16 JULI


"Happy birthday!"

Sekalipun telah tersimpan dalam benak bahwa sambutan semacam ini yang akan menyambut di kantor, aku tetap terkesiap. Dibanjiri wajah-wajah suka, pandanganku sigap mencari Anom.

Berdiri di belakang Dian, dia menamparkan kedua telapak tangan dengan lengan Pak Martin melingkari pundaknya. Jika Fe tidak menghampiri untuk memasang topi kerucut berwarna merah menyala di kepala, tiap pasang mata di sana pasti sudah mengikuti tatapanku. Beralih dari Anom, satu kue berbentuk persegi disodorkan ke arahku. Dibalut buttercream frosting cokelat tua dikelilingi hiasan angka-angka dalam warna putih serta lilin beraneka warna dengan jumlah setara dengan usiaku, sorakan untuk segera meniupnya membisingkan telinga. Fe berseru perihal mengucapkan keinginan sebelum api di pucuk lilin-lilin itu padam. Memejamkan mata, kulantangkan dalam hati keinginan untuk selalu bisa melihat Anom. Titik-titik api di depanku padam dalam tiga kali tiup dan kupingku kembali dipekakan oleh tuntutan mengiris kue. Jika tidak sebanyak ini manusia di sekelilingku, potongan pertama pasti menjadi milik Anom. Namun aku menyodorkan irisan perdana ke Dian karena dia atasanku. Sesederhana itu.

Yang terjadi selanjutnya tidak lagi relevan untuk dibahas. Kue itu lenyap dalam sekejap. Tanganku tak henti menerima ucapan selamat ulang tahun, mulutku berbusa mengucapkan terima kasih. Anom sekilas mengungkapkan bahwa dia menyukai kue dengan kadar gula tinggi yang dihabiskannya tanpa sisa. Dengan topi merah yang masih tersemat sebagai bagian dari tradisi Coustiche, aku mengerjakan tanggung jawab seperti biasa.

Aku membawa bekal yang lain dari biasanya hari ini. Bangun lebih pagi, aku menyiapkan mashed potatoes dengan campuran keju parmesan serta potongan dada ayam tipis dengan isian feta cheese dan daun timi kemudian dibalut smoked chicken slice, dan dipanggang di atas irisan zucchini dan tomat.

Melihat Anom di kantin sempat menghentikan ayunan langkahku. Dia sendirian. Jika dulu otakku sering menyemburkan ragu, semakin mengenalnya, bimbang itu luruh dengan sendirinya. Yang menjadi pertanyaan adalah ketiadaan Pak Marteen di sana. Tanpa meminta izin seperti yang sering aku lakukan di awal perkenalan kami, bangku kosong di depan Anom langsung aku duduki. Janji yang menggema di parkiran mobil malam ketika kami pergi karaoke—untuk menjaga jarak dengan Anom—terbukti sebagai omong kosong. Sebuah dusta yang hanya berjalan beberapa hari sebelum gravitasi Anom menarikku kembali dalam orbitnya.

"Aku udah mau mampir ke ruangan Mas tadi. Mau kasih ini," ucap Anom meletakkan satu botol 330 ml berisi bumbu kacang di dekat kotak makan hijau muda—yang berarti sebuah awal, layaknya daun yang baru bersemi—sembari menyunggingkan senyum. "Aku sengaja minta Ibu buat khusus. Maaf ya, Mas, nggak dibungkus dan cuma bisa kasih ini."

Andai Anom tahu, dorongan untuk meraih tangannya dalam genggaman atau memeluk tubuhnya, diikuti kecupan bertubi-tubi pada pelipisnya, begitu hebat, dia pasti berpikir ulang memberi hadiah ini sekarang. Takut pasrah pada godaan, aku menurunkan tangan dari permukaan meja dan mengepalnya di kedua sisi tubuh. Ucapan terima kasih keluar dari mulutku dan mengucapkan kata-kata klise seperti dia tidak seharusnya merepotkan diri untuk memberiku sesuatu. Menahan diri untuk tidak tersenyum lebar dan membiarkan Anom membaca emosiku adalah hal terberat yang harus aku lalui hari itu. Ratusan kembang api seperti bergantian mengisi langit hatiku.

Karena Anom, aku lantas jatuh hati setengah mati dengan bumbu kacang. Namanya dengan cekatan maju ke barisan terdepan setiap kali mendengar atau menemukan bumbu tersebut di mana pun berada.

Decak kagumnya saat memperhatikan menu makan siang otomatis membuatku memindahkan sebagian isi ke piringnya. Aku tidak mengindahkan protes kenyangnya. Jika Lelo tahu aku berbagi isi kotak makan tanpa diminta dengan orang lain, dengan penuh suka cita dia akan menjadikan kejadian itu bahan godaan abadinya.

"Jangan-jangan, kamu ini dulunya koki di restoran kelas Michelin, Mas?"

Penjelasan yang aku pilih untuk didengar Anom adalah kebiasaan yang sulit dihilangkan. Aku menambahkan, salah satu cara memanjakan diri adalah memasak menu yang cukup menguras waktu dan energi. Reaksi yang ditunjukkan Anom hanyalah gelengan dan senyum.

"Aku nggak akan nolak kalau diundang ke apartemen dan dimasakkin seperti ini," candanya.

Aku menanggapinya ringan meski jauh di sudut hati, tersusun rencana menata meja makan di apartemen sedemikian rupa demi menerima Anom serta menu-menu yang bisa aku eksekusi. Mulut memang terlalu sering menyuarakan pikiran tanpa filter. Dengan spontan, aku mengundang Anom saat akhir pekan tiba.

"Nanti kalau Marteen nggak di sini ya, Mas? Bukan apa-apa sih. Dia bisa manja luar biasa tiap kali balik ke Jakarta. Dia selalu mau ditemani tiap malam."

Dalam hitungan detik, harapan yang sebelumnya menari dengan penuh semangat, berganti meledekku begitu lantang. Menurut kalian, apa yang bisa aku lakukan selain meresponnya dengan pengertian?

"Aku naik dulu, Mas. Itu bumbu kacangnya bisa disimpen di kulkas. Kalau enak, nanti aku minta Ibu kirim lagi. Seenggaknya aku punya temen yang bisa diajak makan pecel atau gado-gado."

Sekali lagi, dia mendapatkan ucapan terima kasih dariku yang ditanggapi Anom dengan sebuah anggukan. Mataku menyaksikan Anom meninggalkan kantin sebelum meraih botol berisi bumbu kacang itu dan meloloskan senyum paling lebar siang itu.

***

Malam itu, aku termenung duduk di meja makan. Satu gelas red wine yang masih tersisa setengah tergeletak di samping botol bumbu kacang dari Anom. Dengan halus dan menggunakan alasan yang telah terencana sejak pagi, aku menolak berbagai ajakan untuk merayakan ulang tahun. Berdiam di apartemen lebih membuatku nyaman menghabiskan sisa hari.

Seperti biasa, logika menggedor dengan tenaga penuh setiap kali hatiku berulah setelah berinteraksi dengan Anom. Menggunakan Pak Marteen sebagai landasan utama untuk menjauh dari Anom sudah tak lagi mempan. Ujungnya akan sama: aku pasti melanggarnya. Yang bisa aku kendalikan adalah cengkeraman Anom atas hatiku. Atau jika nekat, membiarkan Anom berkuasa dan memberikannya akses penuh, bahkan untuk mematahkan perasaanku. Lagipula hanya aku yang tahu, tidak ada siapa pun yang akan tersakiti.

Notifikasi surel masuk menurunkanku dari mimpi tentang Anom. Meraih Blackberry dari atas meja, pikiranku dibombardir dengan pertanyaan menemukan nama Lelo pada kotak masuk. Ibu jariku mengambang di udara, terjebak di antara dua arah. Disetir penasaran, aku menekan tombol buka dan hanya dua paragraf pendek yang tertera pada badan surel.

Happy birthday, handsome! I hope you have a fun night alone at the apartment as I know you would be. Did you bring the baby green lunch box today?

In my wildest dream, I will see your reply on my inbox. But maybe that's just a wishful thinking. I hope you don't forget that I always miss you.

Love,
L

Tentu saja Lelo ingat ulang tahunku. Dia adalah alasan utama aku tidak bernafsu menghabiskan malam ini di tempat selain apartemen. Menekan tombol reply aku menggali kata-kata berintonasi netral, tapi tidak menemukannya. Kembali ke menu utama, aku meletakkan Blackberry di atas meja dan meneguk habis anggur merah sebelum memasukkan kado dari Anom ke dalam kulkas.

Memencet sakelar, aku membiarkan gelap menuntunku ke kamar. Aku ingin tertidur pulas agar ketakutan akan kehadiran Lelo dalam mimpi tidak terjadi.

Hari itu pun berlalu tanpa ada yang bisa aku ingat selain sebotol bumbu kacang.

***

Dear all,

Akhirnya untuk bagian tahun 2010 mau selesai juga. Belum kepikiran sih 2011 mau dibuat seperti apa. Tunggu sajaaaa.

Ada yang suka bumbu kacang di sini? Hahhahaa.

I hope you all enjoyed this part.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top