16 JULI
"Happy birthday, gorgeous!"
Suara itu mewajibkan aku membuka mata. Ketika wajah Joey menggantung begitu dekat, aku tertawa kecil menyadari senyumnya terlihat begitu lebar. Kantuk masih menyelimuti hingga otakku masih belum berfungsi maksimal.
"You're getting older, huh?" ujarnya lantas menghujani wajah dan leherku dengan kecupan, membuatku tidak mampu menahan geli.
Joey menahan tubuhku dengan kedua lengannya sebelum pandangan kami saling terkunci. Melirik jam di atas nakas yang baru menunjukkan pukul tujuh pagi, aku bertanya ke Joey sejak kapan dia sampai di apartemen.
"Gue baru aja nyampe. Lo libur kan hari ini?"
Aku mengangguk karena kantor memberikan hari libur bagi siapa pun yang sedang merayakan ulang tahun. Semalam aku tertidur saat membaca Levels of Life karya Julian Barnes hingga saat terbangun lepas tengah malam, aku hanya mematikan lampu dan langsung menuju tempat tidur.
Mengalungkan lengan pada leher Joey, aku mendaratkan ciuman singkat diikuti ucapan terima karena telah memprakarsai awal hariku dengan ucapan ulang tahun. Aku menggoda Joe dengan menanyakan salah satu rencananya adalah menawanku di tempat tidur.
"Gue sih mau-mau aja olahraga pagi-pagi, tapi itu nanti. Gue punya kejutan buat lo."
Eranganku terdengar lantang karena Joey tahu kejutan tidak pernah bisa aku sambut dengan antusias.
"Gue janji ini bukan kejutan besar."
Usahaku menahan Joey di tempat tidur gagal hingga dengan malas—dan terpaksa—aku menurut saat dia menarikku bangkit. Tepat saat kami berdiri di depan pintu, dia memosisikan diri di belakang tubuhku.
"Gue bakal nutup mata lo. Dan nggak usah protes atau banyak tanya!"
Dengan gesit, Joey menggunakan kain demi menggelapkan pandanganku sementara tanganku gatal ingin melepaskannya. Jantungku sudah berdegup semakin tidak beraturan membayangkan apa pun yang disiapkan Joey.
Telingaku menangkap suara pintu yang dibuka sebelum tangan Joey menggandengku keluar kamar. Tinggal di apartemen ini lebih dari delapan tahun, aku hafal ke mana Joey membawaku. Dugaan yang menggelora dalam benak adalah Joey memasak makanan favoritku mengingat dia paling benci berurusan dengan dapur. Meski kesabaran semakin menipis, aku berusaha menyenangkan hati Joey dengan tidak banyak bicara.
"Oke, sekarang lo boleh buka mata."
Tanganku dengan kilat membuka kain penutup dan menyadari Joey membuka semua tirai di apartemen hingga ruang tengah bermandikan matahari pagi. Aku mengerjap. Begitu mampu beradaptasi, aku terkesiap menemukan meja makan telah penuh oleh makanan. Namun bukan itu yang membuatku terpana.
Aku menoleh dan mendapati senyum Joey terlampau lebar.
"Gue bikin sendiri cake-nya, jadi maklumin kalau kurang rapi. Gue dibantuin temen gue yang lebih jago. Yang lain-lain ... gue beli karena ogah banget ngabisin seharia—"
Tanpa memberi Joey kesempatan menuntaskan kalimat, aku menciumnya. Kali ini lebih panjang dan dalam.
"You still leave me breathless every time you kiss me like that," katanya seraya menggandeng tanganku agar mendekati meja.
Tatapanku enggan beralih dari kue dua tingkat yang dilapisi strawberry frosting—karena warna merah dan tumpukan stroberi di bagian paling atas—dengan chocolate drip dilengkapi lilin yang sudah dinyalakan. Ada kartu bertuliskan Happy Birthday to The Guy Who Drives Me Crazy yang diletakkan Joey di sebelah kue.
Selain itu, ada dua piring yang telah ditata Joey dengan kopi yang masih mengeluarkan uap, satu keranjang kecil berisi Danish pastry ditambah buah-buahan yang telah diletakkannya di atas mangkuk. Aku hanya bisa menelan ludah sambil meremas tangan Joey lebih erat.
Hatiku terasa penuh mengetahui Joey pasti menyisihkan waktu berharganya demi menyiapkan semua ini. Aku menghargai usahanya untuk tidak memberikan sesuatu yang berlebihan. Bagiku ini adalah kejutan sempurna yang akan terpajang dalam ingatan untuk waktu yang sangat lama.
"Sekarang lo bisa make a wish terus motong kuenya."
Menutup mata setelah Joey menyalakan lilin, aku mengucapkan dengan lantang keinginan dalam hati. Kali ini, hanya nama Joey yang tebersit pertama kali, bukan Anom. Mungkinkah Joey berhasil mengajak Anom untuk turun dari singgasana yang tidak tergoyahkan selama lima tahun?
Tepuk tangan Joey terdengar begitu tiupanku memadamkan semua lilin. Saat mengamati kue yang tampak begitu sempurna itu, hatiku mendesah haru. Dalam sejarah hubunganku, tidak pernah ada pria yang repot-repot menyisihkan waktu untuk membuatkan kue ulang tahun. Aku mencolek buttercream frosting dan mencobanya. Manisnya sungguh pas dan rasa stroberinya begitu kuat.
Melirik Joey yang tampak seperti menunggu vonis, aku memenuhi jari telunjuk dengan frosting dan menjadikan wajah Joey sebagai sasaran. Tidak mau kalah, kami saling berkejaran di ruang makan sebelum dia mendekapku dan mengarahkan jemariku di antara bibirnya.
"Let's eat!"
Setelah mengiris kue dan meletakkannya pada dua piring kecil, kami duduk berhadapan. Lewat kebaikan semesta, aku diingatkan bahwa sedikit dimanjakan pada hari ulang tahun bukanlah hal yang buruk.
"Lo udah kosongin jadwal ntar malem?"
Dua minggu sebelumnya, Joey memintaku untuk mengosongkan jadwal tanpa memberi penjelasan lebih detail. Andai tahu bahwa ulang tahunku sering dihabiskan di apartemen, dia tidak perlu repot-repot meminta agar aku menyediakan waktu khusus.
"Gue udah reserve meja di Rosso."
Selama bersama Joey, dia paling mudah jika menyangkut persoalan tempat makan. Dengan senang hati, dia akan menerima acap kali kami harus takeaway dan makan sembari menyelonjorkan kaki di depan televisi atau menikmati sambal hijau dengan daun ketela di rumah makan Padang—yang sempat mengejutkanku saat dia mengajak ke sana. Sesekali kami makan di restoran yang menuntut etika dan Rosso adalah salah satu tempat yang belum pernah aku sambangi.
"Gue ada urusan dulu, nanti mau gue jemput atau lo mau ke sana sendiri?"
Menyadari lebih punya banyak waktu, aku menawarkan diri untuk menjemput Joey di mana pun dia berada sore ini.
Dia tampak memikirkan tawaran itu sebelum menggeleng. "Lo kan yang ulang tahun, masak harus jemput gue? That's extremely unacceptable!"
Aku tergelak dan sekali lagi meyakinkan itu bukan sesuatu yang besar.
"Gue ke sini aja, deh. Nanti kita bisa ke sana bareng biar aku sekalian bawa baju ganti."
Setelah selesai sarapan, Joey menghampiriku dan memberikan ciuman sebelum dia pamit.
"Jangan bosen kalau gue bakal sering ngucapin selamat ulang tahun buat lo hari ini."
Aku tentu saja menggeleng dan berpesan agar dia hati-hati.
Bagaimana bisa Anom enggan kabur dengan semua perlakuan Joey selama ini?
***
Berkali-kali tanganku memindah buket besar yang dikirim Joey karena setiap sudut yang aku pilih tampak tidak pas. Diselipi kartu bertuliskan see you later xoxo, aku sempat kerepotan mengangkatnya karena ukuran yang sangat tidak wajar.
Selain mengenyangkan perut dengan sisa sarapan, aku menghabiskan waktu dengan memilih kemeja yang pantas dikenakan untuk memasuki Rosso. Rentetan pesan dari teman-teman di Coustiche dan kantor sempat membuatku kerepotan.
Anom mengirimiku pesan suara dan setelah memberitahunya aku ada di apartemen, tidak ada lagi pesan yang masuk darinya. Anom telah berhenti dari pekerjaan agar bisa lebih fokus mengurus semua yang diperlukan sebelum berangkat ke Inggris.
Ketika sedang membersihkan meja, pintu apartemenku diketuk.
Tawaku menggema begitu melihat Anom berdiri di depan pintu satu tas kertas berukuran cukup besar menutupi wajahnya.
"Happy birthday, Mas!" ujarnya saat kami berpelukan.
Setelah membuka pintu lebih lebar agar Anom bisa masuk, dia menyodorkan tas yang dibawanya.
"Semoga suka, Mas, karena kamu itu satu-satunya orang yang bikin aku bingung tiap kali mau kasih kado."
Pertanyaan pertama yang didengar Anom adalah tentang bumbu kacang.
"Apa jadinya ulang tahun kamu tanpa bumbu kacang, Mas? Kali ini aku dobelin karena tahun depan aku nggak ada di sini."
Langkah Anom terhenti ketika matanya menubruk buket bunga yang akhirnya aku letakkan di meja ruang tamu. "Cantik, Mas. Pasti dari seseorang yang istimewa kalau sampai ngirim buket sebesar ini."
Kalimat yang keluar dari mulutku adalah sebuah kebohongan. Aku dengan penuh keyakinan mengatakan buket itu dikirm dari kantor.
Aku menyaksikan Anom mengangguk sebelum dia membalikkan badan. "Jadi apa rencana malam ini? Aku tahu kamu biasanya lebih sering diam di rumah."
Tanpa sepenuhnya berbohong, aku mengatakan teman lama yang sedang ada di Jakarta memaksaku agar mengiyakan ajakan makan malamnya. Keringat mengaliri telapak tanganku karena ketakutan Anom akan mengambil kartu yang terselip di buket masih belum usai.
"Wah, hebat juga dia bisa bujuk kamu keluar kandang, Mas," balas Anom geli.
Menyaksikan Anom saat ini, aku dihinggapi ragu saat telah meyakinkan diri bahwa Joey adalah penawar dari Anom.
Berapa lama lagi aku harus terpenjara dalam pesona kamu, Anom?
***
Joey keluar dari kamar mandi tepat saat kancing kemeja biru tua—yang terlipat rapi di dalam kotak yang diberikan Anom siang tadi—selesai dikancingkan. Dengan rambut yang masih terlihat basah dan hanya mengenakan boxer brief, Joey melingkarkan lengan di pinggang tanpa lupa menyandarkan dagu pundakku.
Badannya yang beberapa senti lebih tinggi memberinya keleluasaan memelukku dari belakang. Saling bertatapan melalui bayangan di cermin, aku memintanya segera berpakaian agar kami tidak terlambat.
"Kemeja baru?"
Aku mengangguk tanpa menjelaskan dari mana. Joey lantas mendaratkan kecupan singkat di pipi sebelum tangannya berusaha membuka kancing tanpa sedikit pun perasaan berdosa.
Jika saja tidak sedang dikejar waktu, aku akan dengan senang hati mengikuti permainanannya. Namun reservasi yang dibuatnya di Rosso tidak akan menunggu. Aku melirik kemeja berwarna mustard yang sudah disiapkannya di atas tempat tidur dan sungguh menguji kesabaran hingga menyaksikan Joey mengenakannya.
Dengan lembut, aku menepuk tangannya agar berhenti membuka kancing kemejaku.
"You look gorgeous. I'm the luckiest bastard tonight."
Aku mengembuskan napas lega saat Joey melepaskan pelukan dan mulai berpakaian. Setelah memastikan kalung pemberian Anom tampak jelas dari balik kemeja yang telah kembali terkancing, aku membalik badan untuk menyaksikan Joey.
"Lo nggak usah berdiri terus di situ, dong, bikin gue horny."
Aku tergelak mendengar itu sebelum mendekati Joey untuk mendaratkan kecupan di pundaknya. Tepat sebelum meninggalkan kamar, aku mengatakan sesuatu hanya demi memancing reaksi Joey.
"Get back here! You need to take responsibility for this hard on."
Tawaku semakin keras mendengar kalimat itu.
***
Dear all,
Aren't they the cutest? Hahahaha
Semakin suka sama Joey? Atau semakin gemes sama Aku?
Song - Come What May by Nicole Kidman and Ewan McGregor
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top