🌙 3. Kepada Luka 🌙


Syabira melangkah dengan perasaan dipenuhi dongkol menjalar sampai ulu hati. Semua karena ulah Pak Raga. Kalau suasananya tidak enak seperti sekarang, lalu bagaimana nanti dia bisa bekerja dengan tenang tanpa interupsi aneh-aneh dari sosok Pak Kepala Cabang Kantor yang baru itu? Sepanjang ketukan sepatu melewati koridor Syabira mulai berpikir, bagaimana kalau dia mengambil keputusan untuk resign saja?

Syabira makin dibuat bingung. Mencari pekerjaan baru yang cocok dan sesuai skillnya itu gampang-gampang susah. Apalagi teringat perjuangan memasuki perusahaan kontraktor yang bonafit seperti kantornya saat ini tidaklah mudah. Syabira masih ingat dulu dia bersaing dengan ratusan pelamar untuk menduduki posisinya sekarang.

"Sya, gimana meetingnya?" Mbak Daniar menyambut Syabira tepat di depan kubikel. Syabira hanya tersenyum sekilas. "Kok Lo baru balik sih? Yang lain udah dari tadi, deh, kayaknya. Eh, gimana Bos Baru? Ganteng ya?" Ujar Mbak Daniar masih terus menginterupsi. Syabira mendengkus sebal mendengar pertanyaan Mbak Daniar. Sudah punya suami masih saja genit nanya-nanya. Nah, loh. Rasa sebal Syabira jadi merambat ke Mbak Daniar, gara-gara Raga. Memang ya, orang kalau sudah unmood, bawaannya pengin marah saja sama semuanya.

"Jelek, Mbak. Yang bilang ganteng, fitnah, valid no debat!" Cetus Syabira singkat. Ragantara Sadewa memang jelek di mata Syabira, sifatnya.

"Hmm, masa sih? Kok, kata yang lain pada heboh katanya Pak Bos yang baru gantengnya kayak Prince Mateen," ujar Mbak Daniar, menjabarkan penyamaannya tentang Pak Raga dengan pangeran dari negeri tetangga, Brunei Darussalam.

Syabira mengibaskan tangan ke udara, "Lebay semua. Jangan percaya, Mbak," ucap Syabira, lantas duduk kembali menempati kubikelnya.

Syabira sedang fokus pada layar komputer saat ada OB datang menghampiri ruang kerjanya, "Mbak Sya, ada paket nih." OB bernama Sugeng itu menyerahkan bungkusan kecil berpita pada Syabira. Mata gadis itu sontak membulat. Seingatnya dia tidak sedang membeli barang di marketplace, kenapa mendadak ada kiriman paket?

"Mas Sugeng enggak salah orang nih? Saya lagi enggak belanja online lho, kok bisa dapat kiriman."

"Nggak Mbak, bener kok, buat Mbak Sya, ada namanya ini, tuh, ada nomer kubikel sama nama divisinya pula," sahut OB.

Benar juga, Syabira memeriksa sekali lagi, sangat detail sekali. Nama lengkap, nomer kubikel, ruangan divisi akutansi. Syabira mendadak jadi parno, merasa horor sendiri kalau sampai beneran paket di tangannya ini bertujuan untuk meneror-nya. Hah! Lebay, Sya! Pikirannya jadi bercabang kemana-mana. Masalah selama menempati kubikelnya ini Syabira belum pernah mendapat kiriman misterius semacam ini.

"Coba buka, Sya," cetus Mbak Daniar dengan raut penasaran.

Syabira menuruti kata Mbak Daniar, tangannya bergegas membuka isi paket. Sebuah kotak persegi panjang nampak saat seluruh bungkus ditanggalkan. Syabira merapal bismillah sebelum membuka kotak tersebut. Matanya sontak menangkap dua batang cokelat almond merk SilverKing favoritnya, ditambah dua bar bubble gum.

Mbak Daniar berkomentar, "Widih, diem-diem Syabira punya penggemar rahasia ternyata," ucapnya dengan kerlingan mata jail. Syabira menggeleng. Dia sendiri bingung kenapa ada yang mengirim dua benda favoritnya.

"Apaan sih, Mbak Daniar, aku juga enggak tahu ini siapa yang iseng ngirim beginian."

"Hati-hati loh, Saya, jangan-jangan dipelet Lo." Jail Mbak Daniar. Syabira merengut mendengarnya.

Belum tandas rasa penasaran, Syabira menemukan hal lain. Secarik kertas yang terlipat rapi nampak diselipkan di antara bungkus cokelat. Syabira cepat membuka lipatan, rasa penasaran  memuncak ingin segera membaca pesan di dalamnya.

Banyak menyimpan marah tidak bagus buat kesehatan. Makan cokelat ini, biar sedikit relaks

Singkat dan jelas, tanpa nama pengirim. Syabira menerka dalam hati, siapa yang kira-kira mengirimkan semua barang itu ke mejanya? Sampai sedetail itu bisa tahu kalau dia sedang didera rasa kesal atau marah, Syabira suka sekali mengunyah bubble gum atau makan cokelat. Menurut Syabira, cokelat itu bagus buat mengembalikan mood yang awut-awutan karena kandungan flavonoid yang bisa membikin perasaan seketika jadi lebih baik. Sementara bable gum juga bisa jadi pengalihan saat mulut ingin melontarkan omelan. Daripada marah, lebih baik kunyah permen karet. Satu nama tiba-tiba melintas di otak Syabira.

Raga?

Ah, tidak! Syabira tidak mungkin memasukkan lelaki itu ke dalam daftar praduganya. Lihat saja tadi, tatapannya seperti harimau kelaparan yang siap menerkam mangsa. Mana mungkin dia bersikap manis begini.

"Rezeki, Sya. Enggak  usah banyak mikir, kalau Lo enggak mau, buat gue aja sini." Mbak Daniar meraih dua cokelat dari meja Syabira.

"Ih, satu aja Mbak, jangan semuanya. Sya juga mau kali." Syabira menyambar lagi satu cokelat dari tangan Daniar.

"Halah, lagak Lo sok takut, ujungnya mau juga." Decih Mbak Daniar. Syabira hanya tertawa menanggapi cibiran seniornya itu.

***


Pulang kerja sore ini.
Turun dari ojek online mata Syabira dihadang pemandangan tak biasa. Dari balik pagar besi saat dia membuka slot kunci, pintu ruang tamu terbuka lebar. Syabira melangkah, sampai di depan pintu mengucap salam, sontak matanya bertemu dengan manik sayu kepunyaan seseorang. Syabira menatap malas, ogah sekali harus menemui laki-laki itu. Untuk apa lagi si Arman-Arman itu datang kembali ke rumahnya setelah apa yang dia torehkan pada keluarga besarnya benar-benar membuat kecewa banyak orang.

Hebatnya lagi, ibu dan ayah masih menerima kedatangannya ?! Sungguh lucu.

Halah! Memang salahmu sendiri, Sya! Kenapa nggak bilang yang sebenarnya tentang si Arman itu? Batin Syabira ketika melangkah memasuki ruang tamu.

"Sya, sudah pulang, Nak?" Ibu menyambut. Syabira menyalami lalu memaku langkah berhenti di seberang Arman. Lelaki itu menyapa Syabira singkat.

"Ibu tinggal ke belakang sebentar ya, bikinin minum." Syabira mengangguk saat ibu pamit. Masih memaku berdiri di tempatnya, fokus Syabira beralih pada Arman.

"Ada perlu apa, Mas Arman ke sini? Aku rasa enggak ada lagi pembicaraan penting antara kita," tembak Syabira.

"Tenang Sya, kedatangan aku ke sini cuma mau mengambil sesuatu yang jadi hak-ku."

Mata Syabira membeliak mendengar penuturan Arman, "Apa maksudnya, Mas?" Syabira tak habis pikir, apa yang dimaksud Arman dengan hak-nya itu.

Arman mengetuk-ngetuk pinggiran sofa, sejurus mulai berbicara serius. "Syabira, bukan bermaksud apa-apa, tapi karena kita nggak jadi nikah, aku berpikir gimana kalau kamu kembalikan apa-apa yang bukan hak kamu." Arman berucap santai.

Kerongkongan Syabira seperti disumpal sesuatu mendengar penuturan Arman. What the ....

"Bicara yang jelas, Mas! Jangan muter-muter."

"Oke, sorry. Cincin tunangan, uang DP gedung, katering dan beberapa vendor, bisa nggak kamu kembalikan? Rencananya biaya itu akan aku pakai buat nikah di luar negeri, nanti," sahut Arman dengan tidak tahu malu.

Syabira mengangah. Airmukanya berubah keruh seketika. Tidak tahu harus mengumpat atau merapal istighfar menyaksikan kelakukan manusia minus akhlak seperti Arman ini. Sudahlah dia yang selingkuh diam-diam, padahal pernikahan tinggal menghitung bulan, dia juga yang memutuskan sepihak, lantas, sekarang dengan tidak tahu malunya datang meminta kembali semua biaya tidak seberapa yang jika disandingkan dengan rasa malu keluarganya?!

Syabira masih berusaha bersabar. Tatapan matanya tajam menebus bola mata Arman.

Ya memang, waktu itu, karena tidak memakai jasa wedding organizer, Syabira yang mengurusi semuanya sendiri printilan dan segala persiapan pernikahan. Mana dia tahu kalau semuanya akan berubah runyam seperti sekarang?

Di saat semua batal secara tiba-tiba, uang DP gedung dan lain-lain otomatis hangus. Apa Arman sebodoh itu sampai tidak paham juga? Minimal punya rasa malu dan etika, sudah membatalkan secara sepihak, sekarang menuntut uang DP dikembalikan. Dan, soal cincin, karena rasa marahnya saat itu, Syabira refleks melempar cincinnya, entah jatuh di mana dia tidak tahu. Hilang pun tidak peduli.

Ketukan langkah menyambangi  ruang tamu. Terlalu fokus menatap Arman dengan segala kecamuk dalam pikiran, sampai membuat Syabira tidak menyadari kehadiran sosok laki-laki lain. Laki-laki itu, masih mengenakan setelan jas kerja lengkap, gesturnya santai dengan kedua tangan dikantongi pada saku celana, dia berdiri tepat di belakang Syabira.

"Dua ratus juta, apa cukup mengganti semua yang Anda sebutkan tadi?" Tanyanya dengan mata menatap Arman.

Syabira lebih membeliak lagi saat mendengar suara yang tidak asing. Menoleh ke belakang, sejak kapan kembarannya beruang kutub ada di rumahnya? Kenapa bisa tahu alamat rumahnya?

"Kamu?!" Mata Syabira berkilat tajam menatap Pak Raga ... yang saat ini berdiri persis di sebelahnya. "Dasar penguntit! Kamu ngikutin aku?!" Syabira tambah meradang. Pertama karena ulah Arman, kedua karena Raga. Kedua laki-laki itu sama saja, penghancur mood Syabira. Wajah-wajah sok polos, padahal sangat tampar-able  menurut Syabira.

"Apa maksudnya nawar-nawarin uang segala? Pergi sana! Di kantor kamu memang atasan, di sini, kamu enggak lebih dari seorang pengganggu ketenangan!" Sarkas Syabira dengan nada meletup-letup. Sudah cukup menahan dongkol sejak di kantor tadi.

Arman ikut berdiri, "Saya tidak tahu Anda ini siapa, tapi terima kasih kalau mau membantu mengembalikan semua kerugian saya," ucapnya tak berperasaan.

Raga tidak memedulikan kalimat Syabira, dia merogoh kantung celana, isyaratkan Arman agar mengetikkan nomer rekeningnya di ponsel pintarnya, "Saya harap Anda tidak menganggunya lagi!" Peringat Raga pada Arman dengan mata melirik Syabira.

Arman pergi dengan senyum mengembang di bibir. Syabira, untuk beberapa saat masih shock sampai lidahnya dibebat rasa kelu. Drama apa itu yang barusan tersuguh di depan mata? Oh Allah ... Syabira memegang kepalanya yang terasa berat. Sepertinya dia ingin pingsan saat ini juga.

Dari arah dapur, ibu muncul dengan nampan di tangan. "Lho, Arman-nya mana, Sya?" Mata ibu mengedar ke segala sudut ruang tamu. Mencari keberadaan mantan calon mantu.

Syabira baru bisa membuka suara mendengar kalimat tanya ibu. Ada rasa geram di dada, kenapa masih baik saja pada lelaki itu, padahal sudah dibuat malu sekeluarga. Orang seperti Arman tidak perlu diperhatikan, apalagi sampai dibuatkan minum. Apa ibu tidak tahu kalau kedatangan Arman hanya menambah beban hidup Syabira saja.

"Lho, ini siapa, Sya? Kok nggak dikenalkan sama ibu?" Fokus ibu beralih pada Raga. Lelaki itu tersenyum sopan dan langsung menyalami ibu.

Syabira masih berjongkok di lantai. Tangannya menutup permukaan wajah dengan suara menggumam tak jelas, "Syabira mau pingsan saja, Bu," ucapnya samar-samar. Sejak di kantor sudah melalui perjuangan keras agar bisa terhindar dari Raga - yang menurutnya mempunyai sifat kejam, nyatanya lelaki itu masih tidak berubah juga. Hobi membuntuti Syabira sejak zaman mereka masih memakai seragam putih abu-abu. Ditambah sekarang Syabira berhutang banyak pada lelaki itu.
Syabira refleks meremas ubun-ubun yang ditutupi pasmina. Sekarang  kepalanya benar-benar terasa berdenyut sakit. Kepada luka yang pernah menyambangi hati, Syabira ingin segera trauma itu lepas. Gagal dalam rencana pernikahan, selalu disudutkan dan ditanya kapan nikah? Orang-orang tidak berpikir, jika pertanyaan yang dianggap basa-basi itu sangat melukai yang ditanya. Belum lagi intervensi sok tahu dari orang-orang terdekat, yang acapkali lebih menyakitkan saat didengar.

🌻🌻🌻





Repost
08-11-23


Kachan subuh tadi udah diskusi sama Pak Raga. Udah tahu ke arah mana maunya dia. Kalau Syabira?

Entah, nanti Kachan diskusi lagi sama dia.

Tabik
Kachan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top