17 NOVEMBER
Aku lumayan terkejut saat Anom menyampaikan permintaan agar kami bertemu di salah satu gerai kopi di Senayan City pada Jumat siang.
Selain tidak lumrah, Anom selalu mengeluarkan keluhan mengenai budaya ngopi di tempat yang menurutnya mahal dan hanya mengusung gengsi. Aku mendu berita yang akan disampaikan Anom jelas memuat urgensi dan tidak bisa diutarakannya melalui telepon atau datang ke apartemen. Dari semua kemungkinan yang mampir dalam pikiran, tidak ada jawaban yang memuaskan keingintahuanku.
Sekembalinya dari Bangkok, Anom menjengukku di apartemen sembari membawa beberapa bumbu masakan Thailand. Wajahnya tampak berseri hingga aku enggan bertanya sebab lainnya. Bertemu dengan Phillip pastilah menjadi alasan utama senyum di bibirnya terus tersungging. Setelah empat bulan saling menimbun rindu, tidak ada yang lebih memuaskan selain menumpahkannya habis-habisan selama satu minggu. Anom terlihat lebih lepas. Mungkin beban yang tidak bisa dibaginya di rumah sakit denganku saat itu berhasil diangkat oleh Phillip.
Sehabis kunjungannya, kami seperti kembali ke masa-masa saat Anom baru berhenti dari Coustiche. Kesibukannya menjadi berlipat ganda hingga beberapa janji temu kami terpaksa dia batalkan. Meski komunikasi lewat pesan singkat masih terus berjalan, tidak bersua dengannya menggantungkan gelisah yang terus menyayat.
Ada siksaan yang tak kasat mata melecutku karena sudah dua bulan lebih suara tawanya hanya bermain dalam angan.
Bahkan aku tidak bisa melihatnya meniup lilin saat ulang tahunnya tiba dua minggu lalu. Kue yang aku buat sendiri harus puas sampai di tangannya melalui kurir tanpa bisa menyerahkannya langsung. Meski badai kecewa menyerangku dengan kuat, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Joey tentang Anom berhasil mengalihkan perhatianku dari nyeri di dada.
Kemeja biru muda yang menempel di tubuhku saat menemuinya di London tahun lalu sengaja aku pilih pagi ini untuk Anom. Dia sempat bersiul dan menggodaku bahwa wanita mana pun akan berhenti untuk memuji betapa cocoknya potongan dan warna kemeja itu dengan kulitku. Sejak itu, aku selalu kemeja ini menjadi yang pertama diraih tanganku jika ingin mengingat senyum yang diberikan Anom.
Kami berpelukan saat aku menghampirinya yang sedang berdiri di depan gerai kopi. Aku masih belum mendapatkan resep agar tetap terlihat bugar setelah menghabiskan setengah hari di kantor dari Anom. Melihatnya dengan kemeja abu-abu polos seperti ini, kenangan tujuh tahun lalu menyambangi saat Anom pertama kali mencurahkan kisahnya dengan Pak Marteen di pantri Coustiche. Dengan tas laptop yang disangkutkan pada pundak, rasa tidak percaya menubrukku bahwa hampir sewindu aku mengenal dan mencintai pria dalam pelukanku saat ini.
Menghidu dalam-dalam aroma parfum yang telah samar bercampur dengan keringatnya, tidak ada kebahagiaan yang lebih sempurna selain merasakan kulit kami bersentuhan. Andai cinta itu dengan sengaja tidak mengetuk hati, Anom pasti telah aku anggap adik yang tidak pernah aku miliki.
"Aku selalu suka lihat kamu pakai kemeja ini, Mas. Gantengnya makin nggak nguatin."
Meski tidak punya niat, aku tetap tersipu dengan pujian Anom tanpa mengabaikan ucapan terima kasih.
Demi mengalihkan pembicaraan, aku menyuarakan hal pertama yang mengganggu sejak tadi. Aku bahkan menebak berita yang akan dia sampaikan karena memilih tempat yang sungguh di luar kebiasannya.
"Aku kebetulan lagi nggak jauh-jauh dari sini, Mas, dan kita udah lama nggak ketemu. Dan tempat ini deket sama kantor kamu. You love coffee, so this is the best place to meet."
Setelah memesan—dan Anom bersikeras membayar Americano milikku—kami memilih sudut yang kosong. Langkahku sempat terhenti karena di sudut yang sama tiga tahun lalu, aku dan Joey bersemuka setelah saling mengenal di Buñol. Perjumpaan yang lantas diikuti dengan pernyataan suka Joey kepadaku.
Meski lebih percaya kebetulan daripada menganggap duduk di meja yang sama sebagai pertanda, ada perasaan menggelitik yang sulit aku temukan sebabnya. Anom bahkan belum mengatakan apa pun. Mengibaskan prasangka tanpa alasan itu, aku duduk di depan Anom yang matanya menyusuri tiap pojok gerai yang entah sudah berapa kali aku masuki.
"Enak juga ya duduk di sini, Mas?" ujarnya sembari memainkan gelas plastik bertuliskan namanya di tangan.
Aku menggodanya dengan peringatan bahwa dia bisa saja kecanduan setelah ini.
Anom tergelak. "Nggak akan, Mas. Santai aja."
Aku lantas menanyakan kabarnya karena sudah tiga hari sejak kami saling bertukar pesan singkat dengan layak. Semalam dia hanya mengabarkan ingin mengobrol denganku langsung tanpa sempat memberiku kesempatan bertanya mengenai hari-harinya.
"Aku baik, Mas. Makin nggak manusiawi aja kerjaan di kantor."
Kali ini, giliranku yang tertawa.
Anom sering mengeluh tentang tumpukan pekerjaan—siapa yang tidak?—tetapi di saat bersamaan, dia pun dengan semangat mengungkapkan serunya menemukan pengetahuan baru yang tidak didapatnya dari London. Aku tidak tahu anomali yang lebih kontras daripada itu.
"Aku ngajak ketemuan di sini karena ada sesuatu yang belum aku kasih tahu, Mas. Aku sebenernya pengen ngasih tahu ini bulan depan, tapi aku nggak bisa nahan ini terlalu lama tanpa dikejar perasaan bersalah. Aku perlu cerita sekarang, Mas."
Aku mengerutkan dahi, mencoba menduga arah pembicaraan Anom, tetapi sia-sia. Semenjak kematian Pak Marteen, aku hampir tidak pernah melewatkan kejadian penting dalam hidupnya karena Anom selalu menjadikanku yang pertama. Aku bahkan tidak ingat Anom pernah berterus terang diburu perasaan bersalah kepadaku. Rasa ingin tahuku bertambah saat Anom memberiku senyum yang aku kenal dengan baik.
Dia tidak yakin berita yang akan disampaikannya membuatku senang.
"Phillip proposed to me when we were in Thailand."
Dunia di sekelilingku tiba-tiba berhenti dengan cepat. Aku diam dan memperhatikan Anom, berusaha menemukan celah yang bisa mengoyak kesadaran bahwa ini adalah sebuah berita yang perlu diluruskan kebenarannya. Namun Anom bergeming, tenang, dan menunggu reaksiku.
Pernahkah kalian membayangkan tata surya tanpa matahari? Imajinasiku tidak sejauh itu. Kalaupun suatu saat terjadi, aku mungkin sudah membusuk dan tidak meninggalkan sisa apa pun di bumi. Perasaanku tidak berbeda jauh sekarang. Namun mendengar kabar Anom dan Phillip bertunangan berarti Anom berhenti menjadi poros dalam hidupku.
Selama tujuh tahun, Anom menjadi akis dari setiap langkah yang aku ambil selama tujuh tahun. Dengan berita yang baru disampaikannya, aku seperti dibenturkan pada kenyataan bahwa selamanya Anom hanya akan menjadi bintang yang jaraknya mustahil aku tempuh. Hatiku bukan hanya ditikam ribuan kali, tetapi juga diremas dan diperas segala isinya hingga yang tersisa hanyalah hampa.
Aku masih diam saat Anom menarikku kembali ke Senayan City, duduk di depannya yang telah diikat oleh Phillip untuk menjadi miliknya. Mataku mengerjap, berusaha membawa kembali semua logika yang sejenak beranjak. Aku menatap Anom yang tampak khawatir karena belum ada satu pun kalimat yang didengarnya dariku.
"Aku tahu kamu pasti marah karena aku nyimpen ini selama dua bulan. Tapi aku nggak tahu reaksi kamu akan seperti apa, Mas, terlebih kamu baru kecelakaan. Aku minta maaf. Bukan maksudku buat nyimpen kabar ini selama dua bulan."
Andai kamu tahu, Anom, bukan itu yang membuatku dilemparkan ke dalam ruangan gelap tanpa cahaya bernama keputusasaan.
Pertanyaanku selanjutnya menguar dengan otomatis karena aku tidak lagi punya kekuatan untuk mengendalikannya.
"Aku dan Phillip udah nentuin tanggalnya, Mas. Bulan Mei tahun depan, tanggal 18. Meski udah ada beberapa tempat yang pengen kami pakai, tapi aku dan Phillip masih belum ngambil keputusan. Yang pasti akan di London." Anom menyeruput es teh lemon yang embunnya mulai menggenangi meja sebelum dia menghantamku untuk kedua kalinya. "I know this is probably too much to ask, but I will be ... very honored and happy if you would be my best man. Aku nggak bisa milih orang lain, Mas. Kamu kenal aku sudah tujuh tahun dan kamu selalu ada dalam setiap saat-saat terpenting dan tergelap dalam hidupku. You were always there when I needed you the most. Aku ingin berbagi peristiwa paling bersejarah dalam hidupku dengan kamu karena nggak ada orang lain yang berarti lebih selain kamu."
Inikah karma yang aku dapat karena mencintai Anom dalam diam sementara Joey telah berkali-kali membuktikan cintanya kepadaku? Ataukah semesta terlalu iri karena aku hanya mampu memberikan seluruh jiwa dan raga kepada satu anak Adam dan tidak bisa membaginya?
"Kamu akan bikin aku bahagia, Mas. I don't want to share this moment with anyone else but you."
Membasahi tenggorokan, susunan kata yang sebelumnya terjalin dengan pantas tiba-tiba melebur. Kebingungan melanda karena penolakan dengan berbagai alasan bisa saja terlontar dan Anom akan paham. Namun permintaan seperti ini tidak akan datang dua kali dari Anom. Dia menganggapku bagian terpenting dalam hidupnya hingga tidak ada orang lain yang diinginkannya untuk menjadi best man, menyaksikan langkahnya menapaki jalan yang baru.
Kuatkah aku menyaksikan senyum bahagia Anom sementara hatiku memohon untuk berhenti mencambuknya?
Aku meminta Anom memberiku waktu. Dusta yang aku tumpahkan tanpa ampun adalah jadwal cuti dan kemungkinan untuk meninggalkan kantor demi menghadiri pernikahannya. Aku tidak ingin mengiyakan tanpa memikirkan perih yang akan aku rasakan. Aku ingin menimbang semua pilihan sebelum hatiku diremukkan tanpa ampun.
Beri aku waktu, Anom.
"Of course, Mas. Aku tahu kamu harus atur jadwal dan sebagainya. Aku paham banget."
Kami saling bertukar senyum sebelum aku menyeruput kopiku yang sudah tidak lagi panas dan terasa hambar.
Inikah yang selama ini orang gambarkan sebagai petir di siang bolong?
***
Dear all,
So, what do you think will happen? Akankah Aku mengiyakan permintaan Anom untuk menjadi best man di pernikahan dia dengan Phillip?
Setelah bab ini, tolong mata disiapkan, ya? hihihi. Jangan bilang saya nggak kasih warning :p
Song - You'll Never Get That Guy by The Manhattan Love Suicide
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top