🌙 15. Kepada Debar Tak Menentu 🌙
Syabira membantu ibu menyiapkan makan untuk berbuka puasa nanti sore. Para kakak sudah kembali ke rumah mereka masing-masing. Mbak Cantika juga pamit pergi ke rumah orangtuanya di kota Bandung. Rumah ibu dan ayah kembali terasa sepi.
Syabira duduk di stool yang ada di dapur menghadap kitchen island. Tangannya sibuk membantu ibu memotong bawang bombai - mencacahnya menjadi kotak-kotak kecil, karena rencananya ibu akan membuat risoles isian daging dan keju.
"Ra, kasih tahu sekarang saja, kalau dadakan nanti takutnya Raga repot." Suara ibu memecah fokus Syabira. Diletakkannya pisau ke atas cutting board yang ada di meja. Embusan napas Syabira menguar. Kalau sudah begini dia menyesal kenapa tidak mau menyimpan nomor telepon Raga. Akhirnya Syabira harus repot berjalan kaki menuju rumah lelaki itu.
"Tapi, ibu kan masih repot. Biar Syabira bantuin dulu, ya."
"Udah, pergi sana, Nak, tinggal bikin isian risol saja, gampang ini." Ibu kukuh, ingin mengerjakan sendiri.
Syabira mengangguk, beranjak dari duduknya kemudian salim pada ibu dan melangkah ke rumah Raga. Walau agak malas sebenarnya.
Mengayun kaki dengan langkah malas-malasan, tapi akhirnya sampai juga Syabira di depan rumah Raga.
"Assalamualaikum," ucap Syabira saat berada tepat di depan pagar rumah Raga. Pagar besi tersebut terbuka sebagian. Ekor mata Syabira melirik sekilas ke dalam. Ada sebuah mobil terparkir di halaman. Mungkin tamunya Raga. Tebak Syabira.
Tidak ingin membuang waktu, Syabira putuskan memencet bel saja, karena menunggu salamnya dijawab rasanya mustahil - menilik jarak pagar depan dengan pintu ruang tamu lumayan jauh.
Memencet bel dua kali, sejurus perempuan setengah tua berjalan tergopoh keluar. Bi Rum - asisten rumah tangga Raga, menyambut dengan senyuman saat matanya bertemu dengan mata Syabira.
"Assalamualaikum, Bi Rum," sapa Syabira dengan senyum manisnya.
"Wa'alaikumussalam, Mbak Syabira. Langsung masuk atuh, kenapa nunggu di luar dari tadi, kan panas."
Syabira mengangguk, mengikuti langkah Bi Rum, "Raga-nya, ada Bi?" Tanyanya seraya mengedarkan pandangan pada sekitar.
"Ada Mbak, lagi tiduran di kamar."
"Hmm, lagi ada tamu ya, Bi?" Tanya Syabira lagi, penasaran.
Bi Rum mengangguk, "Iya Mbak, tamu spesialnya Mas Raga." Mendengar kata 'spesial' Syabira sontak menatap Bi Rum dari belakang dengan mata berkedip penasaran. Apa tamunya seorang perempuan? Tanyanya sendiri dalam hati. Definisi spesial buat laki-laki biasanya kalau enggak orang terdekat pasti ... pacar, kan?.
Ayunan kaki Syabira meniti melewati pintu utama. Entah kenapa dia sangat deg-degan sekali kali ini. Saat masuk ke.ruamh tamu, pemandangan pertama yang Syabira tangkap adalah sosok perempuan paruh baya dengan dandanan ala ibu-ibu gaul, atau kaum sosialita. Rambutnya dicepol modern, mengenakan dress bohemian longgar semata kaki serta pulasan gincu merah di bibir. Sangat kontras dengan kulitnya yang putih cerah, meski sudah berumur, tapi masih terlihat sangat cantik.
"Siapa Bi? Tamunya Raga?" Tanya perempuan setengah tua yang duduk di sofa ruang tamu.
Pandangan Syabira fokus pada perempuan yang duduk di sofa dengan kedua tangan memegang majalah tapi sibuk bertanya pada Bi Sum.
"Iya, Den Ayu, ini temannya Mas Raga." Seseorang yang dipanggil 'Den Ayu' tersebut masih asyik dengan majalah di tangan. Syabira cukup sadar diri untuk tidak meneruskan langkahnya.
"Duduk sini, Mbak, saya mau ngobrol sedikit," ujar perempuan tadi pada Syabira. Syahdan, Syabira mendekat dengan jantung berdentam keras. Sialan! Kenapa dia harus gugup?
"Saya mamanya Raga, jangan kaget ya?" Tawa kecil meluncur dari bibir perempuan - yang ternyata mamanya Raga. "Saya langsung meluncur ke sini waktu Bi Rum mengabari kalau Raga sakit," sambungnya disebut anggukan Syabira.
"Iya, Tante?" Syabira amati perempuan setengah tua yang masih terlihat cantik dan sangat anggun itu. Rambutnya yang dihiasi warna perak dari bulu-bulu yang memutih, sama sekali tidak mengurangi aura cantiknya.
Perempuan yang dipanggil Syabira dengan kata 'Tante' tadi meletakkan majalahnya, sejurus matanya menatap fokus pada Syabira. "Jadi, kamu yang kemarin bantuin Raga waktu sakit?" Syabira mengangguk lagi.
"Terima kasih untuk semua kebaikannya, ya. Tetapi kalau boleh, saya minta tolong sama kamu." Airmuka si Tante mulai berubah serius.
"Tolong apa, Tante?"
"Raga itu sudah saya jodohkan dengan anak sahabat saya. Jadi, kalau bisa kamu jangan dekat-dekat, ya? Bisa, kan, Nak?" Kalimat mamanya Raga ditanggapi dengan anggukan samar Syabira. Harusnya dia senang, akhirnya dengan campur tangan Allah -- lewat mamanya Raga, maka otomatis setelah ini Raga akan menjauh darinya. Namun, yang Syabira rasakan justru sebaliknya. Dia merasa hatinya seperti dicubit. Sakit. Rasanya berdebar-debar tak keruan. Bukan debat karena dipengaruhi hormon oksitosin yang menyenangkan, tapi sebaliknya, debar sesak yang mendadak mengakuisisi perasaannya.
"Ba-Baik, Tante. Lagipula saya nggak ada apa-apa sama anak Tante. Kami cuma teman kantor, lebih tepatnya Pak Raga atasan saya di kantor. Kebetulan saja rumahnya berdekatan, dan kedatangan saya ke sini karena ingin mengundang buka puasa di rumah atas permintaan ibu saya, karena beberapa waktu lalu Pak Raga sempat mampir dan membawakan buah tangan untuk ibu." Syabira merasa mamanya Raga seperti hakim, yang menjatuhkan vonis, lalu dia adalah tersangka utamanya. Seolah terdengar seperti Syabira-lah yang sengaja mendekati Raga, padahal sebaliknya, laki-laki itu selama ini yang tidak pernah bosan menganggu ketenangan Syabira.
Ternyata anak dan ibu sama-sama menyebalkan. Rutuk Syabira.
"Syukurlah kalau begitu. Nak, jangan tersinggung, ya. Tante begitu karena menjaga amanah serta janji dengan sahabat Tante. Raga itu sudah lama kami jodohkan. Tinggal menunggu waktu pertemuan keduanya saja." Mama Raga isyaratkan Syabira mendekat. Duduk bersisihan, Syabira tersenyum rikuh. Mamanya Raga justru mengambil tangan Syabira serta kembali merapal terima kasih dengan kalimat dan tatapan mata memancar tulus. Ternyata tidak seburuk yang Syabira kira. Mamanya baik, sikapnya sudah betul karena menjaga amanah pada sahabatnya. Allah, maafkan Syabira yang sudah buruk sangka.
"Nggak pa-pa, Tante. Kalau gitu saya pamit pulang," ujar Syabira ingin segera beranjak. Mamanya Raga mengangguk, kembali ucapkan terima kasih dan berujar akan menyampaikan pada Raga bahwa Syabira baru saja datang.
Syabira kembali melangkah menuju rumah. Bohong jika dia tidak kepikiran dengan kata-kata mamanya Raga. Apalagi nanti saat mendapati raut kecewa ibu karena tidak berhasil mengundang Raga, padahal ibu sudah masak lumayan banyak menu untuk buka puasa nanti.
Kasihan sekali si bocah tengil. Hidupnya terlalu banyak aturan sepertinya. Syabira membatin.
Ragantara ternyata sudah dijodohkan oleh orangtuanya, tapi malah sibuk mengejar Syabira. Syabira harusnya tertawa senang. Setelah ini tidak ada lagi gangguan atau gombalan receh yang akan dia dengar dari si Raga-Raga itu, tetapi kenapa malah sebaliknya? Belum apa-apa Syabira merasa telah merindukan ketengilan Raga.
Lagian orangtua Raga kenapa kolot sekali pemikirannya? Zaman sudah berubah, anak-anak punya hak untuk memilih pasangan hidup mereka sendiri. Bukankah rasa cinta yang tumbuh di hati manusia adalah bagian dari rahmat-nya Allah?
Rahmat dan cinta Allah saja tidak tidak terbatas. Lalu, kenapa manusia sendiri malah membatas-batasi, sih?.
🌻🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top