25 AGUSTUS
Di salah satu sudut London, rindu yang hampir satu tahun diselimuti salju dan dingin, dengan cepat meleleh dan mengantarkan hangat karena Anom duduk di hadapanku.
Sejak mendarat kemarin, hari ini merupakan pagelaran utama perjalananku ke ibukota Inggris. Satu-satunya penawar lelah setelah penerbangan belasan jam. Menjelajahi wajah Anom melalui layar ponsel tidaklah sama dengan mengamati setiap jengkal tubuhnya yang tampak lebih berisi tanpa penyekat. Suaranya mengaburkan sekeliling hingga yang tersaring oleh pendengaran hanyalah milik Anom.
Memanjakan lidah di Blandford Comptoir dengan menu Italia dan interior yang sangat menentramkan mata-penuh dengan warna biru yang mengingatkan dengan warna Laut Mediterania-aku memenjarakan setiap gerak-gerik Anom setiap detiknya agar bisa mengusungnya pulang ke Indonesia. Senyum Anom tidak sekali pun pudar dalam perjalanan ke sini. Tidak berlebihan kan jika aku beranggapan keceriaan Anom murni karena kedatanganku ke London?
Satu yang berubah dari Anom adalah model kacamatanya yang berbeda. Sulit menekan komentar tentang hal itu mengingat dalam sejarah pertemanan kami, dia selalu mengenakan model serupa. Mengenal Anom selama enam tahun, ini pertama kali dia mengenakan kacamata dengan rangka. Heran menyeruak karena model yang sedang dia kenakan sekarang bukan hanya cocok dengan bentuk wajahnya, tetapi juga mempertegas karakter Anom. Tanpa menunggu, aku menyuarakan pendapat.
Anom tidak mampu menahan tawa. "Nggak ada sebabnya, Mas, tiba-tiba pengen ganti aja. Aku ngerasa bosen. Kebetulan liat yang cocok, jadi kenapa nggak?"
Pujianku atas tampilannya yang berubah masih enggan dia terima.
Ketika pramusaji menghampiri meja kami dan menanyakan adakah lagi yang kami pesan, aku menyodorkan pilihan kepada Anom. Membawanya ke Blandford Comptoir adalah bagian dari rencana yang tertulis semenjak kakiku masih menapak di atas bumi Jakarta. Pernah duduk di kursi serupa bertahun-tahun lalu, aku paham rasanya hidup bergantung pada beasiswa seperti yang dijalani Anom. Aku ingin membisikkan sedikit kemewahan dalam harinya mengingat hidup di London jauh dari murah. Tidak lelah aku berpesan agar Anom menggunakan uang yang dimilikinya untuk keperluan yang lebih penting dan mendesak.
Anom bertanya tersipu apakah dia bisa memesan take away, dan tanpa ragu, aku mengangguk.
Bermacam kisah yang menyempal dari mulut Anom, aku tanggapi dengan mata berbinar. Perkuliahan yang sangat padat serta kesulitan beradaptasi dengan budaya Inggris sempat menurunkan spiritnya. Beruntung Anom tinggal di International Student House hingga mencari teman pun hanya perkara bersikap supel. Dan tidak muncul ragu Anom meraup banyak pertemanan dengan mudah.
Inggris secara gamblang mendewasakan Anom. Cara pandang yang jauh lebih praktis serta antusiasmenya membahas topik-topik yang dulu jelas tidak pernah jadi pilihan, menghamburkan kagum dariku.
Pertalian hatiku dengan Joey memang semakin pagan, tetapi melansir bahwa perasaanku kepada Anom menyusut adalah sebuah kebohongan. Rasa peduli dan sayangku tetap solid sekalipun Joey berdiri di sampingku. Mungkin ini situasi yang diikrarkan para pujangga bahwa cinta sejati akan tetap bercokol meski ada cinta lain yang datang.
"Rencana besok apa, Mas? Aku kayaknya bakal sibuk sampai sore, jadi kalau mau ketemu, bisanya malam."
Seluruh itinerari di London berpusar pada Anom. Selain bertemu Lelo-yang telah berjanji akan menemaniku setelah dia kembali dari Dubai-sesungguhnya tidak tersusun rencana lain.
Pertanyaan Anom aku tanggapi dengan menyebut Madame Tussaud dan Hyde Park. Lebih karena dua tempat itu yang melintas di pikiran daripada keinginan menggebu untuk menginjakkan kaki di sana.
"Aku nggak akan nolak kalau diajak naik London Eye."
Aku menyanggupi permintaan Anom dan menyerahkan pilihan waktu kepadanya. Sejujurnya, aku sudah mengalokasikan bujet khusus demi memanjakan Anom dengan menuruti keinginan Anom-ada usaha ekstra demi memancing Anom menyebutkan apa saja yang dia inginkan.
"Oh ya, Mas, aku mau kasih tahu sesuatu."
Aku melipat lengan di atas meja, senyum terpasang lebar, dan bersiap menyambut kabar yang tampak serius karena Anom menegakkan tubuh dan mengedarkan pandangan sebelum menatapku.
"I met someone."
Melamban tapi pasti, sunggingan bibirku menyuram.
Ketakutan yang sempat memukul keras-keras logika, berhasil aku taklukkan. Namun saat ini, aku dikelilingi cemooh bercampur tawa mengejek. Harusnya aku sadar, manusia dengan kualitas seperti Anom tak ubahnya seperti magnet, akan menarik kutub yang tepat. Dia ternyata menemukannya di daratan Eropa.
Senyumku kembali terpasang-meskipun mengandung kepalsuan-bersamaan dengan pertanyaan mengenai laki-laki yang telah mencuri hatinya. Mulutku digelayuti beban karena mengutarakannya tidak berbeda dengan sayatan tipis pada hatiku.
Mengetahui kebahagiaan Anom bukan semata karena kedatanganku mencambuk riang yang sebelumnya dengan pongah berkelakar. Anom berhak dekat dengan siapa pun-termasuk jatuh cinta dengan pria lain-karena aku tidak mengantongi hak mengeluarkan fatwa untuknya. Cemburu mengolokku dengan ramai hingga kedua tanganku terkepal di bawah meja agar tidak tepergok oleh Anom.
"Namanya Phillip, dan kami ketemu saat ada acara ulang tahun salah satu teman sekelas. Bertemu seseorang adalah hal terakhir yang aku pikirkan saat mendapatkan beasiswa karena aku ingin fokus dengan studi di sini. Pertemuan dengan Phillip benar-benar tidak masuk rencana, Mas. Dia kerja di salah satu perusahaan cyber security dan hubungan kami mengalir begitu saja tanpa ada paksaan. Kami sering ketemu hampir tiap weekend dan perasaan suka itu datang begitu aja. It just feels ... right, Mas. Nggak ada yang dipaksain dari hubungan kami."
Jika saja perasaanku terhadap Anom baru menjerat kemarin sore, reaksi tenang yang aku tampilkan mustahil terbit. Namun lima tahun telah mengajariku cara menekan emosi di balik kabut yang pekat, jauh dari jarak pandang Anom. Kemampuanku sudah sangat teruji, mementaskannya bukanlah hal sulit.
"Belum terpikir apakah ini akan jadi sesuatu yang serius atau nggak, Mas. Ini hubungan pertamaku setelah Marteen," balas Anom setelah aku menyinggung tentang masa depan di antara mereka saat Anom harus kembali ke Indonesia. "Aku pernah berusaha bahas soal itu, tapi Phillip bilang kami masih bisa menunggu."
Menjadi saksi perasaan Anom yang tercabik bukanlah sesuatu yang aku inginkan sepulangnya dia dari Inggris. Namun kemungkinan itu terpampang jelas layaknya adegan dalam sebuah film romantis. Anom harus pulang ke Indonesia dengan senyum bangga karena berhasil merampungkan studinya dengan baik.
Aku tidak yakin sanggup menyembuhkan luka hatinya.
"Aku udah nyiapin diri kalau memang hubungan kami nggak bisa bertahan setelah pergi dari Inggris, Mas. Hatiku akan tetap sakit, tapi seenggaknya aku sadar ini bukan salah siapa-siapa melainkan waktu dan jarak."
Mendengar kesiapan Anom menyambut patah hati sungguhlah kejutan paling tidak mendamaikan. Aku berada di posisi sulit karena apa pun yang terucap dariku akan punya tendensi menyalahkan atau menyinggung Anom.
Cinta selalu datang tidak terduga. Aku dan Anom sama-sama menjadi korban ketidaksiapan itu. Mungkin jika menggumamkannya berkali-kali dalam hati, cemburu yang aku rasakan kepada Phillip akan mereda.
"Aku sama Phillip setuju buat menikmati waktu yang ada. That's the best thing we can do right now." Meski diikuti senyum, aku bisa melihat Anom sulit memercayai kalimatnya sendiri.
Akan menimbulkan curiga jika basa-basi tentang bertemu dengan Phillip tidak mengemuka-sekalipun aku sungguh tidak ingin berjumpa dengan pria yang berhasil menjerat Anom dalam pesonanya.
"Aku mau banget kenalin kamu sama Phillip, Mas. Sayangnya dia lagi nggak di London sekarang. Dia sudah dua minggu di San Francisco karena ada kerjaan di kantor sana. Kalau ada orang yang aku percaya untuk ngasih penilaian soal Phillip, itu kamu. Makanya aku cukup sedih kalian nggak bisa ketemu pas kamu di sini."
Anom dengan gesit mengeluarkan ponsel dari saku celana ketika permintaan melihat foto Phillip terlontar. Tidak lama kemudian, dia menyodorkan ponselnya ke arahku.
Cemburu melalap hatiku saat melihat foto Phillip dan Anom.
Mereka duduk bersebelahan di atas bangku kayu dengan meja di depan mereka yang penuh dengan makanan. Anom mengalungkan kedua lengannya pada leher Phillip yang mengenakan kemeja bermotif kotak-kotak. Senyum mereka mustahil mengelabui siapa pun yang menganggap Anom dan Phillip tidak bahagia. Dengki menggabungkan kekuatannya bersama cemburu. Pandanganku memperhatikan kacamata yang dikenakan Phillip mirip dengan yang sedang dipakai Anom saat ini. Semuanya menjadi masuk akal sekarang. Anom tidak mengganti model kacamatanya karena bosan, tetapi Phillip punya andil meski sulit mengetahui seberapa besar.
"Kakek Phillip ngerayain ulang tahun yang ke-70 dua bulan lalu dan dia memintaku ikut ke Cornwall. Aku awalnya nolak karena ketemu keluarga besar mereka seperti hubungan kami sudah sangat serius, tapi susah buat bilang nggak ke Phillip, Mas. He was very persistent. And it turned out I had fun in there. Keluarga dia sangat hangat dan nggak nganggep aku sebagai orang yang baru dikenal Phillip."
Aku hanya mengangguk tepat saat Anne meletakkan bill di meja kami. Aku langsung menyelipkan kartu kredit tanpa mengecek totalnya. Berita tentang Phillip masih menyandera akal sehat hingga aku mencari cara agar lepas dari tatapan Anom meski sesaat.
"Makasih udah ngajak aku makan di sini. Seenggaknya, salah satu keinginan buat nyoba tempat ini udah terwujud."
Anytime, Anom, anytime. Even when you keep on breaking my heart.
***
Dear all,
*Suara Fenny Rose*
Akankah Phillip bertahan? Ataukah Anom akan membawa pulang sakit hati dari London? Saksikan kelanjutannya setelah iklan-iklan berikut.
Song - Heartbreak Warfare by John Mayer
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top