AFTER THE WEDDING
Aku mengembuskan napas lega bertepatan dengan ketukan pelan di pintu. Tenggorokanku ingin meneriakkan siapa pun agar tidak mengusik waktuku agar bisa menenggelamkan diri dengan Cabernet Sauvignon yang masih teronggok menunggu aku menandaskannya.
Suara ketukan itu bukannya berhenti, tetapi semakin menggagalkanku untuk mendapat ketenangan setelah hari yang menguras habis seluruh keinginan agar tetap bernapas. Bangkit dari sofa dengan langkah terhuyung, aku menyeret kaki mendekati pintu. Saat mengintip dari lubang pintu dan menemukan Anom berdiri di luar, aku mengerutkan kening. Berusaha menutupi alkohol yang telah mengambil sebagian kesadaran, aku merapikan kemeja tanpa peduli mengancingkannya.
Senyum Anom yang menyambutku dengan kilat membangkitkan segala kesadaran bahwa ada yang tidak beres. Dia bahkan langsung masuk ke kamar dan memintaku agar menutup pintu. Menurutinya dengan banyak pertanyaan, aku membalikkan badan dan menyaksikan Anom bercekak pinggang. Tatapan yang diberikannya mengusik seluruh kenangan bertahun-tahun lalu saat dia meluapkan kemarahannya di hadapanku karena menolak dipindahkan ke kantor cabang Coustiche di Singapura.
Kali ini aku sungguh tidak tahu apa yang membuatnya begitu murka. Semua kemungkinan yang terpikir olehku sama sekali tidak mampu menerka kemarahan Anom.
"Jadi selama ini kamu bohong ke aku, Mas? I've trusted you for eight fucking years and you can't even tell me that you're into guys?"
Aku bisa menghitung dengan satu jari saat Anom mengumpat di depanku. Dari semua kejadian itu, penyebabnya selalu orang atau hal lain, tidak pernah aku. Namun kalimat bernada tuduhan itu jelas diarahkannya kepadaku. Bahkan bagaimana dan dari siapa Anom tahu tentang seksualitasku tidak lagi menyinggung rasa khawatirku. Delapan tahun Anom berhasil teperdaya dengan seksualitasku, dan atas alasan apa dia mengungkapnya malam ini? Setelah dia resmi menjadi pasangan Phillip?
Wajah Anom memerah, dadanya kembang kempis, dan tatapannya penuh dengan luka. Aku tidak berkelit karena mungkin ini cara terbaik keluar dari persembunyian selama delapan tahun. Anom telah membuka jalan, yang perlu aku lakukan adalah melanjutkannya hingga menemui ujung.
Aku mendekati Anom yang tidak beranjak dari titiknya berdiri. Dia sudah berganti pakaian dengan kemeja katun biru muda dan celana panjang putih. Rambutnya masih tertata rapi oleh gel, tetapi sosok yang berdiri di hadapanku ini adalah Anom yang tertanam dalam ingatan sebelum dia pergi ke Inggris dan bertemu Phillip. Dia seperti anak kecil yang berdiri di persimpangan, bingung memilih jalan yang benar.
"Kamu utang penjelasan banyak banget sama aku, Mas."
Aku memilih duduk di tepi tempat tidur menghadap jendela yang tirainya telah aku singkap dan membiarkan langit malam London menembus kamar. Memunggungi Anom, aku menunjukkan sisi pengecut karena terlalu takut dengan perubahan ekspresi wajahnya.
Mengabulkan permintaan Anom, aku memulainya dengan kehidupanku di panti asuhan sebelum diadopsi begitu usiaku menginjak delapan tahun. Hidup tanpa kasih sayang orang tua sejak dini, membuatku lihai menyembunyikan perasaan. Beradaptasi dengan dua manusia yang ingin memberiku sosok ayah dan ibu tidak mengubah kebiasaan itu. Aku menghabiskan masa remaja dengan menyimpan semua emosi dan hanya melampiaskannya melalui buku harian. Tinggal di Australia tidak membantuku terbuka, terlebih setelah orang tua angkatku mengetahui bahwa aku lebih tertarik kepada sesama jenis. Mereka berbaik hati membiayai kuliahku hingga usai dengan catatan aku kehilangan rumah dan keluarga begitu pendidikanku selesai.
Bekerja di Coustiche harusnya menghapus ketakutan itu, tetapi nyatanya aku tidak mampu. Melihat beberapa staf yang terbuka dengan seksualitasnya sempat mendorongku untuk mengambil langkah serupa, tetapi saat tahu orang-orang bergunjing bahwa kemampuan dan ketidakmampuan selalu dikaitkan dengan homoseksualitas, aku menarik diri, memutuskan untuk menyimpan rapat-rapat preferensi seksualku dari siapa pun.
Aku bercerita tentang Lelo, tentang rasa frustasinya yang mengakibatkan hubungan kami berakhir. Tentang Cal yang tidak begitu peduli apakah aku terbuka dengan seksualitasku atau tidak. Aku menoleh dan menyaksikan reaksi Anom saat menyebutkan nama Joey.
Anom tetap mematung, kemarahan itu masih menguasainya meski aku bisa memastikan bahwa kadarnya telah berkurang.
Namun aku tahu dia akan lebih murka setelah detik ini berlalu.
Ada dorongan kuat mengabulkan ucapan Lelo pagi tadi tentang membuka pintu hati dan mengizinkan Anom masuk. Aku menatapnya dalam-dalam dan meski bibirku bergetar karena tidak mungkin menelan kembali kata-kata yang akan terucap, aku melepaskan tali yang telah mengikatku selama delapan tahun.
Tubuh Anom bergetar begitu semua isi hati yang sengaja aku sembunyikan darinya muncul ke permukaan.
Aku menarik paksa Anom kembali ke masa lalu ketika dia masih bersama Pak Marteen. Rasa legaku saat keluarga Pak Marteen mengambil eutanasia sebagai keputusan paling bijak karena itu berarti aku bisa menjadi satu-satunya tempat Anom bersandar. Keinginan terdalam agar dia tidak lolos beasiswa karena menyadari dia akan lepas dariku dan terbukti dengan pertemuannya dengan Phillip. Aku bahkan berniat melakukan apa saja untuk menggagalkan pernikahannya pagi ini karena terlalu takut kehilangannya.
"I've been loving you for eight years, Anom, even when I was with someone else."
Dengan suara bergetar aku mengungkapkan kalimat yang telah lama tertunda dan terkubur dalam-dalam. Jika setelah ini Anom memutus hubungan kami dan tidak lagi ingin melihat wajahku hadir di hadapannya, aku akan menganggap itu hukuman yang pantas dia jatuhkan.
Hatiku telah berupa repihan hingga untuk menghancurkan tiap serpihannya bukanlah hal sulit. Aku belum tahu apakah akan menyatukan keping-kepingnya lagi atau membiarkannya berserakan.
Aku menyaksikan air mata yang menetes dari kedua ujung mata Anom. Setetes demi setetes sebelum telingaku menangkap tangisnya. Kemejanya telah basah di beberapa titik, tetapi Anom belum mengucapkan satu patah kata pun. Aku hanya diam, menahan setiap otot yang memerintahku untuk bangkit dan mendekati Anom. Yang tersisa dariku adalah hampa, seolah seluruh planet yang selama ini berevolusi dengan Anom sebagai matahari hilang secara misterius.
Apa pun yang akan keluar dari mulut Anom akan menghapus seluruh persepsi yang dimilikinya tentangku. Anom hanya akan mengingatku sebagai penjahat tersadis yang telah mengelabuinya dengan lihai. Di matanya, aku adalah kriminal yang patut dipasung. Tidak lagi tersisa ampun dalam dirinya.
Anom menggunakan telapak tangan untuk menghapus air matanya. Dia berusaha keras menyeimbangkan emosi yang telah aku porak-porandakan dalam hitungan menit. Dia masih tersengguk, tetapi pandangan yang diberikannya padaku telah memberiku gambaran tentang apa yang akan didengungkannya di telinga.
"Aku nggak yakin yang kamu rasakan kepadaku itu cinta. Aku nggak pernah mengenal cinta yang merusak seperti itu. That is the saddest and sickest love that I've ever known." Anom kembali mengusap pipinya yang masih dialiri air mata. "Aku kasihan sama kamu, Mas. Kamu sungguh nggak punya perasaan. Aku nggak bisa mengubah semua yang telah kita lalui, tapi aku bisa mengubah apa yang belum terjadi." Anom lantas memperlebar jarak di antara kami dengan berjalan menuju pintu. Ketika tangannya sudah memegang gagang pintu, dia menatapku dengan kebencian yang belum pernah aku lihat darinya. Kebencian yang hanya dia tujukan kepadaku. "Saat melihat kamu berciuman dengan Andrew semalam, aku begitu marah bukan karena Andrew adalah sahabat Phillip, tapi karena kamu nggak pernah mau repot-repot membuka diri kepadaku. Cerita tentang masa kecil kamu membuatku paham tentang keputusan menyembunyikan seksualitasmu dari semua orang. Aku berniat memaafkan kamu karena sudah menyimpannya begitu lama dariku, tapi sekarang aku justru nggak tahu apakah maaf itu bisa aku berikan, Mas." Suara Anom kembali bergetar hingga aku hanya mampu menelan ludah. "Aku lebih suka kamu menganggapku mati karena itu yang akan aku lakukan. For me, you're no longer alive. Anggap delapan tahun yang pernah kita bagi hilang, Mas. And I hate you. I really do. "
Dengan kalimat itu, Anom memutar gagang pintu dan sosoknya tidak hanya hilang dari pandangan, tetapi juga dari hidupku.
Aku memejamkan mata dan air mata yang tertahan sepanjang hari akhirnya tumpah. Suara tangisku begitu lantang hingga keriuhan yang memenuhi Chiswell Street dengan mudah teredam.
Akhir kisahku dengan Anom jauh dari kata bahagia. Aku tidak lagi mampu menjalin kenangan bersamanya yang bisa aku putar dua puluh tahun dari sekarang karena Anom telah menghapus setiap jejak memori yang bahkan belum tercetak.
Dengan sesak yang masih mengimpit dada, aku bangkit dari duduk dan menyaksikan bayanganku pada jendela kaca. Anom telah menolak cinta yang masih aku punya untuknya, adakah alasan lain untuk tetap hidup? Aku berusaha menemukannya, tetapi segala jawaban selalu mengerucut pada satu nama: Anom.
Dia menganggapku mati, apa bedanya jika memang aku tidak lagi bernapas dan jantung ini tidak lagi berdegup? Akan lebih mudah menghadapi kematian dibanding menjalani hidup tanpa Anom di dalamnya.
Mengerjap, tanganku dengan gemetar membuka jendela kamar. Begitu angin malam menamparku, jalanan di bawah mencuri semua fokusku. Dengan cepat, aku menarik sofa agar lebih dekat dengan jendela sebelum menaikinya.
Memandang Chiswell Street, tidak ada yang lebih melegakan daripada menuruti keinginan Anom.
***
Dear all,
Apakah sempat terpikir bahwa pengakuan Aku kepada Anom akan seperti ini?
Pengen banget bilang ini ending Hingga Hati Lelah Menunggu, dan secara teori memang bisa dianggap sebagai akhir cerita, kan? Aku mengungkapkan perasaan kepada Anom hingga nggak ada lagi pertanyaan tentang reaksi Anom.
But masih ada satu bab yang bisa dianggap sebagai epilog. Silakan ditunggu!
What do you think about this chapter?
Song - Sewindu by Tulus
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top