18 JANUARI

Jika bukan karena Anom, awal minggu pada pertengahan bulan Januari itu dengan gampang pasti tersisih dari ingatan.

Niat mangkir dari tanggung jawab jarang muncul dalam benak. Keinginan bolos Senin pagi tersebut murni karena hujan yang membasahi Jakarta selepas tengah malam tanpa jeda. Perlu motivasi ekstra meraih kemeja, sepatu, menyiapkan bekal makan siang, dan mengarahkan mobil ke kantor.

Sepanjang perjalanan, tidak ada kejadian istimewa yang memberi tanda sesuatu yang besar akan tertato permanen dalam hidupku. Macet seperti biasa, memarkir mobil di tempat yang sama sejak seminggu lalu, menapak lobi, menyambar koran dari konter Front Office, menuju pantri, menyeduh kopi, menyeruputnya sembari membaca tajuk pagi salah satu koran nasional, mendiamkan nada ping beruntun dari Blackberry Bold, dan beranjak ke ruangan saat kopiku tandas. Segalanya seperti hari-hari yang telah lalu.

Fokusku segera terserap oleh pekerjaan tanpa menilik detik yang berlari. Obrolan rekan satu departemen tentang sepatu bermerk hasil berburu diskon hanya melewati telinga. Sebagai satu-satunya pria dari empat Financial Analyst yang semuanya perempuan, istilah "Midnight Sale", "Year End Sale", atau "Summer Sale" tidak mengusikku sedikit pun. Satu-satunya benda yang dengan bangga kutunjukkan adalah tempat menyimpan makan siang.

Peranku di kantor sering mengundang pandangan jenuh, jadi aku menyisakan kebosanan itu dari kalian. Singkatnya, aku menganalisis keuangan perusahaan dan yang aku tekuni tidak lepas dari angka dan data. Menjemukan bagi manusia lainnya, tapi bagiku kepuasan menaklukkannya tidak ternilai.

Sesekali lirikanku mengarah pada mendung yang masih betah bercengkerama. Kelabu mengesat malas yang pagi tadi begitu menggoda.

Suara merdu Ibu Sari—Head of Human Resources Departmentdi ruangan sebelah sempat menyita konsentrasi, tetapi tidak cukup mengalihkanku dari tanggung jawab yang menunggu. Pun ketika percakapan Ibu Sari dan Anom mendekat, aku tetap melekatkan pandangan pada barisan angka di layar komputer. Saat Ibu Sari mulai memperkenalkan Fe kepada Anom, wajahku terangkat sekilas, menatap sekelebat wajah pria yang perlahan memotong jarak di antara kami.

Kesan pertama yang dilantangkan pikiranku tentang Anom detik itu adalah berani. Kemeja merah muda pucat, celana biru, dan sepatu cokelat yang dipilihnya berhasil memberi efek kejut—setidaknya terhadapku. Selanjutnya ke-Jawa-annya. Logatnya jauh dari kental, tetapi intonasi Anom menjawab pertanyaan yang dilontarkan Fe, mengukuhkan kesopanannya. Aku memperhatikan dalam diam, menunggu mereka mencapai kubikelku.

Jantungku berdegup normal saat tangan kami berjabat. Kacamata tanpa bingkainya mendobrak persepsiku tentang mereka yang bergelut dengan kode. Lama sesudah pertemuan pertama itu, Anom telah mengganti kacamatanya puluhan kali. Alasannya selalu serupa: patah karena tertindih. Sekali aku mengungkapkan keingintahuan tentang pilihannya mengenakan kacamata tanpa bingkai. Balasan Anom menyulut heran bercampur jenaka. "Aku lebih sreg pakai yang tanpa bingkai, Mas, karena orang selalu salah tebak soal profesiku."

Kata-kata yang mengambul di antara aku dan Anom bisa dihitung dengan satu jari. Aku hanya tahu dia menggantikan Badu di bagian IT. Setelah Ibu Sari dan Anom meninggalkan divisi kami, aku tertegun. Penilaianku tentang manusia yang bersimpang jalan denganku jarang keliru. Ketulusan menguar kuat dari Anom. Tulus adalah kata sederhana, menemukannya di belantara Jakarta adalah perkara lain. Delapan tahun yang mengiringi perubahan dalam hidup kami, kejujuran hatinya tetap merekat.

Cinta pada pandangan pertama merupakan konsep yang aku tentang dengan keras—dan aku memang tidak mengalaminya dengan Anom—tetapi jika ada manusia yang menolak percaya cintaku kepada Anom terbit setelah mengenalnya lebih jauh, tanpa ragu aku akan menyebut keikhlasannya sebagai satu yang menerbitkan keingintahuan yang dengan berjalannya malam, berganti haluan menjadi jatuh hati.

"Kabar dia pacar Pak Marteen bener nggak sih? Santer banget tauk beritanya. Dan itu bikin gue penasaran sama kemampuan dia sampai bisa diterima di sini. Gak mungkin kayaknya dia masuk Coustiche tanpa pengaruh orang dalem, apalagi Pak Marteen termasuk yang disegani dan punya posisi."

Jemari yang siap menyambung angka-angka yang sempat terjeda, mematung di udara. Konsentrasi yang siap kucurahkan terganggu dengan kalimat yang menggelincir dari mulut Fe. Meski mataku terikat pada layar komputer, pendengaranku siaga menunggu Fe meneruskan informasi yang asing bagiku, terlebih Anom belum sepuluh menit beranjak dari ruangan kami.

Sejujurnya aku tidak acuh setiap rekan satu divisi—Fe selalu menjadi pengantar gosip—menjadikan orang lain pokok dari kabar burung, terlebih orang itu baru saja mereka kenal. Kebiasaan tersebut aku jaga meskipun berpindah tempat kerja. Namun saat itu, penasaran mengalahkan tumpukan data yang semestinya lebih memerlukan peduliku.

"Bener atau nggak, kita nggak ada urusannya. Masuk Coustiche nggak bisa cuma karena orang dalem, sekalipun orang dalem itu Pak Marteen."

Meskipun kehadiran nama itu di kantor bisa dihitung dengan jari, pesona Marteen Jorgensen melekati mereka yang bekerja di Coustiche. Etos kerjanya sebagai Technical Section Leader sering dijadikan acuan. Perilakunya dianggap sebagian besar orang kelewat santun—terutama kepada mereka yang menempati posisi paling rendah dalam perusahaan—menguatkan daya pikat Pak Marteen di mata banyak karyawan lain.

Balasan yang dilontarkan Dian semakin mengacaukan konsentrasi. Keingintahuan yang sebelumnya tampak remeh, merangkak memenuhi benak.

Coustiche menerapkan kesetaraan dalam kontrak yang kami tandatangani. Pelecehan atas nama ras, agama, seksualitas, apalagi gender, diganjar sanksi yang tidak ringan. Keputusan menyembunyikan homoseksualitasku murni soal profesionalitas. Seksualitasku tidak punya andil menyelesaikan tugas kantor. Aku menaruh hormat kepada karyawan Coustiche lain yang berani membuka identitas mereka, termasuk Pak Marteen. Selama ini, privasinya hanya disinggung sambil lalu. Jika ucapan itu keluar dari Fe, bisa dipastikan divisi atau departemen lain punya pendapat serupa.

Atas alasan yang mustahil dinalar, resah menjalariku.

***

Hanya satu orang yang berhasil menarik benang merah antara kotak makan dengan suasana hatiku. Perginya Lelo dari Coustiche sungguh melegakan. Selama menjadi bagian dari kantor, Lelo dengan cerdas mengaitkan lunch box yang aku bawa dengan suasana hati. Kotak makan kayu yang aku bawa saat ini akan mendapatkan respon dari Lelo bahwa aku sedang berada di titik netral—yang bisa diartikan kebosanan, biasa, tenang, dan statis.

Semenjak tanggal 18 Januari 2010, kotak makan itu teronggok di dalam kabinet, tidak tersentuh.

Sementara rekan satu divisi bergegas meninggalkan meja mendekati waktu istirahat, aku menanti. Mengecek detail-detail remeh hingga setengah dua, baru aku beranjak menuju kantin. Waktu yang aku pilih selalu menyisakan segelintir pekerja dengan obrolan yang bisa kuabaikan dengan mudah. Makan siang bisa kunikmati dengan damai.

Menjumpai Anom memelesat ketidaksiapan dalam diriku. Sekelebat ragu melayang ketika keinginan duduk di hadapannya mengemuka. Kuperhatikan mangkuk, piring, serta gelas di atas nampannya sudah tandas, tetapi dia menusuk-nusuk kulit semangka dengan ujung garpunya.

Langkahku mendekatinya. Dia mendongak, tersenyum, kemudian menggeser nampannya ke samping.

"Kok baru makan, Mas?"

Alih-alih menjadikan sibuk sebagai tameng, kujelaskan singkat alasannya. Anom mengangguk, pancaran matanya menandakan dia paham. Pertanyaan selanjutnya adalah tentang kotak makan. Reaksi normal yang ditunjukkan kepadaku adalah decakan, diikuti dengan kata 'repot', 'ribet', bahkan sampai menyinggung pendapatan bulananku yang lebih dari cukup menutupi biaya makan siang di luar. Aku menanggapinya ocehan semacam itu dengan ringan.

Reaksi tidak normal yang diberikan Anom sejenak mengunci mulutku.

"Nggak ada yang ngalahin masakan rumahan, Mas."

Menu bakmi goreng serta orek tempe dengan jamur dan kol bagiku cukup mengisi perut hingga makan malam tiba. Aku terbiasa sibuk di dapur demi menghemat sejak kuliah. Tinggal dua semester di Sydney memaksaku mengatur isi kantong dengan memasak. Tahunan melakukannya tidak mungkin aku tinggalkan walau gaji mencukupi.

Aku menanyakan sebagian hari pertamanya, dan Anom dengan riang menganggap kerumitan Coustiche sebagai tantangan. Ketidakyakinan sempat menghinggapiku tentang ketangguhan Anom bertahan dengan ketulusannya. Aku tentu saja salah.

Mentalnya bagai baja. Sampai sekarang aku masih takjub dengan keteguhan batin Anom mengingat satu badai yang dengan kencang memporakporandakan hidupnya.

"Aku naik dulu ya, Mas? Nggak enak hari pertama istirahat lama-lama."

Sehabis bertukar basa-basi, Anom memundurkan kursi yang telah didudukinya dan dengan senyum, dia mulai berjalan menjauh dari meja.

Kunyahanku memelan. Aku meletakkan garpu ke atas tutup kotak makan, dan memandangi makan siangku yang hanya berkurang dua suapan. Rumor tentang Pak Marteen dan Anom kembali hinggap. Seandainya mereka memang memiliki hubungan spesial, aku dengan jelas memahami alasannya–setidaknya dari percakapan singkatku dengan Anom.

Tanpa kusadari, Anom telah mulai merambati akar hatiku hari itu.

***

Dear all,

The first chapter is published!

Jadi ceritanya memang nanti akan berawal dari sini dan berakhir delapan tahun kemudian. Bisa ditebak kan ya akan seperti apa diksinya? Jujur, saya memang dari awal pengen banget pake diksi macam begini. Melatih penggunaan kata-kata yang nggak biasa saya pakai dan berusaha mengurangi pengulangan.

It's still a long way to go, so be patient. I hope you enjoyed this early part of Hingga Hati Lelah Menunggu.

Song: Watching from A Distance - David Ramirez

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top