🌙 9. Kepada Rasa Bersalah🌙

Disclaimer, ya;
Cerita ini dulu ditulis pada saat mengikuti tantangan menulis 30 hari Ramadhan. Jadi jangan kaget kalau settingnya pas bulan puasa.

Happy baca 💜
.
.
.



Shubuh tadi Syabira bangun dengan kepala terasa sangat berat. Hidungnya merah dan matanya membentuk kantung tebal karena menangis semalaman. Perasaan bersalah menyusup, merasa telah bertindak kurang ajar pada Bang Fadli. Harusnya dia bisa sabar sedikit saja, menahan emosi agar tidak ikut terpancing. Meski Bang Fadli memandangnya sinis, tapi Syabira tidak ada rasa dendam atau kecewa. Hanya sedikit marah, bukankah itu adalah hal refleks bagian dari stress release, setelah amarahnya reda, Syabira dilingkupi sesal karena sudah meletup-letup saat menjawab semua kalimat Bang Fadli.

Pagi ini di dapur Syabira lihat ibu dan Mbak Cantika sibuk membongkar belanjaan. Bakda shubuh ibu sudah ribut ingin ke pasar, takut tidak kebagian daging dan ayam, karena hari ini semua umat muslim menyambut kedatangan tamu suci, bulan puasa ramadhan -- biasanya semua orang akan berbondong-bondong membeli banyak belanjaan ke pasar. Memasak aneka masakan untuk dibagikan pada kerabat dekat, tetangga dan untuk makan sahur nanti malam.

Mbak Dewi dan suami serta anaknya semalam pamit pulang saat Syabira masih di luar, makanya tidak terlihat ketika Syabira datang dan terjadi keributan.

"Bu, Syabira mau berangkat." Syabira hampiri ibu yang sedang memisahkan  belanjaannya. Ibu mendongak pada putrinya.

"Sarapan dulu Sya, itu tadi Mbak-mu bikin nasi goreng," sahut ibu menunjuk arah meja makan, ada sepiring nasi goreng yang masih kepulkan uap. Syabira  menggeleng. Kali pertama dia merasa sangat tidak semangat menyambut pagi. Bayangan kejadian semalam terus muncul di benaknya.

"Makan, Nak. Sarapan biar nggak lemes gitu," kata ibu lagi.

"Ibu mau masak apa? Banyak banget belanjanya." Syabira alihkan pembicaraan. Matanya menekuri aneka bahan masakan yang ditata ibu dalam wadah besar.

Ibu mengulas senyum semringah, "Bikin rendang, kare ayam. Sama ini, spesial kesukaan Fadli, sambal goreng kentang hati. Dia pasti senang nanti." Kalimat ibu ciptakan sendu di wajah Syabira. Bukan dia tidak senang ibu memasakkan kesukaan Bang Fadli. Tetapi menu yang ibu sebutkan juga merupakan kesukaan Syabira.

Dia rindu saat kebersamaan menjelang bulan puasa begini. Biasanya pagi hari, semua orang berkumpul di meja makan. Sarapan bersama. Lalu, menantu perempuan membantu ibu menyiapkan banyak masakan. Bakda Maghrib makan malam bersama, saat beduk Isya tiba, semua berbondong ke masjid kompleks untuk tarawih bareng. Dilanjut tilawah di rumah, ramai para keponakan Syabira makin menambah semarak suasana rumah. Dan, tengah malam semua akan dibangunkan ibu untuk jamaah tahajjud bersama, dilanjut makan sahur.

Ibu selalu memasak kesukaan anak-anaknya. Rendang makanan favorit Bang Antok. Mbak Dewi sukanya kare ayam, dan Bang Fadli, favoritnya sama dengan Syabira, sambal goreng kentang hati. Kadang dia dan Fadli sampai berebutan, tapi berakhir dengan tawa yang sama-sama menggema.

Kaca membias di mata Syabira. Otaknya sibuk memikirkan bagaimana suasana hari pertama puasa nanti, dia menggeleng sendiri, tidak mau membayangkan, karena semakin  membuat dadanya sesak.

"Bu, Syabira berangkat ya. Assalamualaikum." Syabira mencium tangan ibu dan melengang keluar.

"Wa'alaikumussalam, hati-hati Nak. Di kantor jangan lupa makan sesuatu ya," pesan ibu diangguki Syabira. Melangkah dengan gontai, banyak pikiran melintas di otak Syabira. Tentang Raga, dan juga  yang paling menyita pikiran, siapa lagi kalau bukan Bang Fadli. Bagaimana hubungannya yang memburuk dengan kakak ketiganya saat ini.

Shubuh tadi usai salat, Syabira banyak mengirim pesan singkat, lewat aplikasi chat, maupun SMS tetapi semua masih centang satu. Ditelpon juga tidak aktif. Syabira curiga Bang Fadli telah memblokir kontaknya.

***

"Ra, muka ditekuk aja. Masih pagi ini." Suara Mbak Daniar menginterupsi lamunan Syabira.

"Ke kantin yuk! Ngopi cantik kita," ucap Mbak Daniar lagi. Syabira menggeleng. Padahal biasanya kalau tiba di kantor, pagi begini Syabira yang ribut mengajak ngopi cantik di kantin sembari menunggu jam absensi karyawan.

"Mbak aja deh, aku lagi ga mood."

"Dapet Lo, Ra?" Tebak Mbak Daniar. Syabira hanya menggeleng sepintas. Embusan napasnya terdengar berat. "Sakit ya? Kalau enggak enak badan izin aja, Ra."

"Nggak, Mbak. Aku, enggak papa kok. Cuma agak pusing dikit." Mata Mbak Daniar menguliti wajah Syabira. Matanya fokus menatap netra Syabira yang sembap dengan kantung mata yang sangat tebal.

Mbak Daniar bertanya dengan hati-hati, "Ra, Lo habis nangis apa gimana? Mata bengkak banget?" Tanyanya penasaran. Syabira ulas senyum tipis disertai gelengan. Tebakan Mbak Daniar tidak meleset. Tetapi tidak mungkin dia mengadu bahwa semalaman menangis karena ulah Raga dan Abangnya yang baku hantam. Belum lagi sikap Fadli yang sekarang sangat marah dengannya.

Mbak Daniar pamit keluar, menuju kantin untuk menikmati kopi pagi ini. Selepas kepergiannya, pintu ruang akuntan terbuka. Syabira refleks mendongak, mendapati Pak Raga berdiri melangkah hampiri mejanya. Syabira perhatikan wajah lelaki itu, sudut bibirnya nampak tanda memar kemerahan oleh luka robek kecil.

"Sya," ucap Raga saat berdiri tepat di depan meja kerja Syabira.

"Apa, Pak?" Syabira masih ingat bahwa ini kantor. Sebisa mungkin bersikap formal.

"Gimana keadaan kamu?" Syabira mengendikkan bahu. Sebenarnya ada rasa sebal di hati pada Raga. Batinnya berandai-andai. Jika semalam tidak menuruti kemauan Raga yang mengajaknya pergi, pasti dia dan Fadli akan baik-baik saja sekarang. Andai waktu itu Raga cepat membangunkannya pasti Syabira tidak terlambat masuk rumah dan akibatkan prasangka Bang Fadli. Tetapi saat bersamaan ingatan tentang bagaimana Raga berusaha membelanya semalam, sedikit meluruhkan rasa kesal Syabira.

"Maaf," ucap Raga.

"Nggak ada yang perlu untuk dimaafkan. Justru aku yang harusnya minta maaf, Pak. Maaf atas sikap Bang Fadli semalam." Syabira berkata dengan mata menatap layar komputer.  Tidak berani memandang langsung pada Raga.

"Sya, kamu terlihat pucat. Sudah makan?"

Syabira mengangguk sekilas sebagai jawaban. Ingin  tetap membenci laki-laki yang berdiri di hadapannya, tapi sikap manis Raga saat ini ibarat guyuran es yang mendinginkan emosinya.

"Mau sarapan bareng? Kafe sebelah ada menu nasi uduk, enak Sya, kemarin saya sudah nyobain," Tawar Raga.

Syabira hela napas, "Nggak, Pak. Aku lagi enggak nafsu makan nasi."

"Hmm, terus nafsunya makan apa?"

"Makan orang!" Syabira melirik sinis. Raga tertawa pelan. Tetap garang, bukan Syabira namanya kalau tidak mengeluarkan tanduk di depannya.

"Maaf Pak, sebaiknya Pak Raga kembali ke ruangan. Nggak enak kalau didengar yang lain kita membahas masalah pribadi di kantor." Peringat Syabira. Raga mengangguk. Dia malas berdebat. Sebelum melenggang, Raga mengambil sesuatu dari balik jas-nya, sejurus meletakkan di meja Syabira.

"Marah atau kecewa adalah hal wajar. Tapi jangan nyiksa diri sendiri, enggak akan nyelesein masalah, Sya. Kalau enggak mau makan, setidaknya nyemil sebagai ungkapan rasa sayang kamu sama lambungmu," ucap Raga sebelum berlalu. Syabira terngangah merasa tidak asing dengan pemberian Raga. Sebatang cokelat dengan merk yang sama seperti waktu dia mendapat kiriman paket kemarin. Jadi, benar kemarin yang mengirimnya adalah Raga? Syabira menggeleng tak percaya. Raga memang penguntit sejati.

🌻🌻🌻

Tabik
Chan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top