🌙 16. Kepada Rasa Tak Percaya 🌙
"Udahlah, kamu enggak usah lagi dekat-dekat aku!" Syabira memperingatkan Raga. Rautnya menyirat sebal ketika bersemuka dengan sang atasan. Pasalnya sejak mendapat doktrin dari mamanya Raga, Syabira jadi sangat antipasi sekali pada lelaki itu. Di kantor juga lebih baik menghindar. Saat berpapasan Syabira memilih mundur dan menjauh. Membiarkan Raga melangkah duluan dan menghilang dari pandangan, baru dia meneruskan langkah. Saat ada acara buka puasa bersama di kantor, Syabira memilih absen karena enggan bertemu Raga.
Sore ini saat bubar kantor Syabira seperti biasa menunggu taksi daring pesanannya, tapi Raga tiba-tiba datang, menarik pergelangan tangan Syabira, memaksa masuk ke dalam mobilnya. Raga merasa harus tahu alasan Syabira menjauh, sekaligus menekankan agar tidak menghindar lagi.
"Saya tidak paham kamu kenapa, Sya? Apa saya ada salah lagi?" Pipinya melebar ketika bertanya, seakan lewat tatapan dia ingin menunjukkan rasa penasarannya.
Sebaliknya mata Syabira berkilat tajam ke arah Raga. Dia pikir laki-laki yang memakai setelan kantoran itu pura-pura. Sudah tahu alasannya, tapi masih bertanya.
Kata-kata mama Raga masih tersimpan rapi dalam kepala Syabira. Bagaimana dia yang jadi tertuduh karena mama lelaki itu mengira dialah yang mendekati putranya. Padahal sebaliknya, Raga-lah yang memposisikan diri sebagai magnet, selalu menarik Syabira ke dalam pusaran kedekatan.
"Hei, Pak Raga, dengar ya. Aku nggak mau dituduh jadi perebut calon suami orang." Syabira berkata gamblang. Ingin mencoba tak acuh, tetapi kalimat mama Raga sangat menghujam ceruk perasaannya. Apa-apaan! Anak laki-lakinya yang ngebet mendekati, tapi Syabira yang tersudut.
Raga menatap kedalam mata cokelat Syabira. Kedua alis tebal lelaki itu saling bertaut, menandakan dia sedang dilanda bingung. "Maksudnya apa?" tanyanya lagi.
"Tanya saja sama mama kamu," sahut Syabira kemudian.
Raga masih mencerna kalimat Syabira. Tangannya memainkan setir mobil kemudian mulai melajukannya dengan kecepatan sedang. Mobil Raga melewati parkiran kantor, menembus jalanan yang terlihat macet selain karena lampu merah, juga orang-orang yang turun ke jalan saat sore menjelang beduk Maghrib untuk sekadar ngabuburit atau mencari jajanan berbuka puasa.
"Mau bawa aku ke mana?" Tanya Syabira mulai tak tenang.
Raga masih membisu. Mobil terus melaju mengikuti jalanan tanpa arah tujuan. Suara shalawat tarhim pertanda beduk akan segera ditabuh pertanda azan akan berkumandang, Raga membelokkan mobilnya pada sebuah masjid.
Raga gegas memarkir mobil, sejurus isyaratkan Syabira mengikutinya turun. "Kita salat Maghrib dulu sama batalin puasa, setelah itu baru kita bicara lagi," ucap Raga. Syabira mengangguk. Raga berjalan duluan, lelaki itu ikut ke dalam antrian para jamaah yang sedang berbaris menerima kupon dari takmir untuk nanti digunakan sebagai alat tukar iftar berbuka puasa.
"Ini, nanti buat ditukar sama iftar." Raga menyerahkan satu kupon untuk Syabira.
"Terima kasih," sahut Syabira singkat. Obrolan mereka berhenti saat Raga pamit mengambil wudu dan akan bergabung dengan shaf laki-laki. Syabira juga sama, melangkah ke arah tempat wudu khusus perempuan kemudian masuk masjid bergabung dengan jamaah wanita lainnya.
Suara beduk ditabuh dengan keras, sejurus suara Muazin dengan lantang lantunkan azan Maghrib. Pertanda bahwa waktu berbuka puasa telah tiba. Riuh suasana aula masjid menjadi pemandangan yang mengesankan. Beberapa orang memilih menukar kuponnya dan segera menikmati takjil pembatal puasa. Beberapa lagi memilih untuk salat terlebih dulu, seperti Syabira dan Raga.
Usai mengangkat takbir tiga rakaat. Syabira bergegas menuju aula, menukar kupon dengan sajian be ruka puasa yang tersedia. Syabira mendapatkan satu kotak berisi nasi, satu plastik buah potong, beserta kurma dan air mineral. Sama dengan Raga.
Keduanya duduk bersila di aula bersama dengan jamaah lain yang juga sedang menikmati buka puasa. Tidak saling mengenal, tapi mereka berkumpul bersama dengan suasana penuh syukur menikmati buka puasa.
"Enak juga ternyata buka puasa di masjid gini." Komentar Raga.
"Hmm, suasananya memang lebih gimana gitu. Rame juga, makan nasi kotak rame-rame nikmatnya berasa kayak restoran bintang lima." Timpal Syabira.
Raga tersenyum. Baru sekarang Syabira membalas kalimatnya tanpa binar sebal atau ucapan pedas dari bibirnya. Kedua netra Raga mengamati Syabira yang sedang takdzim menikmati makannya. Pipi gadis itu kadang menggelembung lucu saat mulutnya penuh dengan makanan. Raga tersenyum lagi. Tidak bisa buka puasa bersama di kantor, nyatanya Allah tetap menghendaki dia berbuka puasa bersama Syabira dengan suasana berbeda saat ini.
**
Usai menandaskan santapan buka puasa, Raga dan Syabira kembali ke mobil. Belum punya tujuan, Raga membawa mobilnya melintasi jalanan. Keduanya sama-sama membisu.
Langit menggantung kelabu. Embusan angin agak kencang pertanda mendung tengah menyapa. Sebentar lagi waktunya tarawih dan Syabira masih terjebak di dalam mobil Raga tanpa tahu tujuan akan ke mana.
Bibir tipis Syabira bergerak, merapal kalimat pertanyaan duluan, "Sebenarnya kita mau ke mana, sih?!" Nada ketusnya kembali terngiang di rungu Raga.
Raga membalas dengan senyum tipis. Bukan Syabira namanya kalau tidak jutek padanya. "Kamu maunya ke mana?" Tanyanya dengan nada lembut.
"Pulang!"
Raga menggeleng. "Nggak! Sebelum kamu jelasin dulu, apa salah saya, dan maksud ucapan kamu soal pengganggu calon suami orang?" Mobil Raga menepi. Berhenti tepat di sisi sebuah taman.
Syabira melepas tautan sabuk pengamannya. Sejak tadi perutnya merasa begah. Dia mengambil napas dalam-dalam sejurus embuskan perlahan. "Apanya yang mau dijelaskan?" Tanya Syabira. Bukankah semua sudah jelas. Apa laki-laki yang sedang menatapnya saat ini sedang pura-pura bodoh?!
"Semuanya. Kamu harus menjelaskan. Saya tidak paham maksud kamu, Syabira."
"Pak Raga, tolong ya, aku udah capek banget rasanya harus debat terus, adu mulut terus sama kamu." Mata Syabira membias kaca. Dadanya terasa nyeri acapkali harus bersitegang dengan Raga. Ditambah vonis mama lelaki itu. Anaknya yang bucin lilahita'alah, Syabira yang kena getahnya.
"Cemburu itu boleh, tapi cemburu yang dewasa itu mendengarkan, tidak menduga-duga secara salah. Kamu kalau cemburu bilang dong, jangan marah-marah enggak jelas." Kelakar Raga mencoba menggoda Syabira. Ucapan Raga membuat mata Syabira membeliak. Apa-apaan laki-laki satu itu! Siapa yang cemburu? Satu pukulan mendarat di lengan Raga. Syabira geram bukan main mendapat vonis tak berdasar dari pria sinting penuh kebucinan di sebelahnya itu.
"Pukul lagi, Sya. Pukul aja terus, selama itu bisa bikin kamu senang." Entah itu sebuah sarkas atau memang begitu adanya. Raga terkekeh kecil.
"Raga, ish! Aku serius. Mendingan kamu nurut apa kata mamamu, jangan dekat-dekat sama aku lagi. Suuuh-shuuuh, pergi yang jauh!" Tangan Syabira lakukan gerakan seperti mengusir. Raga malah tertawa. "Nggak ada yang lucu, enggak usah ketawa!" Delik Syabira.
"Kamu yang lucu."
Syabira tersenyum miring, "Dasar sinting!"
"Iya, memang kenapa kalau saya sinting? Saya begini karena ... saya suka sama kamu."
Syabira terdiam, mencoba mencerna ucapan Raga barusan. Apa? Suka? Gadis itu lantas menggeleng. "Kamu nggak boleh suka sama aku." Tegasnya.
"Hak saya dong, perasaan saya yang punya. Ada hak apa kamu ngatur-ngatur?" Tantang Raga. Lelaki itu saat ini mencondongkan tubuh menghadap Syabira sepenuhnya. Syabira sampai bisa menghidu aroma parfum Raga karena dekatnya jarak antara mereka.
Syabira menunduk. Sejak tadi kelopak matanya sudah dipenuhi air. Sekarang pertahannya jebol, tidak bisa lagi membendung isakan kecil yang keluar dari bibirnya. "Kamu itu jangan keras kepala kenapa sih?" Hardiknya dengan napas naik-turun. "Mama kamu ngiranya aku yang sengaja mendekat dan ngejar-ngejar kamu. Sadar diri dong, sudah dijodohkan masih juga bucin sama perempuan lain!" Syabira mengusap kasar kedua tebing pipi yang banjir airmata. "Pergi aja yang jauh, jangan lagi dekat-dekat aku. Lagian enggak kurang perempuan yang lebih cantik, yang lebih muda, kenapa kamunya ndusel-ndusel terus sama aku, sih!?" Pecah juga unek-unek Syabira.
Tadinya sudah larut dalam suasana, matanya ikut memancarkan sorot sedih, seketika tawa Raga meledak mendengar kata 'ndusel-ndusel' yang Syabira ucapkan.
"Nggak usah ketawa, nggak ada yang lucu, Raga!"
"Maaf, ya." Raga menarik tisu dari kotak yang ada di atas dasboard. Seketika tangan kekarnya mengarah pada permukaan wajah Syabira, menghapus sisa airmata yang masih menempel di sana.
"Sama seperti kamu yang selalu marah dan sebal sama saya. Saya juga tidak bisa berbuat apa-apa saat perasaan itu tumbuh subur, semakin lama, semakin membumbung tinggi. Saya bisa apa, Sya?" Kalimat itu terdengar sangat serius menembus pendengaran Syabira. Mata Raga berkilat kesungguhan saat mengatakannya. "Jawab saya, Sya. Lalu ... jalan mana yang harus saya tapaki, jika jejak langkah selalu menggiring hati ini pada tepian perasaanmu?"
Syabira berdecih atas kalimat puitis lelaki di sebelahnya.
Langit semakin pekat. Titik-titik bintang yang biasanya gemerlap hiasi petala, kini seolah enyah ditelan awan gelap. Syabira terdiam oleh ulah Raga. Kalimat lelaki itu menembus ke dalam hati. Mengusik ketenangan batinnya. Syabira masih belum percaya sepenuhnya atas ungkapan Raga barusan. Gampang sekali bilang suka? Biasanya laki-laki yang gampang banget menyatakan suka pasti juga nantinya gampang mencampakkan.
🌻🌻🌻
Tabik
Chan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top