🌙 8. Kepada Rasa Runyam 🌙



Raga perhatikan sosok yang meringkuk nyaman seperti anak kecil. Syabira pulas dengan dengkuran halus menggema pelan. Rahang tegas Raga melengkung membentuk senyum tipis. Meski galaknya minta ampun, tapi saat tidur sosok Syabira terlihat sangat polos dan lucu. Lelaki itu menggeleng sendiri dengan pelbagai pikiran yang melintasi batok kepalanya. Masih heran, kenapa Syabira itu ibarat magnet baginya. Selalu menarik untuk didekati.

Tangan Raga melayang ke udara, hampir saja mendarat di pucuk kepala Syabira yang tertutup pasmina, ingin mengusapnya pelan, tapi secepatnya sadar, tidak ingin menganggu si gadis galak. Habis dia kalau sampai ketahuan Syabira, bisa-bisa dituduh yang macam-macam.

Lima menit sudah berlalu sejak mobil Raga sampai di depan pagar besi rumah Syabira. Tetapi karena tidak ingin membangunkan gadis itu, Raga inisiatif ingin menunggunya sebentar. Barangkali Syabira akan membuka mata. Raga juga memundurkan posisi mobilnya agak ke samping agar tidak menarik perhatian orang sekitar.

Geliatan kecil disertai gumaman serak terdengar dari bibir Syabira. Gadis itu perlahan membuka kedua kelopak mata. Hawa tubuhnya terasa lebih hangat daripada tadi, Syabira merasakan sesuatu menyelimuti tubuhnya. Saat sadar dirinya terlelap di mobil bersama Ragantara, sontak Syabira menegakkan posisi duduk. Reflek melempar jaket ke arah Raga.

"Macem-macem ya, kamu?!" Todong Syabira.

Raga yang kaget hanya merapal istighfar. Syabira benar-benar sadis, kenapa setiap melihatnya seolah gadis itu sedang melihat penampakan setan. Dipukul, cubit, geplak. Semua sudah Raga rasakan.

"Kenapa kamu sukanya berprasangka buruk terus?" Cecar Raga.

"Ya, karena kamu selalu bikin sebal. Kenapa coba, enggak a bangunin dari tadi, malah ini, dikasih selimut jaket, apaan coba?!"

"Udah malam Sya, enggak enak ribut-ribut di sini, nanti dikira orang kita mesum dalam mobil." Syabira membelalak dengan kalimat Raga. Menyadari bahwa malam terus berarak, Syabira melirik jam di arlojinya. Pukul sebelas malam lebih sepuluh menit. Syabira melirik rumah dari kaca mobil, teras depan lampunya menyala terang, tapi di dalam sepertinya sudah gelap. Tetapi mata Syabira menangkap sosok Bang Fadli duduk di kursi rotan yang ada di teras.

"Tuh, kan! Telat pulang. Kelebihan jam malamnya, pasti aku bakal diomeli ayah nanti. Tanggung jawab, kamu!"

"Oke, saya siap tanggung jawab," sahut Raga santai. Lelaki itu menyembunyikan  senyum jailnya.  "Hmm, mau dibawakan mahar apa?" Imbuhnya menggoda Syabira.  Satu cubitan mendarat di lengan Raga.

"Raga, ish! Enggak lucu, ya." Syabira membuka pintu dan turun tanpa peduli dengan Raga.

"Tunggu, Sya. Saya yang ngajak kamu keluar, saya juga yang harus mengantar kamu sampai rumah." Raga gegas menyusul.

Syabira membuka slot kunci pagar dan bergegas melangkah masuk. Tidak peduli Raga yang mengikuti di belakangnya. Di teras depan, Bang Fadli duduk bersandar di kursi teras seketika berdiri. Kakak ketiga Syabira itu langsung melayangkan tatapan tajam pada adik bungsunya.

"Jam berapa sekarang? Ngapain pulang, enggak sekalian aja nginep di luaran sana!" Kalimat sinis langsung menghujani pendengaran Syabira. Syabira baru akan mengangkat suara tapi Bang Fadli terus memberondong dengan banyak kalimat penekanan.

"Sya, kamu itu anak gadis. Apa kata orang, pulang malam sama laki-laki. Baru saja batal nikah, sekarang malah sudah jalan sama cowo lain. Apa kata orang, Sya?! Kamu enggak kasihan sama ayah-ibu, mereka yang bakal jadi bahan gunjingan." Mata Syabira membias kaca mendengar rentetan kata Bang Fadli. Aneh sekali kakaknya itu. Tadi saja dia ikut mengizinkan saat Raga akan membawanya pergi. Kenapa sekarang marah-marah tidak jelas.

"Maaf Bang, salah saya, jangan marahi Syabira. Saya yang mengajak pergi. Kalau mau marah atau menyalahkan, saya yang patut disalahkan." Raga datang dan menginterupsi bang Fadli. Kakaknya Syabira mengibaskan tangan, tak acuh dengan kedatangan Raga.

"Masuk sana kamu!" Perintahnya pada Syabira. Tetapi gadis itu masih memaku di tempat. Air membanjiri kedua tebing pipi. Perasaannya sakit setiap kali Bang Fadli berkata kasar padanya. Tidak bisakah, Bang Fadli bersikap lembut seperti ayah atau Bang Antok? Kenapa selalu menyudutkan Syabira.

"Abang bilang masuk!" Teriak Fadli.

"Abang yang kenapa? Selalu saja maksain apa-apa sama Sya, kemarin juga Abang yang paksa Sya buat terima Arman. Syabira menghormati Abang, makanya selalu menuruti semua yang Bang Fadli mau. Tapi kenapa sih, Abang enggak bisa sekali aja jangan nyalahin Sya, bisa enggak usah nyudutin kalau seolah-olah semua salahnya Syabira, Bang!" Syabira sudah habis sabar. Kali ini benar-benar dibuat hangus dada karena sikap Bang Fadli. Syabira tahu kalau kakaknya berkata seperti itu karena rasa sayangnya, tapi cara Bang Fadli salah. Syabira tidak suka ditekan seperti ini.

"Udah berani kurang ajar kamu, Sya!" Tangan Bang Fadli melayang ke udara. Hampir mendarat di pipi Syabira kalau saja tidak cepat ditangkis Raga. Mata kedua lelaki itu saling menumbuk dalam tatap. Ada kilat amarah di mata Raga melihat Syabira diperlakukan kasar oleh kakaknya sendiri. Pun dengan Bang Fadli. Matanya menyiratkan tak suka pada Raga.

"Orang asing, jangan sok ikut campur."

"Saya memang orang asing, Bang. Tapi sebagai laki-laki, pantang bagi saya menyakiti atau kasar sama perempuan. Apalagi sebagai kakak, bukannya melindungi adiknya, malah berprasangka buruk, menuduh yang macam-macam." Gerakan bang Fadli sangat cepat mendaratkan bogem mentah ke wajah Raga. Bibir Raga memercikkan darah segar akibat pukulan Bang Fadli. Keduanya saling tarik menarik kerah pakaian masing-masing, Bang Fadli ingin terus menyerang Raga. Syabira berteriak histeris melihat aksi kedua laki-laki tersebut. Suara ribut-ribut membangunkan semua orang.

Ayah, Ibu, Bang Antok, Mbak Cantika serta Mbak Hana keluar mendatangi teras rumah. Ayah berusaha melerai Raga dan Bang Fadli. Syabira meringkuk menangis di pelukan ibu saat ini.

"Apa-apaan kalian ini, malam-malam bikin keributan!" Bang Antok menatap tajam pada Raga serta Bang Fadli.

"Tanya sama Syabira, dia itu sumber masalahnya." Suara Bang Fadli meninggi dengan tatapan berkilat murka pada Syabira. Ayah sejak tadi terus mengatakan, sudah cukup, tidak enak didengar tetangga.

"Raga sebaiknya kamu pulang, saya minta maaf atas nama keluarga soal kejadian kurang mengenakkan ini," ujar Bang Antok. Raga mengangguk. Sebenarnya masih berat kakinya melangkah dari sana. Apalagi menyaksikan Syabira sedang dihakimi oleh Bang Fadli. Melihat air menetes dari mata gadis itu membuat batin Raga diruangi rasa tidak tenang.

**

"Kelakukan anak gadis ayah. Begitu kalau dikasih kebebasan, seenaknya sendiri!" Bang Fadli masih saja terus mencecar.

"Fadli, sudah! Biarkan Syabira istirahat." Bang Antok menengahi.

"Biarin aja Bang, biarin Bang Fadli terus ngata-ngatain Sya. Emang dari dulu Sya ini enggak berarti apa-apa di mata Bang Fadli!" Syabira muntab.

"Lihat Yah, Bu. Kurang ajar dia, selalu jawab kalau dikasih tahu. Belum cukup apa, bikin kita sekeluarga malu gara-gara seenaknya dia batalin rencana nikahnya sama Arman!" Kali Syabira benar-benar tidak bisa berkata-kata. Lidahnya kelu. Bang Fadli keterlaluan. Dia tidak tahu yang sebenarnya. Syabira sengaja rahasiakan alasan batalnya rencana pernikahan dengan Arman, semata karena dia menghormati Bang Fadli. Tidak ingin kakaknya itu didera malu, tapi sikap Bang Fadli malah seenaknya. Syabira tidak mau keluarga besarnya menganggap Bang Fadli terlalu asal memilihkan calon suami untuk Syabira kalau sampai tahu bahwa Arman itu laki-laki tidak normal. Syabira hanya mengatakan bahwa dia dan Arman tidak cocok, makanya tidak mau meneruskan rencana pernikahan yang sudah disusun sedemikian rupa. Syabira tidak mau Fadli dipandang sebelah mata oleh saudaranya yang lain. Tetapi apa yang diperbuat Syabira malah menimbulkan prasangka bagi Fadli.

"Malu Fadli, Yah, Bu. Arman yang baik ditolak mentah-mentah, alasan tidak cocok. Malah sekarang jalan sama laki-laki, pulang larut malam. Fadli sampai sekarang masih ngerasa nggak enak sama Arman gara-gara kelakuan anak gadis ayah sama ibu itu."

Syabira hanya bisa terisak sembari terpejam, berusaha menelan semua kalimat pahit Bang Fadli ucapkan untuknya. Berkali-kali batinnya membisiki agar tetap sabar dan memaafkan sikap Bang Fadli. Sakit sekali yang Syabira rasakan. Dia memilih bungkam dalam dekapan ibu. Usapan lembut tangan ibu di punggungnya sedikit memberikan ketenangan baginya.

Syabira merekam polah Bang Fadli yang melewatinya saat melangkah menuju kamarnya. Beberapa saat kemudian Bang Fadli dan Mbak Hana keluar dengan membawa tas masing-masing.

"Yah, Bu, Fadli dan Hana pamit, lebih baik kami pulang saja." Fadli pamit akan pergi pada ayah dan ibu. Syabira menunduk, tidak berani menatap wajah Bang Fadli. Kenapa semuanya menjadi runyam. Padahal Syabira hanya ingin dihargai sedikit saja. Bang Fadli bahkan tidak menatapnya sama sekali saat melangkah keluar rumah. Syabira hanya mendengar deru mesin mobil dihidupkan, sejurus menghilang setelah pagar depan ditutup kembali. Fadli benar-benar murka pada Syabira.

"Yah, Bu, maafin Syabira." Masih terisak-isak, Syabira meminta maaf pada ayah dan ibu.

"Jangan diambil hati, Ra. Fadli begitu karena terlalu sayang denganmu. Istirahatlah, sudah larut malam," titah Ayah.

Ibu mengangguki kalimat Ayah, "Syabira  yang tenang ya, nanti kalau sudah sama-sama mendinginkan kepala, kita bicarakan baik-baik sama abangmu." Ibu menambahi. Meski terlihat tegar, tapi Syabira bisa menangkap jejak kecemasan di mata ibu. Syabira menggigit bibirnya sendiri guna menekan perasaan bersalah yang bersarang di hati. Apalagi lusa sudah memasuki bulan puasa ramadhan, dan biasanya sahur serta buka puasa hari pertama semua keluarga berkumpul di rumah. Syabira mengusap wajahnya, menghapus titik-titik sisa airmata sebelum beranjak ke kamar. Besok saat sudah lebih tenang dia akan coba menghubungi Fadli dan minta maaf.

🌻🌻🌻

Tabik
Chan

Yang mau ikutan PO Pakde Bayu, silakan ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top