  menggodaku agar mengambil jatah cuti. Anom tidak pernah mendapat tantangan dariku. Rumit dan riuh Jakarta mulai menggerus akal sehat serta semangatku hingga tawaran Anom semakin menggiurkan. Aku pun menyerah.

Apalagi setelah yang aku miliki bersama Cal berakhir.

Drama saling tuduh atau kedatangan orang ketiga, absen saat kami sepakat memilih jalan yang berbeda. Umpatan atau kata-kata kasar juga terdiam tanpa aksi. Duduk berhadapan, perubahan dalam dinamika serta chemistry kebersamaan kami meluber dengan sendirinya. Sibuk tidak kami jadikan penyebab utama karena kesempatan menghabiskan waktu bersama selalu tersisih. Kami hanya dua manusia yang perasaannya berjarak semakin jauh dengan berlalunya hari. Tidak ada pihak yang disalahkan atau bertanggung jawab.

Aku mengamini saat Cal dengan suara berat mengungkapkan hati kami menentukan arah yang berlawanan. Ganjalan yang aku rasakan terwakili oleh ucapan Cal. Tidak lagi aku bertanya benih apa yang bersemai hingga berbuah pada perpisahan kami. Dia bahkan masih menciumku sebelum kekosongan mengisi ruang tamu apartemen, meninggalkan jejak kenangannya.

Perlu waktu untuk beradaptasi dengan fakta bahwa lengan Cal tidak lagi memeluk dari belakang setiap aku sibuk di dapur. Hilang sudah sore di mana aku menyandarkan kepala di pangkuan sementara konsentrasi kami terfokus pada dua bacaan yang berbeda. Patah hati bukanlah hal asing bagiku, tetapi lesapnya Cal dari hariku terasa menyesakkan. Memungkirinya hanya menajamkan perih yang menguasai jiwa.

Pekerjaan menjadi pelampiasan demi menyingkirkan keinginan mencari pengganti Cal. Tanpa aku sadari, hubunganku dengan Anom kembali teranyam rapat. Frekuensi pertemuan kami yang bertambah membangunkan perasaan yang sempat beristirahat saat Cal hadir. Menangkis pesona Anom bukanlah hal bijak karena tamengku tidak cukup tebal hingga dengan pasrah, aku kembali bertekuk lutut pada cinta yang masih mampu memperangkap erat.

Ragu tentang keputusan ke Bali sempat menyenggolku saat kami duduk bersisian dalam penerbangan dari Jakarta. Entah sadar atau tidak dengan perangai diam yang lebih sering aku tunjukkan di hadapannya, Anom menahan opininya. Tidak lama setelah sampai di hotel di kawasan Seminyak, hal pertama yang kami lakukan adalah menyewa sepeda motor.

Sayap kebebasan di pundakku seperti terentang lebar saat merasakan angin yang menerpa wajah dan lengan. Menyusuri jalanan Bali menyuntikkan kenikmatan yang hanya bisa didapat di pulau ini. Dua sore kami mengejar matahari terbenam di Petitenget dan Canggu yang masih asri dan jarang disambangi turis. Amed merupakan tujuan utama kami pada hari ketiga dan bersnorkeling menjadi satu-satunya aktivitas yang menguras tenaga. Hari keempat Anom menyarankan pergi ke Green Bowl atas nama penasaran dengan pantai di ujung selatan Bali tersebut. Pantai yang dijulukinya punya tangga jahanam.

Tidak banyak kata yang terucap begitu pasir menenggelamkan jemari kaki kami. Aku terbawa arus tenang yang dipentaskan oleh samudra yang terbentang karena keinginan memejamkan mata sesaat. Kapan lagi bisa berbaring dengan ombak sebagai suara pengantar tidur?

"Kamu baik-baik aja kan, Mas? Aku perhatiin kamu lebih sering diam."

Anggukan adalah jawaban yang aku berikan atas pertanyaan Anom tanpa harus memberinya izin mengorek kebenaran dari mataku. Berdalih di hadapan Anom bukanlah hal sulit. Terlepas dia percaya atau tidak, Anom jarang menyanggah tanggapanku.

Dari balik kacamata riben, aku menyadari ada sorot khawatir dalam tatapan yang diberikannya kepadaku. Namun kacamata ini juga yang melindungiku saat menyaksikan Anom bertelanjang dada pertama kali. Tenggorokanku yang tidak kering pun harus aku basahi saat melihatnya berenang.

Anom selalu kabur dari fantasi seksual karena ada salah yang menggigit setiap kali pikiranku membentuk imajinasi Anom. Menangkis potret tentang tubuh Anom ternyata bukan hal yang mudah. Impian menelusuri setiap jengkal kulit Anom dengan tangan dan bibirku lepas tanpa kendali. Selama di Bali, perjuangan keras agar membiasakan diri melihatnya bertelanjang dada masih menjadi perseteruan antara moral dan nafsu.

Pekerjaan adalah satu-satunya yang aku sampaikan ke Anom. Aku berhasil menyembunyikan Lelo dari Anom selama bertahun-tahun, dan tidak ada alasan melisankan Cal sebagai pembuka obrolan mengenai kisah cinta yang telah menjadi sejarah.

"You know you can always tell me everything, Mas. Kita udah kenal lama."

Membuka kembali buku karangan Hilary Mantel, aku berharap Anom berhenti memerah alan di balik diamku. Meski tampak tidak rela aku menutup kesempatan baginya mengeksploitasi suasana hatiku, Anom lantas bangkit dari duduknya dan berjalan menuju bibir pantai. Tidak lama kemudian, tubuhnya sudah bergelut dengan air hingga aku bisa mengembuskan napas lega.

Bukan hanya Anom yang buta mengenai Cal, tetapi juga Lelo. Anom bisa menerima dalih yang diterimanya, tetapi Lelo terlalu mengenalku untuk menaksir ada sesuatu yang aku kepal dan enggan aku lepas. Namun dia menyingkirkan keingintahuannya demi mempertahankan petemanan kami.

Rindu kepada Cal begitu hebat hingga sempat terlintas untuk mengiriminya pesan, berharap jalan kami yang telah berbeda arah, akan kembali berpapasan di satu titik. Namun itu hanyalah dorongan impulsif tanpa disertai logika. Murni perasaan. Cal adalah pria dewasa yang sangat memahami kebutuhan hatinya dan kami cukup matang untuk memahami bahwa hubungan yang tidak diterpa badai pun bisa karam.

Aku pernah membayangkan Bali bersama Cal karena dia pernah dua tahun menyusun masa depan di pulau ini. Bersamanya kami akan menyusuri tempat-tempat yang tidak masuk radar turis dan memaku kenangan di setiap sudut Bali. Membawa Cal dalam ingatan hanya memperdalam rindu yang selamanya akan mengambang.

Tidak mampu lagi mengumpulkan konsentrasi, aku menutup buku yang belum separuh terbaca. Melepas kacamata hitam, aku menutupi wajahku dengan handuk. Mungkin tidur akan membantu membersihkan mimpi tentang Cal.

***

Café Bali adalah pilihan kami berdua untuk mengakhiri perjalanan ke Bali.

Menghabiskan satu hari demi mencari oleh-oleh untuk dibawa pulang, kami terlalu lelah menembus kemacetan Bali hingga mencari restoran yang bisa dijangkau dengan kaki. Anom bersikap normal selepas pertanyaannya di Green Bowl. Aku hanya mengumandangkan syukur berkali-kali dalam hati.

Anom kembali mendapatkan ucapan terima kasih dariku atas rencana yang luar biasa brilian ini. Satu yang tidak berani aku impikan adalah bersama Anom di lingkungan yang asing bagi kami berdua. Perjalanan ini menjadi penguat kecocokanku dengan Anom yang tidak lagi bisa dibantah.

"Aku seneng akhirnya kita bisa ngabisin waktu bareng, Mas. Aku nyadar udah jadi temen yang nggak baik setahun belakangan. Kesibukan di kantor sering bikin aku capek begitu sampai kos dan itu berimbas ke pertemanan kita. Kamu salah satu orang terpenting dalam hidupku, jadi aku ngerasa wajib menebus kelakuanku yang sangat mengecewakan sebagai teman. Thank you for being the best friend I've ever had, Mas. You've done a lot for me."

Semua balasan yang terpikir olehku terasa sentimental hingga aku menggunakan gelas berisi white wine Anom untuk mengalihkan pembicaraan.

"Thanks to you, Mas. Aku sih nggak tiap malam minum wine kayak kamu, tapi aku bisa."

Kami tergelak.

Aku pun mengaku bahwa liburan ini datang pada saat yang tepat dan menghabiskan hampir seminggu dengannya menggandakan arti melepas penat.

Bali menggamparku tentang satu fakta. Usaha memberikan hati kepada pria lain yang bukan Anom hanyalah membuang waktu yang berujung menyakiti perasaan. Kalaupun setelah Cal ada pria lain, cinta yang aku sodorkan tidak mungkin sebesar porsi yang telah direngkuh Anom. Aku rela dianggap bodoh bagi sebagian besar orang karena bertahan dengan sakit hati.

"Aku tahu ada yang kamu sembunyikan, Mas. Aku nggak akan maksa kamu cerita. I just hope I can help you with whatever you're going through at the moment."

Bagaimana bisa aku memberitahu tentang Cal tanpa menyeret perasaanku kepadamu, Anom?

Tanpa menyebut nama Cal, aku mengungkapkan tentang patah hati yang baru terjadi. Sikap Anom seketika berubah karena senyum yang terpasang di wajahnya begitu penuh dengan sesal.

"Are you okay, Mas?"

Aku mengangguk dan menjelaskan berpisah adalah keputusan terbaik daripada bertahan dalam kehampaan.

"It's her loss, to be completely honest."

Aku mengangkat gelas berisi red wine dan menyesapnya. Tidak muncul keinginan mengoreksi ucapannya. Setidaknya Anom telah terbebas dari rasa ingin tahu. Sisa malam kami berlangsung aman tanpa sekalipun Anom menyinggung prahara hati. Dia semakin girang menyadari bahwa ajakannya ke Bali datang di saat yang tepat.

Rasanya kurang jika tidak bertanya tentang pasangan kepada Anom. Aku begitu berhati-hati agar tidak mengesankan perpisahannya dengan Pak Marteen adalah karena maut.

Anom tersenyum. "Masih belum nemu yang pas, Mas. Aku juga nggak buru-buru. Aku pecaya nanti bakal dateng sendiri kalau waktunya udah pas. Aku pun nggak yakin gimana harus memulai sebuah hubungan baru setelah kematian Marteen. Aku nggak pernah ada di posisi seperti ini sebelumnya. Everything seems new and a bit confusing. Pasti bakal aneh karena aku jelas nggak bisa menghindar kalau obrolan tentang masa lalu terjadi."

Bahasan kami terpotong oleh dua porsi Crème Brûlée yang disajikan di depan kami. Aku dan Anom saling bertatapan sebelum mengetukkan bagian sendok yang lengkung ke permukaan makanan penutup dari Prancis tersebut.

Dengan cepat, topik tentang pencarian cinta Anom pun tergantikan. 

***

Dear all,

Ternyata kemesraan Aku dan Cal hanya berlangsung singkat #teruspenulisnyadirajam :D Salah satu hal paling berat bagi penulis itu adalah mengakhiri sebuah hubungan karakter utama dengan karakter lain yang begitu menyenangkan. I had a problem eliminating Cal from Aku's life, but it had to be done. Karena penting bagi alur agar tidak berhenti di sini aja. 

Let me know what you think about this chapter.

Oh ya, saya kemaren sudah submit As Time Goes By buat Wattys 2020. Doakan semoga tembus, ya? Unending juga akan saya submit setelah nanti saya edit *fingers crossed*

Song - My Eyes Adored You by Frankie Valli

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top