🌙 6. Kepada Dusta 🌙


"Maaf ya, untuk semua kelakukan yang bikin kamu marah, sedih, kecewa atau murka. Kamu boleh maki-maki saya sekarang, kamu boleh ngatain saya apapun." Suara Raga menggema ungkapkan rasa maaf. Dari jarak yang sangat dekat. Syabira bahkan bisa menghidu aroma musk parfum lelaki itu. Gugup seketika melanda.

"Syabira, maaf," ucap Raga tulus. Matanya menyendu, menyiratkan sesal mendalam. Syabira mengalihkan pandangan ke arah dasboard. Bukannya apa-apa, ditatap seperti itu jantung Syabira mendadak berdetak tak normal.

"Nggak usah sok minta maaf. Toh tetap aja di kantor kamu bakal nindas aku lagi!" Majas sarkas yang malah keluar dari bibir tipis Syabira. Raga tertawa kecil dengan gelengan pelan.

"Suuzan!"

"Bukan suuzan, tapi kenyataan!"

"Bukannya memberi maaf itu jauh lebih baik? Kenapa kamu nggak mau maafin saya?"

"Nggak semudah itu, ya! Coba aja bayangkan, kalau penjahat minta maaf dan urusan selesai, penjara bakal sepi, polisi dan hakim nggak akan punya kerjaan lagi. Enggak sesimpel itu." Syabira meletup-letup saat berbicara. Raga sejak terus mengajaknya bicara, padahal tenggorokannya sudah terasa kering. Dia butuh minum. Dasar Raga tidak peka. Syabira sengaja berakting batuk-batuk kecil agar Raga mengajaknya mampir mencari minum.

"Bicara pelan-pelan, kan jadi keselek kamu. Tunggu di sini sebentar." Raga melesat keluar mobil. Kebetulan di seberang jalan ada minimarket yang masih buka. Syabira hanya memperhatikan segenap polah lelaki itu dari kejauhan. Matanya mengikuti kemana Raga pergi.

Syabira menyandarkan bahu dengan malas pada jok mobil. Aroma parfum Raga masih mendominasi bau seisi mobil itu. Syabira memejamkan mata. Aromanya memang menenangkan. Tidak berani selang lama.
Suara pintu kembali terbuka, sontak Syabira menegakkan duduk. Raga masuk dengan kresek besar di tangan, berisi sepuluh botol minuman ringan.

"Nih, minum dulu," ucapnya menyodorkan kresek pada Syabira. Gadis itu membeliak.

"Kamu kira aku kudanil apa gimana? Ngapain beli sebanyak ini!?" Protesnya bukannya berterima kasih. Raga menggaruk surainya, tersenyum kikuk.

"Hmm, sorry, saya ga tau kamu sukanya apa, jadi saya beli saja satu-satu, biar kamu pilih sendiri." Syabira menggeleng tak percaya. Benar-benar lelaki sinting.

Membongkar kresek besar bertanda logo minimarket, Syabira menilik satu-satu minuman yang dibeli Raga. Ada teh yang katanya diambil dari daun paling pucuk, lalu ada minuman berkarbonasi ringan yang nyatanya nyegerin, katanya. Ada minuman ion dan beberapa macam jenis teh botol. Dari semuanya Syabira mengambil air mineral yang ada manis-manisnya. Gegas dia meneguknya sampai tersisa sedikit di botol ukuran tanggung itu.

"Haus banget kayaknya." Raga berkomentar. Syabira membalas dengan deheman kecil.

"Jadi gimana?" Tanya Raga usai Syabira membasahi kerongkongannya.

"Gimana apanya?"

Raga embuskan napas berat, "Saya dimaafkan atau bagaimana?"

"Hmm, nanti deh, aku harus berpikir matang dulu, mau maafin atau nggak." Sungguh tangan Raga gatal sekali ingin mencubit pipi gembil Syabira saat gadis itu bicara dengan nada manja sembari bibirnya dimajukan, persis anak kecil saat berbicara.

"Oke, saya nggak maksa. Keputusan ada di tangan kamu." Raga kembali melajukan mobil perlahan. Rencananya ingin membawa Syabira ke tempat yang sejak kemarin ingin dia kunjungi. Raga melirik jam, pukul setengah sepuluh, dia masih punya waktu satu jam setengah, karena tadi ayah Syabira memberi izin batas WAKTU hanya sampai jam sebelas. Lewat dari itu beliau tidak akan mengijinkan Raga mengajak pergi lagi.

"Mau ke mana ini?" Syabira lirik Raga. Yang dilirik sedang fokus pada kemudi. Range Rover Raga memasuki parkiran sebuah hotel. Syabira membaca tulisan besar di atas gedung yang tertangkap mata. Takes Mansion & Hotel. Sontak kedua netranya membeliak. Untuk apa Raga membawanya ke tempat ini.
Satu cubitan kecil Syabira reflek mendarat pada Raga.
"Awwwsh, apa-apaan sih?" Raga mengadu kesakitan saat Syabira hadiahkan satu cubitan super kecil di lengannya.

"Jangan kurang ajar kamu ya, ngapain malam-malam ngajakin anak gadis orang ke hotel. Kamu mesum ya!" Sembur Syabira. "Putar balik, atau aku loncat sekarang!" Syabira tahu itu hanya ancaman. Yakali loncat dari mobil. Syukur-syukur kalau badannya mendarat dengan aman. Kalau malah lecet-lecet atau membentur aspal, lalu amnesia, dia sendiri yang bakal rugi. Syabira masih sangat sadar diri untuk melindungi dirinya. Batal nikah saja dia masih bisa tertawa.

Raga mengambil napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Syabira memang sebenci itu padanya, sampai-sampai selalu berpikir buruk.

"Pikiran kamu yang mesum!" Cetus Raga tegas. "Memangnya kalau ke hotel selalu mau berbuat macam-macam, gitu? Saya cuma mau bawa kamu ke cafe shop yang ada di rooftop hotel ini. Pikiran kamu sendiri yang aneh-aneh." Mendengar ucapan Raga, Syabira kicep seketika. Malu. Sudah menuduh, nyatanya meleset. Lagian mana dia tahu kalau di hotel ini ada cafe di atas gedung pencakar langit sana.

Langit Seduh. Nama cafe tempat Raga membawa Syabira duduk saat ini.

Duduk di balkon dengan pemandangan malam langit Jakarta, usai memesan minum, Raga mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. Secarik kertas kecil diberikan pada Syabira.

"Apa ini?" Tanya Syabira bingung. Raga isyaratkan agar Syabira memeriksa kertasnya. Mata Syabira langsung meneliti tulisan yang tertera. Sebenarnya dia tahu kalau itu struk tanda bukti transfer antar bank. Mata Syabira membulat sempurna saat tahu bahwa Raga benar-benar mentransfer dua ratus juta untuk Arman.

"Gila ya, kamu?! Ngapain sih, nurutin maunya Arman?" Protes Syabira. Raga mengedikkan bahu tak peduli.

"Saya anggap itu utang, kamu boleh mencicilnya setiap bulan. Atau semampunya kamu. Tapi ada syaratnya," ucap Raga.

Satu geplakan mendarat di lengan Raga lumayan keras, "Selain penguntit, kamu juga tukang maksa!"

"Daripada kamu, tukang pukul." Raga meringis. Tangan Syabira meski kecil tapi tenaganya tidak bisa diremehkan. "Pantes aja nggak ada laki-laki yang betah dekat-dekat kamu." Mendengar kalimat terakhir Raga, Syabira terdiam seketika. Wajahnya menyendu malas. Raga ternyata sama saja, entah orang ke berapa yang mengatakan hal tersebut. Selalu dijadikan barometer, bahwa sikapnya yang spontan menjadi alasan laki-laki tidak mau mendekat.

"Ma-Maaf, Sya. Nggak bermaksud menyinggung kamu." Raga merasa bersalah menyadari atmosfer beda dari wajah Syabira. Gadis itu hanya menggeleng pelan.

"Udah kebal, enggak usah minta maaf."

"Soal utang tadi, saya cuma becanda tentang syarat. Kamu boleh membayar kapanpun, saya tulus mau bantu, sebagai ungkapan maaf kalau dulu pernah mengganggu kamu."

"Hmm, makasih. Tapi aku belum maafin kamu seratus persen." Raga tertawa mendengar kalimat polos Syabira. Di matanya Syabira gadis yang berbeda dari yang biasa dia temui. Tidak ada rasa jaim atau sok pencitraan. Syabira itu apa adanya, hal yang membuat Raga tidak bisa berpaling sampai detik ini.

"Sya."

"Hmm, apa?"

"Kalau boleh tau, kenapa pernikahan kamu bisa gagal?" Hati-hati sekali Raga bertanya sembari perhatikan raut gadis yang duduk di seberangnya. Takut kalau Syabira akan reflek memukulnya lagi. "Kalau keberatan, ga usah dijawab."

"Nggak masalah, aku ceritain, biar kekepoan-mu itu terpuaskan," sahut Syabira. "Waktu itu ...." Pandangan Syabira menerawang, mulai fokus mengisahkan kenapa bisa sampai rencana pernikahannya gagal.

**

Syabira rela mengambil cuti sehari untuk acara fitting baju pengantin hari itu. Selain itu ada jadwal untuk mengurus undangan, memastikan gedung yang disewa dan beberapa kepentingan dengan vendor lain.

Syabira sudah janjian dengan Arman semalam. Pagi ini rencana kegiatan akan dimulai. Syabira tersenyum semringah. Masih belum percaya sebentar lagi akan mengakhiri masa lajang. Dalam angannya sudah terbayang nanti saat duduk di pelaminan Syabira akan melayangkan senyum angkuh, membalas semua nyinyiran orang yang selama ini sibuk mengatainya 'perawan tua' atau 'nggak laku'

Arman mengirimkan pesan kalau lelaki itu menunggu di kafe yang dekat dengan butik tempat mereka akan fitting baju pengantin. Syabira menghampiri ke sana terlebih dahulu. Langkahnya penuh semangat, tapi juga disusupi perasaan gugup dan cemas.

Mengayun kaki memasuki kafe tujuan mata Syabira celingukan mencari sosok calon suami. Senyum Arman mengembang menyambut saat matanya bertatapan dengan manik Syabira.

Tersenyum manis hampiri calon suaminya, Syabira mematung di tempat saat tahu bahwa Arman tidak sendirian. Mata Syabira memindai tangan Arman menggengam erat tangan lain. Syabira perhatikan seksama dengan gelengan tak percaya.

"Ra, maafin aku. Aku nggak bisa lanjutin rencana pernikahan kita." Wajah Arman menunduk tak berani terangkat.

Syabira tercekat. Sejenak lidahnya kelu. Tega sekali Arman mempermainkan. Kalau begitu kenapa menerima sejak awal saat dikenalkan dengannya.

"Gila kamu, Mas!" Tas selempang Syabira mendarat tepat di kepala Arman sebagai ungkapan kesalnya.

Dada Syabira rasanya sesak mendadak mendapati kenyataan mencengangkan di depan matanya.

"Maaf Ra, tiga bulan ini aku udah coba membuka hati buat kamu, tapi aku ga bisa. Aku udah terlanjur cinta sama dia." Arman mengecupi tangan seseorang yang digenggamnya, membuat Syabira merasa mual, ingin muntah rasanya.

"Sinting kamu! Kenapa ga dari awal aja kamu jujur! Gedung udah di down payment, begitu juga catering, undangan dan lain-lain. Ga waras kamu memang!" Cacian penuh perdom menghujani Arman.

"Jangan salahkan dia, Mbak. Kamu harus terima kenyataan, kami saling mencintai." Syabira berdecih, jijik mendengar ucapan seseorang di sebelah Arman.

"Pergilah Mas, aku merelakanmu. Terima kasih untuk kisah singkatnya, dan jangan pernah datang lagi ke rumah atau muncul di depanku!"

"Makasih Ra." Syabira cepat berlalu dari hadapan Arman. Tidak peduli dengan ungkapan maaf atau terima kasih lelaki itu.

Sepanjang langkah rapalan istighfar serta hamdalah menguar dari bibirnya. Syukur Alhamdulillah tidak sampai melangkah jauh. Tidak bisa Syabira bayangkan kalau sampai dia dan Arman jadi menikah, akan jadi apa rumah tangganya nanti. Bisa-bisanya Arman mendustai dia dan seluruh keluarganya dengan menyembunyikan identitas sebenarnya. Menyatakan akan belajar mencintai Syabira ketika proses ta'aruf . Sedang sekarang Arman mengatakan sangat mencintai pacarnya ... yang seorang laki-laki berpenampilan cantik itu.
***
🌻🌻🌻




Repost
21-11-23

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top