Him.
▪
「 a lil warning: might be ooc, one chapter, might contains english whit shitty grammar, and harsh word 」
▪
Suna Rintarou selalu menjadi misteri. Baik ketika dia berada di hadapanmu seperti saat ini atau ketika dia berada di dalam kelas. Tidak terjangkau. Tidak dapat dipahami dengan baik.
Awalnya seperti itu, hingga secara ajaib, di sinilah kau berada. Dengan ditemani secangkir kopi hangat kalian berjuang mengerjakan tugas terkutuk, menorehkan guratan demi guratan di atas kertas, mencoba mengisi angka dalam variabel.
"Lu tau nomor sepuluh?"
Kedua manikmu bergulir dari atas meja menuju paras datarnya, meski di balik itu, tepat ketika kedua obsidianmu bertabrakkan dengan miliknya kau mengerti jika Suna sendiri kesulitan. Merasa frustasi, hampir-hampir tidak ingin menyelesaikannya seandainya kau tidak secara sengaja menumpahkan keluh kesahmu di dalam kelas.
"Sial, kenapa tugas mulu," gerutuanmu siang tadi masih berputar jelas di benak. Awal yang menjadi alasan kalian terdampar di tempat sunyi ini.
"Mau..., ngerjain bareng?"
Entah atas dasar apa, pemuda yang selalu duduk di kursi sudut, dekat dinding yang sejalan dengan pintu berjalan menghampirimu, menawarkan dengan senyum miring tipis sarat keraguan. Membuat kau mengerjap beberapa saat, memproses apa yang baru saja kau dengar.
"Hah?"
Suna lantas menggaruk tengkuk. Mencoba mencari kata yang tepat, sesuatu yang terdengar wajar di situasi ini. Dia sempat melirik Osamu Miya yang sudah digiring oleh Atsumu keluar dari dalam kelas, mencelotehi ulangan Fisika tadi siang sekaligus meminta saudara kembarnya berbagi soal Matematika yang akan diujikan besok. Sekalipun Atsumu jauh lebih berisik dan menyebalkan, pemuda itu secara ajaib memiliki peringkat yang jauh lebih baik.
"Besok ujian fisika kan? Kali aja mau belajar bareng."
Kau membasahi bibir, heran bercampur tidak percaya terlukis jelas di wajah.
Suna Rintarou adalah sosok yang cenderung diam- malas, mungkin. Lebih memilih tidur di atas meja ketimbang bergerak, menjawab soal, dan beragam aktivitas lain kecuali Sang Kapten, Kita Shinsuke memanggil seluruh anggota klub voli berkumpul atau ketika si kembar melakukan tindakan bodoh di depan kelas- sebagian besar akibat Atsumu yang seenaknya masuk ke kelas lain dan mengabadikan momen itu. Selebihnya dia hanya diam.
"Tapi, kalo gak mau ga masalah," ucapnya cepat. Menyadari ekspresimu serta nihilnya jawaban.
"Bukan," tukasmu, meragu. Jantungmu kini berdegup kencang, sial, rutukmu. Bukan karena kau merasa tergoda oleh wajah setengah berharap milik Suna yang ditutupi wajah tanpa senyum, tetapi ini adalah hal baru. Kau hanya beberapa kali bertukar kata dengannya karena kau sering mengerjakan tugas bersama Osamu demi menyelamatkan nilai.
Setelah menimbang, kau mengangguk, masih dengan perasaan gamang. Suna Rintarou sekalipun buruk dengan pelajaran, setidaknya pemuda itu hampir selalu menyentuh sembilan dengan mata pelajaran terkait angka dan logika, di mana kau sangat berseberangan. Seperti kucing dan tikus yang merupakan musuh alami. Seperti air dan api.
Ini kesempatan bagus 'kan?
Dan, kemudian, begitu saja kalian berdua mengikat janji untuk bertemu di sebuah kedai kopi dekat sekolah. Tempat sempurna dengan musik klasik mengalun berpadu dengan desain minimalis yang didominasi oleh cokelat.
"Gue baru nomor delapan," ucap Suna, setengah merasa bersalah, setengah menghina.
Kau mendengus, melemparinya tatapan malas. "Eh, iya. Katanya Atsumu jago fisika?" Mengulas kembali kejadian tadi, kau teringat dengan Atsumu. Tidak lama, Suna memandangi beberapa saat sebelum mengangguk. "Kenapa Samu gak belajar sama dia?"
Suna mengendikkan bahu. "Atsumu payah ngajarin orang, cuman yang satu tipe otak yang ngerti."
Mengangguk, dalam diam kau menyetujui perkataan Suna. Sekalipun tidak dekat dengan Atsumu, pemuda itu memang tampak menyebalkan. Seolah tindakannya membuat kau ingin mengambil langkah mundur, berbalik, dan menjauh. Mungkin itu alasanmu tidak dapat bergaul dengannya, sekalipun Atsumu kerap melempari godaan kecil.
"Mau coba diajarin dia?" Suna menyeringai kecil. Membaca ekspresimu yang menatapnya datar. "Kali aja bisa langsung pinter, orang aneh biasanya saling bertukar sel otak yang sama."
Kau mendecih malas. Sepertinya sia-sia kekhawatiranmu sebelum ini. Rupanya Suna Rintarou yang berada di dalam kelas jauh dari bayanganmu. Pemuda itu hanya menghemat tenaga, bukan tidak suka berbicara.
"Sorta, gak ngelakuin bukan berarti gak suka," ucapnya, seolah mengerti apa yang berada di benakmu. Kemudian, dia kembali menyeringai. "Orang bilang kalo gue terlalu mudah baca orang lain. Sorry, i will fix that."
"Santai aja," kekehmu, mulai merasa lebih rileks setelah hampir lebih dua jam bersama dan menghabiskan dua cangkir. "Kebiasaan?" Kau menaikkan alis, cukup penasaran.
Suna tidak lagi menatapmu melainkan sibuk menulis rumus, menghitung sebelum kembali menjawab. "Yeah, middle blocker thing."
"That's kinda cool," ungkapmu, menyeruput kopi selagi memperhatikan wajah serius Suna. Dilihat dari jarak sedekat ini, dengan pencahayaan khas kafe serta kacamata yang bertengger di antara kedua mata tajamnya Suna terlihat memukau. Dalam artian sesungguhnya. "Gue suka cara lu main dan gunain itu di lapangan."
Suna tertawa pelan. "It's tiring, tapi gak bohong kalo kadang asik." Dia meraih penghapus hitam. "Nonton voli?" Suna sedikit tidak menduga, pasalnya dia kerap kali melihatmu menghabiskan waktu membaca ditambah nilai olahragamu yang buruk. Sebagian.
Kau meletakkan kembali cangkir ketiga, menyandarkan tubuh dengan nyaman pada sandaran kursi. Sedikit memainkannya seraya mengalihkan pandang pada keadaan di luar sana. "Temen gue, dia sering ngajak gue nonton."
Dia mengangguk mengerti, kemudian menyodorkan kertas miliknya. "Kalo gitu, kapan-kapan nonton bareng gue gimana?"
Kau langsung menoleh, mendapati tarikan bibir, senyum yang digunakannya setiap kali tengah menikmati sesuatu, entah topik percakapan atau apa pun. Kau menyadarinya ketika Osamu dan Suna tengah berdebat di mejamu, ketika Osamu meminta Suna untuk meminjamkan tugasnya dan pemuda bersurai hitam itu akan mengabulkannya dengan satu kantong permen kesukaannya.
Kau balas tersenyum, membalas seringaian yang sama. "Apa itu ganti dari hari ini?"
Suna mengendikkan bahu. "Terserah. Boleh aja anggep begitu." Tidak banyak ekspresi yang ditunjukkan untuk kau menebak.
Tertawa, kau mengangguk. "Oke, kalo gue bisa dapet angka sembilan besok."
Suna mengangkat satu alisnya, menopang wajah selagi terkekeh. "Mustahil 'kan? Lu aja gak tau basic dari rumusnya, gak tau rumus pertama serta alasan dia jadi cos." Tangannya menunjuk coretan kertas milikmu.
Kau menelan saliva. Benar. Ini akan menjadi neraka.
"Tapi karena gue di sini, setidaknya lu bakal loloslah." Dia tertawa ketika melihat raut frustasi serta muakmu. Seolah mempertanyakan alasan kau berada di jurusan ini.
"Sun, lu pinter banget dah," keluhmu, memuji alih-alih menghujat. Mencoba menerka alasan dari rumus yang dipilih, mengerutkan kening ketika membaca yang tertera di atas kertas. Bukankah yang diajarkan hanya ada dua, lalu mengapa sekarang menjadi tiga? Ditambah lagi rumus itu sedikit berbeda. Dimodifikasi.
Dia menatapmu skeptis.
Kau mendesah. "Peringkat gue gak menentukan kepintaran otak gue."
"Bukan," balasnya cepat, langsung menggeleng. "Yah, meski memang sebagian orang bakal nganggep begitu. Gue juga di awalnya." Dia terkekeh ketika menyadari tatapan menusukmu. "But, that's not my point. Gue cuman mikir kalo everybody has their own flaws."
Kau menatap Suna, meletakkan atensi penuh pada pemuda itu.
"Gue payah di yang lain, meski oke di bidang logika. Di sisi lain, lu bisa segalanya kecuali sama angka."
"Mungkin, pada akhirnya Tuhan adil," ucapmu, menjatuhkan wajah di atas meja. "I like how you think."
"Thanks."
"Besok," ucapmu, memberi jeda sejenak. "Mau belajar bareng lagi?"
Suna tersenyum. Senyum yang tersembunyi dengan baik sebelum menggumam.
hellooo(๑•̀ᄇ•́)و ✧
it's been a while haha, udah lama gak muncul di sini karena satu dan lain hal hehe. meski begitu, selama ini aku masih suka menulis sambil belajar banyak sekaligus mencoba meningkatkan tulisan.
anyway, kalian lebih prefer yang narasi panjang/banyak dialog?
akan kucoba untuk menyesuaikan, belakangan ini aku entah kenapa terlalu fokus ke narasi jadi suka kepanjangan.
terakhir, karena lagi oleng ke suna jadi akhir-akhir ini cuman nulis suna bukan oikawa lagi pluss belum bisa nulis panjang sementara semua draftku terkait oikawa itu panjang-panjang; medieval au, kingdom au, vampire-witch au.
setelah ini mungkin akan aku coba untuk nulis ini sampe tamat kalau kalian tertarik, pairingnya tentu saja readerx suna dengan tema post apocalypse, di mana dunia hancur dan negara mulai bersatu.
okayy, that's itt! makasiii sebanyaknya untuk kalian yang sudah singgah di tempat ini, semoga betah♡ maaf kalau ada banyak kekurangan terutama kalau suna jadi ooc, karena aku sendiri masih mempelajari karakter dia hehe.
seperti biasa, kritik dan saran akan selalu dinantikan! untuk yang mau berteman juga boleh banget gak bakal digigit kok :')
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top