13 NOVEMBER
Memandang bayangan di cermin, mataku memerinci penampilan dari ujung kepala hingga ujung kaki, meyakinkan cela bersembunyi dalam-dalam, menghilang dari pandangan. Ada puluhan kemeja, kaus, kaus polo, dan celana panjang di lemari yang lebih dari pantas untuk dikenakan, tapi fakta mengaburkan logika hingga aku memutuskan berkeliling Grand Indonesia. Memasuki gerai demi gerai, aku akhirnya menemukan satu kemeja Cuban kuning gading dengan garis-garis oranye gelap serta satu celana panjang chino berwarna abu-abu tua. Supermarket menjadi tujuan selanjutnya karena aku telah menyiapkan resep yang akan memanjakan lidah Anom. Aku sudah mengetahui jenis makanan yang tidak bisa dia konsumsi.
Dua hari sebelumnya, Anom menghampiriku di pantri saat kami sama-sama lembur. Kikuk—dibanding malam bulan April saat aku memergokinya berinteraksi dengan Pak Marteen pertama kali—sudah melebur tanpa bekas dan obrolan kami mengalir layaknya aliran sungai yang mendekati samudra. Aku lantas mengundang Anom makan malam di apartemen sebagai hadiah ulang tahunnya yang jatuh pada tanggal 8 November. Rencana kunjungan Anom selalu terhalang hal-hal remeh hingga hanya maaf yang mampu diberikannya padaku. Senyum lebar yang dia tunjukkan sebagai balasan atas undanganku terasa seperti kebahagiaan yang tertunda. Sepulang dari kantor selama beberapa hari, aku menyisihkan satu-dua jam mencari resep yang akan menguji ketrampilanku di dapur. Kedatangan Anom yang pertama adalah peristiwa besar, aku wajib membuatnya spesial.
Mengamati jam dinding, Anom harusnya tidak lama lagi sampai. Aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar, memastikan tidak ada barang yang salah taruh meski kosong kemungkinan Anom akan melongoknya. Merapikan rambut sekali lagi, aku lantas keluar dan langsung menuju dapur. Tidak ada lilin atau bunga mawar sekalipun ingin karena jelas curiga akan mengemuka. Meja tertata sekasual mungkin seolah aku tidak berusaha keras mempersiapkan kedatangannya.
Mendengar bunyi bel, aku menarik napas panjang demi mengalirkan tenang ke saraf-saraf agar gugup menyisih selama beberapa jam. Mengembuskannya keras-keras, aku berjalan mendekati pintu dan membukanya.
Di depanku, Anom berdiri penuh malu dengan kemeja merah muda, celana jin cokelat tua, dan jaket denim hitam.
"Halo, Mas." Dia menyerahkan satu tas kertas panjang ke arahku. "Aku nggak pinter soal wine. Semoga suka," ucapnya penuh ragu.
Aku berterus terang bahwa dia tidak berkewajiban membawa apa pun, tapi tetap berterima kasih sembari menerima pemberiannya.
Mempersilakan Anom masuk, aku mengikuti pandangannya yang menyapu seisi ruang tamu, rak buku yang menjadi penyekat ruang makan dan dapur, serta ruang santai yang hanya terdiri dari dua bean bag dan satu meja kopi kecil.
Anom berdecak. "Aku suka penataannya, Mas. Meski nggak besar, tapi keliatan rapi dan teratur."
Aku mengajak Anom ke ruang makan dan jika senyum lebarnya bisa dijadikan penanda, dia tampak senang bukan kepalang. Karena tahu Anom tidak mengonsumsi alkohol, aku menawarinya jus, tapi dia menolak.
"Aku nggak sabar pengen tahu dimasakin apa."
Tawaku lepas mendengar ucapan Anom. Tanpa menunggu lama, dua menu utama yang aku persiapkan terhidang di hadapan Anom setelah kami duduk. Sebagai pembuka, aku membuat jamur kancing yang telah dibuang gagangnya kemudian diisi dengan keju ricotta, potongan tomat kering, cabai, tahu yang telah dihaluskan kemudian ditumis sebentar, oregano, serta taburan keju parmesan. Sedangkan untuk makanan utama, aku menyiapkan tenderloin steak yang dipanggang kemudian diiris tipis dan disajikan di atas couscous yang telah dimasak dengan mentega, keju parmesan, serta daun bawang. Aku juga menyinggung tentang parfait yang tersimpan di kulkas sebagai pencuci mulut.
"Serius aku dimasakin sebanyak itu?"
Balasanku hanyalah anggukan kecil.
Pertanyaan Anom itu mengemuka sesudah aku menjelaskan menu makan malam. Hatiku melompat begitu tinggi dalam suka menyaksikan keterkejutan Anom. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi lantas ditahan.
Menyaksikan Anom menikmati kerja kerasku di dapur malam itu adalah satu dari kebahagiaan paripurna yang tertanam sepanjang hidup. Dia begitu lepas bercerita tentang pesta ulang tahunnya semasa kecil dan kado-kado ajaib yang pernah diterimanya ketika umurnya bertambah. Tanpa aku minta, Anom pun menyodorkan secuil sejarah hidupnya yang sebelumnya asing. Dia pernah menjalani dua semester di Gothenburg dan disambung kisah mengenai pria Swedia yang menjadi pacar pertamanya. Perjalanan Anom mengelilingi beberapa negara Eropa semakin menguatkan perasaanku kepadanya. Dia lantas menambahkan perundungan yang sempat didapatkannya saat masih berseragam abu-abu karena berpartisipasi dalam ekstrakurikuler yang dianggap feminin. Dengan tekad kuat, dia tidak bergeming, dan membuahkan prestasi. Dia menemukan dirinya begitu memasuki bangku kuliah dan perlahan akrab dengan tulisan-tulisan berbau seksualitas. Ketika pertanyaanku bersinggungan dengan keluarga dan seksualitasnya, dia menggeleng.
"Aku selalu ngerasa ini satu hal yang mereka nggak perlu tahu karena konsekuensinya akan jauh lebih rumit. Keluargaku bukan orang yang sangat beragama, tetapi mereka jauh dari kata liberal. Salah satu alasan aku pergi ke Jakarta adalah menjauh dari rumah. Meski nggak sebebas seperti di Swedia, seenggaknya Jakarta masih jauh lebih baik dibanding kota kelahiranku. Semoga opini kamu nggak berubah setelah tahu ini, Mas."
Aku memberinya gelengan. Dengan jelas, aku memberitahu Anom bahwa keputusannya menyimpan seksualitas dari keluarga sangat bisa dipahami. Aku meyakinkan Anom tentang perlunya memiliki rahasia dari orang-orang terdekat, sekalipun itu keluarga. Terlebih Indonesia masih tertinggal jauh tentang kesetaraan gender dan pemahaman mengenai homoseksualitas. Yang tidak terungkap di hadapan Anom adalah keinginan kuat memeluk tubuhnya. Anom terlihat tidak begitu bahagia harus menutup rapat satu hal yang justru merupakan bagian terpenting dari dirinya. Demi mengembalikan senyum di wajahnya, aku menawarkan makanan penutup.
Setelah melarangnya membersihkan sisa makan malam, aku mengeluarkan dua gelas tinggi dari kulkas. Parfait berisi blueberry dan lemon curd itu kemudian menjadi favorit Anom setiap kali aku mengundangnya makan malam di apartemen dan tidak pernah lupa terhidang di meja. Kami berdua duduk di bean bag sambil membiarkan sunyi merayap pelan di antara aku dan Anom.
"Aku iri dengan siapa pun yang jadi pasangan kamu, Mas. Pasti bahagia tiap hari dimasakin."
Aku menanggapinya dengan senyum kecil.
Andai Anom tahu bahwa Lelo dan beberapa pasanganku sebelumnya enggan melontarkan pujian seperti dirinya. Anom belum perlu tahu sesungguhnya mereka menentang pilihanku untuk menyimpan seksualitas dari banyak orang. Mereka gagal memahami keinginanku untuk hidup bebas dari label yang akan mempengaruhi penilaian orang lain tentang kinerjaku. Argumen yang muncul kerap bersinggungan dengan sikap yang aku ambil hingga berpisah kerap kali menjadi keputusan terbaik.
"Aku nggak tahu tahun depan musti kasih kado kamu apa, Mas. Susah rasanya menyaingi makan malam ini."
Aku berkelakar tentang bumbu kacang-yang telah habis dalam hitungan minggu—akan menjadi kado yang sangat berkesan. Anom tergelak.
Ketika pandangan kami bertemu, Anom tanpa ampun mengunci hatiku dengan gembok saat berucap, "Aku senang bisa kenal kamu, Mas. Aku tahu kamu berbeda dari kebanyakan orang yang aku kenal di Jakarta. You are a genuine person, I can feel it. Kamu juga bikin aku nyaman cerita tentang banyak hal karena tahu kamu bisa dipercaya. I'm extremely happy to have you as a friend, not just a colleague."
Mustahil jika aku tidak ingin menangkupkan kedua tanganku pada wajah Anom lantas mencium bibirnya mendengar pengakuan Anom, sekalipun jauh dari yang egoku nantikan.
Malam itu pun mengukuhkan Anom sebagai penjajah hati yang enggan untuk lekas pergi dan dengan gembira, aku menyerahkan kepadanya untuk disakiti. Karena sejatinya, cinta bertepuk sebelah tangan senantiasa berdamai dengan perih.
***
Dear all,
Somehow, saya kok suka banget dengan kalimat terakhir bab ini, ya? Hahaha. Bolehlah muji tulisan sendiri :D
Oh ya, ini bab terakhir dari 2010. Bab selanjutnya, kisah Aku dan Anom akan berlanjut di 2011. Saya sudah menyiapkan beberapa alternatif biar ceritanya tetep enak dibaca meski ending-nya nggak bahagia. Saya sendiri nggak sabar buat menyelesaikan cerita ini (yang masih sangat jauh dari kata tamat) karena ada beberapa project yang pengen saya tulis juga. Setelah tahun lalu saya nggak begitu produktif, tahun ini saya berniat untuk lebih produktif.
Di lain sisi, saya pun lagi ngerjain BEST MAN. Nulis ulang lebih tepatnya, dan juga menyiapkan satu buku berbahasa Inggris yang semoga bisa terbit tahun ini. Fingers crossed!
Playlist: To Know Him is to Love Him by Amy Winehouse
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top