🌙 5. Kepada Kenangan 🌙

Mohon koreksinya kalau ada typo ya. Terima kasih banyak ❤️
.
.
.

Meja makan di rumah keluarga Syabira malam ini nampak semarak. Bukan cuma keluarga inti yang berkumpul, setiap weekend - tepatnya Jumat malam memang anak-anak ibu dan ayah meluangkan waktu untuk datang. Makan malam bersama menjadi ajang menjaga tali silaturahmi, serta atmosfer  hangat keluarga. Anak-anak ayah dan ibu kadang juga menginap karena esoknya hari sabtu kakak-kakak Syabira libur kerja.

Mbak Dewi bersama suaminya, Bang Erwin serta dua anak mereka, Rakha si sulung yang baru kelas satu sekolah dasar, dan Rara yang masih berusia tiga tahun.

Lain lagi Bang Fadli, pengantin yang masih terbilang baru, karena baru enam bulan lalu mengucap janji sakral pernikahan dengan Mbak Hana, istrinya. Mereka tinggal di kota sebelah - yang berjarak tiga jam dari padatnya Jakarta, karena pekerjaan Bang Fadli yang mengharuskannya pindah kota. Meski begitu Bang Fadli dan Mbak Hana kerap meluangkan waktu seminggu sekali untuk pulang.

Sedang Bang Antok dan Mbak Cantika - istrinya, mereka memilih tinggal bersama di rumah ibu dan ayah serta si adik bungsu, Syabira, dan dua putra kembarnya, Keenan dan Keevlan.

Atmosfer ruang makan terasa hangat dengan obrolan yang bersahutan satu sama lain. Tetapi bagi Syabira suasana saat ini sungguh, sangat memuakkan. Apa lagi kalau bukan karena kehadiran Raga, si tamu tak diharapkan. Lelaki itu menepati janji untuk datang makan malam bersama keluarganya.

Sok akrab, sok perhatian. SKSD. Sok kenal, sok dekat. Syabira mengutuk dalam hati. Perasaannya masih didera dongkol pada laki-laki yang lebih muda dua tahun darinya itu.

Syabira masih merekam dalam otaknya saat lelaki itu bertandang tepat jam tujuh malam tadi, dengan membawa tentengan tangan, ibu menyambutnya seperti seorang menantu kesayangan. Berbasa-basi, kenapa Raga harus repot membawakan lagi buah satu keranjang besar serta aneka jajanan, ada martabak daging kesukaan ibu - juga brownis dan bolu chiffon keju favorit Ayah.
Syabira benar-benar tak habis pikir, darimana Raga tahu semua kesukaan orangtuanya? Dasar penguntit!

"Jadi, Raga ini temannya Syabira?" Suara Bang Fadli mengajak ngobrol Raga di sela kunyahan. Lelaki itu mengangguk dengan senyuman sopan. Syabira lirik sekilas. Manis memang senyumnya. Raga terlihat tampan dengan setelan jeans serta poloshirt berwarna putih tulang. Syabira lantas menggeleng samar. Cukup Sya! Jangan salah fokus! Batin Syabira mengingatkan.

"BUKAN," Sahut Syabira lantang dan cepat setelah tersadar dari selaman pikirannya sendiri. Dia merasa tidak pernah dan tak akan pernah berteman dengan orang seperti Raga.

"Ra, galak amat. Jangan gitu, teman tapi tidak mau ngaku." Bang Antok menukas sang adik.

Mbak Dewi yang sedang menyuapi Rara ikut menimpali, "Sya, Mbak tahu kamu pernah gagal dan kecewa, tapi jangan juga menutup diri. Ingat umur, Sya," ucapnya menohok batin seperti ditampar tepat di pipi Syabira. Matanya melirik tajam pada Kakak keduanya itu. Kebiasaan Mbak Dewi kadang lupa sitkon kalau bicara.

"Mbak, bisa enggak  sih, jangan buka-bukaan aib di depan orang asing!" Semburnya tak terima. Apa-apaan kakak-kakaknya seperti menganggap Raga orang dekat yang berhak tahu semua permasalahan keluarganya, terutama Syabira, lantas dengan gamblangnya mereka membuka nasib buruk yang menimpa adik bungsunya.

"Kamu yang sabar, jangan banyak marah-marah. Terkadang, Tuhan memang sengaja memberi kegagalan lebih dulu, sebelum akhirnya memberi yang terbaik." Kali ini Raga yang bersuara. Nada bicaranya terdengar santai. 

Syabira tertawa sumbang, "Ha-ha-ha makasih perhatiaannya. GA BUTUH!" Sembur Syabira.  Raga hanya tersenyum tipis menyaksikan raut kesal Syabira. Bagi lelaki itu, sejak dulu atau sekarang, wajah Syabira yang memerah karena amarah sangat menggemaskan sekali. Tidak berubah sejak dulu.

"Jadi, Nak Raga ini satu kantor dengan Syabira?" Ayah ikut ke dalam obrolan di sela suapan makanannya. Raga mengangguk lagi. Syabira melirik sebal dengan gerakan jarinya mengoyak daging bistik di piringnya sebagai ungkapan rasa kesal.

"Iya, Om. Saya baru pindah ke kantor cabang tempat Syabira kerja, nggak nyangka juga bisa ketemu lagi sama teman dekat seperti Syabira, setelah sekian lama." Raga berbicara tanpa terganggu dengan tatapan sinis Syabira.

Sementara Syabira ingin sekali melempar garpu di tangannya ke arah Raga. Teman dekat?  Pardon ... Kapan mereka berteman?!

"Hei, sejak kapan aku jadi  teman dekatmu!" Cetus Syabira dongkol.

"Sya, dari tadi ibu perhatikan kamu terlalu kesal, marah-marah terus nggak baik, Nak." Ibu angkat suara, menatap lembut putrinya. "Nak Raga jangan diambil hati ya, Syabira memang umurnya sudah dewasa, tapi sifatnya kadang memang seperti anak kecil. Manja dan cengeng." Ibu terkekeh pelan.

"Ibuu, aku enggak  cengeng ya!" Syabira tak terima disebut cengeng. Dulu, memang iya sih, tapi semakin ke sini, rasa cengengnya terus memudar. Syabira lebih kuat menjalani hidup. Terlebih saat menyaksikan teman-teman seumurannya sudah banyak yang menimang anak, sedang Syabira? Boro-boro anak, hilal jodoh saja belum terlihat datang.

"Om, Tante, Kak, kalau boleh saya izin ingin mengajak Syabira keluar sebentar," ucap Raga. Syabira bereaksi. Sontak gadis itu menghempaskan sendok dan garpu-nya. Apa lagi sekarang? Apa katanya, minta izin mengajak keluar? Syabira tertawa miring. Benar-benar muka tembok sekali.

"Ngg---"

"Ibu izinkan, asal jangan pulang terlalu malam, ya." Syabira mengangah mendengar kata-kata ibu. Padahal baru dia akan membantah dengan penolakan dan mengatakan 'enggak!'

"Hmm, bawa jalan-jalan ke mana? Jangan jauh-jauh! Adik bungsu memang butuh menenangkan pikiran. Kasihan dia." Bang Fadli ikut berkomentar dengan raut dibuat-buat seolah prihatin. Ingin Syabira mengumpat kakak ketiganya itu, bukankah dari dia Syabira mengenal Arman. Dasar!

"Ayo kita jalan. Kamu butuh hiburan, biar enggak gampang marah-marah." Syabira masih memaku di kursinya. Enggan sekali rasanya. Hah! Mimpi apa dia semalam, kenapa bisa terus berhadapan dengan orang yang ingin sekali dihindari.

"Pergilah, Nak. Ayah izinkan, tapi ingat, jaga diri ya. Jangan pulang lebih dari jam sepuluh malam. Ayah tidak  menunggu di depan nanti." Kalau ayah sudah ikut bicara, Syabira mau tak mau akhirnya bangkit dari duduknya. Beranjak dan pamit mengambil tas serta sweter karena malam ini langit berselubung mendung, udara jadi terasa lebih dingin. Sebelum melangkah kedua netra Syabira sempat menumbuk dengan mata Raga dalam tatapan. Laki-laki itu mengulum senyum penuh kemenangan. Syabira makin muak melihatnya.

***

Raga membawa mobilnya melewati jalanan yang tetap ramai meski malam kian berarak. Pukul delapan malam, dan sejak memasuki mobil, keduanya hanya saling diam tanpa sepatah kalimat pun. Raga fokus pada kemudinya. Sedang Syabira fokus dengan ponsel di tangan.

"Hmm, Syabira ...." Raga membuka suara lebih dulu.

"Apa," sahut Syabira singkat. Nadanya masih terdengar ketus.

"Maaf," ucap Raga.

Syabira memutar tubuh agak miring menghadap arah Raga, "TELAT! Ngapain baru minta maafnya sekarang? Enggak guna," semburnya dengan berapi-api. Ragantara malah memaparkan senyum tipis.

"Kamu lucu." Raga tak bisa menahan rasa gemasnya.

"Hei, Adik Kelas. Enggak usah ya, sok-sokan deketin keluargaku. Enggak usah juga sok baik di depan mereka, padahal aslinya jahat banget."

"Iya, saya memang jahat ... Kakak Kelas. Di mana-mana itu yang ada senior jahatin junior, enggak ada ceritanya junior jahat sama senior. Lagian saya jahat apa sama kamu?" Cecar Raga. Satu pukulan mendarat di lengan Raga dari Syabira.
Sampai lelaki itu mengadu, bukan karena sakit sebenarnya, tapi kaget.

"Banyak salahnya. Pokoknya kamu itu, jahat!" Raga mengangguk setuju. Iya, dia jahat, tadi di kantor hampir membuat Syabira menangis akibat ucapan tegas plus tatapan tajamnya.

"Pengganggu!" Hardik Syabira.  Lagi, Raga angguk-angguk setuju. Sejak dulu dia Memang suka menganggu Syabira. Kalau yang itu, bukan tanpa alasan. Sejak kelas 10 Raga sudah ngefans dengan Syabira yang notabene kakak kelas tercantik. Tetapi Raga yang masih labil dan bingung untuk ungkapkan rasa kagum. Satu-satunya cara yang dia berani lakukan adalah menjadi pengganggu untuk mencari perhatian Syabira.

"Resek juga!" Sambung Syabira.  Raga menjawab dengan dehaman. Dia setuju lagi. Dia biarkan Syabira ungkapkan semua rasa kesal dan sakit hatinya. Raga memang berniat ingin meminta maaf dari hatinya terdalam. Gara-gara ulahnya dulu, dia harus kehilangan jejak Syabira karena gadis itu memutuskan pindah sekolah.

"Satu lagi, mulutnya, tolong ya, mulutnya kalau bicara dikondisikan. Kata-kata kamu di kantor bikin aku sakit hati. Ketusnya naudzubillah, kalah Lambe nyinyirnya emak-emak !" Bibir Syabira maju beberapa centi saat berbicara, isyarat kekesalan yang meluap-luap. Bukannya kesal dengan ungkapan gadis di sebelahnya, tapi Raga justru merasa sangat gemas. Kakak kelas yang imut dan selalu manis.

"Sudah atau ada lagi?" Raga yang bertanya kali ini.

Syabira meletakkan jarinya di dagu, terlihat berpikir sejenak, "Hmm, keyaknya masih banyak, nanti aku pikir dulu. Kesalahan kamu kalau dijabarkan, bisa jadi setebal novel Ephemeral." Raga menggeleng pelan dengan tawa kecil mendengar kalimat Syabira.

"Ephemeral? Novel apa itu?" Raga malah salah fokus. "Hobi baca kamu masih belum hilang juga ya?" Imbuhnya.

"Suka-suka aku, kok, ngatur!" Decih Syabira.

"Oke, karena sebentar lagi bulan Ramadhan. Jadi, izinkan saya buat minta maaf sama kamu." Syabira berdecih lagi. Minta maaf memang segampang ucapan, tapi sakit hatinya, kan, membekas, susah hilangnya.

Raga menghentikan mobilnya di sisi jalan yang agak sepi, Syabira jadi agak khawatir, takut laki-laki di sebelahnya akan macam-macam.

Raga mencondongkan tubuh ke arah Syabira, manik cokelatnya menatap lekat ke dalam bola mata Syabira, "Saya serius dan tulus, minta maaf Syabira." Syabira terdiam mendengar kalimat maaf Raga. Dari suaranya memang terdengar sangat tulus. Tidak dibuat-buat. Syabira tiba-tiba dilanda gugup sendiri saat akan menjawabnya.
Kepada kenangan lampau yang pernah mereka lalui dulu, kalau boleh jujur, sebenarnya Syabira pindah dan menghilang dari dari pandangan Raga bukan karena ulah lelaki itu. Ya, sebagian memang faktor kejailan Raga, tapi Syabira pindah sekolah alasan utamanya adalah karena ... Ayah yang dimutasi oleh kantornya ke kota lain, hingga mengharuskan Syabira sekeluarga ikut pindah.

🌻🌻🌻

Repost 10-11-23

Presensi dong, yang kangen Abang El dan Hawa?

Tabik
Kachan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top